Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19.

Saat Affan memutuskan untuk kembali ke kantor pada pukul tiga sore, gue akhirnya ditinggal berdua saja dengan Rayhan. Suasana seketika berubah menjadi canggung dan dipenuhi keheningan. Gue tidak memiliki petunjuk sedikitpun tentang mengapa Rayhan bisa berada di sini, dari reaksi yang Affan berikan sebelumnya, sepertinya Yiraga ikut andil dalam kehadiran Rayhan di sini sekarang.

Gue menarik napas panjang, rasa sesak perlahan menyergap memenuhi rongga dada. Sebanyak apa pun udara yang gue tarik, rasa tak menyenangkan itu tak pernah hilang. Rasa ini sama seperti saat pria di samping gue ini menghilang tanpa kabar beberapa tahun silam. Betapa ironi, setelah tahun berlalu, kehadiran orang di samping gue ini tak menyembuhkan rasa sesak yang dulu amat menyiksa, melainkan menjadi sumber rasa sesak itu sendiri, lagi.

"Brigita..." ucap Rayhan pelan, gue membalas dengan gumaman singkat, setelah mendengar respon yang gue berikan, Rayhan terlihat ragu untuk kembali angkat suara, ia hanya memandang ke arah punggung tangan gue yang terpasang infus. "Kenapa?" ucapnya parau.

Gue mengerutkan kening, menebak ke arah mana pertanyaan yang ia lontarkan. "Pola makan yang nggak bagus, stress, kombinasi yang bagus untuk sebuah penyakit bukan?"

Rayhan kembali tergugu. Meski tak paham betul dengan maksud pertanyaannya, gue hanya berasumsi ia menanyakan perihal sakit yang gue alami.

"Kamu tahu betul bukan itu maksud pertanyaanku," ujarnya frustasi.

"Aku bukan dalam mode yang baik untuk menebak-nebak apa maksud pertanyaan kamu. Kalau boleh, sekarang aku mau istirahat," ucap gue dengan sedikit jeda, bermaksud mengusirnya, gue tidak ingin terlibat dengan percakapan emosional apa pun saat ini. Takut tingkat stress meroket dan penyakit lambung ini menjadi semakin parah dan semakin lama untuk pulih.

Pintu ruangan rawat tiba-tiba terbuka, memecah atensi gue untuk menyingkirkan keberadaan Rayhan di sini. Di pintu masuk terdapat tiga orang yang amat gue kenal.

"Kakak, sakit apa?" suara polos Leo menggaungkan pertanyaan, langkah kakinya mendekati ranjang perawatan yang gue tempati, tanpa berbasa-basi ia mendudukkan dirinya di ranjang dan bergerak untuk memeluk tubuh gue. "Bang Jun ngajak Leo ke sini untuk jenguk Kakak," ucapnya dengan riang.

Berbeda dengan Leo, Jun dan Gatra yang melihat ada sosok lain di ruangan mendadak mengubah ekspresi, dari yang penuh senyuman menjadi masam. Mereka kemudian saling menatap dan memandang gue penuh tanya.

"Siapa?" tanya Gatra dengan nada tidak suka yang amat kentara, ia bahkan tidak mencoba menyembunyikannya sedikit pun ketidaksukaannya.

Gue mencoba untuk mengegakkan tubuh, dibantu oleh Leo. "Temen Kakak, sahabat Bang Aga juga," ucap gue menjelaskan. Gatra mengangguk, wajah kerasnya sedikit mengendur. Namun lain lagi dengan Jun yang menatap ke arah gue dengan kerutan alis yang semakin dalam.

"Temennya Bang Aga?" tanya Jun, ia mendekat ke arah Rayhan dan menepuk pundaknya, bersikap seolah-olah teman sebaya. Rayhan mengangguk kikuk, mengiyakan. "Nggak kerja jam segini?"

"Lagi libur," ucap Rayhan.

"Emang boleh ya jagain pacar temen di rumah sakit kayak gini? Kalau Jun jadi Bang Aga, Jun pasti nggak suka," ucap Jun polos, tanpa nada mengintimidasi sedikit pun. Namun, jika dilihat dari ekspresi terganggu yang ia keluarkan dengan jelasnya, semua orang tahu kalimat yang diutarakannya barusan adalah sebuah sindiran. Tingkat keposesifan Yiraga dan Jun memang cukup berbanding lurus jika Jun sudah benar-benar menemukan orang yang dicintai dan diincarnya secara sungguh-sungguh.

"Aga yang nyuruh Abang ke sini," balas Rayhan, membela diri dari kalimat menyudutkan yang dilemparkan Jun.

"Oh, bagus, karena kita udah di sini, Abang nggak usah repot-repot untuk tetep ada di sini," usir Jun secara terang-terangan.  Ia menarik tubuh Rayhan yang duduk untuk bangkit dan mengambil kursinya untuk ia duduki.

Rayhan menatap gue, yang langsung gue hindari dengan menatap ke arah lain. Melihat reaksi gue, Rayhan kemudian tersenyum sedih. Ia berjalan menghampiri ranjang dan mendekat. "Aku pulang dulu ya Git, besok aku akan ke sini lagi," pamitnya.

"Nggak perlu repot-repot Bang, Jun besok nggak ada mata kuliah dan Gatra juga cuma ada ekskul, kami lebih dari cukup untuk jagain Kak Git. Ditambah Bang Aga juga pastinya." Lagi-lagi Jun kembali bersikap kasar, Gatra yang melihat hal itu menyeringai dalam diam.

Rayhan tidak merespon perkataan Jun, ia hanya menjulurkan tangannya untuk menepuk kepala gue dengan lembut dan mengelus punggung tangan gue pelan. "Semoga cepet sembuh, Git," ujarnya tulus. Gue hanya mengangguk kikuk melihat bagaimana Jun dan Gatra yang memelototi tingkah Rayhan barusan.

Pintu pun tertutup, sosok Rayhan menghilang di baliknya. Jun dan Gatra memandang gue dengan tatapan aneh. "Itu bukan selingkuhan Kakak kan?" tanya Gatra tanpa basa-basi. Semenjak gue mengenal calon adik ipar yang kedua ini, ia sama sekali tidak peduli dengan hal lain selain game. Pertanyaan yang ia lontarkan barusan terasa cukup mengejutkan.

"Um, bukan," jawab gue sekenanya.

"Um? Kenapa Kakak ragu kayak gitu? Terus kenapa itu orang pegang-pegang Kakak kayak tadi? Aku liatnya aja kesel, apalagi Bang Aga!" Jun merapalkan kalimatnya dengan cepat, mencecar dan menghakimi, ia terlihat begitu marah.

"Kalian ke sini disuruh Aga?"

"Kok malah nanya balik?" Jun terheran. "Aku lagi nanya Kakak loh!" protesnya tak terima.

Gatra dan Leo memerhatikan dalam diam, Leo memasang mimik sedih melihat perdebatan dua orang yang disayanginya. "Kalian ini kenapa sih?"

"Jawab pertanyaan Kakak Jun," ucap gue penuh penekanan, meminta penjelasan.

"Bang Aga nggak nyuruh, tadi siang Bang Aga ke sekolah Gatra, anter tugas yang ketinggalan di mobilnya pas anter Gatra tadi pagi, terus Bang Aga bawa Gatra untuk makan siang di luar, hokben seberang sekolah lebih tepatnya. Kami berdua lagi makan siang bareng saat Bang Aga dapet telepon kalau Kakak masuk rumah sakit," jelas Gatra panjang lebar.

"Jadi begitu ..." ucap gue pelan. Ternyata kehadiran mereka bertiga hanyalah inisiatif mereka sendiri.

"Kenapa Bang Aga malah nyuruh temennya buat ke sini?" tanya Jun terheran. Gue mengangkat kedua bahu mengindikasikan bahwa gue juga tidak mengetahui alasannya.

"Emang Bang Aga belum ke sini?" tanya Gatra, kini alisnya mulai berkerut.

Gue menggeleng pelan, menunduk menggenggam selimut yang menutupi tubuh, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Gue tidak boleh terlihat cengeng, terlebih di hadapan ketiga anak ini.

Gatra memasang ekspresi terkejut yang amat sangat. "Bang Aga sampai buru-buru keluar dari restoran, nggak makan makanannya sama sekali. Nggak mungkin Bang Aga belum ke sini!" ujarnya keheranan.

"Tapi kenyataannya Abang kalian emang belum ke sini..." ucap gue parau, emosi yang berkecamuk dengan intens membuat suara gue sulit untuk keluar dengan benar, tenggorokan gue seolah tercekat dan sulit mengeluarkan kata. Seolah menyadari kesedihan yang gue rasa, Leo mendekat dan memeluk gue dengan erat.

"Kakak lagi berantem sama Bang Aga?" simpul Jun yang sudah mulai bisa mencerna situasi dengan sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Gatra dan Leo menyimak dengan khidmat, menantikan jawaban yang keluar dari bibir gue.

"Leo, Gatra, bisa keluar dan beliin Kakak roti di bawah? Kakak laper," ucap gue yang diangguki dengan antusias oleh Leo. Mungkin berbicara tentang hal ini dengan Jun yang sudah cukup dewasa akan lebih mudah, namun Gatra dan Leo masih terlalu muda untuk mengerti.

"Leo beliin roti dan donat yang banyak, tapi Kakak jangan sedih lagi ya?" pinta Leo. Gue mengangguk menyetujui, mencoba menyunggingkan senyum.

"Tolong ya, beliin yang banyak, Leo juga pasti mau kan?" ucap gue sembari mengelus kedua pipinya. Leo mengangguk antusias, dan menarik tangan Gatra untuk segera beranjak. Gatra pasrah diseret seperti itu oleh Leo, ia hanya menatap Jun seolah memberi isyarat yang diangguki oleh Jun, kemudian mereka berdua keluar dari kamar perawatan.

"Jadi, siapa cowok tadi, kenapa Bang Aga malah nyuruh dia ke sini buat nemenin Kakak?"

Dan dengan perlahan gue mulai mencurahkan kronologinya kepada Jun, tentang siapa itu sosok Rayhan, dan juga permintaan Yiraga untuk memikirkan kembali tentang pernikahan kami. "Ini bukan sesuatu yang sepatutnya Kakak ceritakan ke kamu, ini masalah kami dan seharusnya kami yang menyelesaikan. Kakak cuma nggak mau kamu salah paham dengan situasinya, Kakak nggak selingkuh seperti yang kamu pikir."

Jun menggeram kesal. "Bang Aga bilang kayak gitu?" tanyanya dengan tidak percaya. Gue mengangguk membenarkan. "Jun nggak habis pikir, apa yang ada di otak Bang Aga!"

"Sejujurnya Kakak juga nggak tahu apa yang ada di otak Abangmu itu saat ini."

"Jangan bilang ini ke orang lain Jun, terutama orangtua dan saudara kalian. Biar Kakak dan Abang kamu yang menyelesaikan ini, Abangmu mungkin cuma butuh sedikit waktu."

Jun menunduk, memandang lantai dengan ekspresi muram. "Kakak nggak akan nyerah kayak abang kan?"  tanya Jun khawatir.

"Kakak sayang banget sama Abang kamu, kalau nyerah sekarang, mungkin Kakak bakal menyesal seumur hidup. Mungkin Kakak perlu menyakinkan Abang kamu lebih jauh, kalau dia cuma satu-satunya yang Kakak mau, dan Rayhan adalah masa lalu Kakak, yang hanya menjadi bagian dari hidup Kakak, yang membawa Kakak untuk bertemu Abang kamu."

"Bang Aga pasti nyesel kalau harus ninggalin Kakak cuma karena cowok itu, Jun yakin banget." Jun memasang wajah muram. "Jun nggak mau punya Kakak ipar lain selain Kakak."

"Meski kalian ngeselin, Kakak juga bakal kangen banget kalau harus nggak ketemu kalian dalam waktu yang lama."

Pintu kamar perawatan kembali terbuka, kini Leo masuk sembari bersenandung, membawa dua lusin donat dan satu plastik besar berisi berbagai macam roti. "Pesanan Kakak dateng!"

"Leo ngerampok siapa sampai borong roti sebanyak itu?"

Gatra kemudian masuk ke dalam ruangan, menarik seseorang di belakangnya yang berdiri kikuk. "Bang Aga ada di kafe bawah tadi, lumayan kan jadi nggak ngeluarin duit beli donatnya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro