Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22. Efek

Aku terbangun oleh suara familiar. Memanggil dengan samar. Nikki, bangun. Nikki, bangun... Awalnya aku tidak memikirkannya. Lalu sadar bahwa Penjaga Waktu baru saja datang ke kehidupanku. Aku langsung terjaga penuh. Duduk tegak di ranjang dengan perasaan kalut. Apa yang kulupakan? Segala hal masih kuingat dengan jernih. Jelas ini merupakan pertanda bagus. Hingga akhirnya aku menoleh dan mendapati senyum Evo.

Evo sedang duduk di bangku kayu yang menempel dengan ranjangku. Wajahnya terlihat bahagia tapi belum seutuhnya melunturkan raut cemas. Ia beringsut mendekat dan mengusap-usap kepalaku hingga terasa janggal. Aku menjauhkan kepala dari jangkauan tangannya.

"Hai," sapanya riang. Ia melengkungkan senyum yang nyaris serupa simpati.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Semua baik-baik saja," jawabnya, dan ia menyerahkan segelas air mineral padaku. Aku meminumnya sedikit dan mengembalikan lagi.

Aku terlalu muak dengan segala hal karena terlihat tidak ada yang baik-baik saja di sini. "Evo, ada apa?"

"Serius, tidak ada apa-apa." Ia berdiri dan hendak keluar dari kamar. Aku tahu gestur menghindar oleh orang yang tidak ingin membicarakan sesuatu. Evo berbalik badan saat daun pintu yang terbuka, menggaruk kepala. "Ia nyaris mengapus seluruh ingatanmu. Kau masih ingat kenapa ada di sini, kan?"

"Untungnya masih. Apa yang kau lakukan untuk menolongku?"

"Membantumu. Jika kau kehilangan seluruh ingatan, maka semua akan berakhir," jawabnya defensif.

Kalimat Evo mengingatkanku pada kekuatannya. "Kau bisa menghentikan waktu, kan? Dari mana persisnya kau mendapat kekuatan itu? Apa berguna untuk melawan Penjaga Waktu?"

Evo tertawa kering. "Melawannya? Pilihan kata yang sangat memotivasi. Aku mendapatkannya dari seseorang. Ia memberiku kekuatan ini. Tidak terlalu berhasil untuk melawan, tapi setidaknya aku mampu menyamakan gerakannya. Aku punya nasihat untukmu, jika ia berlari, kau juga harus berlari menghindar darinya. Sekarang, kau beristirahat saja."

Aku mengempaskan tubuh ke ranjang. Memikirkan tentang probabilitas. Bertanya-tanya apakah Tom baik-baik saja di sana sementara aku di sini. Ia pasti sudah menggigil ketakutan dan agak marah. Menganggapku sebagai pengecut yang menyelamatkan diri sendiri, atau tidak bertanggungjawab karena menempatkannya dalam posisi seperti ini. Mungkin juga keduanya. Aku terlelap dengan pemikiran itu.

Tiga jam kemudian, aku bangun karena suara ketukan pintu. Dengan gerak seperti orang mabuk yang kepayahan, aku membuka pintu dan mendapati wajah Evo dengan senyuman khasnya. Matanya berkilat.

"Kau belum makan, mau mencoba masakanku?" tanyanya ceria.

Aku tidak terlalu lapar. Namun perutku berbunyi untuk mengingatkan. Harum masakannya sampai ke kamar. Ia masih memakai celemek polkadot biru. Sangat kontras dengan kemejanya yang digulung sampai ke siku. Melihat ekspresiku, ia menarik tanganku ke meja makan. Segalanya sudah tersedia seolah ia tidak memikirkan kemungkinan kalau aku menolaknya.

Ia membuat sup sayuran dengan potongan daging. Terlihat lezat bersama sebongkah nasi. Jadi tak ada pilihan selain menikmati makanan itu. Evo makan setelah aku mulai menyuap. Memberi komentar bahwa ia pandai memasak, dan cocok menjadi bekerja sebagai koki jika selesai dari segala kekacauan ini. Ia hanya tertawa.

Aku menarik salah satu rambut yang terselip di kelopak mata. "Jadi, setelah ini apa yang akan kau lakukan?"

Evo bersandar santai pada kursi sambil meletakkan minuman. "Melakukan rencana yang besar. Kau tidak akan percaya jika aku ceritakan. Lebih baik kau ceritakan tentang kehidupanmu."

"Kau sudah tahu kehidupanku! Kau menguntitku," ketusku.

Ia tergelak. Menyuap makanan dan bertanya setelah menelan, "Seperti apa hubunganmu dengan Tom?"

"Sangat akrab. Kami saling menyayangi," jawabku otomatis. Lalu teringat bahwa dalam segala hal yang terjadi, Evo sudah berkhianat. Orang yang menipu tidak akan bisa dipercaya. Aku membungkam mulut dan mengajukan pertanyaan di mana ia tidak akan balik bertanya, "Apa yang bisa kubantu dengan mesin waktumu?"

"Bukan. Itu mesin waktu kita," ia meralat, "kita membutuhkan semacam sumber daya listrik yang besar. Dan yang paling utama, kita butuh cemilan saat bekerja."

"Wah, sangat santai sekali," sindirku sambil memindahkan makanan ke tempat cuci piring.

Evo tertawa geli mendengarnya. "Kau tidak bisa bekerja terlalu fokus saat dalam kondisi lapar. Cemilan adalah solusinya. Nah, ayo kita ke cari sumber tenaga untuk mesin waktu."

"Kapan kita melepaskan Tom?" tanyaku mengingatkan rencana semula.

"Ketika seluruh komponen sudah lengkap. Kau tidak mau kan kalau Tom sampai tertangkap Penjaga Waktu," sahutnya.

"Tapi kita juga tidak tahu kapan Tom akan diadili,"

Mata Evo melebar. "Kita harus selamatkan diri sendiri dulu sebelum menyelamatkan orang lain."

Aku melipat kedua tanganku ke atas meja dan mencondongkan tubuh. "Tom pasti memilih untuk bermartabat berjuang dibanding berada dalam jeruji besi menunggu ajal," sahutku getir.

Evo menyiharkan rambut. "Ia akan lebih baik di penjara. Perserikatan Polisi Waktu tidak akan menghukumnya sebelum menghukummu lebih dulu."

"Dari mana kau tahu?" tanyaku. "Apakah kau memiliki kemampuan untuk meramalkan masa depan, atau kau berasumsi berdasarkan pengalamanmu?" Aku menunjukan dua jari saat menyebutkan setiap pilihan. Ia justru tersenyum polos. Sangat polos hingga membuatku muak.

"Kau lupa ya kalau aku Polisi Waktu?"

"Sudah jelas sekarang," sahutku sarkastik pada kalimatnya yang singkat. "Kau Polisi Waktu, diizinkan membuat pelanggaran karena kau memiliki semacam jabatan."

Ia mengerutkan kening. "Aku sengaja masuk Polisi Waktu untuk menangkapmu. Setelah itu, aku keluar dengan cara tak terhormat untuk menyelamatkan nyawa kita."

Aku menyemburkan napas tak percaya. "Rencanamu itu saja?"

"Aku menerapkan permainan kartu domino. Saat satu kartu jatuh, maka yang lainnya akan jatuh. Ini baru langkah kecil. Begitu rencanaku berhasil, langkah-langkah lain akan berjalan mulus. Segalanya akan sesuai rencana. Briliant."

Ia memindahkan piring kotor ke tempat cuci piring dan mengeluarkan puding dari kulkas. "Makanan pencuci mulut."

"Apa ini rumahmu?" Pertanyaan yang baru terpikir melihat kelakuannya yang memperlakukan rumah ini seolah ini markasnya.

Perhatian Evo teralih. "Ini rumah temporal. Sementara berkunjung, sementara pergi."

Aku mengangguk, "Di mana keluargamu? Apa mereka tinggal terpecah di multisemesta ini?"

"Ibuku sudah meninggal ketika melahirkanku. Ayahku? Entahlah. Tidak pernah melihatnya sejak kecil," sahutnya ringan.

Aku terdiam. Ingin mengucapkan variasi duka cita untuk meminta maaf, namun terpikir kalau lebih baik mengalihkan topik. "Kau punya saudara?"

Evo tertawa. "Kau percaya pada pohon keluarga? Di mana letaknya harus berurutan dan tampak bahagia."

Aku terkejut dengan kata-katanya yang penuh penekanan dan mencela. Seolah ada yang salah dengan struktur keluarganya. "Apa yang salah?"

"Hm," gumamnya, lalu terdiam sesaat sebelum melanjutkan. Ia terlihat ragu saat berbicara seolah akan melontarkan bahasa asing yang sulit dipahami. "Ada beberapa hal tampak tidak wajar. Salah satunya keluargaku. Mereka terpecah seolah badai terjadi di tengah-tengah kami. Tidak ada malam-malam berbagi cerita, atau tertawa. Selalu ada masalah yang kami bicarakan. Kesulitan dalam keluarga kami seakan tidak pernah berakhir. Tidak ada yang peduli pada hal semacam itu."

"Maaf," kataku, mengucapkannya dengan tempo cepat hingga aku terkejut sendiri dengan reaksiku. "Kau tidak perlu menceritakannya lagi. Aku percaya kau bisa bahagia dengan jalanmu sendiri."

"Kau adalah jalanku Nikki," katanya lugas.

Sebelum rasa panas menjalar di pipi, aku memutar kendali dengan kilat. "Seandainya berhasil, apa lagi yang kita lakukan? Menjalani hidup masing-masing dengan saling tidak terkenal."

"Kita pasti saling membutuhkan," sahutnya riang, "Jadi, apa rencanamu setelah berhasil? Melanjutkan kuliah, bekerja dan menikah? Semacam alur itu?"

"Pertama, aku akan pindah dari Lantern Black. Tempat itu muram dan tidak cocok dengan aku dan Tom. Kami sudah melalui hal buruk dan biarkan sedikit kedamaian dengan keluar dari jalur kehidupan," jawabku.

"Lalu?"

"Aku berencana kembali ke rumah yang lama. Semoga Papa bisa mendapatkan rumah kami yang dulu."

Evo tersenyum. "Apa yang kau harapkan dengan kembali ke rumah yang dulu? Belajar melupakan kejadian yang sudah terjadi. Kau sudah melalui banyak hal dan hanya hidup seperti manusia biasa saja?"

"Kita hanya mengabiskan waktu dengan sesi wawancara ini?" tanyaku. Pertanyaan demi pertanyaan terus berlanjut hingga membahas hal tak penting lainnya. Ia pandai berbicara.

Sampai hal yang kulihat di kehidupan lantilty human dan Threen terjadi lagi. Kabut abu-abu muncul di ruang makan. Dari dalamnya, keluar seseorang yang sangat tidak kukenal. Perempuan. Ia berdiri dengan pakaian serba hitam dan setengah topeng yang menutupi matanya.

"Evo, sudah waktunya!" Suara perempuan itu lantang. Mengarahkan tangan dan menarik Evo. Seolah badannya besi dan tangan perempuan itu magnet yang menarik.

Evo menjentik jari, perempuan itu tertawa. "Aku sudah menghabiskan lima tahun untuk berurusan denganmu. Kau pikir aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan? Aku membawa Master Six. Membekukan kekuatanmu."

Di dalam kabut ada seorang lelaki yang diam menunggu. Matanya terarah pada Evo dan perempuan tersebut. Serangkaian kejadian itu membuatku kebingungan. Aku bergerak mendekat. Hingga perempuan itu sadar bahwa ada orang lain selain mereka.

"Hai," sapaku. Lalu berdeham dan memberanikan diri berbicara tegas, "Kau tidak boleh datang ke rumah orang , lalu menculik orang di dalam rumah itu begitu saja. Itu kriminal."

Perempuan itu memandangku, menilai. "Apa yang ia lakukan padamu?"

Aku tercengang, kaget dengan pertanyaan spontannya. "Aku membutuhkan Evo untuk membantu mengeluarkan saudaraku dari penjara Perserikatan Polisi Waktu."

Ia tertawa. "Aku datang ke sini untuk membawanya ke dimensiku. Ia harus diadili secepatnya," katanya.

Ketika ia melangkah untuk pergi, aku cepat-cepat menyahut. "Apa yang telah ia lakukan?"

"Evo membunuh saudaraku untuk mengambil kemampuannya. Kekuatan yang dimiliki Evo itu hasil pengambil secara paksa. Itu alasan ia harus dihukum," jelas perempuan itu.

"Bukannya Evo diberikan kekuatan itu?"

"Jangan pernah mempercayai seorang pembohong."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro