Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kaeya Alberich

"Hei, (Name)! Mau berbincang-bincang denganku sebentar?"

Tanganmu berhenti menuliskan rangkaian kata di atas kertas. Atensimu yang sedari tadi terfokus pada tumpukan kertas pun kini langsung beralih pada sumber suara yang memanggil namamu itu.

Mendapati sosok laki-laki dengan rambut biru tua yang sangat kamu kenali berdiri di depan pintu, kamu pun menghela napas dan memberikan isyarat pada laki-laki itu untuk masuk ke dalam ruanganmu. Laki-laki itu mengeluarkan tawa kecilnya sebelum melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam ruanganmu.

"Nii-san ... ada perlu apa?" Kamu bertanya pada sosok itu tanpa berbasa-basi, sambil melepaskan kacamata yang hanya kamu pakai saat bekerja.

Sebelum menjawab, laki-laki yang kamu panggil dengan sebutan kakak itu pun duduk di sofa yang ada di ruanganmu, dan ia menyandarkan tubuhnya pada sofa tersebut.

"Tidak suka basa-basi seperti biasa, nee, (Name) adikku~" Laki-laki itu tertawa pelan melihat tingkahmu. "Sudah lama kita tidak bertemu, setidaknya temani aku mengobrol. Sini."

Kaeya Alberich adalah nama laki-laki itu, kakak lelaki yang hanya berjarak satu tahun darimu. Kaeya menepuk-nepuk sofa, memberikan isyarat supaya kamu duduk di sebelahnya.

Menyadari isyarat yang diberikan, kamu menghela napas singkat dan kemudian beranjak untuk duduk di samping Kaeya.

"Ada perlu apa?" Kamu mengulang pertanyaanmu sebelumnya setelah duduk di samping Kaeya. Kamu melipat kedua tanganmu dan menatapnya malas. "Kalau hanya ingin menyerahkan berkas atau pekerjaan, harusnya cukup letakkan di mejaku lalu pergilah."

"Bukankah kau sibuk, nii-san?"

Kaeya tertawa kecil sambil meletakkan lengannya di pinggiran sofa. "Memang aku sibuk, tapi tidak sesibuk dirimu yang selalu gila kerja."

"Jadi intinya, nii-san ada perlu apa?"

Kakakmu itu menghela napas setelah mendengar pertanyaanmu lagi. Sebegitu tidak sukanya kamu dalam perbincangan basa-basi-dan Kaeya hanya bisa maklum karena kamu adalah adik satu-satunya. "Jean-danchou memintaku untuk berbicara denganmu."

"Jean-danchou?"

"Katanya, akhir-akhir ini kau terlihat lesu di markas Knight of Favonius, dan kau jadi lebih sering membawa pulang pekerjaanmu alih-alih mengerjakannya di markas," kata Kaeya sambil memandang sepasang netramu lekat-lekat. "Aku diminta olehnya untuk menanyakan keadaanmu-makanya aku pergi ke sini."

"Oh ... rupanya begitu," jawabmu setelah menghela napas singkat. "Dari sekian banyaknya orang, hanya Jean-danchou saja yang menyadarinya, toh. Bahkan aku ragu nii-san menyadarinya."

"Aku sadar kok, sejak seminggu yang lalu." Kaeya meletakkan jarinya di dagunya seraya melirik padamu. "Hanya saja, aku tidak menemukan waktu yang tepat-dan kau terlihat sibuk."

"Bahkan, di rumah ini pun kau selalu mengurung diri di kamar, alih-alih berinteraksi denganku."

Kamu terdiam mendengar perkataan Kaeya, dan kamu tidak membantah atas itu. Memang betul kalian berdua adalah kakak beradik, tetapi kamu tidak terlalu sering berinteraksi dengannya-dan kakakmu itu juga bisa dibilang misterius. Bahkan, sebagai adiknya pun kamu tidak mengerti jalan pikir Kaeya.

Hening menyelimuti ruanganmu, kamu enggan membalas perkataan Kaeya, dan laki-laki itu tampaknya belum ada niatan membuka pembicaraan kembali. Kamu bersandar di sofa, dan lagi-lagi menghela napas berat.

"Saa, ceritalah padaku. Apa akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu, (Name)?" tanya Kaeya.

Kamu mengarahkan atensimu pada Kaeya dan mendapati ekspresi kakakmu itu berubah serius. Sedetik kemudian, kamu memandang langit-langit ruanganmu dan berkata-kata pelan, "Tidak ada apapun yang menggangguku. Kalaupun ada ... mungkin hanya rasa rindu."

"Rindu?" Kaeya mengernyit keheranan.

"Ya, pada Khaenri'ah, juga ayah dan ibu."

Kamu tertawa getir ketika menyebut negara asalmu yang telah hancur itu. Meski telah dimusnahkan oleh para dewa, sedikit banyak kamu memiliki kenangan di tempat yang telah hancur itu, bersama dengan ayah dan ibumu, serta bersama dengan kakakmu-Kaeya.

Entah sudah berapa tahun berjalan sejak ayahmu meninggalkan kalian berdua di pinggiran Dawn Winery, sampai kalian diasuh di keluarga Ragnvindr-meski sekarang kalian bukanlah bagian dari keluarga itu lagi-kamu tidak begitu ingat. Namun, ingatan tentang keluargamu semuanya terpatri di hatimu, dan tidak mungkin kamu bisa lupa.

"Nii-san ... kadang aku kebingungan ... apakah aku boleh berada di sini? Di Mondstadt-negeri kebebasan," katamu sambil menatap Kaeya dengan nanar. "Toh, kita di sini hanya sebagai 'harapan terakhir' Khaenri'ah, bukan begitu? Bagaimana kalau kita pada akhirnya akan mengkhianati mereka?"

"Kalau benar begitu ... aku terkadang berpikir harusnya sejak awal kita berada di Khaenri'ah. Dan karena itulah, terkadang aku rindu pada kampung halaman kita, Kaeya-nii."

Kaeya mengangguk-angguk paham. Ia tentunya bisa mengerti perasaanmu, karena bagaimanapun juga kalian adalah kakak beradik. Sejauh apapun jarak antara kamu dengan Kaeya, kamu tahu kakakmu itu akan selalu memahamimu.

"Aku mengerti, terkadang aku juga seperti itu, kok," jawab Kaeya sebelum ia tertawa pelan dan mengusap-usap pucuk kepalamu singkat. "Tidak apa-apa kalau berpikir seperti itu. Aku paham, dan aku takkan mengkritikmu."

"Kau tahu, sama sepertimu. Terkadang aku pun merindukan Khaenri'ah, juga terkadang aku berpikir kenapa aku ada di Mondstadt." Kaeya memandangmu sambil tersenyum, dan kamu turut memandang lurus netranya itu. "Tapi, yah-kupikir daripada memikirkan apa yang akan terjadi nanti, lebih baik aku jalani saja yang sudah ada sekarang."

"Tidak perlu khawatir. Saat waktunya tiba, kita pasti akan menyadarinya sendiri, (Name)," kata Kaeya sebelum ia terkekeh kecil dan mengacak-acak rambutmu dengan tangan kirinya.

Kamu menunduk dan membiarkan rambutmu diacak oleh Kaeya, memikirkan sejenak perkataan kakakmu itu. Kemudian kamu menghela napas dan mengeluarkan tawa ringan, tangan kananmu kamu gunakan untuk menyingkirkan tangan Kaeya yang masih mengacak-acak rambutmu.

"Kau benar, Kaeya-nii." Kamu kemudian tersenyum dan memandang Kaeya lagi, tangan kirimu menggaruk pipimu yang tidak gatal. "Umm ... terima kasih telah mendengarkanku."

"Bukan masalah, (Name). Lain kali, jangan ragu untuk bercerita padaku," jawab Kaeya sambil memasang senyuman khasnya.

"Heh, apa itu berarti lain kali aku boleh bercerita apapun padamu, nii-san?" tanyamu.

Kaeya mengangguk dan mengusap-usap kepalamu lagi. "Yah, aku ingin kau lebih terbuka padaku. Karena bagaimanapun juga, aku adalah kakakmu, nee, (Name)?"

End of Kaeya's Part

Hewwo! Rashi update book ini~
Rashi agak kesulitan mendalami sifat Kaeya-semoga gak terlalu OOC hahaha :') Kalau ada krisar, Rashi sangat mengapresiasinya!

Yah, semoga kalian menikmati chapter kali ini~! Terima kasih sudah mampir di book Rashi, jangan lupa tinggalkan jejak yaa ehee~!

See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro