Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16.

"Tadi Affan ngomonga apa?" tanya Rayhan begitu memastikan gue memakai sabuk pengaman dan mobil mulai jalan ke luar gedung kantor.

"Beberapa urusan pekerjaan," dusta gue penuh pertimbangan, mengatakan hal sejujurnya pada Rayhan saat ini sepertinya tidaklah bijak.

Sepanjang perjalanan gue memilih diam bila Rayhan tidak bertanya, memikirkan rangkaian kata yang mungkin bisa gue gunakan untuk pembicaraan inti bersama Rayhan kelak.

"Kamu udah makan malem?" tanya Rayhan. Gue menggeleng, memberitahunya bahwa perut ini belum terisi apa pun sejak tadi siang. Pertemuan dengan Januar yang menguras energi juga mental ternyata membuat rasa lapar di dalam perut semakin menggelora.

"Aku akan bawa kamu ke tempat yang pasti kamu suka," ucap Rayhan. Mobil pun berjalan menyusuri padatnya ibu kota. Malam sudah semakin larut, tapi kondisi jalanan tetap saja padat, menyadarkan gue akan waktu yang terus berjalan, tidak diam di tempat.

Mobil berhenti, Rayhan membawa gue ke tempat kencan pertama kami, seolah menelusuri wisata masa lalu, ini terlalu mudah ditebak. Sejak awal gue mengetahui bahwa ia akan membawa gue ke sini.

"Ingat kita makan sepiring nasi goreng berdua di sini karena kamu mau beli banyak jajanan di pusat kuliner di ujung jalan?" tanyanya dengan antusias. "Aku masih ingat dessert kesukaan kamu di sini."

Memilih untuk tidak berkomentar, gue mengikuti langkahnya untuk masuk ke dalam rumah makan. Rayhan memesan semua menu yang biasa gue pesan dulu, tanpa kurang satu apa pun.

"Aku cukup takjub kamu masih ingat semuanya," ucap gue tulus. Bahkan sejak tiga tahun berlalu ia masih hapal betul bagaimana menu pesanan gue, nasi goreng dengan telur dadar tanpa garam, ditaburi kol mentah di atasnya dan juga tomat segar, segelas teh manis dengan sedikit es, dan juga dessert vanilla treasure tanpa boba dengan tambahan toping es krim matcha dan juga mochi.

"Kamu nggak tahu berapa lama aku udah menantikan momen kayak gini selama aku di offshore, setiap hari, sepanjang waktu yang buat aku bertahan selain orang tua aku ya momen-momen kebersamaan kita," ucap Rayhan dengan senyuman lebar. Tangannya meraih jemari gue, di mana cincin pertunangan gue dengan Yiraga bertengger dengan pongah, mengingatkan gue akan tujuan gue berada di sini.

"Rayhan... "

"Pesanannya Kak," seorang pramusaji menginterupsi, Rayhan melepaskan genggaman tangannya dan membantu sang pramusaji untuk merapikan makanan di atas meja.

Gue memejamkan mata. Kita selesaikan semuanya setelah makan...

"Aku bisa bawa kamu ke tempat yang jauh lebih baik dan layak dari ini, dengan penghasilan aku yang sekarang. Aku bukan mahasiswa yang nggak berpenghasilan kayak enam tahun yang lalu. Tapi buat aku tempat ini sangat spesial dan berkesan, aku harap kamu nggak keberatan."

"Aku sama sekali nggak keberatan, aku udah lama juga nggak ke sini," lebih tepatnya nggak mau pergi ke sini setelah kamu pergi. Tempat ini selalu identik dengan kamu di benak aku.

Menu yang kami pesan kembali berdatangan, saat semuanya sudah lengkap, Rayhan mempersilakan gue untuk mulai menikmati hidangan yang dulu selalu menjadi kesukaan kami. Setelah selesai menghabiskan hidangan utama dan menyisakan hidangan penutup, Rayhan kembali angkat suara. "Mungkin ini sedikit telat karena kemarin aku lebih sibuk menjelaskan, tapi aku ingin tahu bagaimana keadaan kamu setelah aku pergi?" ia bertanya dengan gugup.

Gue tersenyum masam, ini bukan sedikit telat, namun sangat telat. Tapi gue menghargai usaha Rayhan yang ingin mendengarkan kisah dari sudut pandang gue.

"Hal yang pertama aku lakukan setelah kamu pergi tanpa kabar tentunya menghubungi kamu. Ponsel kamu nggak aktif, beserta seluruh sosial media yang kamu punya."

"Ponsel aku--"

"Aku tahu, kamu udah cerita kemarin kalau kamu dicopet di bandara kan?" sela gue.

Rayhan menutup mulutnya dengan rapat, menanti kelanjutan cerita gue.

"Aku pergi cari kamu ke rumah orangtua kamu, tapi kata tetangga kamu, rumah kalian udah dijual dua minggu sebelumnya, dan Ayah Ibu kamu baru aja pindah dua hari sebelum aku dateng."

"Aku suruh Ayah Ibu untuk pulang ke Surabaya, di sana ada adik ibu yang bisa mengawasi mereka selama aku di offshore, aku nggak bisa biarin mereka sendirian tanpa kerabat di sini di umur yang nggak muda lagi."

"Seenggaknya kamu punya persiapan untuk meninggalkan orangtua kamu," ucap gue yang entah mengapa terdengar penuh sarkas di telinga gue sendiri. Rayhan menyadarinya, ekspresinya berubah menjadi murung.

"Nggak lama, semua akun media sosial kamu ditutup, aku nggak punya petunjuk sama sekali untuk kontak temen ataupun saudara yang kamu kenal."

Rayhan menunduk dalam, kelabu menggelayut pekat di sekitarnya. "Pasti pencurinya, aku nggak pernah otak-atik media sosialku semenjak aku pergi."

"Setiap hari, setiap malam, aku selalu bertanya-tanya tentang keberadaan kamu, apa alasan kamu untuk pergi begitu aja dari aku, apa salah aku, apa kekurangan aku hingga aku ... dicampakkan begitu aja."

"Aku nggak pernah mencampakkan kamu Git!"

"Itu asumsi kamu, yang tahu dengan jelas situasi dan juga alasan kamu untuk pergi!" Mengingat saat-saat terendah dalam hidup gue membuat dada ini sesak. Air mata gue menggenang, mendesak untuk dikeluarkan. "Untuk aku yang ditinggalkan tanpa kabar dan alasan sedikitpun, yang bisa aku lakukan cuma menyalahkan diri aku sendiri, aku merasa aku bukan perempuan yang layak sehingga aku diperlakukan seperti itu."

Air mata gue menetes di pipi, gue segera menghapusnya sebelum mengalir semakin banyak. Rayhan termangu di tempat, terlalu terkejut dengan kalimat yang gue keluarkan.

"Aku sama sekali nggak bermaksud buat kamu merasa seperti itu Git," ucapnya lirih.

Tenggorokan gue seperti terisi oleh bola ping-pong, terasa sulit untuk menelan. Untuk pertamakalinya gue membuka suara tentang hal ini selain ke sahabat gue, melainkan ke si pelaku yang sudah menjungkirbalikan dunia gue karena perbuatannya.

"Kepergian kamu dari hidup aku berdampak sangat besar. Satu tahun aku terpuruk, selalu menyalahkan diri aku sendiri atas kepergian kamu yang tiba-tiba. Sampai akhirnya Yiraga datang, memperlakukan aku dengan layak. Dia tahu tentang masa lalu aku, berusaha mengeluarkan aku dari belenggu dan perasaan selalu menyalahkan diri sendiri ini, dengan sabar dan juga gigih, sampai akhirnya aku kembali buka hati aku yang sempat hancur lebur karena kepergian kamu."

Wajah Yiraga yang lembut dengan lesung pipi manis sekelibat muncul di benak gue. Tersenyum teduh, menenangkan hati.

"Saat Yiraga menawarkan kepastian akan hubungan kami untuk dibawa ke jenjang lebih lanjut, nggak ada alasan buat aku untuk menolaknya setelah semua hal yang dia lakukan."

"Yiraga penyembuh untuk aku, dari luka yang kamu torehkan tanpa sadar Rayhan."

Setelah sekian lama terdiam, Rayhan akhirnya angkat suara. "Yiraga tahu masa lalu kamu?"

"Hanya secara garis besar, Yiraga nggak pernah tau kalau orang di masa lalu aku itu kamu."

Rayhan hanya menganggukkan kepalanya, seolah kehilangan kata untuk melanjutkan percakapan kami.

"Aku tahu kamu pergi demi kebaikan kamu, tapi kamu juga perlu paham, bahwa aku yang kamu tinggalkan tanpa kabar, sangat menderita."

Semoga setelah gue menjelaskan hal ini Rayhan mengerti, bahwa ini bukan karena tentang Yiraga yang lebih mapan darinya, melainkan karena Yiraga lah yang menyembuhkan hati gue setelah kepergiannya yang amat menyiksa.

.

.

Gue menelepon Kiky, menjelaskan situasi tentang Rayhan yang kembali, ketidaktahuan Yiraga dan Khairi, saran Affan, dan juga percakapan kami semalam. Kiky histeris dalam merespon, menurutnya kisah gue bagaikan drama korea yang acap kali ditontonnya. Kiky senang karena gue bisa menyelesaikannya dengan baik, meski ia protes kenapa ia tidak diberitahu lebih awal. Gue memberikan pembelaan bahwa hari pernikahannya sudah dekat, dan gue tidak ingin membebaninya dengan permasalahan ini, dan memutuskan menceritakannya setelah semuanya selesai.

"Jadi endingnya gimana Git?" tanya Kiky penasaran.

"Rayhan terlihat menyesal, dia minta maaf karena gue harus lewatin itu semua."

"Is that good ending?"

"It should be?"

"It should be? Kok lo kayak belum yakin gitu?"

"Affan bilang, kalau gue menyembunyikan hal kemarin dari Yiraga, itu termasuk selingkuh."

"Apa lo bisa menjelaskan ke Aga kalau lo kemarin ketemu Rayhan berdua tanpa lo menjelaskan masa lalu kalian?"

Gue menarik napas panjang dan menggeleng, lupa bahwa ini saluran telepon dan Kiky tidak bisa melihat gelengan kepala gue. "Enggak Ky," ucap gue pada akhirnya.

"Lo belum siap ya ngomong sama Aga?"

"Mempertimbangkan kedekatan Aga dengan Rayhan yang seperti Affan bilang, sepertinya gue harus menunda sampai pernikahan lo diselenggarakan."

"Lo nggak mau mereka terlihat canggung ya di acara pernikahan gue sama Khairi?"

"Bagaimana pun mereka berdua sahabat Khairi Ky, better safe than sorry?"

"Gue sangat mengapresiasi pertimbangan lo untuk kelancaran pernikahan gue, tentu gue ingin Khairi seneng dan dikelilingi sahabat-sahabat terbaiknya di hari bahagia kami. Thank you so much, Git. Lo emang selalu berpikir jauh lebih panjang dari siapa pun, bahkan mengabaikan kelancaran hubungan lo kedepannya. Gue yakin Aga pasti ngertiin lo kayak biasanya."

"Selamat untuk pernikahannya ya, jangan terlalu stress Ky. It's not good for the baby."

"Thank you my lovely bridesmaid! See you soon!"

Pernikahan Kiky dan Khairi diselenggarakan lusa, gue hari ini pergi ke tempat jahit untuk mengambil gaun bridesmaid yang akan gue kenakan di acara pernikahan Kiky dan Khairi. Setelah melakukan fitting tanpa perlu perubahan yang berarti, gue mengambil gaun gaun tersebut dan siap menggunakannya. Tak lupa menelepon make up artist teman Kiky untuk mendandani dan melakukan hair do saat hari sakral tersebut, semua persiapan telah siap dan ini membuat gue lega. Untuk hari besar seperti pernikahan sahabat, persiapan maksimal harus dilakukan. Gue ingin Kiky melihat bahwa sahabatnya juga tak kalah antusias dengan sang pengantin di hari pernikahannya, karena hal itulah yang gue harapkan di hari pernikahan gue kelak.

Sebuah dering telepon berbunyi, panggilan dari Yiraga.

"Kamu di mana?"

"Di tailor, mau pulang ke rumah."

"Tailor mana? Aku jemput."

"Yang kemarin kita pakai untuk acara tunangan."

"Tunggu, aku nggak lama."

Tut.

Sambungan telepon dimatikan.

Gue mengerutkan alis keheranan, Yiraga biasa selalu mencoba bersikap manis di segala situasi, panggilan tadi terlampau terus terang. Tak ada panggilan sayang yang selalu ia gunakan. Mau tak mau hal itu membuat gue merasa gundah.

Itu cuma pikiran lo aja Git, ini semua karena lo masih nyembunyiin sesuatu dari Aga makanya lo ngerasa nggak tenang. Sabar, dua hari lagi lo bisa dengan bebas menjelaskan semuanya tanpa mengkhawatirkan apa pun.

Sesuai perkataan, Yiraga tiba tidak lama kemudian, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai.

"Kok cepet amat sampainya Yi? Kantor kamu kan jauh dari sini?" tanya gue. Rasa penasaran menggelitik hati, bibir tak kuasa menahan lebih lama lagi.

"Aku kebetulan habis ketemu seseorang di deket sini tadi," jawab Yiraga.

"Seseorang?" tanya gue dengan heran. Yiraga biasanya akan menjelaskan dengan detail tentang nama, dan bagaimana ia bisa mengenal orang tersebut dan apa keperluan pertemuan mereka.

Yiraga mengangguk, mengabaikan pertanyaan gue. Gue mulai merasakan sesuatu yang salah tengah terjadi. Gue mempunyai suatu kecurigaan terkait hal ini, dalam hati gue terus berdoa semoga dugaan gue salah.

"Kamu keberatan nggak kalau kita pergi ke alun-alun deket rumah kamu dulu sebelum aku antar pulang?"

Kalimat Yiraga membuat dugaan gue kian menguat, genggaman gue ke goodybag tempat gaun yang akan gue kenakan dua hari lagi di pangkuan menguat. Gue mengangguk dengan kikuk untuk menjawab pertanyaannya.

Mobil berjalan dengan kecepatan konstan, seperti jantung gue yang berpacu konstan dengan cepat. Perasaan gue mendadak tidak enak, kekhawatiran menyergap dengan hebat.

Suasana di alun-alun cukup ramai, beberapa pasang muda mudi terlihat memadu kasih dengan mengobrol, memakan camilan, maupun bersanda gurau. Yiraga memarkir mobilnya di ujung alun-alun yang cukup sepi.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang ke aku kalau Rayhan orangnya?"

Ucapan Yiraga membuat jantung gue seakan lari ke perut, dan sesuatu di perut gue memberontak dengan hebatnya. Kecurigaan gue terbukti sudah.

"Jadi seseorang itu Rayhan?" ucap gue sehalus angin. Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan lebih ke sebuah pernyataan. Cepat atau lambat Yiraga pasti akan tahu, namun gue sama sekali tidak menyangka akan secepat ini.

Menarik napas panjang, gue mencoba menghadapi situasi ini dengan tegar. "Apa aja yang Rayhan omongin ke kamu?"

"Semua. Hubungan kalian di masa lalu, alasan dia pergi yang sebagian besar kita dengar bersama, juga percakapannya dengan kamu di tangga darurat, dan di kafe tempat kalian kencan pertama kemarin."

Yiraga menyampaikan kalimatnya dengan lancar dan tenang, tidak seperti saat konflik dengan Januar dulu. Namun gue sangat menyadari kepedihan dalam nada suaranya.

"Sebelum aku menjelaskan apa pun, aku minta maaf sama kamu karena nggak jujur tentang hal ini sebelumnya."

Yiraga diam, namun gue yakin dia mendengarkan.

"Aku bukan melakukan pembelaan, tapi kehadiran Rayhan mengejutkan aku juga. Aku nggak tau kalau kalian ... bersahabat. Itu terlalu berat untuk otak dan hati aku tangani."

"Kenapa kamu nggak ngomong sama aku soal ini?"

"Aku akan ngomong sama kamu. Sejak awal Rayhan muncul, satu-satunya hal yang aku pikirkan adalah bagaimana cara menjelaskan hal itu ke kamu. Tapi aku juga perlu mempersiapkan diri aku. Aku cuma butuh waktu yang tepat."

"Waktu yang tepat? Kapan? Setelah kita menikah?" tanya Yiraga dengan menuntut.

"Aku berencana membahas hal ini setelah pernikahan Kiky dan Khairi Yi, aku nggak mau ada kecanggungan di antara kita saat acara Khairi dan Kiky berlangsung. Kiky sahabat aku, Khairi sahabat kamu dan juga Rayhan, aku cuma ingin mereka bahagia di hari pernikahan mereka tanpa harus terbebani dengan masalah kita."

"Canggung?" Yiraga bertanya dengan sangsi.

"Aku kenal kamu Yi, betapa kamu amat sangat menghargai sahabat-sahabat kamu termasuk Rayhan. Situasi saat ini pasti akan berdampak sedikit banyak akan sikap kamu kepada aku, maupun Rayhan," jelas gue. "Kalau enggak, kamu nggak akan mungkin langsung jemput aku dan membahas soal ini malam ini juga."

Tangan gue terjulur untuk mengusap bahunya yang terlihat begitu tegang saat ini. "Yi, aku sama sekali nggak bermaksud untuk menyembunyikan ini semua dari kamu."

Yiraga menundukkan wajahnya ke arah kemudi, dan menyandarkan kepalanya ke setir mobil. "Git, aku rasa kamu harus pertimbangin lagi tentang rencana pernikahan kita."

Jantung gue terasa diremat begitu kuat saat mendengar kalimat yang Yiraga lontarkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro