Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06

"Kamu tau dengan pasti harapanku Git, tapi sesuai janjiku, aku nggak akan melarangmu untuk bekerja," ujar Yiraga.

Jawaban Yiraga seakan menggantung, tidak membuat hati ini merasa lega. Dari kalimatnya jelas tersirat bahwa ia menginginkan gue untuk sepenuhnya mengurus rumah tangga. Sungguh, gue ingin memberikan yang terbaik yang ada di diri gue padanya. Namun perkara tidak bekerja lagi rasanya begitu berat untuk dijalani.

Selain karena rutinitas yang akan terasa kosong, pergaulan dengan teman pun menjadi kekhawatiran tersendiri. Kekhawatiran akan rasa sepi menyergap dengan hebatnya.

Keesokan hari gue menceritakan hal ini kepada Rizka yang paling dewasa di antara dua sahabat gue yang lainnya.

"Apa yang membuat lo berat untuk nggak kerja lagi Git?" Pertanyaan itu menguar dari bibir Rizka setelah mendengar rangkaian kisah kemarin.

Gue terdiam, berpikir keras untuk mengolah kata yang tepat dalam menjelaskan. "Bisa dibilang ini zona nyaman gue, beraktivitas seharian, berinteraksi dengan temen kantor. Hal itu nggak akan gue dapatkan kalau gue ada di rumah."

"Ya, benar memang itu Git. Tapi nanti lo akan punya aktivitas lain untuk menghabiskan waktu lo juga kok, kayak ngurus rumah, masak buat suami lo, dan hal-hal lainnya. Perkara bergaul jangka panjangnya nanti lo akan dapet temen baru, mulai dari tetangga, orangtua temen sekolah anak lo."

Gue membenarkan ucapan Rizka dalam hati, jawabannya memang ada benarnya. "Kemarin gue akhirnya ngomong gini sama Aga,"

"Ngomong apa?" Rizka segera menyahut.

"Gue akan tetap bekerja sampai gue hamil. Setelah hamil gue baru akan memutuskan langkah selanjutnya."

"Jawaban yang cukup bijak," timpal Rizka. "Karena kata kakak ipar gue, pola pikirnya setelah menikah sedikit berbeda. Dulu dia yang mati-matian ngotot ingin jadi wanita karier, sekarang banting setir jadi ibu rumah tangga sepenuhnya."

"Oh ya? Karena?"

"Kakak ipar gue bilang kalau kita sebagai perempuan ada masalah di dalam hubungannya, contohnya saja dalam berumah tangga, produktifitas kerja mereka cenderung terganggu. Sementara untuk laki-laki sebaliknya. Jika ada masalah dalam pekerjaan, kualitas hubungannya yang cenderung terganggu."

"Ah, sedikit banyak paham sih gue maksud kakak ipar lo. Aga emang kalau ada masalah di kantor suka diem aja kalau ketemu gue, bikin mati gaya dan susah untuk komunikasi, ngerasa serba salah gue kayak Raisa."

"Nah, itu lah Git. Menurut gue sekarang jalani aja apa yang ada di depan mata. Nggak usah terlampau khawatir sama hal yang kayak gitu. Was-was sih pasti ada, namanya juga godaan calon pengantin, ini mah belum seberapa dibanding kakak sama kakak ipar gue."

"Oh ya? emang masalah mereka dulu apa?"

"Mantan kakak gue yang udah kelarin studinya di Jepang balik, dan kakak ipar gue mendadak dideketin banyak lelaki di kantornya."

"Terus gimana?"

"Terus--"

"Brigita, Rizka ini jam kerja, bukan jam hangout," sindir Khairi yang baru saja melewati meja kami selepas menyelesaikan urusannya di toilet, membuat gue dan Rizka serempak membubarkan diri dan kembali tenggelam untuk mengerjakan tugas masing-masing.

***

Jam pulang kantor sudah terlewati dua jam yang lalu, sehingga menyisakan segelintir orang yang lembur atau mengerjakan beberapa urusan pekerjaan mereka.

Ilham dan Januar masih sibuk mengetik keyboard mereka untuk menyelesaikan pekerjaan. Sebetulnya gue tidak lembur, hanya saja Aga meminta gue untuk menunggunya di kantor agar kami bisa makan malam bersama sepulang dari menjemput gue.

"Git, Januar, kapan pada mau balik? Gue udah kelar nih." Ilham bertanya sembari merenggangkan tubuhnya yang kaku.

"Nunggu Yiraga jemput kalau gue."

"Belom kelar nih gue," sahut Januar.

"Ah, gue duluan kalau gitu, salam buat Pak Bos ya Git!" Ilham memakai jaketnya dan beranjak pergi. Menyisakan gue dan Januar di dalam ruangan. Mengantuk, gue pun memilih untuk menelungkupkan tubuh ke meja untuk beristirahat sebentar.

Sebuah tepukan pelan di bahu membuat gue terjaga. 

"Masih nunggu?" Januar terlihat sudah rapi dan bersiap untuk pulang dengan jaket yang tersampir pada lengan dan kemeja yang tergulung sampai siku. Singkatnya Januar masih terlihat tampan walaupun sudah berperang dengan berkas selamana seharian. Sayang cowok yang satu ini jomlo, padahal divisi sebelah banyak yang minat. Kalau cewek di divisi gue sih udah taken semua.

Gue mengecek jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul 19.45, 45 menit lewat dari jam yang Yiraga janjikan untuk menjemput. Jadi begini ya rasanya menuggu? Yiraga tidak pernah sekali pun telat dan membuat gue menunggu sebelumnya, bahkan di tengah kesibukannya sekalipun.

Januar ikut melihat jam tangannya. "Udah malem nih, mau gue anter aja nggak?"

Ponsel gue berbunyi, ada panggilan dari Yiraga. Gue memberikan isyarat pada Januar untuk mengangkat panggilan tersebut. Januar mengangguk dan tetap berdiri ditempatnya.

"Halo, Yi?"

"Git, maafin aku gak bisa jemput,"

"Gapapa kok Yi, makan malemnya tetep jadi?"

"Kalo kamu mau dateng aja ke kantor aku. Nanti kita pergi dari sini."

"Yaudah aku ke sana aja deh Yi,"

"Sekali lagi maaf ya Git, kamu hati-hati di jalan. Naik taksi aja gausah naik bus ya."

"Iya Yi, see you.."

"Gimana?" Januar bertanya begitu melihat gue selesai menelepon.

"Kayanya gue mau ke kantor Aga aja deh Jan, nggak usah lo anter, nanti ngerepotin. Gue naik taksi aja."

"Udah ayo searah ini," ujar Januar sembari mengambil tas gue. Ia juga mengambil blazer milik gue dan menyampirkannya di tubuh gue.

"Nanti ada yang marah lagi gue pulang bareng lo," ujar gue mencoba berbasa-basi, niatnya ingin meledek kejomloan Januar yang melegenda. 

"Kalau yang lo maksud itu cewek gue, gue nggak punya cewek," balas Januar dengan serius, membuat gue menahan tawa.

Beberapa orang malah menyangka Januar memiliki orientasi seksual yang menyimpang karena tidak memiliki pacar meski memiliki paras tampan dan perawakan yang cukup menjual. Tapi gue sangsi akan hal itu karena beberapa kali gue kerap memergokinya dan Ilham membahas tentang para artis yang sedang naik daun, dan Januar sangat mengagumi seorang Stephani Putri si pelantun lagu i love you 3000. 

Perjalanan kami dari lantai tujuh ke Bassement tempat mobil Januar diparkir diwarnai dengan percakapan mengenai pekerjaan akhir tahun dan betapa menyebalkannya mood Khairi yang sedang naik turun seperti Yoyo.

"Gue rasa Khairi butuh istri segera biar nggak suka marah-marah lagi," ujar Januar sambil tertawa. 

Kami akhirnya sampai ke mobil Januar. Sebetulnya gue bersyukur Januar memberikan tumpangan, selain karena merasa lebih merasa aman karena sudah mengenalnya dibandingkan jika menumpangi taksi, ini termasuk ke dalam pengiritan juga. 

"Jan kenapa sih lo nggak cari cewek, masa kalah ama Yudis?"

Katakanlah gue orang yang tak tahu diuntung, udah ditolong malah meledek. Tapi itu semata-mata biar perjalanan seru saja. Januar selama ini juga orangnya kan asik.

"Emang gampang apa nyari cewek?" balasnya bercanda.

"Seenggaknya gitu Jan, nggak ada yang menarik perhatian lo apa? Banyak cewek di kantor yang suka sama lo kan."

Gue ngomong kayak gitu berdasarkan fakta. Sebenernya Januar banyak yang naksir gara-gara sikap baik sekaligus iseng dan jahilnya, plus parasnya yang tampan. Tapi entah kenapa Januar masih betah menjomlo. Padahal jelas-jelas pernah ada cewek divisi sebelah yang ngajak jalan bareng tapi dia tolak gitu aja.

"Sebenernya ada sih, tapi ... " jawabnya menggantung.

"Udah punya cowok? Ah elah selama janur kuning belom melengkung mah terabas aja Jan! Masih ada kemungkinan nggak jadi. Gue dukung lo pokoknya!"

Di benak gue entah mengapa terpikirkan sosok Rizka atau Jihan yang selama ini sering bersanda gurau dengannya, dua-duanya memang sudah taken dengan pasangan masing-masing.

"Kalo cewenya itu lo gimana?"

Mendadak senyuman di wajah Januar menghilang, wajahnya berubah jadi kaku.

Kenapa Januar yang slengeen tiba-tiba serius gini?

Ini anak beneran serius? Ntar kalo gue serius ini anak malah bales ketawa ngakak lagi? Kan nggak lucu.

"Lo pasti bercanda kan Jan? Nggak lucu tau." Gue mencoba santai, walau dalam hati gue mulai ketar-ketir khawatir. Ini orang sebenernya serius apa enggak.

"Enggak sama sekali Git."

Ya Tuhan! Gue harus gimana sekarang? Gue nggak pernah nolak cowok sebelumnya! Apalagi temen deket gue sendiri.

Gue diam, bingung mau ngomong apa. Gue masih nunggu Januar terbahak terus bilang kalau dia bercanda dan meledek gue baperan. Tapi ini enggak, Janua malah menepikan mobilnya dan menatap gue dengan intens.

Boleh gak gue turun aja sekarang? Gue menelan kalimat gue sebelumnya tentang rasa syukur perkara pengiritan. Tau gini gue mending naik taksi aja tadi.

"Jan, maaf-"

"Gue tau kok Git, di mata lo cuma ada Yiraga kan?"

Seumur-umur gue baru melihat ekspresi Januar yang muram seperti ini, Januar yang selalu ceria dan tak pernah menunjukkan kesedihannya

"Jan--" 

Belum selesai gue ngomong Januar sudah lebih dulu memotong. "Gue cuma pengen ngungkapin ini sebelum semuanya terlambat Git, gue cuma pengen perasaan gue lega aja setelah gue ngomong sama lo. Gak lebih. Gue nggak minta lo buat nerima cinta gue apalagi untuk batalin acara pernikahan lo sama Aga."

"Gue cuma pengen lo tau kalau gue ada di sini kapan pun lo butuh,"

"Kalo Yiraga nggak bisa bahagiain lo, gue di sini, siap untuk bahagiain lo."

Januar terlihat begitu memaknai kata-katanya, membuat bibir gue kelu untuk meresponnya. Namun gue tidak boleh membiarkan hal ini berlarut, atau kedepannya akan terjadi kesalahpahaman yang tidak diinginnkan.

Dengan gugup gue mencoba menjelaskan isi hati ke Januar. "Maafin gue Jan, Buat gue Yiraga itu yang terbaik sekarang. Di mata gue temen sama pacar adalah ruang yang berbeda. Sekali lo masuk ke salah satu ruang, lo nggak akan bisa pindah ke ruang yang lain. Aga posisinya pacar gue, nggak bisa ngisi ruang pertemanan di tempat lo berada. Kalian sama-sama spesial di tempatnya masing-masing."

Januar tersenyum miris, membuat gue merasa tidak enak hati. Apakah gue sudah melukainya?

"Kita masih bisa temenan kan Git? Gue harap setelah ini semua, nggak ada yang berubah diantara kita," tanya Januar dengan penuh harap.

Gue menganggukan kepala gue mantap, "tentu Jan, lo salah satu temen terbaik buat gue."

***

Begitu sampae di kantor Yiraga gue langsung menuju ruangannya, karyawan Aga yang sudah hapal dengan gue pun tidak banyak bertanya, mereka hanya menyapa dengan penuh keramahan.

Yiraga masih terduduk di kursinya dengan beberapa berkas di tangan, terlihat begitu serius. Begitu melihat gue masuk, ia langsung berdiri dari kursinya dan menyambut dengan senyuman.

"Naik apa jadinya tadi?" tanyanya yang membuat gue menelan ludah gugup.

"Taksi," jawab gue pelan.

"Are you okay, Git?" tanya Yiraga memastikan, sepertinya ia menyadari kemuraman di wajah gue.

Ucapan Januar sebelumnya bener-bener ngeganggu. Gue merasa bersalah karena nggak peka sama sekali sama temen gue sendiri. Dan itu membuat gue sedih. Gue juga merasa bersalah sama Yiraga karena memilih untuk berbohong. Memberi tahu Yiraga soal pengakuan perasaan Januar sepertinya bukanlah hal yang bijak. 

Gue memilih untuk memeluk Yiraga tanpa menjawab pertanyaannya, menyembunyikan wajah di lehernya yang disambut usapan lembut olehnya. 

"Bete ya nunggu lama?" 

Gue menggeleng pelan, membuat Yiraga mengeratkan pelukan. 

"Khairi lagi?" tebaknya. Gue masih menggeleng.

"Tunggu sebentar ya? Sebentar lagi aku selesai." Yiraga melepaskan pelukan gue, dan menuntun gue untuk duduk di sofa ruang kerjanya. Ia tidak pernah menuntut gue untuk bercerita bila belum siap, dan itu salah satu sifatnya yang paling gue suka.

Yiraga mengecup dahi gue dengan singkat. "Sambil nunggu, kamu mau minum apa? Aku mau ke toilet, sekalian kupanggil OB nanti." 

"Nggak usah, aku pinjem hape kamu Yi, mau main game." 

Yiraga mengeluarkan ponselnya, dan beranjak ke luar ruangan. Gue pun membuka gim Design Home yang sengaja gue download di ponsel miliknya untuk menghabiskan waktu.

Saat tengah memilih barang-barang yang cocok untuk desain ruangan, sebuah pop up pesan muncul, dari seorang bernama Kristi Nathalia.

Jadi besok bisa ketemu?

Nama yang begitu familier, nama yang pernah hadir di kehidupan Yiraga selama lima tahun. Seseorang yang nyaris menyandang status menjadi nyonya Yiraga. Seketika mood gue berubah menjadi sangat buruk.

Karena penasaran, gue pun memilih untuk membuka keseluruhan pesannya.

Sori Ga, tadi sambungannya keputus

Iya, nggak apa Nath

Jadi besok bisa ketemu?

Jadi mereka bahkan teleponan? 

Melihat jam di pesan tersebut membuat gue merasa semakin miris, jam di mana gue menunggu Yiraga. 

Mungkinkah ia tidak mengabari gue karena teleponan dengan Kristi?

Gue keluar ruangan Yiraga setelah meninggalkan ponselnya di sofa. 

"Git? mau ke mana?" Suara Yiraga menggema dari kejauhan, namun gue tetap melanjutkan langkah. 

Beruntungnya, ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang di lobi. Gue naik taksi dan menutup pintunya dengan suara yang lebih kenceng dari yang gue maksud.

Gue mencoba mengabaikan Yiraga yang terus manggil-manggil nama gue dari dalem kantor tadi. Gue gak memikirkan Yiraga yang menggedor pintu taksi dan meminta gue untuk keluar.

"Mbak? Itu pacarnya..."

"Jalan Pak,"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro