Sumber Bencana
Setibanya mereka di vila bagian atas, Tirta mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan kalau di sekitarnya tidak ada penjaga. Benar saja, di sana tidak ada seorangpun yang menjaga vila bagian atas. “Ternyata mereka tidak sepandai yang aku pikir,” ujar Tirta.
“Memang kau pikir mereka itu apa? Profesor? Ilmuan? Atau tentara?” ledek Rika.
“Cara pikir mereka itu, masih kuno Tir, jadi kamu jangan khawatir.”
“Baiklah kalau begitu, kita kemana?” tanya Tirta.
“Ke sini, ayo!” Rika menarik tangan Tirta.
***
“Ayo cepet Put, gue udah merasa kalau kita sudah semakin dekat,” kata Ana sambil terus berlari.
“Dekat dengan apa sih?” tanya Putri sambil terus berlari mengejar Ana.
“Dengan sumber kekuatan mereka,” jawab Ana dengan nafasnya yang sudah mulai setengah-setengah. “Emangnya elo gak ngerasa apa?” tanya Ana balik.
“Enggak,” jawab Putri singkat.
Buk! “Aduh Na, lo kenapa sih, berhenti mendadak gitu?” Putri memukul punggung Ana dengan sebalnya.
“Tadinya sih Put, gue mau ngasih sen dulu ke elo, kalau gue mau berhenti. Tapi karena lampu yang gue bawa cuma satu yah... batal deh gue ngasih sen ke elo,” sesal Ana dengan wajah bersalah yang dibuat – buat.
“Ikh! Ana!” Putri memukul Ana lagi.
“Put, lo niat banget ya... mukul gue,” Ana mengusap bahunya yang terasa sakit akibat pukulan dari Putri.
“Habis, lo bikin gue sebel,” kata Putri dengan gemasnya.
Ana hanya tersenyum sambil meraba dinding lorong tersebut yang terbuat dari bata.
“Lo lagi ngapain?” tanya Putri dengan heran.
“Kali aja gitu Put... ada tombol rahasia di sekitar dinding ini,” ucap Ana sambil terus meraba dinding bata tersebut.
Tanpa menunggu di perintah oleh Ana, Putri ikut meraba-raba dinding bata tersebut. Setelah sepuluh menit meraba – raba dinding dengan tujuan yang tidak jelas, Putri mulai putus asa. “Na, kayaknya disini tidak ada tombol atau semacamnya deh...” kata Putri.
Ana mulai menjauh dari dinding yang di rabanya. “Hmm… tapi… entah mengapa… gue yakin sekali, kalau di balik dinding ini ada sesuatu,” ucap Ana. kemudian ia memejamkan matanya untuk berpikir lalu mulai menarik nafas panjang.
Di dalam pikirannya, ia melihat tepat di depannya ada sebuah ruangan kosong yang hanya di terangi oleh sebuah cahaya. Cahaya itu berasal dari atas, sepertinya cahanya itu sedang menerangi sebuah benda kecil yang wujudnya tidak jelas.
Ana mulai berjalan lurus menuju ruangan itu sambil terus memejamkan mata. Ia tahu, jika ia membuka matanya, yang ia lihat hanyalah dinding tanpa celah. Tapi jika ia memejamkan mata, ia dapat melihat kalau di depannya ada sebuah ruangan.
Ketika Ana sudah merasa dekat dengan sumber cahaya tersebut, Ana membuka matanya. Benar saja, sekarang Ana sudah berada di dalam ruangan tersebut. Dari dalam, ia bisa melihat Putri yang sedang meraba-raba dinding yang Ana lewati tadi. “Loh, kok dari sini gue ngeliat Putri ya? Padahal kalau dari luar tadi, gue gak bisa lihat ke dalam ruangan ini, tapi kalau dari dalam sini... kok gue bisa lihat ke luar ya?” ucap Ana yang membuat dirinya sendiri bingung. “Jangan-jangan ruangan ini dikasih mantra,” kata Ana pada dirinya sendiri.
“Ana...!! lo gak kenapa – kenapa kan?” tanya Putri. “Sebenernya lo itu manusia beneran, atau manusia jadi – jadian sih?!” teriak Putri dari luar ruangan.
“Menurut lo aja deh Put!” sahut Ana dengan berteriak.
“Kok lo bisa masuk sih Na?!”
“Gue kan keturunannya Harry Potter Put, jadi gue bisa nembus sana, nembus sini,” celetuk Ana.
“Keturunan setan kali lo Na!” ujar Putri.
“Enak aja lo! Sembarangan kalo ngomong!” omel Ana.
Putri hanya tertawa mendengar omelan Ana.
“Terus aja ketawa Put...” kata Ana sambil mendekat ke arah kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi tersebut disinari oleh sinar bulan. Membuatnya terlihat indah bila dipandang dari jarak yang cukup dekat.
“Ini apaan ya?” tanya Ana ketika ia mengambil kendi yang diletakkan di atas tempat batu yang tingginya hampir sedada orang dewasa.
Setelah mendapatkan benda tersebut, Ana berjalan kembali ke luar ruangan. Tapi baru dua langkah ia berjalan, tak sengaja ia tersandung dan kendi yang digenggamnya pun terjatuh.
Ana segera membersihkan sikunya yang lecet akibat terjatuh. “Butuh bantuan?” tanya sebuah suara yang kedengarannya tidak asing lagi baginya.
Ana pun segera menoleh ke sumber suara tersebut. ASTAGA! Itu... itu... itukan... “Di-Di-Dimas ?!” pekik Aa sedikit tergagap karena sangking terkejutnya. Ini yakin, nih Dimas? Tapi, kok kelihatannya lebih muda ya? Pikir Ana.
Dimas mengulurkan tangan kanannya untuk membantu Ana berdiri. “Kamu tidak apa?” Dimas menghiraukan teriakan Ana barusan dan membantunya berdiri.
“E-elo kan... Dimas. Kok kelihatan lebih muda sih?” tanya Ana dengan tatapan penuh tanya.
“Iya,” jawabnya sambil memasang sebuah senyuman. “Kamu siapa? Apa kita saling mengenal?” tanya Dimas.
“Iya, tapi gue taunya Dimas itu gak semuda ini. Mau dibilang kembar, tapi kok kayaknya gak mungkin ya? Jarak usia kalian kok kayaknya beda banget ya?” kata Ana.
“Dimas yang kamu kenal itu bukan yang asli. Akulah Dimas yang sebenarnya,” ungkapnya.
“Lalu, kalau kamu itu Dimas yang asli, kenapa kamu berada disini Seharusnya kamu menjaga Rika,” kata Ana.
“Bagaimana aku bisa menolong Rika, jika aku dikurung di dalam kendi itu selama 4 tahun?” kata Dimas sebal.
“Hah? darimana lo tahu kalau lo itu sudah berada di dalam kendi itu selama 4 tahun? Dari mana lo bisa tau, kalau sebenarnya lo itu sudah berada disini selama 4 tahun?” tanya Ana heran. “Dan gue yakin, lo pasti tidak memiliki kalender untuk mengetahui tanggal berapa sekarang?” lanjut Ana.
“Batu ini,” Dimas mengeluarkan batu kristal dari kantongnya. “Batu ini akan terasa panas setiap kali para siluman itu akan mengadakan upacara pengorbanan,” Dimas memberikan batu tersebut kepada Ana.
Ana menerima batu pemberian dari Dimas. “Batunya... hangat.”
“Dan saat upacara itu dimulai, batu itu akan bersinar terang.”
“Berarti... ini sumber kekuatan mereka?” tanya Ana. Yang disambut anggukan dari Dimas.
“Berarti kalau batu ini dihancurkan, mereka akan menjadi lemah semua? Tapi... kayaknya gak semudah itu deh, sepertinya batu kristal ini tidak akan hancur sebelum waktu yang tepat. Tapi... kapan ya?” Ana mulai berbicara pada dirinya sendiri.
Ana mengerutkan kenungnya sambil mulai berpikir. “Oh iya!” Ana menjentikkan jarinya, “waktu yang paling tepat adalah tengah malam. Pada saat upacara perngorbanan itu dimulai!” seru Ana disaat ia mendapatkan perkiraan yang menurutnya tepat.
Dimas hanya mengangguk mengiyakan ucapan Ana. gadis yang cerdas, batinnya.
“Nah, ayo keluar,” Ana menarik tangan Dimas.
Setelah keluar dari ruangan tak kasat mata itu, Putri merasa terkejut melihat kehadiran Dimas.
“Udah Put, kagetnya nanti aja, sekarang lebih baik kita segera pergi dari sini,” perintah Ana yang disambut anggukan dari Putri dan Dimas, tanda kalau mereka berdua setuju dengan perkataan Ana.
Dimas, Putri dan Ana segera berlari menuju tempat upacara sesembahan itu dilaksanakan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro