[CerPen] Teman Kecil
Para peri adalah makhluk mungil yang sibuk dan senang bernyanyi. Melantunkan melodi selagi bekerja adalah hal yang lumrah. Lebih meriah lagi mereka kala tiba harinya untuk beristirahat dan bersenang-senang. Peri-peri pekerja itu akan bernyanyi, menari, dan memainkan alat musik bersama para burung pipit.
Kebanyakan demikian, senang bercengkerama. Namun, beberapa lebih senang menikmati hari istirahat mereka dengan tenang tanpa nyanyian ataupun alunan musik, hanya embusan angin dan gemerisik tumbuhan. Dily adalah salah satu dari mereka.
Dily adalah peri pekerja yang kesehariannya berurusan dengan biji pohon ek. Di pohon tempatnya bekerja, sulit sekali dia mencari ketenangan sebab Ifi dan Ifo senang sekali berduet sembari membersihkan biji pohon ek. Hanya pada hari istirahat Dily dapat bebas dari mereka.
Akan tetapi, Dily pikir para peri pekerja harus belajar membedakan antara hari kerja dan hari pesta. Beberapa peri benaran harus mengisi tenaga, bukannya berpesta ria tanpa peduli akan tubuh yang sudah capai berteriak kalau ia butuh istirahat.
Maka dari itu, begitu hari istirahat tiba, Dily berangkat dalam perjalanan kecilnya ke luar hutan. Bekalnya hanya sekantong serbuk ledak yang akan memercikkan api kecil begitu ditaburkan. Seorang peri harus bisa menjaga dirinya di luar hutan peri.
Dengan sayapnya yang semi-transparan, Dily terbang menyusuri pepohonan. Sesekali dia saling sapa dengan para tupai saat mereka kebetulan berpapasan. Adapun burung pipit yang menyempatkan diri untuk terbang di samping Dily barang sebentar.
Kurang dari satu jam, akhirnya Dily tiba di pinggiran hutan. Begitu memasuki area padang rumput, terik mentari menyambut tanpa ada yang menghalau. Cepat-cepat Dily terbang ke atas bukit dan berteduh di bawah pohon yang biru dedaunannya.
Belum ada siapa-siapa di sana. Dily tiba terlalu cepat, jadilah dia tidur siang sebentar di atas dahan pohon selagi menunggu. Bunyi angin bagaikan lagu pengantar tidur bagi peri pekerja itu.
Ini baru yang namanya hari istirahat. Sunyi dan menenangkan, tidak perlu memaksakan diri untuk berinteraksi dengan peri lain yang seakan tak pernah kehabisan energi.
***
"Peri kecil, oh peri kecil," panggil seorang wanita tua, menengadah ke atas dahan pohon tempat Dily tidur siang. Tangannya yang keriput membawa sebuah keranjang piknik.
Tak mendapat respons selain dengkuran yang teramat samar, wanita tua itu pun membuka tutup keranjang piknik. Dikeluarkannya kain bermotif kotak-kotak yang terlipat rapi dan kelihatan lembut. Setelah menaruh keranjang, dia menggelar kain itu sebagai alas lalu duduk di atasnya.
"Peri kecil pasti kelelahan usai bekerja, ya." Wanita tua itu tertawa kecil. Perlahan dia menata bawaannya di atas karpet putih-merah muda.
Dily, si peri kecil yang sebenarnya terjaga, memperhatikan dari atas. Andaikan tubuhnya lebih besar lagi, mungkin sebesar tikus tanah, Dily pasti bisa membantu. Dia hanya akan tergencet piring kalau memaksakan diri dengan tubuh yang begitu mungil.
"Nah, peri kecil, sudah selesai. Kamu bisa turun sekarang," ujar si wanita tua. Tangannya bergerak melakukan gestur memanggil.
Bunyi lonceng mini mengudara. Sumbernya adalah si peri yang memelesat turun dari dahan pohon begitu matanya menangkap keberadaan makanan yang wanita tua itu sebut sosis gurita.
Mata Dily berbinar-binar. Air liur yang mengucur di sudut bibir buru-buru dia hapus. Dan ketika tangannya hendak meraih sosis gurita tersebut, Dily teringat akan sesuatu. Dia meraba-raba tali sabuk yang melingkar di pinggangnya, tidak mendapati apa pun selain kantong berisi bubuk ledak. Segera dia terbang ke atas lagi, membuat si wanita tua bertanya, "Oh? Pergi ke mana dirimu, peri kecil?"
Makanan yang telah ditata di atas karpet memang sangat menggoda. Ada sosis gurita, bola-bola daging, roti lapis, dan potongan pai ceri. Namun, Dily harus mencari sesuatu dulu. Barangkali tertinggal di dahan, pikirnya. Sayang sekali tidak ada apa pun setibanya dia di atas sana.
"Oh, apa ini?" ucap si wanita tua.
Atensi Dily langsung tertuju padanya diiringi suara lonceng yang berbunyi hanya satu kali. Didapatinya wanita tua itu hendak mengambil sesuatu yang jatuh di pucuk kepalanya. Menyadari bahwa sesuatu tersebut adalah daun semanggi berdaun empat, segera Dily terbang menyambarnya sebelum hilang dibawa angin.
"Astaga. Apa itu, peri kecil?"
Dily kemudian terbang ke hadapan wanita tersebut. Dengan wajah berseri-seri dan bunyi lonceng mungil menemani, disodorkannya semanggi berdaun empat yang dia temukan selagi menunggu tadi.
"Untukku?" Si wanita tua menerimanya juga dengan senyum. "Terima kasih banyak. Sekarang, ayo, kita makan."
Dily mengangguk antusias, lantas kembali pada piring berisi sosis gurita. Sedikit-sedikit dia gigit sepotong sosis itu sampai habis. Berpindah ke piring bola-bola daging, Dily menyempatkan diri untuk memperhatikan manusia yang tengah duduk bersamanya.
Tidak seperti para peri pekerja yang berisik, manusia yang sudah lama menemaninya ini tidak banyak bicara. Dily senang, punya teman yang tidak membuatnya kewalahan.
Tiap hari istirahat Dily, mereka selalu bertemu di bukit itu, tepat di bawah pohon berdaun biru lebat. Entah sejak kapan, dia tidak ingat. Harapnya rutinitas itu akan terus berlanjut untuk selamanya, tetapi kenyataannya tidak bisa seperti itu.
Suatu hari, meski telah menunggu lama hingga mentari hendak tenggelam, tidak ada manusia yang muncul. Mungkin si manusia sedang tidak bisa datang hari itu. Mungkin dia sakit. Kata peri-peri lain, semakin tua seorang manusia, semakin renta tubuh mereka. Macam-macam penyakit dapat menyerang pada masa itu.
Dengan harap yang kian lama kian menyusut, Dily terus datang ke tempat itu pada hari istirahatnya. Dua kali, tiga kali, empat kali. Tidak ada. Wanita tua itu tidak kembali. Andai Dily tahu di mana rumahnya, maka dia akan pergi berkunjung. Akan tetapi, nama saja dia tidak tahu. Pasti ada banyak manusia yang bisa disebut wanita tua, bukan?
Pada kali kelima, si peri kecil tak lagi membawa harap bersamanya. Cahaya kecil itu telah padam. Dily datang sekadar mengingat masa lalu, membayangkan karpet putih-merah muda yang atasnya dipenuhi macam-macam makanan manusia. Bayangan si wanita tua juga ada di sana, menengadah menatap Dily. Tangannya yang keriput bergerak dengan gestur agar Dily turun dan bergabung bersamanya.
Bulir-bulir air mata lolos dari bendungan, mengalir turun dari sudut mata si peri kecil. Sesenggukan dia lantas tercekat ketika telinganya mendengar bahasa manusia.
"Peri kecil? Kamu di sana?"
Suara yang berbeda, bukan milik teman Dily. Suara yang ini lebih jernih dan ringan.
"Peri kecil, aku bawa kesukaanmu!"
Halusinasi? Bukan. Maka Dily menengok ke bawah. Ada anak manusia di bawah sana, membawa keranjang piknik yang sepertinya berat untuk dia bawa. Senyum anak gadis itu seketika mekar kala mereka bertemu pandang.
"Perinya sungguhan ada!"
Dily ikut tersenyum meski hatinya masih sedikit nyeri. Orang-orang datang dan pergi, adalah kalimat yang dia ingat betul diucapkan oleh si wanita tua.
Selesai
Clou's corner:
Aku sempat nangis dikit pas ngetik bagian akhirnya :"
29-09-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro