01.
Suara ringtone baby shark yang sedang booming itu membuat gue tertawa, pasti ini ringtone milik Pranata Ega Ilham yang terkenal dengan gayanya yang sedikit nyentrik itu. Saat jam makan siang seperti ini biasanya anak divisi pemasaran akan mengumpulkan handphone-nya dalam satu kotak hingga saat jam istirahat yang singkat itu bisa dipakai menjadi sarana untuk mengeratkan solidaritas kami sebagai tim.
"Il, handphone lo pasti tuh," tebak gue dengan kekehan yang membuat yang lainnya ikut tertawa dan menyetujui perkataan gue.
"Enak aja! ringtone gue lagunya payung teduh yang akad! Bukan lagu bocah kayak gitu!" sanggah Ilham mentah-mentah yang membuat kami berhenti tertawa.
"Jan, coba liat handphone siapa, siapa tau penting tuh," usul Jihan yang Rizka angguki.
Tim kami terdiri dari empat orang laki-laki dan empat orang perempuan yang dikepalai oleh Pak Khairi Haidar. Pak Khairi sendiri terkadang suka bergabung makan siang bersama kami guna memupuk kebersamaan tim kami yang terkenal dengan solidaritasnya yang tinggi. Namun kali ini beliau sedang rapat dan tidak berada di tengah-tengah kami, sehingga kami bisa sedikit lebih leluasa.
Januar Wicaksono, anggota tim kami yang paling tinggi itu pun beranjak ke arah kotak tempat penyimpanan handphone itu dan mengangkat handphone gue yang menyala dengan nama 'Dek Jun' yang menghiasi layar.
"Noh kan! Ternyata hape lo kan Git! Nuduh-nuduh orang ternyata sendirinya yang pake ringtone konyol itu!" sungut Ilham tidak terima yang membuat gue berdecak pelan. Gue yakin satu-satunya orang yang melakukan hal itu pada hanphone gue adalah Gatra, calon adik ipar gue yang super jahil dan iseng itu.
"Dek Jun? Calon adek ipar lo bukan?" tanya Ara yang gue jawab anggukan dan helaan napas kasar. Jika Juniarta Alby Radhika menghubungi gue, sudah bisa dipastikan ada masalah.
Gue pun memilih untuk beranjak dan mengambil handphone gue yang berada di tangan Januar dan menjauh dari ketujuh teman gue yang masih berjibaku dengan makan siang mereka.
"Halo, Jun?" sapa gue yang membuat Jun menghela napas lega di seberang sana.
"Kak! Akhirnya lo angkat juga! Seneng banget gue!"
"Kenapa? Ada masalah sama Abang?"
"Nggak, Bang Aga nggak ada masalah, justru Jun yang ada masalah!"
"Masalah apaan? cewek lagi?"
"Ih! Kakak pinter banget emang! Pantes Bang Aga mau ngawinin!"
"Nggak usah banyak basa-basi, kamu mau apa? Setengah jam lagi istirahat kakak selesai."
"Jun ada di resto depan kantor kakak, nanti kakak ke sini ya, pura-pura jadi pacar Jun kayak biasa. Soalnya cewek yang ini tuh ngebet banget kak!"
"Kamu mau kakak dicap penggoda berondong apa? Kakak masih pake baju kerja!"
"Jun udah bawain baju kakak yang suka kakak pakai kalau nginep di rumah kok! Tadi udah nitip ke resepsionis, kakak bisa ganti baju dulu!"
"Apa bayarannya? setengah jam itu berharga buat kakak."
"Info tentang mantan Bang Aga. Kakak mau tau itu kan?"
Gue yakin Jun sedang tersenyum penuh kemenangan di seberang sana, pasalnya selama ini gue tidak pernah mengetahui tentang sosok mantan pacar dari calon suami gue, Yiraga Galen Radeya, yang adik-adiknya biasa sebut dengan 'Bang Aga'. Ia selalu saja menghindar dari percakapan itu dan menyebutnya hanya bagian masa lalu yang tidak usah dipedulikan.
"Kamu yakin mau ngasih tau kakak? Nggak takut perang sama Abang kamu?"
"Kakak mau nego nih? Kesempatan Jun mau ngasih tau kakak nggak dateng dua kali loh," rayu Jun yang membuat gue menghela napas.
Jun selalu saja bisa menggunakan akalnya yang membuat perempuan bisa bertekuk lutut di bawahnya, termasuk gue, calon kakak iparnya.
"Tunggu kakak, lima belas menit lagi kakak sampai."
"Sepuluh menit kak, nggak lebih."
"Udah ditolong kok ngelunjak!"
"Mau info tentang mantan Bang Aga atau enggak?"
Tut.
Panggilan itu terputus begitu saja yang membuat gue mengumpat di dalam hati.
***
Ini bukan kali pertama gue dijadikan 'tameng' oleh Jun di saat ia berurusan dengan para perempuan yang tidak ia sukai. Jun selalu saja menjadikan gue sebagai pacar bohongannya saat ia dalam posisi kepepet.
"Ini cewek ke berapa yang kamu tolak bulan ini Jun?" tanya gue sambil menggelengkan kepala dengan samar. Perempuan yang dimaksud Jun akhirnya pergi setelah gue turun tangan dan mengaku sebagai pacar Jun. Hanya perlu elusan tangan gue di kepala Jun dan panggilan 'sayang', perempuan itu percaya begitu saja dan meninggalkan kami berdua dengan tangis kepedihan.
"Ini yang ketiga," jawab Jun santai seolah itu bukanlah perkara besar.
"Sampe kapan kamu mau nyeret kakak ke masalah kamu dan para perempuan kamu itu?"
"Kak, udah berapa kali aku bilang kalau kakak itu satu-satunya perempuan yang deket sama aku tapi bukan dalam artian sebagai seorang laki-laki dan juga perempuan? jadi kakak cuma satu-satunya jalan keluarnya. Kakak juga awet muda, nggak ada yang nyangka kalau kakak itu sebenernya udah kerja dan mau nikah sama Abang. Yang ada abang disangka pedopil. Beneran deh suwer!" kata Jun mencoba meyakinkan.
"Mau kakak aduin ke Abang kamu?" ancam gue yang membuat Jun tersenyum lebar.
"Info mantan Abang belom kakak dapetin loh kak, kalau kakak bilang Abang sekarang, kakak yang rugi."
Posisi gue jelas kalah telak. Jun terlalu cerdas untuk ukuran playboy kampus. Adik dari calon suami gue ini memang memiliki track record buruk dalam memperlakukan perempuan, berbanding terbalik dengan kakaknya yang sangat amat menghargai dan menjunjung tinggi harga diri seorang perempuan.
Lain dengan Jun, lain lagi dengan Gatra. Gatra bukan seorang playboy seperti Jun, ia tergolong cuek dengan lawan jenis untuk ukuran anak laki-laki berumur enam belas tahun yang baru memasuki Sekolah Menengah Atasnya. Sikapnya tergolong kekanakan dan penuh kejahilan, tidak seperti anak laki-laki kelas satu SMA kebanyakan. Contoh nyatanya adalah perubahan ringtone handphone milik gue.
"Kamu ngancem kakak?" tanya gue dengan nada serius yang membuat senyuman Jun hilang. Laki-laki dan sedikit gertakan adalah kombinasi yang cukup pas.
Suara ringtone baby shark yang kembali mengudara membuat Jun tertawa tertahan. Wibawa yang sudah gue bangun dengan susah payah di depan Jun harus hancur karena suara ringtone yang menarik perhatian hampir separuh pengunjung resto yang cukup banyak saat makan siang.
Dengan sedikit kesal akhirnya gue pun mengangkat panggilan video dari calon suami gue.
"Halo Yi?"
"Kamu di mana? Khairi bilang kamu nggak ada di kantor."
Memiliki atasan sekaligus teman baik calon suami bukanlah suatu hal yang mudah. Yiraga seringkali menyalahgunakan hal itu sebagai pengawas gue saat di kantor. Seperti kali ini.
"Adek kamu," jawab gue santai sambil mengubah arah kamera ke Jun.
"Hai Bang Aga!" sapa Jun dengan cengiran tidak enaknya.
"Kamu ngapain ngajak pacar Abang makan siang? Mau nikung?"
"Ah Bang Aga baperan nih! Tenang aja, kalaupun Jun nikung yang pasti bukan nikung abang kok! Bahaya kalau nikung Abang mah, pasokan bulanan bisa berkurang. Jun cuma pinjem sebentar Bang. Nggak di apa-apain kok pacarnya Bang Yiyi," kata Jun dengan sedikit meledek pada akhir kalimatnya.
Yiyi memang panggilan 'sayang' gue untuk Yiraga, sedangkan keluarga dan teman dekatnya yang lain akan memanggilnya dengan sebutan 'Aga'.
"Geli tau dek kalau kamu yang manggil!" protes Yiraga yang membuat gue mengulum senyum dan mengubah kembali arah kamera hanpdhone sehingga kembali menghadap gue.
"Mending kamu wawancarain adek kamu sendiri ya, aku mau balik ke kantor. Kalau gajiku dipotong gimana?"
"Minta Yiyi sebanyak yang kakak mau pasti dikasih kak! Nggak usah kerja!" celetuk Jun yang membuat Yiraga berdecak dengan kesal.
"Bilangin ke Jun, pulang langsung ketemu aku."
"Kayaknya aku nggak perlu bilang, adek kamu udah denger kok," jawab gue dengan senyum penuh kemenangan yang membuat Jun mendadak pias.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro