Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15.

Gue ingin bertanya mengenai seberapa jauh hubungan persahabatan Yiraga dengan Rayhan, dan satu-satunya orang yang menurut gue cocok untuk menjawab pertanyaan ini, tidak lain dan tidak bukan ialah Khairi. Selain instingnya yang tidak setajam Affan, Khairi juga calon suami sahabat gue, jika ia berasumsi macam-macam, tentu Kiky akan dengan mudah membantu gue untuk menepis semua kecurigaannya. Sayang keinginan hanyalah sebatas niat yang tidak kesampaian. Nyatanya Khairi hari ini izin dari kantor untuk mengurus pesta pernikahannya yang sebentar lagi akan dihelat. Tekad gue yang sudah kukuh dihempas begitu saja, layaknya buih di lautan.

Opsi lain adalah bertanya pada Affan, namun hal itu sama saja dengan menggali liang kubur sendiri. Tatapan penuh kecurigaan yang ia layangkan kemarin belumlah hilang dari benak gue. Bahkan saat ini gue berasumsi bahwa Affan telah mengetahui bahwa ada sesuatu di antara gue dan Rayhan.

"Lo ngga pulang Git?" tanya Rizka keheranan. Tangannya bergerak untuk merapikan charger dan ponsel ke dalam tas, bersiap untuk pulang.

"Masih ada beberapa file yang harus gue kerjain, kalian duluan aja," ucap gue mencoba bersikap senormal mungkin. Gue sengaja memundurkan jadwal pulang dari pukul lima sore ke tujuh malam untuk bertemu dengan Rayhan.

Pergi dengan Rayhan di saat puncak padatnya karyawan pulang kerja merupakan ide buruk. Pasti akan ada banyak gosip dan asumsi miring tentang gue nantinya. Setidaknya gue harus mempertahankan reputasi yang sudah cukup tercoreng akibat perkelahian antara Yiraga dan Januar kemarin, selentingan kabar tak menyenangkan dari kantor cabang sudah mulai bergaung hingga ke kantor pusat, menjadi buah bibir sungguhlah tidak menyenangkan.

"Kalau begitu kita duluan ya!" Pamit Mail, ruangan segera berubah menjadi sunyi selepas kepergian rekan-rekan satu tim gue, tidak ada Khairi membuat mereka memanfaatkan situasi untuk pulang tepat waktu. Di luar ruangan gue hanya sisa beberapa karyawan lembur dari divisi lain yang berlalu lalang.

Gue mendudukkan diri di kursi dan bersandar, merenungkan tentang bagaimana cara menghadapi Rayhan nanti. Sepertinya menginterupsi pembicaraan dan memutuskan secara sepihak begitu saja seperti kemarin tidak akan berhasil. Buktinya Rayhan tetap bersikukuh untuk mengajak bertemu hari ini.

Mendengarkan semua penjelasannya untuk mengikis rasa penyesalan yang ia rasakan terdengar cukup baik dan logis. Mungkin setelah ia lega mengungkapan segalanya secara langsung, Rayhan akan menyadari situasi saat ini dan menuntaskan segalanya.

Tapi bagaimana kalau lo luluh Brigita?

Gue menggelengkan kepala keras untuk menepis pikiran yang baru saja melintas. Gue tidak boleh luluh, dan tidak akan luluh. Sebaik apa pun tujuan Rayhan untuk pergi, ia melakukannya tanpa penjelasan. Hubungan ini telah berakhir di saat Rayhan memilih untuk pergi tanpa sebait pesan pun. Yiraga adalah pria terbaik untuk gue.

Pintu ruangan yang terbuka membuat gue terkesiap kaget, Januar masuk ke dalam ruangan, dari penampilannya yang sedikit acak-acakan ia pasti baru saja kembali dari kantor cabang. Tadi pagi ia pergi bersama Jihan, saat gadis itu pasti memilih untuk langsung pulang dan berkencan begitu menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Januar, apa yang ia lakukan di sini?

"Lo nggak pulang?" tanya gue dengan spontan.

Januar menggeleng. "Khairi minta report cabang Kayu Besar Utama besok pagi di mejanya, harus gue selesaiin malam ini."

Gue mengangguk singkat, mencoba bersikap tenang meski dalam hati merutuki situasi. Bisa-bisanya beban pikiran gue ditambahkan lagi dengan kehadiran Januar yang tidak diharapkan sama sekali. Ini pertamakalinya kami hanya berdua saja pasca kejadian prank ketiga adik Yiraga saat itu.

Pandangan Januar terlihat sedikit tidak fokus, kedua alisnya berkerut dalam. "Lo sendiri?" Januar balik bertanya.

"Ada beberapa file yang harus gue selesaiin," jawab gue mencontek jawaban percakapan dengan Rizka sebelumnya.

"File apa? Komputer lo udah mati tuh," ujar Januar seraya mengarahkan telunjuknya ke komputer berlayar gelap di hadapan gue. Kemudian ia melemparkan senyuman meremehkan yang membuat gue mati kutu.

Shit.

Gue menorehkan senyuman canggung. Januar dan otak cerdasnya bisa membuat gue tidak berdaya dalam kurun waktu singkat. "Sekarang udah selesai," dalih gue kikuk. "Tadi, ada beberapa file yang gue kerjain."

"Terus sekarang lagi nunggu cowok lo jemput?" tebak Januar.

Gue mengirim senyuman kikuk. "Um, iya, gue nunggu dijemput," jawab gue tidak sepenuhnya berbohong. Degup jantung gue bertalu, rasa gugup menyergap hingga ke tulang belakang. Kenapa situasinya menjadi lebih rumit dari yang gue bayangkan?

"Ada sesuatu yang lo sembunyiin ya? Atau lo masih belum merasa nyaman untuk berada di dekat gue?"

Pertanyaan Januar seolah menjatuhkan beban sepuluh kilogram di kepala gue. Skenario pertemuan gue dengan Rayhan saja belum rampung di kepala, kini gue harus menghadapi alur lain yang tiba-tiba saja melintas di depan muka. Oh Tuhan, rasanya lebih baik menjadi tumbal proyek gedung baru di bagian belakang.

"Kenapa lo berasumsi kayak gitu Jan?" tanya gue keheranan.

"Lo nggak pernah mau untuk berdua doang sama gue di dalam satu ruangan sebelumnya," ucap Januar. Sikap gue yang terus menghindarinya bila ada kesempatan berdua saja tanpa rekan kerja yang lain disadarinya dengan penuh.

"Buktinya seka--"

"Gue nggak bicara soal sekarang, tapi sebelum-sebelumnya," potong Januar yang membuat bibir gue terkatup rapat. "Mata lo yang selalu nggak fokus, mencoba mengabaikan setiap kontak mata yang gue buat, selalu ngekorin Jihan, Rizka, Ara ke mana-mana."

Spontan gue menatap manik legam milik Januar. "See, sekarang lo baru natap gue, sebelum-sebelumnya enggak," racau Januar."Lo mengabaikan gue di setiap kesempatan. Sehari dua hari pertama gue mencoba memahami dan gue juga membutuhkan jarak yang sama. Tapi setelah waktu berlalu, di saat gue mencoba untuk bersikap normal layaknya rekan kerja, temen lo yang dulu, lo tetep bangun tembok tingi-tinggi di tengah-tengah kita. Kehilangan sosok lo sebagai temen gue itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan penolakan lo malam itu."

Gue menelan ludah gugup. "Setelah semua yang terjadi, terlalu canggung untuk gue berada berdua aja sama lo Jan," ungkap gue jujur. "Ada hati yang harus gue jaga."

Januar tersenyum miris. "Jadi cowok lo yang nyuruh lo lakuin semua ini?"

"Yiraga nggak pernah menuntut apa pun dari gue, semua sikap gue ke lo semata-mata karena pilihan yang gue lakukan!" Gue memberikan pembelaan atas tuduhannya pada Yiraga.

"Kalau lo nggak punya perasaan sedikit pun sama gue seharusnya lo bisa bersikap biasa aja kan?"

Tidak lagi. Gue tidak ingin terjebak di dalam situasi seperti ini lagi.

"Jan, bukankah jawaban gue malam itu di mobil lo sudah jelas?" Gue balas bertanya. "Mengenai sikap gue selama ini gue minta maaf, gue nggak bermaksud untuk mengabaikan lo."

Januar mengusak rambutnya frustasi. "Lo lebih dulu kenal sama gue Git! Di saat lo patah-patahnya karena cowok lo yang tiba-tiba hilang, gue coba menghibur dan ngisi hari-hari lo, kenapa lo pilih Yiraga?" ucap Januar dengan meledak-ledak, wajahnya terlihat memerah sempurna sekurang.

Batin gue bertanya-tanya akan Januar yang bertingkah aneh, gue pun melihat ke arah tas nya, di sana terdapat ujung botol berwarna merah yang menonjol ke luar dari dalam tas, tak cukup tertutupi oleh seleting tas miliknya.

Sebotol wine.

"Lo mabok Jan," ucap gue sembari melihat ke arahnya. Menyadari marabahaya yang mungkin saja muncul, dengan perlahan gue merapikan perlengkapan ke dalam tas, bersiap untuk pergi.

"Gue nggak mabuk, tapi alkohol kasih efek gue untuk lebih berani ungkapin isi hati gue."

"Gue rasa sekarang bukan waktu yang tepat," tolak gue sehalus mungkin.

"Tiga tahun Git," ungkap Januar lirih. Gue dapat melihat bola matanya yang berkaca. "Seharusnya gue nggak menjadi seorang pengecut yang cuma memakai topeng pertemanan dalam mendekati lo."

Gue memejamkan mata, suara Januar yang lirih cukup mengiris hati. Fakta bahwa gue lah penyebab Januar rekan kantor yang paling ceria dan si pembawa suasana menjadi seperti ini membuat dada gue terasa sesak. Bukan, perasaan ini bukanlah karena gue memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Gue hanya membenci suasana yang berubah di antara kami karena pernyataan cintanya.

Hening. Tidak ada suara. Januar masih berdiri terpaku di tempat, melihat lantai, seolah itulah satu-satunya hal yang paling menarik yang ada di ruangan ini.

"Lo tahu apa yang sebenernya paling penting Jan?" Gue menjeda kalimat, memastikan Januar mendengarkan kelanjutannya. "Lo mungkin menunda saat itu, tapi waktu enggak. Dan ada hal-hal yang nggak bisa kita atur di dunia ini, seperti memilih kepada siapa kita untuk jatuh cinta. Jangan buang waktu, tenaga dan pikiran untuk suatu yang sia-sia. Lo bisa cari kebahagiaan lo sendiri Jan,"

"Gue sayang sama lo sebagai temen gue, ngelihat lo kayak gini buat gue sakit juga."

"Percayalah Jan, suatu saat lo akan menemukan yang terbaik di waktu yang tepat."

Gue memilih untuk meninggalkan Januar yang masih terpaku di tempatnya. Mencoba mengabaikan kemungkinan kalimat balasan yang akan ia lontarkan.

Dalam hati gue mengangumi orang-orang yang bisa bersikap biasa saja setelah mendapat pernyataan cinta mendadak dari orang terdekatnya. Menunggu lima belas menit di lobi terasa lebih baik dibandingkan harus terjebak di ruangan berdua dengan Januar, setidaknya itu kesimpulan gue sampai Affan muncul dan ikut menunggu supirnya di lobi.

"Brigita, baru pulang?" tanya Affan.

Gue mengangguk kikuk. "Iya, Pak. Lembur."

"Berhubung jam kantor sudah selesai. Gue mau bicara sebagai sahabat Aga dan juga Rayhan."

Gue menoleh, menatap Affan dengan gugup. Sementara ia hanya memandang jauh ke depan dengan tangan yang dimasukkan ke dalam kantung, bersikap cool seperti biasa. "Soal Rayhan...."

Perut gue mendadak melilit.

"Secara garis besar, sepertinya gue bisa menebak apa yang terjadi di antara kalian."

Tidak ada nada menghakimi. Affan terdengar bijak untuk memulai pembicaraan ini.

"Rayhan and Aga was very close. Bisa dibilang yang paling dekat di antara kami. Mereka kenal sejak SMP, Rayhan adalah sosok hero untuk Aga yang menyelamatkan dia dari kehidupan penuh bully-an saat masa SMP. Dibandingkan dengan kami yang baru bertemu saat kuliah, persahabatan mereka jauh lebih dekat."

Gue masih diam, menyimak dengan seksama penjelasan Affan.

"Hubungan mereka yang sangat dekat mungkin akan membuat kalian lebih mudah menemukan jalan keluar."

Gue menggigit bibir. Tak menyangka Affan menjelaskan informasi yang gue butuhkan tanpa diminta.

"Rayhan minta ketemu untuk bicara berdua tentang hubungan kami malam ini," ungkap gue jujur. Entah mengapa merasa lebih rileks untuk mengatakan kebenarannya pada Affan.

"Mungkin masih banyak yang harus dia ungkapkan secara lebih privat," ujar Affan terdengar penuh pengertian. "Itu wajar."

"Yiraga masih belum tau sampai saat ini, gue... gue nggak tau bagaimana harus jelasinnya,"

"You have another choice, biarkan Rayhan yang explain ke Aga."

"Kalau Rayhan nggak mau ngelepasin gue?"

"What's the matter? Yang terpenting di sini bukan siapa yang pilih atau mempertahankan lo. Tapi siapa yang lo pilih."

Perkataan Affan membuat beban di kepala gue terangkat. Ia benar, ini bukan tentang siapa yang memilih atau mempertahankan gue, tetapi tentang siapa yang gue pilih.

Sebuah mobil Honda Accord berwarna white orchid sampai di depan lobi, jendela terbuka dan menampilkan sosok Rayhan yang turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang.

Gue menoleh ke arah Affan yang tinggi menjulang. Ia memberikan senyuman tulusnya ke arah Rayhan, kemudian menepuk bahu gue pelan untuk memberikan semangat. "Semoga semuanya berjalan lancar ya Git,"

"Apa ini tergolong selingkuh?" tanya gue pelan pada Affan.

Tawa Affan hampir meledak, namun ia menahan diri saat menyadari tatapan heran Rayhan yang berjarak delapan meter dari kami. "Kalau lo merahasiakan hal ini dari Aga, mungkin dapat digolongkan dalam kategori perselingkuhan," ucapnya penuh canda.

Ah, Affan tahu bagaimana cara mencairkan suasana hati gue yang kalut.

"Gue beruntung punya bos kayak lo!" ucap gue seraya berjalan menjauh, bersiap untuk menghadapi Rayhan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro