Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[CerPen] Verolyn yang Kuat dan Sabar

Verolyn adalah wanita muda yang kuat. Dia bisa hidup mandiri dalam rumah kecilnya di tengah hutan, hanya sesekali pergi ke pemukiman terdekat demi keperluan yang tak bisa dibuat sendiri.

Verolyn adalah wanita muda yang amatlah sabar. Berapa lama pun waktu yang dibutuhkan buruannya untuk jatuh ke dalam perangkap yang telah dia atur, Verolyn tidak pernah merasa gelisah. Dia sudah terlatih sejak dini.

Baik hati sudah menjadi sifat yang pasaran. Saking pasarannya, orang-orang yang tidak berhak berani-berani saja mengeklaim sifat tersebut. Padahal, seringkali orang-orang yang sungguhan berhati mulia tidak akan pernah mengaku demikian karena merasa tidak pantas. Maka dari itu, jika Verolyn diminta untuk menyebutkan dua sifat baiknya, inilah jawabannya: penyabar dan pengertian.

Itu memang benar adanya. Jika tidak, maka Verolyn sudah minggat dari rumah kecil dengan ratusan kenangan itu sejak lama. Dia bahkan tidak akan mau menjejak hutan tempatnya tinggal saat ini. Terlalu banyak kenangan yang disimpan oleh pohon-pohon dan bebatuan.

Angin berkesiur menerpa dedaunan pohon yang begitu lebat. Semburat kuning keemasan mewarnai kaki langit, mengusir kegelapan. Tampak embusan napas Verolyn memunculkan uap yang segera lenyap disapu angin. Udara masih begitu dingin meski sang mentari telah menampakkan dirinya, tetapi hal itu tidak pernah berhasil menghentikan Verolyn.

Langkah kaki wanita tersebut membawanya pada sebuah bangku tua dekat sungai. Ya, sebutlah rangkaian batang pohon itu tua. Nyatanya ia masih kokoh dan mampu menopang berat badan dua manusia dewasa. Sayang teramat sayang, selama setahun belakangan, ia hanya menopang tubuh seorang manusia, bukan dua orang.

Verolyn duduk di sana, seorang diri saja, membuka kain polos yang membungkus kotak bekal yang kemudian dia taruh di samping. Kedua telapak tangan dia pertemukan, jemari bertautan agar tak terpisah sepanjang wanita itu memanjatkan doa. Khusus untuk hari ini, doa makan itu lebih panjang dari biasanya, tetapi tidak apa. Sarapannya bisa menunggu, begitu juga perutnya.

Menit-menit berlalu barulah Verolyn selesai. Ketika dia hendak meraih kotak bekalnya, dia dapati di samping kotak itu ada seekor tupai. "Oh, halo, teman kecil," sapanya. Dua butir kacang dia sodorkan pada hewan pengerat tersebut. "Mari sarapan bersama."

Sesuap demi sesuap Verolyn habiskan, walau sesekali rasanya dia seperti akan tersedak. Perasaan lagi-lagi mengganggunya. Ini tidak baik, tidak bisa dibiarkan. Namun, apalah dayanya. Perasaan tak dapat selalu diabaikan. Sekalipun didorong ke sudut tergelap dalam hati, mereka akan selalu muncul kembali ke permukaan.

Verolyn adalah wanita yang kuat. Verolyn adalah wanita yang penyabar. Kedua fakta ini masih berdiri tanpa goyah sekalipun karena demikian yang diinginkan Verolyn. Dia masih kuat untuk bertahan seorang diri. Dia masih sabar menunggu agar janji hari itu ditepati. Sekali dua kali menangis tidak apa. Lagi pula, tidak ada yang melihat, tidak ada yang akan mengadu, jadi tidak apa. Para tumbuhan tidak memiliki mata dan para hewan tidak berbicara bahasa manusia.

"Lyn," panggil suara yang sayup-sayup.

Tidak Verolyn gubris. Pasti hanya imajinasinya.

"Lyn." Suara itu terdengar lagi dan masih tidak dia gubris.

Pasti hanya sebuah kepingan dari memori indah yang tersimpan dalam hati, Verolyn yakin. Kepingan-kepingan itu sering bermunculan dalam benak tiap kali dia merindu.

Sekian waktu berlalu diisi desiran angin dan isak tangis. Suara tersebut tidak lagi terdengar. Setidaknya, hingga Verolyn mengangkat kepala usai mengusap air mata.

"Lyn, kamu tahu? Aku selalu kagum padamu," ucap suara yang tadi. Kali ini berserta pemiliknya yang tengah duduk bersila di atas rerumputan, hanya lima langkah dari tempat Verolyn duduk. Dia adalah seorang pria yang memakai pakaian khas pemburu. Wajahnya dihiasi bekas luka cakaran hewan buas.

Verolyn mengenalinya, pria yang terkesan menyeramkan dan dapat membuat orang lain mematung atau lari terbirit-birit hanya dengan sekali kontak mata. Oh, andai saja mereka tahu jika pria tersebut tampak amatlah manis ketika tersenyum seperti saat ini.

"Herald...."

Senyum pria itu yang awalnya begitu bersinar kini berubah lembut. Kedua tangannya terentang ke depan, siap menyambut sang wanita yang segera menerjang ke arahnya dan masuk ke dalam dekapan.

"Ini mimpi. Ini pasti mimpi." Verolyn kembali terisak-isak. "Kamu membuatku menunggu selama satu tahun lebih dan begini caramu muncul? Ini tidak lucu.... Sama sekali tidak lucu, Herald."

Padahal tangisnya baru saja reda. Kenapa dia kembali dibuat menangis? Lebih lagi oleh ... Herald? Apakah pria yang mendekapnya saat ini sungguhan belahan jiwanya? Tidak mungkin. Ini sudah terlalu lama. Verolyn memang setia menunggu, tetapi wanita itu tidak pernah benar-benar berpikir hari ini akan datang.

Bayangan akan ditepatinya janji itu hanyalah ilusi yang dia ciptakan agar dia bisa terus bertahan. Sejak lama Verolyn sudah tahu bahwa kekasihnya tidak akan mungkin kembali, jadi mengapa? Mengapa pria itu kini merengkuhnya dalam pelukan yang begitu hangat? Mengapa pada saat Verolyn berputus asa barulah dia muncul.

"Lyn," panggil Herald sembari membelai rambut wanita tersebut yang sedikit kusut. Karena tak kunjung mendapat respons, pria itu mengulang dengan sedikit berbeda, katanya, "Lyn sayangku."

Sang wanita bergumam pendek, masih sibuk meredakan tangis. Pelukannya serta-merta mengerat.

"Lyn, maafkan aku." Senyum Herald kini berubah sendu. Jika diamati dengan saksama, matanya bahkan sedikit berkaca-kaca ketika dia berucap, "Aku terlambat. Datangku bukan untuk menepati janji kita."

Hening sejenak sebelum Verolyn menggeleng pelan dan berkata, "Tidak apa. Aku mengerti."

"Aku sudah membuatmu menunggu terlalu lama."

"Tidak masalah. Aku sudah biasa menunggu."

"Tapi aku sudah membuatmu menderita."

"Jika itu karena dirimu, aku tidak masalah."

Rahang sang pria seketika mengeras. Terlalu lama dia menahan bulir-bulir air asin itu dalam pelupuk mata. "Lyn, untuk kali ini saja. Untuk terakhir kalinya...."

Verolyn mendongak. "Ada apa, Herald?" Tangisnya telah usai dan matanya mulai sembab.

Herald, dengan tangannya yang gemetar, menangkup pipi kekasihnya yang tak lagi menunjukkan rona merah muda. "Kutuklah aku, orang yang sudah membuatmu menderita hingga menemui akhir seperti ini. Luapkan amarahmu, Lyn. Makilah aku jika kamu ingin. Aku pantas---"

Tanpa aba-aba, Verolyn beralih mengalungkan tangannya pada pundak Herald, membuat pria itu sedikit membungkuk. Kening mereka bertemu. Pada saat itulah senyuman terlukis pada wajah sang wanita. Matanya tertutup seperti siap untuk berlabuh ke alam mimpi pada malam hari.

"Herald, kamu tahu? Aku justru senang saat kulihat dirimulah yang datang menjemputku."

"Kamu sungguh tidak marah?"

Verolyn samar-samar menggeleng. "Aku sudah meluapkan kekesalanku tadi."

"Hanya kesal?"

Sang wanita tertawa kecil sedangkan Herald keheranan. Apa gerangan yang telah kulakukan untuk dapat mendengar tawa manis ini setelah sekian lama? pikirnya. Lalu, tanpa dia duga, sebuah kecupan lembut mendarat di pipinya.

"Maaf, Herald. Wanita yang kamu kagumi ini tidak cukup kuat sehingga kita harus bertemu terlalu awal."

Kata-kata itu meluncur keluar dari mulut Verolyn sesaat sebelum sang mentari sepenuhnya keluar dari persembunyian. Herald benar-benar tidak diberi kesempatan untuk membalas sebab sudah waktunya mereka berdua pergi. Dia hanya bisa berharap balasannya dapat tersampaikan tanpa perlu diucapkan.

Kamu sudah cukup kuat, telah bertahan selama ini. Aku bangga padamu.

Tamat

Clou's corner:
Aku nulis apa, ya? Tadi pas bangun dari tidur sore kepikiran aja pengen nulis bittersweet romance.

25-01-2025

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro