
7. Cara Halus
Dari sekian banyak cara yang bisa diambil setelah mengambil keputusan kontroversial, Idazzi memilih cara yang tak aku suka. Pergi tanpa menjelaskan apapun. Aku tidak tahu dia berteleportasi ke mana. Setelah menghilang, aku tidak merasakan hawa keberadaannya lagi. Itu artinya dia pergi ke tempat yang sangat jauh dariku.
Kemungkinan besar, dia kembali menggeluti hobinya, yakni menyusun batu di tepi sungai. Dia bilang, selain menenangkan pikirannya, kegiatan itu juga bisa membantunya berpikir dengan jernih. Karena di muka bumi ini banyak sekali sungai, tak mungkin bagiku untuk mencarinya. Jadi untuk sekarang ini, biarkan saja dia menyendiri.
Aku masih tidak menyangka dengan apa yang aku lihat tadi. Aku memang menasehatinya tentang pemahamannya yang salah itu, tapi aku tidak menduga kalau dia akan langsung mengubah sebuah skenario kematian untuk pertama kalinya saat itu juga.
Apa perkataanku membuatnya tertekan?
Kalau memang iya, aku akan meminta maaf saat bertemu dengannya lagi. Untuk sekarang, sebaiknya aku menyampingkan persoalan ini terlebih dahulu. Di belahan dunia lain, ada skenario kematian yang sedang duduk manis menunggu kedatanganku.
***
Rumah sakit, lagi. Kenapa aku harus menangani skenario di tempat yang aku benci dengan jarak waktu yang berdekatan seperti ini? Apa kau sedang mencoba membuatku kesal, Hadesz? Ayo, cepat jawab.
Tapi… mau bagaimana lagi?
Sebagai seorang Dewa Kematian, rumah sakit adalah tempat yang identik dengan keberadaan kami. Di tempat ini lah banyak manusia kehilangan nyawanya. Baik dengan cara halus, atau dengan cara yang paling menyakitkan.
Bau memang menjadi alasan utamaku membenci tempat ini. Tapi sebenarnya, ada alasan lain yang komposisi kebenciannya tak kalah dengan alasan utamaku. Selain bisa meredam perasaan-perasaan yang tidak perlu, berteleportasi dengan bebas kemana pun, dan mengubah skenario kematian sesuai keinginan, kami juga punya mata yang dapat melihat apapun.
A... pa... pun. Artinya, meliputi semua hal selain manusia dan pemandangan bumi.
Manusia sering menyebut mereka sebagai makhluk astral, setan, iblis, siluman, roh gentayangan, dan banyak sebutan aneh lainnya. Bahkan, digambarkan oleh mereka bahwa setiap negara punya jenis makhluk astral yang berbeda-beda dari negara lainnya. Derajat keberadaan makhluk astral kini telah naik pangkat menjadi ‘Maskot’ kebanggaan negara.
Lalu, apa di rumah sakit ini ada mereka? Jawabannya, tentu saja.
Tempat ini menjadi tempat kedua terbanyak setelah pemakaman. Banyaknya kematian yang terjadi di tempat ini, membuat mereka sangat menyukainya. Aroma kesuraman, kesedihan, keputus asaan, kebencian, dan berbagai aroma berbau busuk lainnya sangat mereka sukai. Tapi, mereka tidak menyukai aroma yang jauh lebih busuk dari itu.
Aroma apa itu? Tentu saja aroma kami para Dewa Kematian.
Setiap kali aku mendatangi suatu tempat, mereka yang ada di tempat itu langsung menyingkir dan memberiku jalan. Aku sudah seperti alkohol yang tengah membasmi kotoran. Begitu aku menghilang, mereka akan kembali lagi. Mereka sudah seperti makhluk yang abadi. Ketika pendahulunya telah musnah, maka yang baru datang menggantikannya.
Hadesz bilang, keberadaan mereka disebabkan oleh bercampurnya jiwa-jiwa putus asa yang bersemayam di neraka dengan berbagai rasa kebencian yang menguap setelah manusia meninggal. Mereka lepas dari neraka dan membawa serta perasaan-perasaan itu, yang pada akhirnya menyesatkan manusia-manusia yang masih hidup.
Keberadaan mereka bisa di mana saja. Jadi… tanpa manusia sadari, mereka mungkin saja telah diikuti oleh makhluk-makhluk menyesatkan itu. Berhati-hatilah, Manusia.
Sekarang, aku sudah sampai di depan pintu kamar targetku berada. Aku bisa merasakan betapa ramainya suasana di dalam kamar ini. Namun begitu aku masuk dan membuka pintu, mereka semua langsung kabur secara anarkis ke berbagai arah. Hal ini membuatku terlihat seperti polisi yang tengah menyergap tempat protitusi ilegal. Dan targetku adalah calon pelanggan yang sedang mereka goda untuk segera mengakhiri hidupnya.
“Kau siapa? Apakah kau salah satu orang yang dendam padaku?”
Pertanyaan klasik yang selalu diucapkan manusia setiap kali bertemu dengan wujud kasat mataku. Apa mereka tidak punya pertanyaan lain?
“Aku akan langsung berterus terang padamu dan menyerahkan sepenuhnya padamu mau percaya atau tidak. Aku adalah sosok yang kalian sebut dengan ‘Malaikat Pencabut Nyawa’. Aku sengaja datang langsung menemuimu untuk membicarakan beberapa hal.”
“Sepertinya perawat itu terlalu banyak menyuntikkan Morfin kepadaku, sampai-sampai aku bisa berhalusinasi seliar ini. Tapi, tak apa. Kalau kau memang halusinasiku, aku akan dengan senang hati berbincang denganmu. Kebetulan, aku sedang kesepian.”
Aku sudah menduganya kalau dia akan menjawabnya seperti ini. Begini juga sepertinya tidak masalah, yang penting dia mau berbicara denganku. Aku tidak menyangka kalau barang yang dianggap berbahaya itu, justru membuat pekerjaanku jauh lebih mudah. Untuk itu kuucapkan, terima kasih, Morfin.
“Kalau aku memberikan kebebasan padamu untuk memilih bagaimana caranya kau meninggal, apa kira-kira cara yang kau pilih?”
“Semua orang tentu ingin meninggal dengan cara yang halus tanpa rasa sakit. Begitu juga denganku. Aku sudah bermain-main dengan nyawa selama dua puluh tahun terakhir. Itu semua kulakukan demi menghidupi istriku dan satu anak perempuanku.”
“Iya, aku tahu hal itu. Kau telah mencuri dari banyak orang dan juga telah menghabisi banyak nyawa. Itu semua kau lakukan demi dua orang yang menurutmu menjadi alasan kenapa kau hidup. Ironisnya, mereka tidak tahu pekerjaan apa yang sebenarnya kau lakukan.”
Tatapan sayunya menatap keluar jendela. Mudah sekali terbaca olehku kalau dia saat ini sedang merasakan kesedihan yang mendalam, yang disebabkan oleh rasa penyesalan. Bagiku, kau sudah terlambat dua puluh tahun untuk menyesal seperti saat ini.
Aku duduk di atas kasurnya, tepat di sebelah kakinya berada. Kuambil buku hitamku dan mengubah skenario kematiannya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Yakni, meninggal dengan cara yang halus dan tanpa rasa sakit.
“Aku telah mengubah skenario kematianmu menjadi lebih halus, sesuai dengan apa yang kau inginkan. Tapi, ada hal yang perlu kau tahu. Aku sangat membenci manusia yang telah membuat manusia lain menderita. Aku memang membuat cara matimu menjadi halus, tapi aku akan memperkenalkan padamu dengan apa yang dinamakan penderitaan.”
Tatapan sayunya berubah menjadi tatapan bingung. Dia terus menatapku dengan ekspresi wajahnya yang sama sekali tidak mengerti dengan apa yang aku katakan tadi. Kalau sudah begini, waktunya masukkan kembali buku hitam dan pergi dari tempat ini.
“Waktunya aku untuk pergi. Karena sebentar lagi anak, mantu, dan cucu perempuanmu datang seperti yang selalu mereka lakukan secara rutin setiap minggunya.”
“Dari mana kau tahu hal itu? Apa jangan-jangan kau ini memang orang suruhan dari pihak yang punya dendam terhadapku?”
“Aku sudah bilang padamu sebelumnya, Jamerson Lee. Aku ini Dewa Kematian, aku jelas tahu segalanya. Termasuk… ketiga anggota keluargamu yang tersisa itu datang ke rumah sakit ini menggunakan mobil.”
Waktunya menghilangkan kembali hawa keberadaanku. Aku cukup suka melihat hal itu. Saat di mana manusia menggosokkan kedua matanya untuk memastikan keberadaanku yang tiba-tiba hilang dari pandangan mereka. Aku akan menunggu di lorong tepat di depan ruangan ini kira-kira lima belas menit, karena aku ingin menonton di kursi terdepan.
Kenapa selama itu? Alasannya karena kantor polisi dengan rumah sakit ini berjarak kurang lebih sepuluh menit jika menggunakan mobil.
Lima belas menit menunggu dipenuhi keheningan, akhirnya terbayar sudah. Aku menoleh ke arah kanan, tempat di mana lift berada. Aku melihat dua orang polisi berseragam keluar dari lift dan berjalan menuju ke ruangan tempat Jamerson Lee berada setelah bertanya pada perawat yang berjaga di meja depan.
Sementara kedua polisi itu masuk ke dalam ruangan, aku membuka buku hitamku lagi untuk memastikan segalanya berjalan sesuai dengan apa yang aku tulis. Sebuah skenario kematian dengan penderitaan sebagai bumbu utamanya.
Detroit, Michigan, Amerika Serikat 4 Januari 2020. Jamerson Lee meninggal pukul 07.47 malam, karena serangan jantung setelah mengetahui anak, mantu, dan cucunya meninggal dalam sebuah kecelakaan menuju ke rumah sakit tempatnya berada. Meninggal di umur 62 tahun.
Salah seorang polisi keluar dari ruangan dan memanggil perawat dengan lantang. Skenario kematian ini tengah berada di bagian klimaksnya. Waktunya bagiku untuk pergi dari tempat ini sebelum aku mulai menikmatinya. Aku juga tidak akan melupakan skenario kematian ini. Tertulis di dalam buku hitamku bahwa Ezcort membiarkan Jamerson Lee tetap hidup dari kematian yang seharusnya terjadi 20 tahun yang lalu. Aku ingin tahu apa alasannya melakukan hal itu.
Aku membunuh keluarga Jamerson Lee bukan hanya untuk membuatnya menderita, tapi juga untuk meloloskan keluarga kecilnya dari penderitaan yang tak ada akhirnya. Saat aku datang, Jamerson Lee langsung bertanya apa aku orang yang punya dendam terhadapnya atau tidak. Itu artinya, banyak sekali orang yang menaruh dendam terhadapnya dan bisa datang untuk membunuhnya kapan saja.
Lalu setelah Jamerson Lee terbunuh, apakah para pendendam itu puas begitu saja?
Meraka akan membunuh keluarga Jamerson Lee yang tersisa untuk memuaskan hasrat balas dendam mereka yang telah menumpuk entah sejak kapan. Bisa jadi, keluarga kecil itu akan terus diincar di sisa akhir hidupnya dan bahkan dibunuh dengan cara yang kejam. Jadi, keputusan itu sudah sangat tepat. Meskipun hal itu membuatku jadi sosok yang paling kejam.
***
Mataku mungkin adalah indera terkuat yang aku miliki saat ini. Alasannya karena dia sanggup beradaptasi dengan cepat terhadap pencahayaan yang disajikan oleh tempat tujuanku setelah berteleportasi. Beberapa detik yang lalu aku berada di gemerlap malam Kota Detroit, sekarang aku tengah menikmati pagi hari di sebuah daerah istimewa. Namanya, Yogyakarta.
Untuk apa aku datang ke sini?
Jawabannya adalah untuk menemui gadis yang berada di seberang Jalan Malioboro tepat aku berdiri. Tatapan matanya yang datar, terus menatapku tanpa berkedip sekalipun. Dengan terus menatapku seperti itu, dia menyeberangi jalan tanpa memalingkan pandangan.
Datanglah sebuah mobil dari arah kanannya. Dia tidak berhenti ataupun mempercepat langkahnya, seakan tak peduli kalau mobil itu menabraknya. Begitu mobil itu ingin mencium mesra badannya, mobil itu meleset. Bukan karena dia menghindar, tapi karena badannya tembus pandang. Setelah dia sampai tepat di hadapanku, aku berkedip.
“Kau kalah adu tatap denganku, Nier.”
“Sengaja kalah. Kau baru saja mempertunjukkan suatu hiburan yang menarik. Anggap saja itu sebagai bayarannya.”
Dia sama sekali tidak merespon perkataanku dengan emosi apapun. Setidaknya, berpura-pura tersenyum lah atau terlihat lah kesal setelah mendengar perkataanku. Memang sulit sekali melukis ekspresi di wajah gadis ini.
“Di mana Lahika, Cass?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Cassandra malah berjalan pergi meninggalkanku. Apa aku terlalu cepat mengutarakan maksudku menemuinya? Untuk tahu jawabannya, aku mau tidak mau harus mengikutinya.
Aku memang tidak bisa menebak apa yang tengah dirasakannya saat ini. Selain karena aku tak punya kemampuan untuk menganalisa ekspresi seseorang, ekspresi wajah Cassandra benar-benar sangat datar. Kalaupun aku punya kemampuan menganalisa itu, aku tetap tidak akan bisa memahami apa tengah dirasakannya.
“Apa yang terjadi antara kau dan Idazzi, Nier?”
“Dari mana kau tahu? Apa karena Idazzi mangkir dari tugasnya lagi?”
“Bukan. Dia justru lebih rajin dari biasanya.”
“Lalu, dari mana kau mengetahuinya?”
Cassandra mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantong celananya, lalu memberikan kertasnya kepadaku.
“Itu adalah hasil dua skenario yang ditangani Idazzi setelah bertemu denganmu.”
Aku tidak mau membuka dan membaca apapun yang ada di dalam kertas ini. Tanpa melakukan kedua hal itu, aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini tertuju. Jadi, lebih baik masukkan ke dalam kantongku saja.
“Baratus-ratus tahun aku memendam perkataan yang ingin sekali aku ucapkan kepada Idazzi. Prinsipnya memang tidak salah. Yang salah adalah cara dia mengeksekusinya. Alasanku mengatakan hal semacam itu saat ini, karena aku sudah muak melihatnya tersesat. Aku juga muak selalu melihatnya terlihat bodoh setiap kali menangani sebuah skenario. Lebih tepatnya lagi, aku benci selalu diredakan oleh anti-virus di dalam tubuhku setiap kali merasakan hal yang rasanya bercampur aduk seperti itu.”
“Apa yang kau lakukan itu tidak salah, tapi juga tidak benar. Selaku mentor, kau tidak mau melihatnya terus tersesat. Tapi, kau sama sekali tidak tahu apa yang membuat Idazzi bisa tersesat selama beratus-ratus tahun seperti itu. Kau memang tahu apa prinsipnya, tapi ada hal yang jauh lebih penting yang sama sekali tidak kau ketahui mengenai dirinya.”
Rasa penasaran bergejolak sepersekian detik di dalam diriku. Perkataan Cassandra memposisikanku sebagai orang egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Tapi, aku tidak merasa demikian. Apa yang aku katakan pada Idazzi adalah murni demi meluruskan pemahamannya yang salah. Dan yang paling penting, apa hal yang tidak aku ketahui dari Idazzi? Seingatku, dia sudah mengatakan segalanya kepadaku saat aku menjadi mentornya.
Di saat aku tengah berpikir keras, aku tak sengaja menabrak Cassandra yang tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Begitu aku melihat apa alasan Cassandra menghentikan langkahnya, aku langsung menyingkirkan pikiran rumitku yang sebelumnya dan kembali fokus dengan tujuanku yang sebenarnya.
“Wow… Cass. Aku pikir kau akan datang sendirian. Ternyata kau mengajak seseorang yang tak pernah kulihat selama sepuluh tahun terakhir.”
Aku menghampiri orang itu dan berdiri tepat di hadapannya. Dia langsung mengajakku berjabat tangan.
“Bagaimana kabarmu, Hitokui?”
“Baik. Tapi, aku tidak mau menjabat tanganmu. Tanganmu dipenuhi duri, Lahika.”
- 16 Agustus 2020 -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro