Luck itu seperti petir. Hadirnya membuat orang menutup mata dan telinga. Keberadaannya yang sedikit berbeda dari yang lain membuat orang-orang menjauh. Menakutkan, katanya, bagaimana pemuda itu selalu tersenyum bahkan saat dimarahi dosen atau dilabrak kakak tingkat.

"Jauhi dia."

"Jangan dekat-dekat."

"Dia sering kena kasus karena mukul orang sampai masuk rumah sakit, loh!"

"Senyumnya...."

"Tingkahnya...."

Banyak sekali serangan verbal yang secara tidak langsung orang-orang lancarkan pada Luck. Cherine sampai muak mendengarnya. Semua itu cuma gara-gara tingkah yang sedikit di luar kebiasaan. Mereka bahkan tidak mencoba mengenal orang yang terus dibicarakan.

"Kamu kenapa mau temenin aku?" tanya Luck suatu kali saat mereka makan siang bersama di kantin.

Untuk sesaat Cherine hanya menatapnya datar sambil menghabiskan susu kotaknya. Dia lalu menjawab, "Pengen aja."

Luck tertawa, katanya, "Kamu aneh."

Biasanya kalimat itu akan memicu amarah, tetapi kalau Luck yang mengucapkannya dengan nada seperti yang barusan, Cherine tidak masalah. Gadis itu justru tersenyum dan membalas. "Kamu juga. Kita sama-sama orang aneh."

Kenapa Cherine memutuskan untuk memayungi Luck hari itu? Apa cuma karena tahu mereka sama-sama orang aneh? Apa karena dulu Cherine juga menerima perlakukan serupa? Tidak juga.

Luck kelihatan sekuat itu menghadapi cemoohan orang-orang sekitar. Tak hanya kuat, dia juga berani untuk terus maju. Cherine kagum. Ditambah, Cherine tahu, orang-orang yang kelihatan kuat sebenarnya membutuhkan dukungan. Pengalaman yang memberitahunya.

Orang-orang kalau bukan mengolok-olok, pasti akan memuji betapa kuatnya Cherine. Walau terluka dan berlinang air mata, gadis itu tetap tahu caranya untuk bangkit berdiri serta melawan. Hebat, katanya. Puji-pujian kosong dari orang yang tak tahu apa-apa; yang enggan mendekat.

Melihat situasi Luck, dia seperti bercermin rasanya. Dan, suatu keinginan jadi timbul. Gadis itu ingin memberi apa yang tidak dia dapat dulu, yaitu dukungan.

***