04.
Hari ini Yiraga mengajak gue untuk pergi bersama keluarga besarnya, katanya ada acara ulang tahun omanya yang membuat seluruh anggota keluarga besarnya kumpul dan pergi ke salah satu villa milik keluarganya di daerah Bandung.
Selama perjalanan gue dan Yiraga direcoki oleh Leo, Gatra dan Jun. Mereka lebih memilih untuk ikut mobil Yiraga dibandingkan mobil orangtua mereka sendiri. Katanya kalo ikut mobil Yiraga mereka bisa jalan-jalan dulu sebelum sampai villa. Plus Yiraga nggak akan segan menuruti kemauan ketiga adiknya itu.
Gue sih seneng aja karna suasana mobil semakin rame, tapi kayanya Yiraga sedikit merasa risih. Dia terlihat lebih pendiam dari biasanya sejak awal berangkat. Percakapan kami lebih didominasi oleh Leo yang menceritakan soal Nindy ke Jun.
"Lele pokoknya harus jual mahal! Biar kayak Bang Jun yang dikejar-kejar sama cewek!" tukas Jun seakan pendapatnya adalah yang paling benar.
"Di mana-mana, cowok itu ngejar, bukan dikejar," balas gue yang membuat Jun berdecak.
"Kak Git salah! Zaman udah berubah, nggak ada salahnya cewek yang ngejar. Tugas kita sebagai cowok ya cuma mancing, yang makan umpan ya mereka!"
"Kamu lupa kakakmu ini cewek?" tanya gue sarkas. "Lagian, Abang kamu kok yang duluan ngejar-ngejar Kakak," lanjut gue bermaksud bercanda. Biasanya Yiraga akan selalu berkilah jika gue mengungkit soal awal hubungan kami. Tapi kali ini tidak.
"Abang mah orang jadul! Makanya begitu. Lakunya juga sama kakak doang. Jun dong dikejar-kejar sama banyak cewek!"
"Berisik!" komentar Gatra yang sedang bermain game di ponselnya. Jika Jun lebih menonjol dalam berburu perempuan, Gatra justru sebaliknya. Ia merupakan pribadi introvert yang lebih senang memainkan video game dan gadgetnya.
"Nih, yang ini sebelas dua belas sama Bang Aga. Nggak ada cewek yang ngejar-ngejar dia!" ledek Jun ke Gatra.
"Ye, buktinya Bang Aga juga ketemu sama Kak Git tanpa harus dikejar-kejar cewek," timpal Gatra cuek. Gue pun menyetujui ucapan Gatra yang membuat Jun berdecak.
Jun bertanya kepada Leo. "Jadi Lele lebih suka ngejar? atau dikejar?"
"Boleh dua-duanya nggak Bang? Leo pengen dikejar sama orang yang Leo kejar," jawab Leo.
Jawaban polos Leo membuat sudut bibir Yiraga sedikit terangkat. Hal itu membuat gue merasa sedikit lebih lega. Setidaknya mood Yiraga sekarang sudah lebih baik.
Yiraga membelokan mobilnya ke salah satu area restoran cepat saji. Hal itu membuat kami yang berada di dalam mobil sedikit kebingungan.
"Kayaknya nggak ada yang mau makan Bang?" tegur Jun. Yiraga hanya mengeluarkan kartu debit dari dalam dompetnya dan memberikannya ke Jun.
"Beli sana apa yang kalian mau. Abang titip es krim," titahnya ke Jun. Yiraga lalu menoleh ke arah gue dan bertanya, "kamu mau apa?"
"Aku mau kentang goreng sama es krim."
"Nggak drive thru aja apa Bang?" protes Gatra yang masih asik dengan gadgetnya.
"Jalan sedikit, sekalian olah raga. Kamu kerjaannya cuma main gadget terus, nggak bagus tau," nasihat Yiraga yang membuat Gatra mengalah dan keluar dari dalam mobil.
Setelah kepergian ketiga adiknya, gue melihat Yiraga yang masih terlihat muram.
"Yi, kenapa?" tanya gue pada akhirnya. Gue tau ada yang tidak beres dengan Yiraga. Tidak biasanya dia seperti ini.
"Tadinya aku mau ngebahas soal pernikahan kita sama kamu sambil jalan ke villa, soalnya aku jarang ada waktu dan kamu juga sibuk. Tapi mereka malah ikut kita."
"Jadi kamu nggak seneng Yi?"
"Bukan nggak seneng. Mereka pembawa suasana, tapi kita juga butuh privasi, Git. Aku seneng banget adek-adek aku bahkan sepupuku bisa cepet banget deket sama kamu, bahkan nempel banget. Tapi aku rasa kita butuh waktu berdua."
Gue mengerti bagaimana perasaan Yiraga, karena gue mengalami hal yang sama juga. Persiapan pernikahan gue masih sedikit, sedangkan rencananya empat bulan lagi kita nikah. Belum nentuin katering, konsep resepsi, tempat akad, upacara adat dan lain-lainnya. Sedangkan waktu gue sama Yiraga sama-sama sempit.
"Di villa kita kan bisa bahas ini Yi, kalo mereka udah ketemu kolam renang juga akan lupa diri dan nggak inget kita lagi."
"Aku harap juga gitu, Git."
"Udah jangan bete lagi ya? Nanti gantengnya ilang loh."
Yiraga akhirnya tersenyum lagi. Rayuan gue yang biasa gue layangkan untuk Leo ternyata berefek juga ke dia. Sebuah pujian atau ledekan singkat ternyata bisa berefek besar dalam sebuah hubungan.
Setelah itu gue menceritakan tentang kegiatan gue di kantor seminggu ini. Gue bercerita tentang Jihan yang masih galau karena mantan brondongnya padahal dia sudah punya pacar, Yudistira yang akhirnya meresmikan hubungannya dengan Rizka, Ara yang masih belum dapat kejelasan dari Chandra, Handika yang baru putus, Ilham yang masih dalam proses pencarian jodohnya, dan Januar yang tidak mendapatkan pacar meski banyak yang naksir dari divisi sebelah.
Yiraga selalu tersenyum dan merespon semua cerita gue dengan gestur tubuh sederhana. Seperti tubuhnya yang cendrung menghadap ke arah gue, anggukan singkat, dan kontak mata yang tidak gue dapatkan dari siapapun.
He said he love the way i tell my day.
Kalau Yiraga sedang tidak mood seperti inu, jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah ini adalah dengan gue bercerita, karena Yiraga suka mendengarkan segala ocehan gue, mulai dari hal penting sampai tidak penting sekalipun.
Sekembalinya tiga bocah pengganggu itu ke dalem mobil, Yiraga sudah lebih ceria dan lebih mau merespon percakapan tidak penting Leo dan juga Jun, sedangkan Gatra memilih untuk tidur setelah menghabiskan burger miliknya.
***
Gue sampai di villa saat semua keluarga besar sudah berkumpul, ledekan-ledekan yang sudah biasa gue dengar tentang rencana pernikahan gue sama Yiraga pun mengalun dari segala penjuru. Gue memilih untuk ngehindar dan masuk ke dapur buat melihat calon mertua gue yang sedang memasak bersama saudara-saudara yang lain.
"Ma, perlu Brigita bantu nggak?"
Ibu Yiraga menggeleng dan malah mengusir gue dari area dapur, katanya gue baru sampai dan seharusnya istirahat. Begitupun suruhan tante-tante Yiraga yang lain.
Saat sampai di ruang tengah, Yiraga tengah menggendong Brandon, anak dari sepupu perempuan tertua di dalam keluarganya, Kak Vita. Ia menikah dengan Bang Zumi sekitar lima tahun yang lalu, dan mereka baru mendapatkan anak di usia pernikahan mereka yang keempat.
"Gantengnya," ucap gue sambil menjawil pipi Brandon yang menggemaskan. Brandon mengeluarkan tawanya yang membuat semua orang yang berada di sana ikut tertawa melihat gelak tawa bayi berusia enam bulan itu.
"Mau gendong?" tanya Yiraga yang gue jawab dengan anggukan. Yiraga pun menyerahkan Brandon dari gendongannya kepada gue.
"Udah cocok," ledek Bang Zumi yang membuat gue mengulum senyum. Sementara Yiraga hanya tersenyum kikuk dan berusaha mengalihkan perhatian dengan mencium wajah Brandon secara bertubi-tubi.
"Awas salah cium Bang Aga!" ledek Jun yang membuat kami semua tergelak. Kuping dan wajah Yiraga memerah jika sudah diledek di depan umum seperti ini.
***
Gue tidak menampik jika pikiran tentang mantan kekasih Yiraga yang terlihat begitu sempurna itu masih menghantui. Perempuan dan rasa ingin tahunya, hal itu terkadang membuat kami dirundung kegelisahan.
Sebetulnya bisa saja gue menanyakan soal ini kepada Yiraga, hanya saja gue belum siap untuk ditolak lagi. Berkali-kali Yiraga menolak saat gue membahas perihal mantan kekasihnya. Hal itu membuat gue semakin curiga.
Saat melihat Kak Vita yang sedang menyusui Brandon di balkon lantai dua yang langsung mengarah ke kolam renang, gue mempunyai ide untuk bertanya padanya.
"Kak Vita, aku boleh nanya?"
"Nanya apa hayo? Pasti soal Aga ya?" tebaknya tepat sasaran.
"Kok kakak tau?"
"Kakak kan udah lebih berpengalaman dari kamu, jadi jelas Kakak tau," balasnya.
"Kak, kakak kenal Kristi?"
"Kristi mantannya Aga?" tanya Kak Vita yang gue jawab dengan anggukan. "Kenal, kenapa?"
Gue menelan ludah gugup dan hanya bergumam dengan tidak jelas. "Hmm... nggak."
"Mau nanya kenapa Aga sama Kristi putus ya?" tebaknya lagi dengan jitu.
Gue mengeluarkan cengiran penuh kecanggungan sebelum mengangguk mengiyakan. Jika gue bertukar pikiran dengan Jun atau Gatra, sepertinya gue tidak akan menemui jalan keluar dari keresahan gue ini, berbeda jika orang itu adalah Kak Vita.
"Kamu belum yakin sama Aga?"
Gue menggeleng. "Bukannya aku nggak yakin, kalau nggak yakin aku nggak akan nerima lamaran Aga, Kak. Aku cuma penasaran kenapa Aga nggak mau bahas soal mantannya sama sekali."
"Posisi kamu tuh lagi riskan tau Git, kalau mau nikah biasanya banyak godaan entah dari orang yang pernah singgah dulu, atau orang baru yang tiba-tiba hadir. Ibarat sebuah ujian, fokus sama soal yang kamu kerjakan, jangan fokus ke soal lainnya. Dengan fokus ke hal lain, kamu nggak dapet apapun selain membuang waktu."
"Kakak juga ngerasain itu saat Zumi ketemu mantannya saat kami mau menikah. Rasa ragu itu hadir, tapi selama Zumi membuktikan omongannya bahwa mereka hanya benar-benar rekan kerja, kakak percaya."
"Masa-masa mau nikah gini memang ujian terberat dalam sejarah hubungan pacaran. Nggak sedikit malah yang memutuskan untuk nggak jadi melangkah ke jenjang yang lebih lanjut karena permasalahan-permasalahan yang hadir."
"Dengerin Kakak ya Git, setelah menikah permasalahan yang ada bahkan akan lebih rumit dari sekadar hadirnya kembali mantan pacar. Saat Aga udah milih kamu, berarti ada hal lain yang nggak ada di Kristi tapi ada sama kamu. Jangan khawatirin hal yang nggak perlu, pasti Aga punya alasan kenapa dia nggak mau membahas soal mantannya."
"Kamu pernah terluka karena mantan kamu?" tanya Kak Vita yang membuat gue kembali terngiang akan sosok Rayhan. Rayhan yang pergi meninggalkan gue begitu saja di saat gue sudah begitu berharap.
"Pernah Kak," jawab gue dengan lirih.
"Mungkin itu juga yang dirasain Aga, dia nggak mau membuka luka lamanya dan membangun semua yang baru bersama kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro