Busnya Datang!
"Nah, Tir, duduk disini aja, sambil makan pop mie," kata Ana sambil mengangkat sebuah pop mie yang ia pesan tadi sebelum masuk ke dalam hutan.
Untung Ana berpesan kepada Rika untuk memasaknya setelah 30 menit mereka pergi. Kalau tidak, mie mereka pasti sudah terlihat seperti cacing gendut yang siap jadi pancingan para ikan yang sedang kelaparan.
Soalnya mereka sudah pergi selama 40 menit. Kebayang dong... mie yang dibiarkan mengembang selama 40 menit?
Tak lama kemudian, Dimas dan Rika keluar dengan membawa beberapa koper dan satu tas besar. 'Mau kemana mereka? Pergikah? Pindah rumahkah? Atau mau mencari pekerjaan baru sembari mengungsi di rumah keluarga orang tuanya?' pikir Tirta.
"Bukannya gue takut atau mau menuruti permintaan si peri yang cantik itu, tapi gue hanya mau jaga - jaga aja," kata Ana cuek sambi terus melahap pop mie nya.
"Hah? Jaga - jaga? Jaga - jaga dari apa?" tanya Tirta.
"Untuk yang satu ini, jagan kepo yah Tir, gak bagus buat nyawa lo," ujar Ana sekenanya saja.
Tirta sudah hafal tabiat temannya yang satu ini, kalo ngomong asal bicara. Dan kalau sudah menyimpan sebuah rahasia, dijamin orang lain gak ada yang bisa tau. "Tapi Na, gak baik juga loh buat nyawa, kalo lo menyimpan terlalu banyak rahasia."
"Bodo, intinya gue cuman ngajak dua kakak beradek ini untuk tinggal di Jakarta. Dari pada disini, jadi buronan para hantu?" jawab Ana seenaknya.
"Hah?! Terus mereka mau tinggal dimana?" Tirta terkejut mendengar perkataan Ana.
Tin! Tin! Suara klakson bis terdengar, terpaksa Tirta harus menahan rasa keingin tahuannya, karena Ana pasti akan menyuruhnya untuk memanggil teman-temannya kalau bis yang akan membawa mereka pulang, telah tiba.
"Tir, ke dalem gih! Kasih tau pak Eka, kalau bis nya udah dateng. Sama jangan lupa kasih tau temen - temen yang lain. Oke?" pinta Ana yang sedikit memerintah itu.
'Tuh kan, bener. Baru aja dipikirin, udah kejadian beneran,' ungkap Tirta dalam hati. Dengan perasaan bingung pun, Tirta berlari ke dalam vila.
"Kamu serius dengan permintaanmu itu?" tanya Dimas setelah Tirta jauh dari tempat mereka.
"Jelas iya dong. Bagaimana pun ceritanya, gue harus punya pengawal yang siap menjaga gue 24 jam. Lukisan monalisa yang benda mati aja banyak yang mau ngejagain dia selama 24 jam, masa gue yang udah jelas makhluk hidup ini, gak boleh minta dijaga selama 24 jam?" tutur Ana panjang lebar.
"Bukan itu. Kalau yang itu aku juga bersedia menjaga kamu 24 jam. Bahkan Rika sepertinya rela menjaga kamu 26 jam," Dimas menengok ke arah adiknya sambil menyunggingkan sebuah senyuman jail.
"Soalnya dia senang sekali bisa bertemu denganmu, bahkan ku rasa, dia lebih menyukaimu, ketimbang kakaknya sendiri," lanjut Dimas.
'Jelas si Rika lebih seneng sama gue, orang kakaknya aja nyebelin setengah mampus! Mana pertama kali muncul di depan gue aneh banget lagi. Pakek keluar dari kendi segala. Udah kayak jin tomang aja yang keluar dari botol!' dumel Ana dalam hati.
Entah mengapa, tiba-tiba saja Dimas tersemyum geli. "Kenapa lo senyum - senyum, hah?" tanya Ana heran.
"Pikiranmu lucu," Dimas tersenyum geli lagi. "Tapi kamu memang benar, terkadang aku menjadi kakak yang tidak menyenangkan untuk Rika."
Ana melotot. 'Mampus! Dia bisa baca pikiran gue? Gue harus jauh - jauh dari anak yang satu ini. Kalo enggak, bisa - bisa semua rahasia yang gue simpen bisa buyar semua di tangan dia. Oh, benar-benar mimpi buruk!' kata Ana dalam hati.
"Nanti akan saya ajarkan bagaimana caranya mendindingi pikiran tuan putri, agar tidak ada seorang pun yang bisa membacanya. Termasuk orang - orang berkemampuan seperti saya," Dimas tersenyum.
Ana semakin bergidik ngeri saat Dimas lagi-lagi berhasil membaca pikirannya. Dengan cepat ia berlari ke dalam vila untuk mengambil barang-barangnya.
***
Ana memilih tempat duduk yang ada di tengah. Ia sengaja mengambil kursi untuk tiga orang, karena saat ini ia benar - benar ingin tidur nyenyak sambil merebahkan badan di atas kursi bis yang tidak terlalu panjang. Ia begitu yakin kalau tidak ada yang mau duduk bareng dia, soalnya Ana begitu malas menanggapi obrolan yang tidak penting dengan teman - temannya.
Tapi baru saja ia meletakkan barang - barangnya di atas, tiba - tiba Putri datang menghampiri Ana, "gue duduk sini ya?" tanpa menunggu persetujuan dari Ana, Putri langsung duduk di sebelah Ana.
"Terserah, tapi kalo lo gue kacangin, jangan salahin gue," Ana duduk di kursi yang ada di tengah.
"Enggak..." Putri bangkit dari duduknya untuk meletakkan barang - barangnya di atas. Setelah menaruh barang - barangnya, Putri kembali duduk di sebelah Ana.
Ana mendorong bahu Putri dengan pelan, "Put, jangan deket - deket dong... gue ngeri nih..."
"Kenapa? Lengan lo masih sakit? Coba sini, gue pencet," Putri mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Ana yang sedang sakit.
Ana langsung menepis tangan Putri, "belom pernah ngerasain dipukul make spatu kulit ya?" Ana pura - pura melepas ikatan sepatunya.
"Eh Na, lo jangan serius gitu dong... gue kan cuman bercanda," Putri nyengir sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, membentuk huruf V.
Saat Putri dan Ana sedang asik bercanda, tiba - tiba saja Panji duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Ana. "Eh Nji! Ngapain lo duduk sini?" Ana menatap Panji dengan heran.
"Masa duduk disini aja gak boleh sih Na? Teritorial banget sih lo," ketus Panji.
"Bodo! Sana lo!" Ana memukul lengan Panji.
"Sakit bego, Na!" Panji melotot ke arah Ana.
"Terus gue peduli?" Ana balas melotot. "Sono sih Nji! Gue mau tidur!" Ana mendorong Panji.
"Tidur ya tinggal tidur, ribet banget sih lo!" sahut Panji ketus.
"Bukan gitu... masalahnya... kalo lo duduk situ, badan gue gak bisa miring ke kiri. Soalnya bahu kanan gue lagi sakit, jadi gue gak bisa tidur sambil miring ke kanan," kata Ana.
"Dasar, gak ada hubungannya pe'a... lagi pula, siapa suruh lo begadang begitu?"
"Eh dodol, ada hubungannya tau! Badan gue bisa sakit semua kalo tidur lurus kayak triplek. Terus ya Nji.. kalo gue gak begadang... nyawa lo udah ilang entah kemana," Ana menatap Panji dengan tatapan setajam pisau, "bukannya terima kasih, malah ngebentak-bentak plus maki-maki gue lagi. Manusia macam apa lo?" Ana melipat kedua tangannya di depan dada.
"Iya deh... maaf, dan makasih karena kalian udah nyelametin gue," Panji menunduk melihat Ana sedang menatap matanya dengan begitu garang.
'Ternyata ampuh juga tatapan mata gue, hohoho,' kata Ana dalam hati.
"Tapi Na... gue boleh nanya sesuatu gak?" Panji mengangkat kepalanya lagi untuk melirik Ana.
"Boleh."
"Iya, tapi lo jangan natap gue dengan tatapan seakan-akan lo mau ngebunuh begitu. Horor tau gak?" Panji menatap mata Ana yang masih melihat Panji dengan tatapan mata yang begitu tajam.
"Sori, kebawa suasana," Ana nyengir. "Lo mau nanya apa sih?" sekarang wajah Ana berubah rileks.
"Kebiasaan nih Ana," celetuk Putri yang ada di sebelahnya.
Ana hanya tersenyum mendengar perkataan temannya.
"Gue mau tanya ya," Panji memberikan jeda pada kalimatnya, agar Ana memperhatikannya dengan serius. "Dari awal kita sampai ke vila ini, gue kalo ngeliat lo kok selalu nengok kesana-kemari sih? Kayaknya dari awal lo udah tau kalo ada yang gak beres sama vila ini," Panji menatap Ana dengan penuh curiga.
"Oke, gue emang udah curiga dari awal, so..."
"Tuh kan, kenapa lo gak ngasih tau kita dari awal?" protes Putri memotong ucapan Ana.
Ana melirik Putri, "lo ya, orang belom selesai ngomong udah main potong aja," Ana menarik nafas panjang. "Gini ya... gue tuh bukannya gak mau ngasih tau kalo vila ini berbahaya, tapi awalnya gue belom yakin, sampai si peri putih itu ngedatengin gue lewat mimpi. Nah, semenjak itu, gue udah mulai yakin kalo vila ini berbahaya, tapi gue juga gak sepenuhnya yakin juga sih... pokoknya ya gitu deh," Ana bingung harus menjelaskannya dari mana? Kalau dimulai dari awal sampai akhir, bisa-bisa mulutnya berbusa.
"Terus gimana awalnya lo bisa curiga sama vila ini?" tanya Panji.
"Intinya, pas pertama kali bis kita sampe, ujung mata gue tuh ngeliat kalau papan nama yang bertuliskan 'Vila Sildi' itu ditulis di atas kayu raksasa dan tulisannya tuh kelihatan kayak ditulis dengan tinta merah yang belepetan. Mungkin bisa di artikan dengan kata lain adalah... darah," ucap Ana setengah berbisik.
"Jadi, lo bengong kayak orang bego pas pertama turun dari bus itu gara-gara itu?" tanya Putri.
"Iya put, tapi gue gak berani cerita ke siapa-siapa, takut dikira bohong."
"Jadi, maksud lo, tulisan itu ditulis dengan darah?" tanya Panji ikut setengah berbisik.
Ana mengangguk.
"Terus, kok lo ga.." ucapan Putri terhenti saat mendengar ucapan pak Ubai yang membahana. "Nanti kita lanjut lagi setelah ini," bisik Putri.
"Apa semuanya sudah lengkap?" tanya pak Ubai dengan suara yang tegas.
"Baiklah, saatnya kita pulang!" seru pak Ubai dengan penuh semangat.
"HORREEEE!!!!!!" seru seluruh murid yang ada di dalam bus.
"Ayo pak supir, berangkat!" kata pak Eka dengan penuh keceriaan.
Dengan berjalannya bis meninggalkan vila terkutuk itu, berakhirlah sudah mimpi buruk anak kelas X-IPA 3 dan dua guru kesayangan mereka.
Peristiwa semalam bagaikan mimpi buruk yang begitu nyata untuk mereka. Bahkan ada beberapa orang yang berani bersumpah, mereka tidak mau kembali mengulangi mimpi gila ini. Tapi ya sudahlah, toh semuanya telah berakhir.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro