Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Yiraga mengantarkan gue ke dalam kamarnya, ini bukan pertamakalinya gue menginjakkan kaki di ruangan ini, namun ini yang pertamakali gue akan tidur dan menginap di sini karena biasanya gue menginap di kamar tamu yang ditempati Leo malam ini. Suasana kamar dengan cat abu-abu dan interior mayoritas hitam ini tiba-tiba berubah menjadi canggung saat Yiraga menutup gorden jendela kamarnya. 

"Kamu istirahat di sini ya," ujarnya sembari membuka selimut dan merapikan posisi bantal.

"Kamu mau tidur di mana Yi?" 

Yiraga terdiam sejenak, kemudian bibirnya mengulas sebuah senyuman, "Kamu masih calon istriku,"

"Lantas?" tanya gue bingung karena Yiraga malah menjawab dengan kalimat tidak nyambung.

"Kalau udah jadi istri, jangan ditanya," 

Gue menggeleng pelan mulai mengerti ke arah mana pikiran Yiraga berjalan. "Itu pertanyaan Yi, bukan sebuah ajakan untuk tidur bareng."

"Maaf, aku salah tanggap kalau begitu." Yiraga menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Aku masih kangen sebenernya sama kamu."

"Pillow talk?" tawar gue yang dijawab anggukkan Yiraga, kemudian ia mulai merebahkan dirinya di kasur. "Nothing more ya," ucap gue mengingatkan.

"Sesuai janjiku sama orang tuamu, aku akan tetep jaga kamu sampai saat itu tiba, aku nggak mau merusak kamu, aku cuma perlu waktu lebih lama di deket kamu setelah semua yang terjadi hari ini."

Gue mengangguk, melepaskan ikatan rambut dan mulai membaringkan diri di samping Yiraga untuk mencari posisi nyaman, ia menatap gue dan merapikan anak rambut yang sedikit berantakan. "Tolong jangan pernah kayak gitu lagi," pinta Yiraga memohon.

"Aku akan memperbaiki diri," balas gue.

"Thank you,"

"Jujur aku syok lihat marahnya kamu, aku nggak nyangka kamu sampai nonjok orang dan kebut-kebutan kayak tadi."

"Satu-satunya yang aku sesali hari ini adalah aku bawa kamu ngebut sampai kamu ketakutan dan mengabaikan keselamatan kita berdua. Aku akan memperbaiki diri dan mengontrol emosi aku lebih baik lagi kedepannya."

"Soal nonjok orang?"

"Kalau soal itu aku nggak menyesal sedikit pun," jawab Yiraga yang membuat gue sontak menatapnya heran. "Dari semua temen kantor kamu, cuma dia yang bikin aku nggak nyaman saat kamu lagi bareng dia, apalagi pas cuma berdua."

"Alasannya?"

"Tatapannya ke kamu, aku nggak suka."

"Tatapan apaan?"

"Tatapan yang terlihat terlalu mendamba."

"Jadi kamu cemburu sama Januar?"

"Kalau enggak, aku nggak akan begitu tadi."

***

Pillow talk yang kami lakukan di hari sebelumnya membuat hubungan kami jauh lebih membaik. Semalam gue terlelap lebih dulu dan tidak menemukan Yiraga di dalam kamar di pagi hari. Saat beranjak ke dapur untuk mengambil air minum, gue menemukannya tertidur di sofa lantai satu. Ia benar-benar menepati janjinya untuk tidak tidur di kamar yang sama, terlebih sampai menyentuh gue.

"Kak Gita," sapa Leo dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

"Kenapa Le?"

"Laper," jawabnya sambil mengucek mata.

"Kakak siapin sarapan, sekarang kamu gosok gigi dan cuci muka dulu ya?"

Leo mengangguk dan kembali menghilang dari dapur. Gue menyiapkan satu kopi hitam, satu kopi susu dan dua susu untuk Yiraga dan adik-adiknya. Wangi dari minuman yang menguar dari dapur mulai membangunkan penghuni rumah yang lain.

"Kak, bisa nggak tiap pagi di sini?" tanya Gatra dengan mata sayu dan terlihat masih mengantuk, sepertinya ia bermain gim semalam suntuk. Gatra menggenggam gelas susu miliknya dan menenggaknya hingga tersisa separuh.

"Tunggu empat bulan lagi ya Gatra," jawab gue.

"Kakak sama Abang tinggal di sini apa nempatin rumah baru Abang ntar?" tanya Gatra lagi, sorot matanya terlihat sangat penasaran saat ini.

"Rumah Abang," jawab Yiraga yang baru saja bergabung di tengah kami.

"Kenapa nggak di sini aja sih? Biar rame," keluh Gatra.

"Biar nggak diganggu kalian," balas Yiraga sambil mengacak rambut Gatra jahil.

"Kita emang bakal ganggu apaan sih?" protes Jun tidak terima. Ia kemudian menghampiri gue dan merengek di tangan gue. "Kak, bilang kek Kakak mau tinggal di sini aja, nggak usah di rumah Abang," pinta Jun merajuk.

"Leo boleh tinggal sama Abang di rumah baru nggak?" tanya Leo polos yang membuat Yiraga sontak melirik ke arah gue. "Leo janji jadi anak baik deh Bang," rayunya kemudian.

Gue menggendikkan bahu dan menahan senyum mendengar rengekkan dan rayuan para biang kerok.

"Mau cepet punya ponakan nggak?" tanya Yiraga yang sontak membuat pipi gue memerah.

Gatra menggaruk kepalanya. "Mau juga sih, tapi mau Kak Gita di sini juga. Emang nggak bisa apa bikinnya di sini aja?"

"Ya bisa lah Gatra, cuma mungkin nggak bisa sering aja, nggak bisa di sembarang tempat juga," timpal Jun.

"Ini ngomongin apaan sih?" tanya Leo bingung.

"Jun, stop here." Yiraga memberi peringatan.

"Ya di sembarang tempat juga nggak akan kita intip juga kali Bang live action-nya, santai aja."

"Gatra!" tergur Yiraga kembali.

Gue menggeleng pelan melihat topik ini mereka angkat di waktu sarapan pagi. Benar-benar membuat sakit kepala.

***

Setelah mengantar gue pulang dan menunggu gue bersiap, Yiraga mengantar gue ke kantor. Di lobi kami sempat berpapasan dengan Januar yang pergi bersama Jihan ke kantor cabang. Dan tatapan tidak suka yang Yiraga tunjukkan membuat gue cukup gentar dan berniat mengubur dalam-dalam pengakuan cinta Januar malam itu.

Sejujurnya gue masih bingung bagaimana cara memenuhi permintaan Januar yang meminta gue untuk tetap menjadi temannya di saat Yiraga begitu antipati terhadapnya.

"Nanti pulang aku jemput ya, kita ketemu Kristi untuk bahas gaun pernikahab" ujar Yiraga sembari mengelus tangan gue lembut. Gue mengangguk singkat. "Aku janji nggak akan telat lagi."

Sesampainya di ruang kerja, rekan-rekan langsung memberondong gue pertanyaan.

"Eh, ceritain gimana lo sama Yiraga kemarin!" pinta Handika seperti ibu-ibu rumpi.

"Panjang kalau ceritain detail. Tapi intinya gue sama Aga baik-baik aja."

"Sumpah ya gue serem banget ngeliat laki lo melototin Khairi kemaren. Gue pikir mereka mau tonjok-tonjokan kemarkn. Eh, ternyata Aga malah nonjok Januar," komentar Ada.

"Orang diem memang marahnya luar biasa, gue lihat sendiri hasil karya Aga di muka Januar," ucap Yudistira yang membuat gue mencibir dalam hati.

Karya katanya? Huh.

"Januar kemarin malam dateng ke rumah gue," ungkap gue jujur.

Reaksi mereka semua kurang lebih sama, menganga tidak percaya dengan pernyataan gue baruaan.

"Januar udah sinting beneran gue rasa, abis ditonjok cowoknya masih aja dateng. Aduh gue takut deh kalau dia dateng ke nikahan lo ntar," komen Handika spontan yang diamini oleh lainnya.

"Siapin hape pas Januar naik ke pelaminan, siapa tau ada kejadian mengejutkan yang bisa jadi FYP tiktok," timpal Ara yang membuat gue mendelik. Bisa-bisanya ia berpikir demikian.

"Gue setuju banget tuh!" sahut Ilham.

"Gue mau nanya sama kalian, sejak kapan sebenernya Januar kayak gitu?" tanya gue ragu.

"Gitu gimana?" tanya Handika bingung. Mereka saling beradu pandang satu dengan yang lain, kecuali Yudistira.

"Dia naksir Lo dari awal lo masuk kantor," terang Yudistira.

Gue masuk kantor ini sebagai anak baru sekitar dua tahun yang lalu, saat masih masa penjajakan dengan Aga.

"Selama itu?" pekik Rizka spontan, sementara yang lain menganga tidak percaya.

Yudistira mengiyakan tanpa ada raut keisengan di wajahnya. Tanda bahwa ia sedang benar-benar serius sekarang.

"Kalah start dia sama Aga, padahal Lo jomblo lama," jelas Yudistira.

"Terus kenapa dia baru ngegasnya sekarang di saat Brigita mau nikah?!" sungut Ara kesal.

"Dulu dia mikirnya ya kalau jodoh nggak akan ke mana, padahal kan kalau mau dapet jodoh juga harus berusaha Dia mikirnya lo nggak bakal bertahan lama sama Yiraga."

"Aga minta gue jaga jarak sama Januar," ucap gue penuh penyesalan. Sepertinya suasana kantor memang tidak akan bisa kembali seperti semula.

"Wajar lah, Kalau gue mungkin udah suruh lo keluar kantor dan cari kerjaan baru Git," timpal Ilham.

"Jadi ini sisi posesifnya para lelaki?"

"Bukan posesif juga sih, cuma gimana ya, biar sama-sama lebih tenang aja. Gue kalau tau calon istri gue ada yang naksir di kantornya cukup ketar-ketir sih," timpal Handika.

"Kayaknya kalau itu mah karena lo nya nggak percaya diri aja. Kalau lo punya kedudukan dan tampang macam Aga gue rasa Lo nggak akan khawatirkan Januar. Cukup Brigita jaga jarak aja." Rizka berpendapat.

"Cemburu bukan hanya untuk orang yang nggak percaya diri kali," balas Ilham. "Kalau belum ada ikatan resmi itu presentasenya cukup tinggi."

"Nanti gue bantu nasihatin Januar deh untuk menghentikan kegilaannya ini. Kesempatan yang udah terlewat tentu nggak akan pernah bisa dia raih lagi."

"Itu lebih baik dibandingkan Aga nonjok dia lagi," timpal Ara.

Khairi yang datang membuat kami membubarkan diri. "Git, ke ruangan gue," titahnya kemudian.

"Ada yang bisa dibantu Pak?" tanya gue penuh formalitas. Meskipun atasan di depan gue ini adalah teman calon suami gue, tentu gue tetap tidak boleh bersikap seenaknya.

"Gimana Aga kemarin?" tanya Khairi.

"Baik-baik aja,"

"Lain kali kalau ada masalah pribadi selesaiin dulu, izin sehari dua hari kan bisa dibanding sampai heboh-heboh kayak kemarin," nasihat Khairi yang membuat gue menelan ludah gugup.

"Baik Pak,"

"Oh iya, sebagai pacar sahabat Lo, Kiky nanya Lo beneran nggak apa-apa kemarin?"

Gue mengangguk. "Nggak apa-apa, lo tau Yiraga orang seperti apa kalau sama gue kan? Tenang aja," ucap gue menanggalkan segala formalitas.

"It's good. Dan satu lagi, sebagai teman Yiraga gue mau sampaikan sama lo satu hal."

"Apa itu?"

"Aga nggak setangguh kelihatannya kalau berurusan sama perempuan. Dia bisa galau berlarut-larut bahkan melakukan beberapa hal nggak masuk akal dan terkesan bodoh."

"Maksudnya?"

"Contoh kecil, kemarin dia cari-cari lo sampai ke sini. Terus waktu mantannya kepergok jalan sama cowok lain sama salah satu temennya dan dikasih bukti foto, dia masih percaya sampai akhirnya dia lihat dengan mata kepalanya sendiri."

"Thank you, Khairi."

"Sekarang tolong antar berkas ini ke Bos Affan, proposal kerjasama ini bakal dirapatin nanti siang. Kalau dia nggak ada, titip sekretarisnya aja. Jangan sampai ketemu cowok baru lo, ntar Yiraga uring-uringan ke gue sama Affan."

Affan adalah pemilik perusahaan ini, pertemuan pertama gue dengan Yiraga pun terjadi di ruangannya. Saat itu Yiraga sedang bertandang ke kantor milik Affan dan gue sedang Khairi suruh untuk mengantarkan berkas. Pertemuan singkat yang kemudian bertahan hingga detik ini.

Saat menanyakan pada sang sekretaris, ternyata Affan sedang berada di tempat dan gue dianjurkan untuk mengantarkannya langsung.

"Hai, Brigita, apa kabar?" sapa Affan saat melihat sosok gue.

"Baik Pak," cicit gue pelan. Entah mengapa gue memiliki firasat bahwa Affan akan menasihati gue seperti Khairi tadi.

"Gimana kabar Aga?"

"Cukup baik," jawab gue kikuk.

"Syukurlah," balas Affan dengan tenang. "Ada keperluan apa ke sini?"

"Ini ada berkas dari Pak Khairi, Pak." Gue menaruh berkas yang Khairi berikan di meja Bos Affan. Baru saja Affan ingin mengambilnya, telepon miliknya yang terhubung dengan meja sang sekretaris berbunyi.

Affan me-loudspeaker panggilan tersebut.

"Ya, Nita, ada apa?"

"Ada tamu yang ingin bertemu Pak. Beliau belum membuat janji namun tetap bersikukuh untuk bertemu."

"Siapa namanya?"

"Fan, ini gue Rayhan, ada hal penting yang harus gue tanyain sama lo sekarang."

Suara yang amat sangat familiar itu membuat jantung gue mencelos seolah tak lagi ada di tempatnya. Mantan pacar terindah yang sempat hilang dari kehidupan gue kembali datang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro