[FlashFic] Neverland
"H-hey, kembalikan ...."
Satu dari empat anak laki-laki di depanku mendekat, membuatku tersaruk mundur. "Kembalikan katanya. Payah banget." Sambil tertawa, dia menggerakkan tangannya yang memegang kacamataku ke kiri dan ke kanan.
Air mata tidak dapat kutahan. Jadi, aku terisak-isak sambil menutup mata dengan kedua kepalan tangan. Pandanganku makin kabur karena air mata yang tidak berhenti keluar.
Mereka menertawakanku. Kacamataku mereka mainkan tanpa takut rusak. Aku yang payah ini hanya bisa duduk sambil menangis.
"Rylo menangis lagi. Payah!" seru seorang lagi sambil mendorongku hingga jatuh ke belakang. "Masa cowok nangis!"
Apa salahnya anak laki-laki menangis? Semua orang pasti menangis, kan? Orang tua juga bisa menangis. Kenapa aku tidak boleh? Kenapa anak laki-laki tidak boleh?
***
Hari ini, aku berkhayal lagi sambil menatap ke luar jendela. Aku suka melihat bintang. Katanya, ada bintang yang akan menuntun kita ke suatu tempat. Nama tempat itu Neverland.
Aku tidak bisa ke sana, tetapi aku mau ke sana. Sayangnya, kita harus terbang untuk sampai ke sana. Kita harus dijemput oleh anak laki-laki yang berpakaian hijau dan bisa terbang. Kalau tidak salah, namanya Peterpan.
Buku bergambar tentangnya kudekap tiap malam saat aku berdiri di depan jendela. Persis seperti yang kulakukan saat ini. Kuharap dia akan datang. Aku sudah lelah di sini. Aku ingin pergi dan tinggal selamanya di tempat menyenangkan seperti Neverland.
Pintu kamarku terbuka perlahan. Aku menoleh, mendapati kakak perempuanku melangkah masuk. Dia melangkah mendekatiku, lantas mengusap pucuk kepalaku. "Belum datang, ya?" tanyanya lembut.
Aku menggeleng. Kutatap kakakku sejenak lalu beralih menatap sampul buku bergambarku.
Kakakku beranjak ke kasur dan duduk di sana. "Kenapa Rylo mau ke Neverland?"
"Rylo nggak mau di sini." Lagi-lagi aku terisak. "Anak-anak di sekolah jahat."
"Eh? Kalau Rylo pergi ke Neverland, Kakak sendiri di rumah. Nanti Mama sama Papa sedih, lo."
Aku berbalik, kembali mengamati bintang. Siapa tahu ada yang akan muncul, entah itu si peri atau Peterpan sendiri. Anak-anak Neverland lain juga tidak apa, asal mereka datang untuk menjemputku.
"Rylo," panggil kakakku, "menurutmu, Neverland itu tempat seperti apa?"
Hening sejenak. Aku butuh waktu untuk merangkai kata-kata. "Neverland itu tempat yang menyenangkan. Anak-anak tetap jadi anak-anak kalau tinggal di sana. Peterpan juga mengajari kita terbang. Kalau sudah bisa, kita akan berpetualang di pulau itu."
Kakakku yang bernama Keina meletakkan siku di atas nakas, menopang pipinya yang tembam. "Begitu, ya? Bagaimana kalau tempat itu tidak seperti yang kamu pikirkan?"
Dekapanku makin erat, tidak peduli kalau buku bergambarku sobek atau kusut. "Maksud Kakak ... apa?"
Dia terdiam cukup lama, memainkan rambutnya sambil menatap jendela. Tatapannya hampa, tetapi bibirnya membentuk lengkungan samar yang disebut senyum tipis.
"Kak?" panggilku khawatir seraya melangkah mendekat.
Dibawanya kedua tangan ke pipiku. "Jangan ke sana, ya? Janji pada Kakak."
Kulepaskan buku bergambar yang sejak tadi kudekap, membiarkannya jatuh ke lantai. Mengulurkan tangan ke depan, aku memeluk kakakku. Dia balas memelukku tak lama kemudian. Bisa kudengar Kakak terisak sampai mengusap punggungku.
"Kalau ada yang mengetuk jendelamu nanti dan mengajakmu pergi ke sana ... kumohon mundurlah. J-jangan buka ... jendelanya." Suara Kakak bergetar, tubuhnya juga.
Ingin aku iyakan saja, tetapi rasa penasaranku terlalu tinggi. Aku pun bertanya, "Kenapa? Apa yang akan terjadi kalau aku ikut dengannya."
Kakak melepas pelukannya, beralih mencengkeram bahuku. "Sekali kamu pergi mengikutinya, kamu tidak akan pernah kembali."
***
Dulu, kupikir aku tidak akan kembali karena terlalu senang bermain di Neverland. Nyatanya tidak. Aku baru menyadarinya di detik-detik terakhir. Kakakku benar. Saat aku meraih tangan anak yang menjemputku, aku tidak akan bisa kembali.
Sekeras apa pun aku menjerit, sekeras apa pun orang tua dan kakakku menangis nantinya, jalan kembali tidak akan terbuka untukku. Ah, betapa bodoh dan egoisnya aku.
Memang benar, sekarang aku bergabung dengan mereka, anak-anak yang bisa terbang.
"Aku pernah mengajak kakakmu dulu," kata anak laki-laki yang seumuran dengan diriku dulu. Kira-kira kelas empat atau lima SD.
Aku memalsukan senyum. "Sungguh?"
Dia mengangguk antusias, tetapi langsung murung saat berucap, "Tapi ... kakakmu beruntung. Dia koma."
Tertawa hambar, hanya itu yang bisa kulakukan sebagai respon. Dia benar, aku ini tidak seperti kakakku. Aku tidak beruntung.
"Ayo, kita pergi." Si anak laki-laki menarik tanganku.
Aku mengangguk, lantas terbang mengikutinya. Untuk terakhir kalinya, aku menoleh ke belakang. Jendela kamarku terbuka. Kakakku di sana, memukul-mukul bingkai jendela sambil menangis histeris.
Katanya, kalau kita menoleh ke belakang saat akan pergi ke suatu tempat yang jauh, kita akan kembali nantinya. Namun, kurasa itu tidak berlaku bagiku.
The End
Clouchi's note:
Hmn ini cerpen gaje seperti biasa- /plak
Daaaan tumben cerpennya singkat :'
Anu ini singkat karna, ya idenya simpel. Terus alur yang terpikir begini.
Bagi yang pembaca Eccentric Teens-kalau ada-ini bukan Rylo di sana :') beda Rylo. Rylo di lapak sebelah udah beberapa chapter gak nongol bukan berarti dia ke Neverland, ya /nangis/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro