07
Dalam keadaan bingung dan kalut, satu-satunya nama yang terlintas di benak saat ini adalah Jihan, karena ia baru saja mengirim gambar menu makan malamnya di salah satu restoran hits yang ingin kami datangi ke group anak-anak kantor.
Setelah dua nada panggilan, telepon pun diangkat.
"Langsung nelepon aja lo, ngiri ya lo belom sempet ke sini dan gue udah?" pamer Jihan di seberang telepon sambil tertawa.
"Jihan..." ucap gue dengan serak, menahan isak tangis.
Tawa Jihan meredup, kemudian bertanya dengan tidak yakin. "Git? Are you okay?"
"No, I'm not okay," ucap gue tercekat. "Bisa kita ketemu sekarang" lanjut gue setelah mengambil napas panjang.
"Lo di mana? Biar gue yang ke sana."
Setengah jam kemudian, Jihan datang ke tempat yang gue tunjuk. Sebuah kafe di dekat kampus tempat gue menuntut ilmu dulu. Jihan datang bersama dengan Tristan, sang kekasih yang juga merupakan salah satu teman gue saat kuliah dulu.
Jika gue mengajak Rizka bertemu, tentu Yudis akan mengetahui hal ini. Gue tidak ingin hubungan gue dan Januar akan semakin rumit ke depannya jika semakin banyak orang yang tahu bahwa sesungguhnya ia menyimpan rasa.
Jihan menatap gue dengan penuh tanda tanya, di sampingnya Tristan mendampingi dengan penuh antisipasi.
"Ada apa Git?" tanya Jihan sambil menggenggam tangan gue.
"Tadi Januar nganter gue ke kantor Aga," ucap gue mulai bercerita.
"Terus apa yang bikin lo mewek?" Jihan menatap gue dengan dalam, hidung dan mata gue yang merah membuatnya dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa gue habis menangis.
"Januar... ungkapin perasaannya ke gue,"
Tidak ada reaksi berlebihan dari raut wajah Jihan, justru Tristan lah yang mengeluarkan ekspresi terkejut yang begitu kentara. "Lo kan mau nikah Git," ucapnya kemudian.
Gue mengangguk, mengiyakan ucapan Tristan, kemudian menatap Jihan dengan penuh keheranan. "Kok lo nggak respon apa-apa?"
"Cuma orang bego yang nggak sadar akan perasaan Januar sama lo." Jihan berkomentar, menusuk tepat ke ulu hati.
"Gue... bego dong?" tanya gue kebingungan.
Jihan menghela napas panjang, "Iya," sahutnya yang membuat gue bungkam seribu bahasa. "Anak-anak udah pada tau kalau Januar itu naksir elo, makanya dia nolak cewek-cewek yang ngajak dia jalan."
Penjelasan Jihan tak membuat suasana hati gue membaik, yang ada semakin memburuk. "Kenapa lo nggak pernah bilang sih Jihan?"
Jihan termenung, kemudian menatap gue dalam. "Lo nggak peka Git, pernah nggak lihat dia bahas rencana pernikahan lo sama Aga?"
Gue menggeleng.
Gue baru inget Januar tidak pernah menanyai apapun perihal hubungan gue dengan Yiraga, dan saat anak-anak memberikan ucapan selamat begitu Yiraga melamar, Januar memilih untuk bungkam
"Pernah liat gak dia nanyain perkembangan hubungan lo sama Aga kayak Mail, Dika, sama Yudis."
Lagi, gue hanya bisa menggeleng. Sekalinya Januar bertanya, itu kemarin, dan itu pun hanya menanyakan soal gue yang akan tetap bekerja apa enggak setelah nikah.
"Pernah lihat dia kasih referensi resto bagus selain ke lo nggak? Contohnya resto ini, Januar yang share. Dia rekomen ke lo doang dengan bermaksud mengajak Git."
Segitu terlihatnyakah perasaan Januar sama gue? tapi kenapa gue nggak peka?
"Lo terlalu buta akan Yiraga Git, makannya lo sama sekali nggak menyadari perasaan Januar."
Saat nama Yiraga disebut, gue kembali mengingat kejadian sebelumnya. Air mata kembali menggenang.
"Gue nggak yakin cuma karena itu lo nangis, dulu kan lo metal, masa gara-gara dapet conffesion dari cowok aja nangis. Ada apa sebenernya?" Tristan membuka suara, matanya memicing penuh kecurigaan.
Tristan menyebut gue metal karena dulu gue sama sekali tidak feminim, dan lebih milih bergaul sama cowok. Tapi mau bagaimanapun, gue juga cewek. Yang bisa mewek kalo tau calon suaminya masih keep in touch sama mantan terindahnya menjelang hari pernikahan.
"Aga kontakan sama mantannya, mantannya ngajak ketemuan Tan."
"Udah ketemu emang si Aga sama mantannya?" tanya Jihan.
"Belom, Han."
"Ketemu mantan gapapa kali, kan silaturahmi." Ceplos Tristan yang langsung mendapat lirikan garang dari Jihan. Tristan langsung salah tingkah ditatap seperti itu.
"Kondisinya sekarang gue mau nikah Tan, beda. Gue takut," ungkap gue jujur.
"Lo takut kehilangan Yiraga?"
Gue mengangguk, mengiyakan. Kehilangan mantan di masa lalu dengan cara yang tidak mengenakkan membuat gue sulit untuk membuka hati. Gue bener-bener takut kehilangan lagi. Apalagi dengan cara yang lebih menyakitkan dibanding menghilang tanpa kabar, seperti perselingkuhan.
"Gak ada niatan sama Januar apa lo?" Jihan kembali bertanya, membuat protesan keluar dari bibir Tristan.
"Yang, Brigita udah lamaran, jangan aneh-aneh deh," tutur Tristan.
"Andai lo tau Git gimana pengorbanan Januar selama ini," ujar Jihan lirih.
Gue terdiam tanpa berniat menanyakan maksud kalimat yang Jihan lontarkan barusan. Mendapat pengakuan dari Januar saja sudah membuat kekalutan di dalam benak, bagaimana jika gue mengetahui pengorbanan Januar? Memilih untuk egois kali ini demi menyelamatkan ikatan yang sudah gue bangun dengan Aga tidak salah bukan?
***
Malamnya gue menginap di tempat Kiky, kekasih Khairi. Saat mendapat kabar bahwa gue ingin menginap, ia tidak bereaksi berlebih, hanya menebak apakah ada masalah dengan Aga yang gue jawab dengan anggukkan, dan gue menjelaskan bahwa butuh waktu untuk berpikir.
Benar kata orang-orang, menjelang pernikahan ujian yang datang akan lebih banyak. Kalau dipikir-pikir gue juga salah, karena tidak menanyakan maksud pesan-pesan tersebut. Tapi kondisi perasaan gue yang abis denger pengakuan Januar ditambah dengan gue tahu betapa dewinya mantan Yiraga membuat gue kalut. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk dijalani. Bagaimana kalau akhirnya Yiraga ragu dan memilih untuk berpaling?
"Lo yakin nggak mau nyalain hape Git?" Kiky bertanya saat melihat gue memandang ponsel yang dalam keadaan mati.
Gue menggeleng pelan, setidaknya malam ini gue mau menenangkan diri dulu.
"Paham kok gue rasanya, pernah ngalamin juga masa-masa berat itu sama Khairi. Tenangin pikiran dulu, kalo ada masalah nggak baik ambil keputusan kalau lagi panas gini," nasihat Kiky sambil beranjak. Kemudian ia kembali dengan sebuah goodybag berwarna keemasan yang bertuliskan nama gue.
"Kebetulan lo ke sini, padahal rencananya mau gue titip ke Khairi besok."
"Itu apaan Ki?"
"Buka aja," jawab Kiky.
Gue membuka dan melihat sebuah kartu dan baju di dalamnya.
Dear Brigita,
I found my man, but stil need my girls, will you be my bridesmaid?
Mata gue membola seketika. "Loh? Kok lo bisa secepet ini Ki? Kapan Khairi ngelamarnya?"
Kiky membawa tangan gue ke bagian perutnya. "Udah 8 minggu,"
"Seriously?! Lo di DP duluan sama Khairi?"
Anggukkan Kiky membuat gue mengerti mengenai mood Khairi yang seperti Yoyo akhir-akhir ini.
***
Gue meminjam baju Kiky untuk ke kantor. Gue tidak memikirkan pandangan Khairi yang sepertinya familier dengan baju yang gue gunakan, yang penting gue masuk hari ini.
"Yud, hari ini jadwal gue yang keluar. Gue bawa Rizka ya?" Januar meminta izin pada Yudistira.
Satu hari dalam seminggu divisi gue keluar untuk pergi ke kantor cabang. Dan hari ini jatahnya Januar yang keluar. Biasanya sih Januar selalu mengajak gue. Mungkin karena kejadian kemarin Januar jadi minta ditemenin sama Rizka.
"Gue masih ada deadline nih," kata Rizka dengan tidak enak.
Januar terlihat kebingungan, membuat yang lain lebih kebingungan menatap tingkahnya yang tak biasa, terkecuali Jihan yang sudah mengetahui segalanya.
Januar melirik ke arah gue, lalu menghindar saat tahu gue juga sedang menatapnya.
"Sama gue aja Jan," tawar gue pada akhirnya. Menurut gue ini kesempatan yang bagus untuk nunjukin ke Januar kalau gue biasa-biasa aja sama dia dan masih bisa berteman seperti permintaannya.
Sebenernya gue juga ingin ikut Januar untuk berjaga-jaga jikalau Yiraga datang ke sini, jadi gue bisa menghindar. Gue masih merasa belum siap. Terlebih semalam gue mimpi Yiraga menggandeng tangan mantannya dengan mesra. Mungkin karena saking kepikirannya sama masalah ini. Maknnya gue semakin galau.
Selama dua tahun hubungan gue sama Yiraga, tak pernah ada yang namanya orang ketiga. Baru kali ini gue mengalami. Di saat gue udah mau nikah sama dia.
Jihan menatap gue dengan pandangan tak percaya, lalu menghela napas, sepertinya dia mengerti kalau gue sedang menghindari Yiraga.
"Oke, ayo kita berangkat," ucap Januar.
Gue pun mengangguk dan bersiap untuk pergi. Januar berjalan lebih dulu, meninggalkan gue yang mengekorinya dengan jarqk dua meter.
Biasanya Januar akan langsung merangkul gue dan bergaya seakan kami akan jalan-jalan untuk meledek teman-teman yang lain, dan kami berjalan beriringan sampe tempat parkir sambil ngobrol obrolan gak penting. Sangat berbanding jauh dengan sekarang
Januar juga tidak membukakan pintu mobil untuk gue. Sekarang gue baru sadar betapa Januar menujukkan perasaan dulu, tapi gue tidak pernah peka dan menganggap semua perlakuannya adalah hal yang biasa.
"Pakai sabuk pengamannya," ujar Januar mengingatkan, kemudian ia segera menekan pedal gas.
Mobil Januar berpapasan dengan mobil Yiraga saat kami keluar kantor, membuat gue deg-degan akan apa yang akan Yiraga lakukan di kantor.
Tubuh gue di sini, tapi isi pikiran gue melanglang buana entah ke mana.
Mobil Januar terlalu sepi karena tidak ada percakapan yang mewarnai. Hanya suara radio yang mengalun, amat canggung karena biasanya suara radio bahkan tenggelam oleh keriuhan yang kami buat.
Gue terus melihat ke arah jendela, tidak berani mandang Januar yang matanya terlihat agak membengkak. Hasil dari penolakan gue semalam mungkin. Hal itu membuat gue merasa bersalah.
Suara dering ponsel memecah keheningan, sebuah panggilan untuk Januar.
"Git, ini Jihan nelepon."
Tiba-tiba Januar memberikan ponselnya ke gue. Gue sempet diam dan bertanya-tanya dalam hati kenapa Jihan memilih untuk menghubungi Januar alih-alih menelepon gue.
"Masih belom nyalain hape juga lo sampe calon suami lo harus ke sini?"
Gue memejamkan mata, memijit kening karena lupa menyalakan ponsel.
"Gue belom siap ketemu dia," jawab gue.
"Laki lo hampir ngacak-ngacak kantor tau nggak! Dia berantem sama Khairi."
Ya Tuhan semoga gue nggak digorok Kiky habis ini. Ini H-2 minggu mereka nikah.
"Kok bisa?"
"Khairi gamau ngasih tau lo pergi ke mana karena itu tugas kantor. Khairi gamau ada masalah pribadi yang ikut nyangkut."
"Nggak sampe pukul-pukulan kan?" tanya gue dengan penuh harap.
Gue takut Yiraga kenapa-kenapa, apalagi sampai terluka dan berdarah. Ia mempunyai penyakit kelainan darah, di mana sekalinya ia mengeluarkan darah, darah yang keluar akan sukar membeku dan membuat proses pendarahannya lebih panjang dan lama dari orang pada umumnya. Luka kecil pun bisa berdampak serius.
"Enggak kok. Aga kontrol dirinya bagus walaupun keliatan banget kalutnya."
Jawaban Jihan membuat gue sedikit lega.
"Terus gimana?"
"Dia nggak nyerah Git, langsung naik ke Bos Affan buat nanyain lo ke mana."
Sial, gue lupa kalo bos Affan temen dekat Yiraga! Pertemuan pertama kami pun terkait dengannya.
"Awas Git, jangan sampe dia yang di samping lo sekarang, semakin memperkeruh keadaan."
Omongan Jihan otomatis membuat gue melirik ke arah Januar yang masih nyetir.
"Aga udah keluar dari ruangan Bos Affan, dan kayaknya mau nyamperin lo. Pikirin baik-baik ngadepinnya."
Panggilan dari Jihan berakhir sampai sana. Gue mengembalikan ponsel Januar.
"Kenapa Git?"
"Nggak apa-apa kok, Jan,"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro