Sunyi Bukan Berarti Aman
Hari ini tidak terlihat gangguan dari makhluk dunia lain. Aneh, biasanya mereka mengganggu para penghuni vila dari pagi hingga malam, nyaris tiada henti. Tapi kali ini tidak terlihat tanda-tanda dari mereka, atau terdengar teriakan dari para penghuni vila yang di ganggu oleh makhluk penunggu vila ini.
Hari telah malam, semua orang menuju ruang makan untuk mengisi perutnya yang lapar, "I'ing, cepetan!" teriak Panji dari depan pintu rumah no. 14.
"Iya Nji, tunggu dulu!" teriak I'ing dari dalam kamar.
"Cepetan! Semuanya udah berangkat tuh!" Panji mulai kesal menunggu temannya yang dari tadi sedang mencari hp nya yang hilang.
"Bentar lagi Nji!" seru I'ing.
"Ah, yaudah deh, gue duluan," Panji berjalan keluar rumah meninggalkan temannya sendirian di dalam kamar.
Dengan tergesah-gesah, I'ing meninggalkan kamarnya tanpa memedulikan lagi barang yang sedang di carinya. Ia terlalu takut untuk berada sendirian di ruangan yang berhantu seperti ini.
Saat berada di depan rumah no. 12B, mendadak I'ing merasa seperti ada sesuatu yang memerhatikannya. Berkali - kali ia menengok ke arah belakang, tapi tetap saja ia tidak menemukan apa-apa. Tiba-tiba....
"AAAAAAAA!" I'ing berterak memecah keheningan malam, ketika ia melihat sesosok bayangan hitam yang sedang berdiri di balik pohon mangga.
Perlahan... bayangan hitam itu keluar dari tempat persembunyiannya. Ia mulai berjalan mendekati I'ing yang sedang dilanda ketakutan.
Sangking takutnya, I'ing tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap bayangan hitam itu perlahan semakin mendekat. Perlahan, lama - lama tubuhnya terasa lemas karena ketakutan yang teramat dahsyat. I'ing menutup matanya untuk mengurangi rasa takutnya.
Langkah kaki itu terdengar semakin kencang, begitu juga dengan degup jatung I'ing yang berdegup semakin kencang. Dan kini ia merasakan ada sebuah tangan yang menyentuh bahu kirinya. Keringat dingin pun mulai membasahi wajah I'ing.
"Ing, kenapa lo?" kata seseorang sambil menahan tawa dalam kalimatnya.
Suara itu seperti familiar di telinga I'ing, segera ia membuka matanya secara perlahan. Kini di depannya terlihat Panji yang sedang menahan tawanya, "sialan lo, Panji!" I'ing memukul lenga Panji dengan kuat.
Bukannya merasa sakit, Panji malah tertawa terbahak-bahak, "hahahaha!"
"Terus aja lo ketawa," kata I'ing sambil berjalan meninggalkan Panji.
Panji mengejar I'ing, "seharusnya lo liat ekspresi wajah lo tadi," Panji mulai mengejek I'ing kembali.
"Berisik lo," kata I'ing ketus.
"Hahahaha," Panji hanya tertawa dengan puas, karena ia berhasil mengerjai temannya.
***
Di saat semua orang telah terlelap, terlihat seseorang yang mengenakan jubah hitam bertudung, sedang berjalan di tengah heningnya malam. Ia kelihatan gelisah, karena sudah berkali-kali ia menoleh ke belakang. Tangannya terliht membawa sesuatu seperti tampah, yang biasa digunakan untuk mengayak beras. Tapi dia bukan sedang mengayak beras. Dia membawa sesuatu diatas tampah itu.
Ia terus berjalan menuju taman sambil menunduk dan terus memegang erat tampahnya yang entah itu berisikan apa? Tangannya terlihat gemetar, entah karena cuacanya yang dingin, atau mungkin ia yang sedang ketakutan?
Sekarang dia berhenti di ujung taman, tepatnya di depan gudang. Entah apa tujuannya, yang jelas ia masuk ke sana.
Beberapa menit kemudian ia keluar. Dengan langkah yang terkesan tergesah-gesah ia meninggalkan gudang itu. Tanpa ia sadari, sebenarnya ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh.
Orang yang sedang memerhatikan kejadian itu tersenyum miring, ketika orang berjubah hitam itu meninggalkan taman. "Ck! Dasar. Sekte sesat," gumamnya.
***
Cahaya putih itu membua Ana harus menyipitkan matanya. Ia tidak dapat melihat ke depan, karena cahayanya terlalu terang. Tapi perlahan-lahan cahaya itu mulai perlahan - lahan memudar.
Ana terlihat kebingungan, karena mendadak ia berada di tempat yang asing. Tempat yang gersang. Tanahnya terlihat sangat kering, langitnya gelap gulita, segala hal yang ada disini terlihat hitam, dan suram. Mulai dari rumah, kursi, air mancur, serta tanah yang dipijaknya pun berwarna hitam. Nampak sangat menyeramkan. "Dimana aku?" tanya Ana pada dirinya sendiri.
"Di tempat yang seharusnya tidak kamu kunjungi," kata suara asing yang berasal dari belakang Ana.
Spontan Ana menengok ke belakang. Kini ia dapat melihat seorang wanita berparas cantik yang sedang berdiri di hadapannya, "siapa kamu?" tanya Ana yang tidak mengenali wanita berparas cantik itu.
"Pergilah, bawa teman-temanmu pergi dari tempat terkutuk ini," bukannya menjawab pertanyaan Ana, dia malah menyuruh Ana untuk pergi dari sini. "Dan cepatlah pergi dari sini, sebelum ada orang yang menyadari keberadaanmu."
"Kamu ini lucu yah?" sindir Ana, "kita itu disini hanya berdua, tidak ada siapa-siapa lagi selain aku dan kamu."
Wania itu meraih tangan Ana, "cepatlah pergi, sebelum semuanya terlambat."
Ana mengerutkan keningnya, "terlambat apanya?" Ana semakin tidak mengerti dengan ucapan wanita ini. Berakali-kali ia menyuruhnya untuk pergi dari tempat ini.
"Aku tidak ingin ada korban lagi, jadi pergilah!" wanita itu menarik - narik lengan Ana, memaksanya untuk segera pergi dari sini.
"Tapi kenapa aku harus pergi?" mendadak timbul rasa keingintahuannya, walaupun sebenarnya Ana tidak mengerti maksud dari perkataan wanita tersebut.
Wanita itu menengok ke kanan, kiri dan belakang. Memastikan agar tidak ada orang yang sedang memperhatikan mereka. Setelah merasa aman, wanita itu mengatakan sesuatu dengan sangat terburu - buru. "Ketika cahaya malam telah mencapai tahta tertingginya, disaat itulah jiwa yang kesepian ditarik ke tempat dimana cahaya hanya berpusat kepada satu titik kehidupan."
"Apa?" bukannya mengerti, Ana malah semakin pusing mendengar perkataannya.
'Krincing krincing krincing' terdengar suara lonceng berbunyi berkali-kali.
"Mereka datang! Cepat pergi! Jangan sampai mereka menemukanmu," sekarang wanita itu terlihat panik.
"Mereka? Mereka siapa?" Ana menengok ke kanan dan ke kiri, tapi tak terlihat seorang pun yang datang menghampirinya, yang terdengar hanyalah suara lonceng yang semakin lama semakin kencang.
"Ayo cepat pergi! Mereka tidak boleh melihat mu disini," wanita itu menarik-narik tangan Ana.
Bukannya bergerak, Ana malah terdiam sambil menatap wanita yang menarik-narik tangannya. Mendadak pandangannya menjadi kabur. Perlahan semuanya menjadi tidak jelas, lalu semuanya gelap, dan.... "Ana! Bangun!" teriak seseorang tepat di sebelah telinga Ana.
"Hmm..." Ana membuka kedua matanya dengan malas. Walaupun pandangannya belum fokus, tapi Ana bisa tahu bahwa orang yang berteriak tepat di sebelah telinganya itu adalah Putri. Si gadis berhijab itu telah berdiri di sebelah kasurnya.
"Akhirnya... bangun juga. Gue kira lo mati," kata Putri kesal.
"Hoam... sialan lo, Put," ucap Ana sambil menguap, tanda ia masih mengantuk. "Memang ini jam berapa?" kata Ana sambil bangkit dari tidurnya.
"Jam 10 lebih," kata Putri kesal.
"Apa!?" Ana terkejut mendengar perkataan temannya, "kok lo gak bangunin gue sih Put!? Jahat lo!" Ana tersentak kaget mendengar perkataan temannya.
"Gue udah bangunin lo berkali-kali, tapi lo nya aja yang kelewatan."
Ana hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Semalem bilangnya mau motret matahari terbit, tapi lo nya aja bangunnya jam segini," gerutu Putri.
"Maaf Put, kayaknya ini efek dari gue begadang semalem," Ana menguap sambil menggaruk - garuk belakang kepalanya.
"Ah, lo mah kebiasaan Na, pasti karena nulis lagi kan?" omel Putri.
"Hehehe," Ana hanya bisa nyengir kuda mendengar omelan temannya ini.
Saat Putri masih sibuk menceramahi Ana, tiba-tiba Alya masuk. "Eh, Ana. Udah bangun? Alya pikir, Ana tadi mau tidur untuk selama - lamanya, " canda Alya.
"Sialan lo, lo pikir gue mati?" dengus Ana dengan sebal.
"Hehehe, habisnya, lo dibangunin gak bangun - bangun sih... gue pikir lo mati, hahaha," ledek Alya.
"Ck! Siala lo semua, doanya pada jelek - jelek," Ana berdecak kesal.
"Siapa suruh, lo dibangunin gak bangun - bangun?" ucap Putri.
"Oh iya Na, matahari terbit di air terjun deket sini itu bagus banget loh... sayang yah Na, kalo gak bisa liat?" goda Alya.
"Lo juga Ya! Bukannya bangunin gue, malah asik sendiri," jawab Ana dengan sebal.
"Elo sih kebo! Dari tadi dibangunin gak bangun-bangun!" omel Alya.
"Bodo," Ana menjulurkan lidahnya lalu lari menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.
"Ye... dasar Ana, kalo posisinya udah terpojok aja kabur," komen Putri yang sudah hafal dengan tingkah laku aneh dari temannya tersebut.
***
Setelah membersihkan tubuhnya, Ana merasa sedikit rileks dan bisa berpikir jernih. Soal misteri yang ada di vila ini, terror - terror yang didapatnya selama berada di vila ini, mengenai mimpi - mimpi gila yang ia terima, dan fakta aneh yang terkadang membuatnya sakit kepala setiap memikirkannya.
Ana berusaha mengait - ngaitkan soal surat yang pertama kali ia temukan di lemari kamar ini, beserta semua fakta yang ia dapat dan insiden yang menimpa dirinya dan teman - temannya. Sungguh hal yang sangat membingungkan.
"Hah..." Ana duduk di tepi ranjangnya dengan perasaan gusar. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi di vila ini sih?" Ana memilin - milin handuknya dengan perasaan gundah. "Lalu... sebenarnya... rahasia apa yang ada di vila ini?" tanya Ana pada dirinya sendiri.
Ana terdiam sejenak sambil menatap ubin yang sebenarnya tidak menarik sama sekali untuk dipandang. "Apa sebaiknya gue cari tau sendiri ya?" Ana kembali terdiam, ia sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri.
Dengan hati yang sudah mantap, Ana bangkit dari duduknya, meletakkan handuknya di jemuran belakang, lalu mulai berjalan ke luar rumah setelah merapikan dirinya sejenak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro