Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[CerPen] A & A

Hari ini! Aku harus bisa melakukannya. Pokoknya harus bisa! Soalnya, ini hari terakhir sekolah sebelum liburan musim panas. Aku tidak akan bisa bertemu dengannya untuk waktu yang lama sementara perasaan ini sudah terlalu lama kutahan.

Sebenarnya apa yang menghalangiku? Ego? Bukan. Bukan itu, lantas mengapa?

Kueratkan kepalan tangan di depan dada. Mengangkat kepala menatap cermin, sekali lagi aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Usai menarik napas panjang, aku berseru, "Adrean, aku suka kamu!"

Hening sejenak. Tatapanku lekat pada cermin. Perlahan wajahku memanas. Dapat kulihat semburat merah kian jelas di wajah.

Bertumpu pada wastafel, aku menjatuhkan kepala, nyaris membentur keran air. "Ini terlalu memalukan ...."

"Kenapa?! Padahal biasanya aku nggak tahu malu!" Ingin menangis rasanya.

Pintu toilet berayun terbuka diiringi bunyi keriut. "Ternyata sadar diri kalau kamu tuh nggak tahu malu," ucap seorang gadis berkacamata yang sedikit lebih tinggi dariku. Namanya Cassie, sahabatku sejak taman kanak-kanak.

"Cass!" Segeralah aku menyambarnya ke dalam rangkulan. "Kenapa ini susah banget? Aku cuma mau bilang aku suka dia!" rengekku seperti anak kecil yang tidak dibolehkan membeli mainan baru.

Cassie yang lelah setiap saat pasrah saja kala aku merengek sambil mengguncang-guncang badannya. "Ya, tinggal bilang. Kamu udah begini dari dua bulan lalu."

"Udah dua bulan tapi belum bisa! Kenapaaaaa?!"

"Dua bulan belum bisa apa?" tanya sebuah suara yang membuatku ingin meleleh dan masuk ke dalam saluran air saja. "Ngomong-ngomong, kalian ngalangin. Ada adek kelas yang mau ke WC."

Secepat kilat aku melepas pelukan pada Cassie, lalu menyingkir ke samping, punggung menempel pada dinding. Sementara itu, Cassie menyingkir ke luar. Adik kelas yang dimaksud pun masuk ke dalam, bergegas masuk ke salah satu toilet kosong.

"Oh, iya. Kalian ada rencana buat pulang sekolah nanti?"

Deg! Jantungku seketika meloncat menabrak tulang rusuk.

"Hmmmn." Cassie bergumam keras-keras, membuatku makin jantungan. "Aku mesti pulang cepet hari ini. Kalau Anne katanya free. Mau ngajak main emangnya?"

"Ho'oh. Tadi kepikiran kita udah lama gak ke arkade bertiga." Jeda sebentar. "Jadi kamu nggak bisa ikut, ya?"

"Nggak bisa. Sori banget."

Berarti rencananya batal, kan? Kan?

"Berdua aja sama Anne bisa, kan?" tanya Cassie.

Gugup? Kaget? Panik? Aku merasakan semuanya sekaligus!

Dalam kondisi adrenalin memuncak, aku memelesat keluar dan berdiri tepat di samping Cassie. Kepalaku terangkat agar aku bisa melakukan kontak mata dengan Adrean ketika aku berseru, "Bisa! Pergi berdua, yuk!"

Krik ... krik ... krik. Itulah hening sebelum wajahku meledak jadi merah bak tomat matang.

Tertegun sejenak, cowok di depanku ini mengalihkan pandangan dan berkata, "Kalau kamu mau, ya kenapa nggak." Pipinya sedikit merona. Hanya sedikit.

Di samping kami, Cassie berdeham keras-keras dengan tangan terlipat di depan dada. "Oke deh kalo gitu. Aku balik ke kelas duluan, dah," ucapnya terus berderap meninggalkan kami di depan toilet perempuan.

Adik kelas yang tadi buru-buru ke toilet keluar seraya mengembuskan napas lega. Melihat kami berdua, dia langsung berubah kaku. "A-ah, eh, permisi, Kak," ucapnya terbata-bata terus melangkah pergi seperti robot.

Hening di antara kami semakin canggung jadinya. Aku pun memutuskan untuk memecah keheningan. "Anu! Pulang sekolah nanti, kan? Kita ketemu di gerbang?" Walau malu maksimal, aku tetap berusaha menatap wajahnya. Jarang-jarang aku melihat Adrean tersipu begini, padahal kami sudah berteman sejak sekolah dasar.

Cowok itu mengangguk seraya bergumam, "Iya."

Spontan aku menyahut, "Oke!"

Sebelum kami kembali tenggelam dalam diam, Adrean berbalik menghadap arah Cassie pergi tadi. "Hari ini aku piket di kelas. Duluan, ya," ucapnya kala ia melangkah menjauh.

Aku mengangguk. Sambil melambaikan tangan, aku berucap, "See you later." Pikiranku mulai mengawang-awang sementara menyaksikan punggung cowok itu kian menjauh.

Hampir satu menit aku mematung di sana.

***

Seperti orang bodoh. Ya, yang kumaksud adalah diriku sendiri. Tadi itu benar-benar bodoh. Aku pasti terlihat sangat konyol. Selama empat puluh menit bimbingan wali kelas, otakku tidak pernah berhenti memutar ulang rekaman kejadian di depan toilet perempuan tadi. Terbayang lagi, lagi, dan lagi sampai-sampai aku ingin berteriak. Untungnya aku sadar ini masih di kelas.

"Terakhir, jangan melakukan hal-hal bodoh selama liburan nanti." Wali kelas kami memberi peringatan, banyak sekali peringatan, walau ia tahu sebagian besar dari kami tidak benar-benar mendengarkannya.

Ada banyak hal bodoh yang hanya bisa dilakukan saat liburan, jadi kenapa kami harus menahan diri? Kira-kira begitu yang dipikirkan orang-orang.

Kriiiing!

"Yeeey! Libur musim panas!" Seisi kelas bersorak gembira, kecuali aku, wali kelas kami, dan segelintir orang yang sudah terlalu lelah untuk merayakan.

Saat para murid berdesak-desakan keluar, aku masih terduduk di bangku, mencengkeram ransel di atas meja. Kakiku lemas seperti agar-agar. Rasanya mereka akan hancur kalau aku mencoba berdiri.

"Anne?"

Oke, sekarang aku sepenuhnya berubah menjadi jeli yang hancur karena tekanan tak terduga. Tidak ada Anne Anderson di sini, haha ....

"Kamu sakit perut?" Orang yang menjadi penyebab aku bertingkah seperti ini malah mendekat.

Sebelum dia berjalan lebih dekat dan ini menjadi momen klise dalam cerita romansa anak sekolah, aku berdiri dengan energi memuncak. "Nggak kok! Aku gapapa! Haha ...."

Bangkuku sampai terjungkal ke belakang, menghasilkan suara nyaring nan menggema. Aku dan Adrean sama-sama terperanjat kaget, memelototi bangku tersebut.

Setelah membenarkan posisi bangku itu dan memikul ransel, aku bertanya, "Kok kamu ke sini? Kan tadi kita janji ketemuan di gerbang."

"Hmmn ...." Adrean berbalik pun melangkah menuju pintu; aku mengekor. "Soalnya tadi kamu lama banget."

"Oh ...."

Koridor sudah sepi membuat langkah kaki kami menggema dari ujung ke ujung. Antara murid-murid lain terlalu bersemangat menyambut libur musim panas atau aku yang terlalu lama mengumpulkan niat untuk beranjak dari bangku sampai Adrean harus datang untuk memastikan apa aku baik-baik saja atau tidak.

"Mau langsung ke arkade atau jajan dulu?" tanya satu-satunya manusia di sekitarku.

"Eh? Emn, jajan dulu deh," jawabku seperti orang linglung.

Adrean hanya bergumam sebagai jawaban. Pandangannya lurus ke depan; kedua tangan dimasukkan dalam saku celana. Begitu melangkah melewati gerbang sekolah, barulah dia bersuara lagi. "Di deket arkade ada toko crepe baru buka. Mau coba itu atau beli es krim aja di tempat biasa?"

Sejenak aku berpikir. Aku sedang ingin es krim karena cuaca hari ini lumayan panas. Di sisi lain, aku belum pernah makan crepe dan ingin mencobanya karena makanan manis itu terlihat cantik dan enak.

"Aku lagi pengen es krim, sih ...." Meliriknya, aku melanjutkan, "Es krim dulu terus pas selesai main baru beli crepe? Aku pengen coba itu. Kelihatannya enak."

"Oke deh kalo gitu." Dan kami pun kembali ditelan keheningan.

Ini berbeda dari biasanya. Awalnya kupikir karena kami hanya berdua, tetapi setelah diingat-ingat, tidak jarang juga kami jalan berdua. Karena terlalu banyak memikirkan rencanaku mengakui perasaan, aku terlambat menyadari kalau ada yang berbeda darinya sejak beberapa minggu terakhir.

Adrean jadi lebih pendiam di sekitarku. Frekuensi bertukar pesan kami juga berkurang. Biasanya kami akan membicarakan game atau film yang kami sukai. Biasanya kami akan saling merekomendasikan, lalu setelah selesai, kami akan membahasnya lewat telepon. Seringkali kami membicarakannya di sekolah saat jam istirahat, karena aku dan dia berada di kelas yang berbeda untuk tahun ini. Itu sangat disayangkan.

"Rasa stroberi satu sama cookie dough satu di cone."

Aku tertawa kecil setelah itu memesan di truk es krim. Dia menoleh padaku dan bertanya, "Kenapa?"

"Hafal, ya, aku suka rasa apa," ucapku yang entah kenapa senyam-senyum sendiri.

Semburat merah nan samar muncul di kedua pipi Adrean. Buru-buru cowok itu mengalihkan pandangan seraya menutupi wajahnya dengan lengan. "Ya, karena memang gampang diingat. Soal---soalnya mirip---ah, enggak. Lupakan." Demikian dia memutuskan untuk membalikkan badan, sepenuhnya memunggungiku.

Tiba-tiba ada yang batuk. Rupanya itu si penjual es krim dan sepertinya dia hanya pura-pura, ketahuan dari cara ia tersenyum kala menyodorkan pesanan kami. "Selamat menikmati!" Hanya dua kata itu yang keluar dari mulutnya, tetapi aku tahu maksud dari tatapannya.

"Kapan kalian resmi jadian?" Kira-kira itu arti tatapannya dari apa yang kutangkap. Lagi pula, fakta bahwa sejak dulu dialah yang melayani tiap kali kami datang berdua sudah cukup mendukung perkiraan tersebut.

Gugup yang kurasakan sejak bangun pagi tadi berangsur hilang, padahal aku sedang berduaan dengan orang yang menjadi penyebabnya. Mungkin karena kami sudah berteman sejak lama, jadi selama bersama dia aku bisa merasa tenang. Dan sekarang aku punya keinginan untuk menjahilinya sedikit.

Setelah cukup jauh dari truk es krim, aku sesekali meliriknya sambil menikmati es krimku. Adrean itu cowok yang peka, jadi dia pasti sadar kalau aku sengaja melakukan sesuatu.

Hanya butuh beberapa detik baginya untuk menyadari tingkahku dan bertanya, "Ada apaan? Muka aku belepotan?"

"Itu tadi, apanya yang mirip? Aku sama es krim stroberi?" tanyaku langsung pada intinya. Seratus persen yakin pertanyaan itu akan membuatnya tersipu. Tentunya aku tidak salah.

"Haaah ... sengaja banget ngungkit itu," sahut Adrean yang berusaha menyibukkan dirinya dengan es krim yang mulai meleleh karena cuaca nan panas.

Akhiran aku pun bungkam untuk sisa perjalanan menuju arkade. Bukan hanya es krimnya yang meleleh, punyaku juga dan entah kenapa sepertinya lebih cepat dari punya Adrean. Segeralah aku melahapnya sampai habis. Isi kepalaku terasa beku untuk sesaat karena memasukkan banyak es krim sekaligus ke dalam mulut.

Setibanya kami di arkade, Adrean sudah menghabiskan es krimnya, sedangkan aku masih menikmati cone-nya yang renyah. Belum genap sepuluh detik kami berada di jalan masuk, masih melihat-lihat, seorang pegawai yang familier.

"Adrean, Anne! Udah lama kalian nggak mampir. Baru keluar dari tumpukan tugas sekolah?" Namanya Mert, pemuda yang sudah bekerja di sini sejak aku dan Adrean baru masuk sekolah menengah.

Masih menikmati cone es krim, aku menjawab, "Kita kemarin bulan lalu, kan? Nggak lama-lama banget."

Senyum penuh jenaka terbit di wajah Mert. Merangkul bahu Adrean, atau lebih terlihat seperti percobaan mencekik, ia berbisik, "Jadi, udah berapa lama kalian ...." Aku sempat mendengar penggalan kalimat itu sebelum dia sadar dan mengecilkan suaranya lagi.

"Apaan kau ini," gerutu Adrean seraya mendorong Mert, lalu ia mengembuskan napas gusar. Sempat dia melirikku dan pipinya merona lagi.

Aku bukan tipe orang yang tidak peka. Dari gelagat saja aku bisa menebak apa yang mereka bicarakan.

Mengambil posisi di depan kami, Mert berdeham. "Kalian datang di waktu yang tepat! Tahu, nggak? Arkade ini lagi ada event berhadiah, loh! Kolaborasi dengan Neverland Park, taman bermain yang belum lama ini dibuka!"

"Hmn?" Mataku langsung terbuka dengan binar penasaran. "Lanjutkan." Menyadari itu, Adrean yang hendak melarikan diri dari pemuda ini pun mengurungkan niatnya.

Mert tampak sangat bangga berhasil menarik perhatian kami. Salah satu tangannya teracung pada mesin Let's Dance sementara yang satu lagi bertengger di pinggang. "Pasangan pertama yang sama-sama mendapat perfect score di mesin itu akan mendapatkan dua tiket freepass ke Neverland Park!

"Dengan tiket itu, kalian bebas untuk menaiki wahana apa saja di sana untuk sehari penuh!" Kini kedua tangan Mert berada di pinggang. "Bagaimana? Apa kalian tertarik? Pasti dong! Date ke taman bermain di liburan musim panas tanpa perlu pusing mikirin tugas pakai freepass? Wah, wah, wah, ini kesempatan emas buat couple muda kayak kalian."

Binar mataku makin terang memancarkan semangat yang membara. Tanpa banyak pikir, aku menggaet tangan Adrean dan menyeretnya ke mesin tersebut.

"Hei!" Aiden berseru, tetapi ia tidak berusaha melepaskan diri.

"Ini kesempatan sekali seumur hidup!" Itu yang kuserukan. Kapan lagi akan ada event seperti ini dengan waktu yang sangat tepat? Aku tidak boleh melewatkan kesempatan ini.

***

"Hngggg ...!" Ternyata ini lebih sulit dari yang kubayangkan.

Adrean meraih bahuku, dengan lembut ia berucap, "Istirahat dulu, yuk? Kita udah coba tiga kali berturut-turut." Dia pun menuntunku turun dari platform mesin tersebut menuju kursi kosong terdekat. "Tunggu bentar."

"Iya," jawabku ketus, masih sebal dengan hasil skor yang kudapatkan. Untung-untung sampai lima puluh persen. Aku memang payah dengan game yang membutuhkan akurasi, padahal bisa dibilang aku ini gesit.

Tatapanku terfokus pada mesin tersebut yang kini tengah dimainkan oleh pasangan lain. Kelihatannya mereka sudah kuliah, atau bisa jadi masih anak sekolah seperti kami. Sulit membedakan saat sekolah-sekolah tidak mewajibkan muridnya untuk memakai seragam.

Seketika aku merinding kala merasakan sesuatu yang dingin baru saja melakukan kontak dengan kulit lenganku yang telanjang. "Serius amat," kata suara yang langsung membuat hatiku berbunga-bunga, melupakan sensasi dingin barusan.

Menoleh ke kiri atas, kudapati Adrean berdiri dengan minuman kaleng dingin di kedua tangannya. Salah satu sudut bibir terangkat, ia pun lanjut berkata, "Nanti yang main jadi takut karena kamu liatin. Serem banget, sereeem."

Cowok itu membiarkan dirinya tertawa seraya menyodorkan sekaleng minuman dingin padaku. Dia kembali menjadi dirinya yang biasa, menjadi Adrean yang kukenal. Mungkin suasana arkade yang begitu menyenangkan telah mempengaruhinya.

Tawa manisnya menular. "Thanks." Aku menerima minuman kaleng tersebut, lalu dengan hati-hati membukanya. Tak ingin pakaianku ketumpahan minuman bersoda.

Setelah meneguk sampai kerongkongan tak lagi terasa kering, aku menoleh padanya yang kini duduk di sampingku. Jarak antara kami hanya dua jengkal. Pikiran seperti mengawang-awang di udara, aku bertanya, "Akhir-akhir ini kamu kenapa? Kok lebih sering diem?"

Beberapa detik berlalu tanpa jawaban, barulah aku menyadari bahwa aku baru saja menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak kutanyakan. Kenapa? Karena alasannya lumayan jelas! Aku akan langsung meleleh menjadi genangan air kalau dia menjawab jujur sesuai tebakanku atau malah bilang aku terlalu percaya diri. Keduanya sama-sama buruk! Buruk untuk hatiku.

Setelah kira-kira dua menit penuh kecanggungan, Adrean baru membuka mulut. Jantungku langsung meloncat-loncat dengan liar. Dia menutup mulutnya lagi tanpa berkata-kata dan itu membuat debaran jantung ini makin kencang saja.

Di saat-saat seperti ini aku malah menangkap penampakan Mert dari sudut mataku. Pemuda itu mengintip dari balik mesin Let's Dance sambil memegang kain pel. Walau jauh, aku bisa melihat dengan jelas dia sedang tersenyum lebar dengan alis dinaik-turunkan.

"Kita belum pernah ke taman bermain, ya? Berdua," kata Adrean setengah berbisik. Kata terakhir yang dia ucapkan nyaris tak terdengar.

Aku hanya mengangguk dan dia pun melanjutkan, "Tadi aku lihat poster, ini hari terakhir event-nya." Ada jeda sebentar kala ia melirikku. "Mau coba sampai arkadenya tutup?"

Untuk sejenak aku tertegun, menatapnya tak percaya. Lidahku sempat kelu, tetapi kini aku bisa berkata dengan nada bercanda, "Tumben kamu yang ngajak. Biasanya aku yang ngajak main sampai arkade tutup." Kalimat tersebut kuakhiri dengan kikikan gemas.

Senyum simpul mengembang pada wajah Adrean. "Terus nantinya kamu mampir dulu ke rumah karena keburu laper."

"Ah, iya, ya. Aku kangen masakan kakakmu. Enak banget, sumpah!"

"Kalau masakanku?" tanya Adrean tiba-tiba.

Sekali lagi aku terdiam seperti orang bodoh baru mengangguk. Senyumku jadi agak kaku karena ini terasa canggung. "Enak, kok! Tapi masih kalah sama masakan kakakmu," jawabku dengan pandangan ke sana kemari.

Melihat mesin Let's Dance sedang kosong, aku segera berdiri. "Eh, kita coba lagi, yuk!" Bergegas naik ke atas platform, aku lebih dahulu memasukkan kaleng kosong ke dalam tempat sampah.

Kenapa tiba-tiba aku jadi gugup cuma karena pertanyaan itu?!

***

Pada akhirnya, kami berdua tidak bisa mendapatkan perfect score untuk memenangkan tiket freepass. Bohong kalau kubilang aku tidak sedih.

"Udah, udah, jangan sedih." Mert berusaha menenangkan sembari berberes-beres. Pemuda itu melempar tatapan penuh kode pada Adrean, berkedip sambil senyam-senyum. Kembali menyapu, ia berkata, "Lagian, masih banyak date spot terjangkau buat kalian."

Anehnya, tidak satu pun dari kami berdua menyangkal bahwa kami tidak pacaran. Itu membuat senyum Mert makin lebar.

"Ya sudah, kami pulang dulu," ucap Adrean terus berbalik melangkah.

"Bye-bye." Aku mengekorinya, masih murung.

Di bawah penerangan lampu jalan kami melangkah santai dalam diam. Kusadari Adrean sesekali mencuri pandangan, tetapi suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja.

Ketika melewati taman yang lampunya redup, kudengar cowok di sampingku menggumamkan sesuatu yang tak dapat kuproses maksudnya.

Sadar aku menatapnya sejak dia bergumam, Adrean berdeham membersihkan tenggorokan. Jeda hening sekitar dua detik baru dia berkata, "Ada film action lagi tayang. Katanya bagus." Dia menoleh padaku dengan wajah sepenuhnya merah. "Besok mau nonton bareng?"

Satu detik ... dua detik ... wajahnya makin merah! Bahkan dia sampai memalingkan wajahnya dan buru-buru berkata, "Kalau nggak mau atau lagi nggak bisa---"

"Mau! A-aku suka film action! Sukaaaa banget!"

Aku sama terkejutnya dengan Adrean saat menyadari reaksi ini berlebihan. Tidak, aku tidak meleleh menjadi genangan air, tetapi wajahku meledak jadi seperti tomat.

Sambil mengelus tengkuk, Adrean berkata, "Oke. Besok aku jemput jam ... sepuluh? Boleh?"

Cepat sekali aku mengangguk. "Boleh. Boleh banget."

Sungguh, jatuh hati pada teman masa kecil itu banyak momen canggungnya. Kami jadi kelihatan bodoh, tetapi tidak apa.

Aku tetap menyukainya.

--- A & A ---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro