
9. Penderitaan Buatan
Aku tak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan Lahika. Pertanyaan itu terlalu sulit untuk diputuskan di posisiku saat ini. Aku masih belum tahu. Tapi untungnya, Lahika memberitahuku apa alasannya mengubah skenario kematian tadi menjadi seperti itu. Jadi, rasa penasaranku tidak terus-terusan muncul dan diredakan anti-virusku.
Guru yang datang ke rumah anak laki-laki berbadan gempal tadi, akan meninggal dalam enam tahun ke depan. Lima tahun kemudian, kanker paru-paru mulai menggerogoti tubuhnya. Kondisi itu membuat keuangan keluarganya habis untuk mengobati penyakitnya itu. Setelah dia meninggal, istri dan tiga anaknya hidup dalam keadaan di bawah kata sejahtera. Jadi, bisa dibayangkan dan diprediksi dengan mudah bagaimana kehidupan setiap anggota keluarga itu berakhir nantinya. Dan keputusan Lahika yang kejam tadi, baru saja menyelamatkan mereka.
Guru itu memang tetap meninggal, tapi dia meninggalkan tabungan yang lebih dari cukup untuk biaya kehidupan anak-anaknya dan untuk modal usaha yang bisa dibuat istrinya. Dengan begitu, keluarga kecil itu punya kemungkinan besar memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan skenario sebelumnya. Kekejaman yang berdampak positif. Sementara nasib keempat anak laki-laki itu sangat mengenaskan. Dikucilkan, dibuang, dan tak dianggap oleh siapapun adalah kehidupan yang harus mereka jalani hingga kematian datang.
Setelah menjelaskan alasannya itu, Lahika pergi entah ke mana. Sejak saat itu sampai sekarang, aku terus memikirkan alasan Lahika menanyakan hal itu padaku. Apa lelah memang menjadi alasan utama baginya untuk berhenti menjadi Dewa Kematian? Bukan kah Dewa Kematian tidak bisa merasakan lelah? Atau dia menggunakan kata lelah hanya sebagai sebuah kiasan saja? Entahlah.
Di saat aku sedang digundahkan sesuatu yang rumit, seseorang tiba-tiba datang ke atap sekolah yang sedang kujadikan tempat berlabuh ini. Gadis berambut hitam panjang dengan poni yang pendek, serta seragam yang tertata dengan rapi. Sebuah simbol yang mengartikan bahwa gadis itu adalah siswi teladan. Ternyata, seperti ini wujud targetku selanjutnya.
Sekarang jam 09.12 pagi waktu Jepang. Seharusnya sekolah baru dimulai besok, tapi dia datang di hari minggu seperti ini dengan seragam lengkap pula. Apa dia bermaksud memberikan sebuah simbol kepada mereka yang menyebabkannya mengakhiri hidup? Matang sekali persiapannya, aku salut.
Masih ada sepuluh menit lagi. Waktu yang cukup bagiku untuk memahami jalan hidup gadis itu dan mencari tahu apa alasan sebenarnya dia berani menemui kematiannya dengan tangannya sendiri. Waktunya untuk membaca buku hitamku dengan saksama.
Nagoya, Jepang, 5 Januari 2020. Monoka Tadashi, meninggal pukul 09.22 pagi, karena bunuh diri dengan terjun bebas dari atap sekolahnya dan mengalami pendarahan hebat di kepala. Meninggal di umur 16 tahun.
Alasannya bunuh diri adalah tak tahan dengan semua rundungan yang ditujukan kepadanya. Dia adalah murid terpintar di sekolahnya dan selalu menjadi yang nomor satu dalam nilai ujian. Tapi, dia berasal dari keluarga biasa saja. Ayahnya bekerja sebagai supir truk pengantar barang antar kota dan ibunya bekerja sebagai penjaga tempat penitipan anak. Hal itu lah yang membuatnya dirundung oleh murid-murid lain yang lebih populer dan lebih berkelas. Mereka merasa iri dengan kepintaran serta paras cantik yang dimiliki olehnya. Sehingga banyak murid laki-laki mengaguminya, tapi banyak murid perempuan membencinya. Membuat Monoka Tadashi tak memiliki teman sama sekali.
Rasa iri. Sebuah rasa paling beracun yang ada di dalam hati manusia. Cara menghilangkan rasa itu cukup sulit, bahkan bisa dibilang tak bisa dihilangkan. Manusia menggunakan segala cara untuk meredam rasa itu dan melakukan perundungan adalah salah satu caranya. Setelah membaca skenario kematian ini, aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Lima menit lagi Monoka Tadashi menemui ajalnya. Saat ini, dia sudah berdiri di atas pagar pembatas dan menatap langit luas yang membentang di atasnya. Sebelum aku melakukan apa yang harus dilakukan, aku bersandar pada pagar tepat di sampingnya dan menunggu apakah ada pidato kematian yang akan diucapkanya atau tidak.
"Aku sudah berjuang sekuat tenaga."
Ini dia. Pembukaan pidato yang membuat siapa saja yang mendengarnya merinding.
"Aku belajar dan belajar agar mendapatkan nilai yang bagus. Dengan begitu aku akan mendapatkan beasiswa, sehingga ayah dan ibu tak perlu repot memikirkan biaya sekolahku. Tapi, kenapa cara yang aku pilih itu malah membuatku tak bisa mendapatkan teman? Apa karena aku memilih untuk tidak merepotkan kedua orang tuaku, hal ini lah yang harus aku terima? Kenapa mereka bersikap sangat jahat kepadaku? Aku sudah tak sanggup lagi untuk menerima semua hal itu."
Isak tangis mulai terdengar. Tangisan Monoka Tadashi terus berkumandang selama tiga menit lamanya. Apa hanya sebatas itu yang ingin diucapkannya? Kenapa tidak menyatakan rasa sayang kepada ibu dan ayahnya? Lupa atau sengaja?
"Baiklah ini saatnya. Sampai jumpa lagi ibu, ayah, aku menyayangi kalian berdua."
Monoka Tadashi membentangkan kedua tangannya ke samping dan terjun bebas ke bawah. Saatnya bagiku untuk bekerja. Bertelepotasi ke bawah dan menangkap tubuh gadis yang sedang belajar untuk terbang itu.
Tubuh Monoka Tadashi mendarat tepat di kedua tanganku. Badannya ringan sekali. Tidak, bukan, aku lah yang terlalu kuat. Wajahnya benar-benar terlihat sangat lucu. Dia memejamkan matanya dan terlihat sangat ketakutan. Kalau kau takut, kenapa berani terjun dari atas sana?
Perlahan, dia membuka matanya dan langsung terkejut begitu melihatku. Dengan anarkis, dia turun dari gendonganku dan mundur cukup jauh dariku.
"Kau siapa? Kenapa tiba-tiba kau bisa menggendongku?"
Monoka Tadashi melihat ke atap tempatnya menjatuhkan diri, setelah itu dia melihatku dari ujung kaki sampai kepala dengan ekspresi panik bercampur takut.
"Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin. Aku jatuh dari ketinggian yang sangat tinggi, kau tidak mungkin bisa menangkap tubuhku semudah itu. Kedua tanganmu pasti sudah patah dan lututmu juga bisa ikut patah karena tidak bisa menopang berat badanku."
Akal sehat manusia memang sulit menerima hal di luar nalar seperti itu. Karena pada dasarnya, keberadaanku memang di luar nalar mereka. Sayangnya, aku tak bisa menjelaskan lebih detail tentang siapa diriku kepadanya. Selain karena buang-buang waktu, pada akhirnya dia juga tidak akan memahaminya. Lebih baik membicarakan hal yang lebih penting.
"Apa alasanmu bunuh diri? Aku ingin sekali mendengarnya."
Kepanikan dan segala perasaan yang tengah dirasakan Monoka Tadashi hilang seketika. Dia menundukkan kepalanya dan tak berani menatapku.
"Bukan urusanmu."
Perempuan. Kenapa harus selalu serumit ini?
"Tanpa perlu kau jelaskan, sebenarnya aku sudah tahu apa alasannya. Aku hanya ingin mendengarnya langsung darimu, lalu menamparmu setelahnya."
Monoka Tadashi langsung menegakkan kepalanya, menatapku dengan tatapan kesal dan juga memegangi kedua pipinya.
"Kasar sekali."
"Tamparan itu akan membuatmu tersadar bahwa apa yang kau rasakan itu bukanlah penderitaan, melainkan sesuatu yang belum bisa kau temukan."
Setelah menurunkan kedua tangannya dari pipi, dia menatapku dengan ekspresi bingung. Kalau sudah seperti itu, artinya aku sudah bisa menjelaskan alasanku menolongnya.
"Kau punya kedua orang tua yang sangat menyayangimu. Kau punya kehidupan sekolah yang baik, karena tidak perlu ikut remedial. Kau sebenarnya punya semua hal yang dibutuhkan untuk menggenggam taraf kesuksesan yang dibuat oleh manusia."
"Tapi... hal itu membuatku dijauhi orang-orang dan tak memiliki seorang teman."
Dia baru saja mengaluarkan sebuah tembok besar yang sulit untuk ditembus. Tembok ini lah yang membuatnya tak menyadari berbagai macam hal indah yang ada di baliknya.
"Kebahagiaan itu relatif, Tadashi. Mereka yang merundungmu merasa bahagia karena telah melampiaskan rasa iri mereka terhadapmu. Itu artinya, hidupmu juga tak kalah bahagia dengan kehidupan mereka. Kau hanya tidak merasakannya dengan benar. Tidak punya teman bukan lah sebuah penderitaan, melainkan sebuah hal yang belum berhasil kau temukan.
"Kau ingin bunuh diri bukan karena kau menyerah menghadapi perundungan mereka, tapi karena kau menyerah mencari sosok seorang teman. Jika saat mengerjakan soal matematika kau membutuhkan rumus, berarti saat mencari seorang teman kau membutuhkan usaha dan lebih membuka dirimu. Menemukan teman yang benar-benar menerimamu apa adanya memang tidak mudah, tapi bukan berarti tak bisa ditemukan."
Isak tangis bagian kedua dimulai. Untuk ukuran orang yang tak pernah menerima nasehat apapun selain dari orang tuanya, penjalasanku sepertinya sudah cukup untuk membuat Monoka Tadashi mengerti. Dia punya otak yang cerdas, jadi dia pasti bisa memahami setiap kata-kataku dengan baik.
"Aku akan mengantarmu pulang. Tidak enak menangis di tempat seperti ini. Kalau ada yang melihatnya, aku bisa dikira sebagai orang yang telah membuatmu menangis."
Meskipun sebenarnya, memang benar aku lah yang membuatnya menangis lagi. Monoka Tadashi tak merespon perkataanku dan tetap menangis. Aku anggap itu sebagai persetujuan untukku mengantarkannya pulang. Aku menutup kedua matanya dengan tangan kananku, lalu berteleportasi ke ruangan yang paling aman di rumahnya.
Aku cukup terkejut melihat pemandangan yang ada di sekitarku saat ini. Aku tahu dia berasal dari keluarga yang biasa saja, tapi setidaknya berilah ornamen agar terlihat feminim selayaknya kamar perempuan pada umumnya. Tidak ada boneka, tidak ada poster laki-laki tampan, dan tidak ada peralatan untuk merias diri. Benar-benar terlewat sederhana.
Monoka Tadashi akhirnya menghentikan tangisnya dan mengusap air mata yang membasahi pipi serta kantong matanya. Setelahnya, dia baru tersadar kalau saat ini sudah berada di kamarnya sendiri. Dia melihat ke sekelilingnya dengan rasa panik.
"Kenapa aku sudah berada di kamarku? Bukan kah tadi aku ada di sekolah? Jelaskan padaku bagaimana caramu melakukannya? Sudah aku duga kau ini pasti bukan manusia."
"Memang bukan."
Tatapan mata Monoka Tadashi membelalak menatapku. Ekspresi wajahnya terlihat sangat terkejut saat ini. Kalau sudah seperti ini, hanya ada satu cara yang aku bisa lakukan untuk mengakhiri pertemuan ini. Aku memegang kedua pundaknya, lalu mengarahkannya untuk berdiri membalakangi kasurnya. Aku rasa begini sudah cukup.
"Besok kembali lah ke sekolah seperti biasanya. Lakukan apa yang sudah aku katakan padamu tadi. Kau pasti akan menemukan apa yang kau cari. Sampai jumpa lagi."
Aku mendorong tubuhnya, yang langsung membuatnya kehilangan kesadaran. Hanya ini lah satu-satunya cara. Karena dia tidak mati, artinya aku harus menghapus ingatan tentangku di kepalanya. Bisa gawat kalau dia terus mengingatku. Dia bisa saja berpikir kalau aku ini adalah Malaikat yang telah menyelamatkan nyawanya, padahal aku lebih buruk dari itu. Sekarang, kembali bekerja dan kembali lagi esok hari untuk melihatnya di sekolah.
***
Saat ini, aku tengah berjalan di belakang Monoka Tadashi. Tentu saja tak ada yang bisa melihatku. Kalau ada, aku bisa dikira penguntit garis keras. Aku tak mau hal itu terjadi. Saat ini, kami juga tengah berjalan melintasi halaman depan sekolah. Ternyata... begini lah yang setiap hari dirasakan olehnya.
"Beri jalan, ada Albert Einstein versi wanita mau lewat."
"Lihat dia. Sama sekali tak menoleh ke kiri dan kanan. Mentang-mentang wajahnya cantik. Dia tak mau melihat ke arah orang lain."
"Sombong sekali gelagatnya...."
Suara-suara seperti ini selalu didengar setiap hari olehnya dan dia bisa tetap berjalan menatap ke depan tanpa sedikitpun terganggu.
Sesampainya di tempat loker sepatu, loker miliknya penuh dengan coretan. Wabaki miliknya juga rusak dan terlihat sangat kotor, tapi dia tetap memakainya. Saat melihatnya secara langsung seperti ini, aku merasa wajar kenapa dia sampai nekat bunuh diri kemarin.
"Anzu."
Monoka Tadashi memanggil seorang gadis bertubuh mungil yang tengah meletakkan sepatu di dalam lokernya, tapi gadis itu sama sekali tak merespon panggilannya.
"Anzu, maafkan aku. Ternyata, aku memang membutuhkanmu."
Monoka Tadashi membungkukkan badannya di hadapan gadis itu, dan Gadis itu pun menoleh ke arahnya. Dia memegang pundak Monoka Tadashi, yang langsung membuatnya menegakkan badan kembali.
"Aku menolak tawaran berteman denganmu, karena aku tidak mau kau ikut dimusuhi oleh mereka. Tapi sebenarnya, aku ingin sekali berteman denganmu. Kalau kau tidak keberatan, mau kah kau menerimaku sebagai temanmu?"
Gadis beranama Anzu itu tersenyum, kemudian dia melakukan sesuatu yang membuatku cukup terkejut. Dia membalas perkataan Monoka Tadashi dengan gerakan tangan, sebuah bahasa yang diciptakan oleh manusia agar bisa berkomunikasi dengan manusia lain yang tidak bisa bicara.
Kau seharusnya malu, Monoka Tadashi. Temanmu Anzu punya penderitaan yang nyata, sementara kau hanya memiliki penderitaan yang dibuat-buat. Kalau gadis bernama Anzu yang bunuh diri kemarin, aku pasti sudah membiarkannya terjun bebas dari atap.
Sekarang, lalui lah hidupmu dengan benar, Monoka Tadashi. Aku akan mengunjungimu lagi kalau waktunya sudah tiba. Itu juga kalau skenario kematianmu butuh diawasi atau aku yang menanganinya. Kalau tidak, artinya kita tidak akan bertemu lagi.
Aku sudah melihat apa yang ingin aku lihat, sekarang saatnya untuk bekerja. Enam jam lagi aku akan bertemu dengan Vazco. Mungkin masih ada belasan atau puluhan skenario kematian yang harus aku tangani sebelum itu. Jalani saja, pasti tidak terasa.
"Pertunjukkan yang menarik, Niervana."
Suara itu membuat kepalaku secara otomatis menoleh ke belakang. Sosok laki-laki berpakaian serba putih tengah bersandar di pintu masuk sekolah.
"Bisa kita bicara sebentar?"
"Tentu saja bisa, Tuan Zois."
- 13 September 2020 -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro