Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[CerPen] Bola Salju Kaca

Cerita lepas Unseen Mysteries

Couple pairing: Chici x Jason

✿ | ❀ | ✿

Pada pagi hari yang dinginnya menusuk sampai ke tulang-tulang, Merichi bergeming di pinggir pintu depan asrama perempuan. Kedua tangan yang agaknya sudah membeku dia simpan dalam saku mantel musim dinginnya.

Seorang diri Merichi menonton anak-anak perempuan lain bergegas ke gedung akademi. Semuanya memakai mantel tebal dan kebanyakan memakai stoking hitam di bawah rok mereka. Beberapa bahkan menggunakan payung, enggan dihinggapi keping salju yang masih berjatuhan.

Ini musim salju pertama Merichi setelah sekian lama tidak bertandang ke Magiko Kosmo. Tubuhnya yang sudah terbiasa dengan iklim tropis lagi-lagi harus beradaptasi. Menyebalkan sekali. Kalau bisa, Merichi ingin tinggal di dalam kamarnya saja, membungkus diri dengan selimut. Sayangnya ada kelas yang harus dia hadiri.

Dengan berat hati gadis itu melangkah lepas menaikkan tudung mantel. Sejak awal dia memang tidak berharap apa-apa pada sepatu ketsnya, tetapi tetap saja dirinya bergidik merasakan dingin yang menjalar dari telapak kaki. Semoga dia tidak mati membeku sebelum tiba di gedung akademi.

Langkah demi langkah Merichi ambil, hati-hati walau sedikit tergesa-gesa. Embusan napas yang keluar dari mulutnya mewujud berupa uap. Dia ingin kembali ke kamar. Mungkin belum terlambat untuk putar balik.

"Ah, Chici," ucap seseorang yang berhenti di ujung jalan setapak asrama laki-laki. "Selamat pagi!" sapanya melambai-lambaikan tangan dengan semangat.

Tangan kanan gadis itu, barang sebentar saja, dikeluarkan dari saku mantel untuk membalas lambaiannya. Merichi pikir lelaki itu akan melanjutkan jalannya, tetapi seperti biasa, dia menunggu.

Jason namanya, anak laki-laki aneh yang betah sekali berdekatan dengan Merichi sejak hari pertama. Kepribadiannya yang cemerlang berbanding terbalik dengan Merichi. Dia juga pantang menyerah, terbukti dari usahanya meruntuhkan dinding pertahanan si gadis.

Hampir satu semester telah berlalu. Usaha Jason bisa jadi tidak sia-sia sebab kini Merichi tengah berjalan di sebelahnya. "Selamat pagi juga," kata gadis itu. Dari balik tudung mantel yang bertengger pada kepalanya dia mengintip.

Rambut Jason yang sewarna cokelat manis seperti ditaburi gula halus. Netra birunya kelihatan sungguhan bersinar, lebih memikat daripada langit biru pagi ini yang agak suram. Senyum tipis yang sejak tadi terplester pada wajah lelaki itu membuat Merichi terheran-heran.

Setelah memusatkan perhatian ke depan, dia bertanya, "Kau kelihatannya senang banget. Enggak kedinginan?"

"Tida---enggak," Jason menggeleng, "soalnya jalan bareng kamu."

"Buaya."

Jason cekikikan. Dia lalu menoleh, katanya, "Liburan semester nanti kamu mau balik ke Bumi?"

"Entahlah. Kayaknya enggak."

"Kenapa begitu?" Jason menelengkan kepala. "Jadi ... kamu bakal tinggal di asrama selama liburan?"

"Rencananya begitu."

Akhir-akhir ini cara bicara Jason sudah lebih santai. Merichi jadi merasa nyaman berbincang dengannya. Kebanyakan orang-orang di akademi ini bicaranya kaku. Tidak banyak penduduk asli Magiko Kosmo yang pergi berkunjung ke Bumi dan golongan itulah yang mendominasi akademi.

Tak terasa mereka sudah memasuki gerbang, kaki menapak halaman depan gedung utama akademi. Waktu sungguhan berlalu dengan cepat kalau dihabiskan dengan mengobrol.

Setibanya di selasar, seperti murid-murid lain, mereka membersihkan salju yang menempel pada sekujur tubuh mereka. Merichi selesai lebih dulu sementara Jason masih sibuk membersihkan rambutnya.

"Jaketmu punya topi, malah enggak dipakai," cibir gadis itu. Kakinya tertempel di tempat, padahal dia tidak perlu menunggu.

Jason hanya tersenyum menanggapinya. "Asrama perempuan sarapan apa tadi?" dia bertanya usai merapikan rambutnya sebisa mungkin.

Hanya pertanyaan basa-basi, tetapi Merichi menjawab, "Biasa. Roti bakar dengan telur, buah-buahan, dan segelas susu. Kalian?"

"Sama," balas Jason seraya memulai langkah, diekori oleh Merichi. "Omong-omong, selesai ujian semester kamu luang?"

"Luang."

Keduanya berbelok di ujung lorong, melalui jalan penghubung ke area gedung 1, tempat para junior dari tingkatan satu sampai tiga belajar. Tidak seramai biasanya, pikir Merichi. Kebanyakan murid pasti masih bermalas-malasan atau bahkan menolak untuk berpisah dari kehangatan selimut serta kasur empuk mereka.

Dalam perjalanan menuju kelas, Merichi sibuk mengamati halaman yang kemarin hari masih hijau segar. Salju tak pernah gagal untuk menyeret benaknya ke masa lalu. Beruntung ada Jason yang selalu berhasil menariknya kembali.

"Selesai ujian semester...," ucapnya pelan, "mau jalan bareng?" Pipi anak laki-laki itu sedikit merona, barangkali karena tidak memakai tudung mantelnya tadi.

"Jalan ke mana?"

"Ke kota dekat sini."

"Perlu waktu dua jam naik kereta kuda buat sampai ke kota yang paling dekat dengan akademi." Merichi menoleh dengan alis tertaut. "Dan bukannya kau harus pulang ke Negeri Angin? Liburan dengan keluarga."

"Iya, tapi sebelum itu aku mau jalan-jalan denganmu." Jason mengedipkan sebelah mata.

Merichi memutar bola matanya dengan malas. Dia kemudian menghentikan langkah, berniat membiarkan Jason masuk lebih dulu ke kelas. Namun, seperti biasa, Jason juga berhenti dan mempersilakan dia masuk disertai gestur sopan yang jarang sekali Merichi temui. "Setelah dirimu," katanya.

Gadis itu tercengang, lantas memalingkan wajah saat sadar. "Jangan begitu lagi. Bikin malu," ketusnya sembari menggeser pintu agar terbuka.

Lagi-lagi Jason cengengesan. "Kamu lucu kalau malu-malu," ledeknya.

"Wah." Seorang murid yang datang paling awal menoleh ke belakang kelas. "Selamat pagi, JaNia! Masih pagi sudah---"

Hanya dengan satu jentikan jari, peluru angin mungil menyasar penghapus papan tulis yang dipegang murid tersebut. Benda persegi itu kemudian terpental ke sudut ruangan, jatuh ke dalam keranjang sampah yang baru saja dikosongkan.

"Sekali lagi kau panggil kami begitu, jidatmu yang bakal kena," ancam Merichi baru menurunkan tangannya. Gadis itu pun membuka mantelnya, kemudian duduk di bangku yang paling dekat dengan pintu.

Mantel musim dingin yang dilipat asal-asalan dijadikan bantal untuk kepalanya istirahat. Merichi terlambat sadar kalau seharusnya dia menghadap ke kanan, bukannya ke kiri.

Di bangku sebelah, Jason bertopang dagu, menatapnya dengan senyum miring. Mantel merah lelaki itu masih mendekap tubuhnya. "Kamu belum jawab pertanyaanku."

Merichi mendengkus. Kedua mata dipejamkannya. "Aku enggak punya uang buat main-main."

"Aku yang traktir."

"Enggak mau."

"Lalu---terus, kamu maunya apa?"

Hening. Murid yang tadi diancam Merichi pura-pura batuk sebelum melenggang ke luar kelas. Ruang kelas jadi terlalu luas untuk dua remaja itu.

Merichi membenamkan wajah di atas bantal jadi-jadiannya. "Aku mau tidur lagi di kamar asrama."

"Maksudku, saat liburan nanti."

"Ya, mau tidur."

"Mau jalan-jalan ke Bumi? Sehari saja."

"Enggak."

"Baiklah."

Percakapan berhenti di situ. Tidak lagi Jason mengungkit topik liburan semester. Merichi pikir lelaki itu sudah menyerah, ternyata tidak demikian. Jason masih punya banyak cara untuk meluruhkan dinding si gadis, bahkan saat dia sedang berlibur jauh di Negeri Angin.

"Wah, apa itu?" Anna, teman sekamar Merichi, menyusulnya ke ambang pintu. Senyum jahil terlukis pada wajahnya. "Paket dari pacar, ya?"

"Sembarangan," ketus Merichi sambil mendorong wajah teman sekamarnya itu. "Kepo berlebih itu enggak baik."

Liburan semester sudah setengah jalan. Bukan cuma sekali Jason mengirimkan paket untuk Merichi. Setahu gadis itu, murid akademi tidak diperbolehkan menerima paket selain dari orang tua atau wali. Itu juga harus melewati pemeriksaan ketat. Rupanya peraturan tersebut tidak berlaku dalam masa liburan, kecuali pemeriksaannya. Itu wajib.

Merichi mendudukkan bokongnya di tepi kasur. Sebuah kotak kecil diletakkan di pangkuan. Ketika tutupnya dibuka, tampak bagian atas bola salju kaca. Barang mahal, pikirnya.

Ornamen itu dia keluarkan, membuat Anna yang menyimak dari kasur seberang terkesima. Indah sekali. Butir-butir salju menari di dalam sana. Di tengah-tengah terdapat miniatur pohon kering yang dahan-dahannya diselimuti salju. Bersandar pada pohon tersebut, figur gadis kecil berjubah merah dengan tudung dinaikkan serta keranjang piknik di pangkuan.

Senyum kecut terlukis pada wajah Merichi. Gadis itu tahu, bola salju kaca tersebut adalah bentuk usaha Jason untuk mengingatkannya. Padahal, Merichi tidak pernah lupa.

Dulu sekali, Merichi kecil pernah mendapati anak seorang pebisnis---ketahuan dari tumpangan mereka kala itu yang tampak berkelas. Anak itu mengejarnya ke dalam hutan dan berakhir tersesat.

Pada pertemuan kedua mereka sebagai murid baru di Eagle Diamond Academy, anak laki-laki itu sudah tumbuh menjadi seorang remaja yang mengaku tersesat. Dasar bodoh, pikir Merichi dengan senyum yang kian manis saja.

Mereka sama-sama mengingat pertemuan singkat di dalam selimut salju itu. Namun, tidak satu pun mengakuinya terang-terangan. Padahal, ada banyak kesempatan untuk membahas pertemuan pertama itu.

✿ | ❀ | ✿


Clou's corner:
Indahnya cinta monyet. Anak-anak ini bikin authornya sedikit iri.

Aku sudah berjuang keras biar ini nggak ada unsur angst. Mana tepuk tangannya? Yey!

04-08-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro