Panik
Vila ini memiliki restoran yang cukup luas untuk menampung para pengunjung vila, kira-kira restoran ini dapat memuat sampai 500 orang lebih.
Terdengar keramaian di dalam restoran ini, pada saat jam makan siang. Entah apa yang di bicarakan oleh orang-orang, yang jelas mereka tidak membahs hal-hal aneh seperti yang dibicarakan oleh keempat orang ini.
"Eh Na, duduk sini deh!" Tirta melambai – lambaikan tangannya ke arah Ana yang sedang berjalan mencari tempat duduk.
Ana mengangguk lalu berjalan ke meja yang ditempati oleh Tirta, Putrid an Marsyah untuk makan.
"Ada hal yang mau kita omongin ke lo nih Na," kata Tirta saat melihat Ana sudah berada di sebelah meja makan mereka. Tirta memasang wajah serius.
"Ngomong apa? Ngomong aja," kata Ana saat ia duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Putri.
"Eh Na, masa di sprainya Panji sama I'ing ada yang aneh tau," ucap Tirta dengan suara berbisik. Takut suaranya terdengar oleh orang lain yang belum mengetahui masalah ini.
"Aneh apanya?" ucap Ana dengan cuek sambil menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya.
"Masa ya, di tempat tidurnya Panji dan I'ing ada ceplakan tangan berdarah," ungkap Putri juga dengan suara berbisik.
Mendengar pernyataan Putri barusan, membuat Ana tersedak makanannya, "uhuk! Uhuk! Uhuk!" Ana mengambil air minumnya untuk menghilangkan rasa sakit akibat tersedak makanan. Setelah meminum segelas air dan tenggorokannya sudah terasa tidak sakit lagi, ia berteriak, "serius lo!?"
Putri langsung membekap mulut Ana, "ish, anak ini... jangan teriak – teriak dong... nanti yang lain bisa denger tau," omel Putri dengan suara berbisik.
Ana menyingkirkan tangan Putri yang membekap mulutnya, "memangnya, kalian belum memberi tau seorangpun? Siapa saja yang tau?" tanya Ana.
Marsyah menggeleng, "yang tau cuman kita berempat yang ada disini, Alya, para penghuni vila no. 14, kecuali Panji."
"Jadi si Panjul itu belum tau?" tanya Ana yang langsung dapat jitakan dari Putri. "Aw... Put, lo kok kayaknya hobi banget sih nyiksa gue? Salah gue apa coba?" Ana mengusap – usap kepalanya yang kena jitak Putri.
"Ya elo lagian, kalo ngomong asal aja," ucap Putri kesel. "Mamanya tuh susah – susah bikin nama, lo ganti seenak jidat."
"Bodo," ucap Ana sedikit sebal.
"Sudahlah kalian berdua, jangan berantem," lerai Tirta. "Menurut lo, bagaimana ceplak tangan itu bisa berada di kasur?" tanya Tirta pada Ana.
"Menurut lo mungkin gak, kalau penghuninya itu suka sama salah satu dari penghuni kamar itu?" tanya Marsyah juga.
"Heh... kok kalian nanya hal – hal itu ke gue sih? Memangnya lo kira gue apa? Mbah dukun?" ucap Ana dengan raut wajah yang sebal.
"Gue rasa, penunggu kamar itu gak suka dengan kedatangan I'ing dan Panji yang telah mengusik ketenangan mereka," tanggap Putri.
Tirta mengangguk, lalu berpikir sejenak. "Menurut lo gimana Na?" Tirta berpaling ke Ana.
"Ha?" Ana sepertinya tidak memerhatikan percakapan ketiga temannya. Buktinya saat di tanya, Ana malah kelihatan seperti orang linglung.
"Ye, si Ana... orang lagi ngobrol, dia malah bengong," Putri memukul pelan lengan Ana yang kebetulan orangnya sedang duduk di sebelahnya.
Ana hanya nyengir menanggapi perkataan Putri. "Menurut lo, mungkin gak sih... salah satu dari dua anak itu diincar?" kini gantian Ana yang bertanya.
"Bisa jadi sih Na," Tirta mengangguk-anggukkan kepalanya, "menurut lo, siapa yang diincar?"
Orang yang di tanya pun hanya diam membisu.
"Na!" Putri menyenggol pundak Ana.
"Dia akan ma-" Ana lontarkan kalimat itu dengan cepat, lalu membungkam mulutnya dengan rapat sebelum seluruh isi pikirannya terlontar begitu saja.
Marsyah mengerutkan keningnya, "tadi lo bilang apa?"
Ana menggeleng, "bukan apa-apa."
"Jangan bohong, tadi gue denger lo bilang 'dia akan...'. Akan apa coba?" Tirta mencoba mengorek informasi lebih dalam lagi mengenai ucapan Ana barusan.
"Iya Na, gue juga denger. Maksud lo, mereka apa?" Putri memandang ke arah Ana.
"Bener deh, bukan apa-apa," Ana menggeleng – geleng kecil.
Tirta, Marsyah, dan Putri, hanya bisa saling pandang satu sama lain tanpa bisa berkata apa pun. Lalu mereka melanjutkan makan siang yang sempat tertunda.
Ana menarik napas lega, "fiuh... untung mereka gak denger," Ana bergumam sendiri. "Sebelum membicarakan hal ini lebih lanjut, gue mau nyari bukti yang kuat dulu untuk hal ini," gumam Ana pelan.
***
Jam 23.30, semua orang sudah terlelap dalam tidurnya. Tapi entah mengapa, tiba-tiba Ana terjaga. Baru saja ia membuka mata, samar-samar ia melihat anak kecil sedang berdiri di sudut ruangan, tepatnya di belakang pintu
Anak kecil? Siapa itu? Bukannya Tirta bilang dia sudah mengunci pintu depan ya? Apa dia lupa? Terus itu anaknya siapa coba? Segala pertanyaan langsung merasuki pikiran Ana.
Anak kecil itu menyuru Ana untuk mendekat ke arahnya dengan cara mengayun-ngayunkan tangannya. Karena tidak tega, Ana pun turun dari kasur dan menghampiri gadis kecil itu. Tapi baru saja ia turun dari ranjang, matanya pun baru menyadari, kalau kaki gadis itu tidak menginjak tanah. Jadi ia mengurungkan niatnya untuk mendekati si gadis kecil.
"Siapa kamu?" tanya Ana dengan suara yang pelan, bahkan nyaris berbisik. Ia takut membangunkan Alya.
"Ana jangan takut," jawab gadis kecil itu dengan suara ciri khas anak kecil, tapi terdengar menyeramkan saat gadis itu berbicara dengan suara yang lembut. "Kakak tidak akan melukai Ana, kakak akan menjaga Ana. Ana hati-hati ya, selama disini. Banyak makhluk jahat disini yang bisa mencelakai Ana, tapi tenang saja, kakak akan menjaga Ana," ucap gadis kecil itu yang membuat seluruh bulu kuduknya berdiri.
Kakak? Kakak katanya? Yang benar saja, aku ini anak tunggal, bahkan mamaku tidak pernah hamil sebelum aku lahir. Pikir Ana.
"Kamu memang tidak bisa mengingatku, karena mama sudah berdoa kepada tuhan agar ruh mu itu diberikan ke seorang ibu yang sedang hamil, agar kamu selamat dari bahaya yang sedang dihadapi oleh keluarga kita beberapa tahun silam. Dan aku adalah korban yang tak sengaja harus menggantikan nyawamu." Gadis itu menangis sambil memegangi boneka beruang miliknya, lalu dengan sekejap mata, ia menghilang.
Ana terkejut melihat gadis itu menghilang. "Kemana anak kecil itu?" Ana mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
"Ah, masa bodolah, lebih baik gue kembali tidur." Tak butuh waktu lama bagi Ana untuk kembali tidur, karena ia memang benar-benar sedang kelelahan.
***
Paginya, Ana bangun dengan menyisakan bekas lingkaran hitam di matanya. Padahal malam itu ia dan kawan-kawannya baru tidur jam 11 malam, tapi entah mengapa, ia terbangun dari tidurnya, dan tak sengaja bertemu dengan hantu anak kecil yang mengaku-ngaku sebagai anaknya. Sejak itu, Ana jadi lebih sering tidur, lalu kembali terjaga, tidur, lalu kembali terjaga. Hal itu ia lakukan sampai jam 4 pagi. Setelah salat subuh, Ana baru bisa memejamkan matanya dengan tenang.
Semua itu karena pertemuannya dengan gadis kecil yang mengaku sebagai kakaknya. Saat tidur Ana jadi memimpikan hl-hal aneh tentang vila ini. Walaupun sudah terjaga, dan berdoa semoga saat tidur ia tidak mendapatkan mimpi buruk itu lagi, mimpi itu malah terus berlanjut. Bagaikan film yang di pause, lalu di play lagi.
***
Ana baru selesai mandi. Ia mengeringkan rambut paanjangnya di depan cermin dengan handuk. Tiba – tiba gerakannya terhenti saat mengeringkan rambutnya.
Ia mencoba menyatukan semua kejadian dan hal – hal yang ia temui di vila ini. Walaupun terasa mustahil dan tidak masuk akal untuk dicerna oleh akal sehat manusia, tapi Ana mencoba menghubungkan semuanya.
Ana rasa, ada banyak petunjuk yang masih menyulitkannya untuk menyambungkan semua kejadian dan fakta. Akhirnya, karena frustasi, Ana membuang handuknya sembarangan.
Ana memutuskan berjalan-jalan di taman untuk sedikit menjernihkan pikirannya. mencoba menikmati udara sejuk yang hampir tidak pernah ia rasakan selama hidup di ibu kota yang biasanya lebih didominasi dengan debu, asap, dan berbagai macam polusi.
Melihat hijaunya rumput dan mendengar kicauan burung yang terasa seperti sedang saling bersahutan, membuat perasaan nyaman tumbuh di dalam hati Ana. Seakan-akan ia merasa telah kembali pulang ke rumahnya.
Walaupun sedang bersantai menikmati ciptaan tuhan yang baginya sangat mengagumkan, Ana tetap tidak bisa memungkiri kalau ia merasa seperti sedang diperhatikan oleh seseorang.
Perasaan nyaman yang tadi sempat singgah di hatinya mendadak jadi menghilang. Ia hanya bisa melihat ke kanan dan ke kiri melalui sudut matanya. Tiba-tiba Ana membalikkan badannya dengan cepat. Ia melihat Rika, adiknya Dimas, sedang menyapu taman, dan kebetulan sekali, tatapan mereka bertemu.
Seperti maling yang tertangkap basah, Rika mencoba untuk pergi dari taman itu, tapi Ana berlari lebih cepat dan dapat menarik lengan Rika agar menghadap ke arahnya. "Elo! Ngapain ngeliatin gue kayak gitu! Kayak baru ngeliat manusia aja," omel Ana yang entah mengapa jadi emosi karena hal yang sepele.
"Ma-maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu, tapi aku melihat kamu seperti senang sekali berada di taman, dan seolah-olah kamu sedang menyatu dengannya," ucap Rika sambil terus menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap mata Ana yang mendadak majadi tajam seperti elang.
Menyadari lawan bicaranya sedang ketakutan karena sikapnya, Ana melepaskan cengkramannya dari lengan Rika dan berbicara dengan nada yang lebih tenang dan sopan, "maafkan aku, aku menjadi emosi karena hal yang sepele seperti ini. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu takut," sesal Ana.
Kali ini Rika berani untuk mengangkat kepalanya dan menatap mata Ana. "Kalau kamu punya masalah, jangan di pendam sendiri. Sebaiknya berbagilah dengan temanmu, mungkin dia bisa membantumu," ucap Rika lalu ia permisi pamit untuk membersihkan bagian vila yang lain.
Ana mengangguk mempersilahkan Rika pergi. Ucapan terakhir Rika membuat Ana tertegun. Darimana dia bisa tau kalau gue ada masalah ya? Apa dia bisa baca pikiran ya? Pikir Ana.
Ana menggeleng – gelengkan kepalanya untuk menyingkirkan segala macam pikiran aneh yang merasuki otaknya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro