5. Hal yang Pantas dan Tidak Pantas
“Ada yang ingin kau bicarakan denganku, kan, Nier? Sebaiknya, kita pindah tempat terlebih dahulu. Aku tahu sebuah tempat yang bagus.”
Avandra mengajakku berjabat tangan dan aku pun menjabat tangannya. Dalam sekejap, kita berdua berpindah ke sebuah tempat di mana langitnya terasa begitu dekat.
“Di manga dan anime yang diciptakan oleh manusia, tempat ini lah yang sangat cocok dijadikan tempat membincangkan hal-hal pribadi.”
“Iya, aku tahu soal itu, Avandra. Tapi, apakah kau tahu? Di manga atau anime, atap sekolah juga biasa digunakan sebagai tempat apa?”
Aku sebenarnya tidak masalah mau diajak ke mana pun olehnya, yang jadi masalah adalah tempat ini juga sangat terkenal di Jepang sebagai tempat kisah romansa dimulai. Sudah banyak sekali penciptaan seorang bayi dimulai dari titik ini.
“Dimulainya kisah romansa? Tenang saja, banyak sekolah yang sudah melarang menggunakan tempat ini dengan bebas. Jadi, kau tidak perlu takut kalau ada yang tiba-tiba meninterupsi perbincangan kita.”
Bukan itu masalahnya. Tapi, aku malas menjelaskan maksudku. Jadi, biarkan saja. Untuk mencegah hal-hal romantis terjadi, aku berdiri menyandarkan kedua tanganku di pagar pembatas dan menatap ke bawah melihat beberapa siswa sudah mulai sibuk dengan aktivitas pagi masing-masing.
“Apakah kau sudah tahu soal Hadesz yang ingin aku menggantikan posisinya?”
“Aku sudah tahu. Lebih tepatnya, aku sudah menduga hal itu akan terjadi.”
“Jawab dengan jujur, Avandra. Siapa di antara kau dan Clint yang ditawarkan oleh Hadesz pertama kali?”
Aku melirik ke belakang sejenak melihat Avandra. Kontak mata yang aku lakukan, membuatnya ikut bersandar pada pagar pembatas tepat di sebelahku.
“Aku yang pertama kali diminta olehnya. Setelah menolaknya, aku mendatangi Clint untuk memperingatkannya bahwa Hadesz ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya. Clint terlihat agak bingung dan tak tahu apa maksudku. Jadi, itu lah caranya aku tahu kalau aku lah yang pertama diminta.”
Aku sudah menduganya kalau Avandra yang pertama kali diminta. Di antara kami bertiga, Dewa Kematian Pendahulu, Avandra lah yang punya pemahaman luas dan pemikiran yang panjang. Meski aku dan Clint adalah seniornya. Sekarang, aku akan coba membujuknya secara halus untuk menerima permintaan Hadesz.
“Kenapa kau menolaknya, Avandra? Seharusnya kau tahu, kau lah yang pantas untuk menerimanya dibandingkan aku dan Clint.”
“Pantas? Bisa kau artikan definisi pantas yang kau maksudkan?”
Avandra menatapku dengan tatapan dingin. Entah dia sedang kesal karena perkataanku atau memang hanya ingin mengujiku saja. Kalau aku salah menjawab, pembicaraan ini bisa jadi akan mengarah ke akhir yang tak aku inginkan.
“Clint adalah Dewa Kematian pertama, Avandra. Tapi hanya aku, kau, Hadesz, Cassandra dan Clint sendiri saja yang mengetahuinya. Seratus tahun kemudian, aku datang. Setelah aku datang, seratus tahun kemudian kau yang datang. Dua ratus tahun kemudian Lahika dan Idazzi datang bersamaan. Lalu, secara berurutan setiap seratus tahun datang Dewa Kematian yang baru, yakni Vazco, Tarusanu, Ribelle, Ezcort, dan Flattern.”
“Apa tujuanmu yang sebenarnya mengatakan hal ini padaku?”
“Selama lima tahun pertama kau menjalani tugasmu, aku mengajarkanmu bagaimana caranya Dewa Kematian bekerja sekaligus mengawasimu. Lalu, selama 795 tahun lebih aku telah mengenal dan memahami bagaimana dirimu dengan baik. Dari situlah aku mengambil kesimpulan, kalau kau lah yang lebih pantas dibandingkan aku dan Clint. Berbekal dari delapan ratus tahun aku mengenalmu.”
Avandra memalingkan pandangannya dariku. Ekspresi datarnya membuatku sulit memperkirakan apa yang sedang dipikirkannya. Itulah kenapa aku tidak begitu suka berbicara dengan rekan-rekanku sesama Dewa Kematian. Ekspresi mereka sulit ditebak, tidak seperti manusia yang mudah sekali ditebak.
“Pemenggal kepala, kanibal, penggila rumus, pembangkang, tangan berduri, pakar mesiu, penyihir kanvas, kalbu kelabu, penghuni ketinggian, dan pencipta fantasi. Itu semua adalah sebutan yang pertama kali Hadesz ucapkan untuk menyebut nama kita bersepuluh, Nier. Apa menurutmu dia hanya sekedar iseng atau memang karena dia ingin mendeskripsikan diri kita saat masih hidup sebagai manusia?”
Aku hanya tahu enam di antaranya. Pemenggal kepala itu Clint, kanibal itu aku, penggila rumus itu Avandra, pembangkang itu Idazzi, tangan berduri itu Lahika, dan penyihir kanvas itu Tarusanu. Sisanya aku tidak mengetahuinya. Mungkin karena aku tidak pernah menanyakan langsung kepada empat yang lainnya.
“Entahlah, Avandra. Aku sendiri juga tidak mengetahuinya. Aku tidak tahu apa sangkut pautnya diriku dengan sebutan kanibal itu.”
“Berbeda denganku. Aku mulai memahami kenapa sebutan penggila rumus itu melekat padaku. Aku selalu meneliti terlebih dahulu setiap skenario yang aku tangani dan tanpa aku sadari, aku menyukainya. Apa, siapa, mengapa, bagaimana, kapan, dan di mana adalah pertanyaan yang aku gunakan untuk memahami sebuah skenario kematian. Apa aku harus menyingkatnya atau memperpanjangnya, membunuh atau menyelamatkannya, merubah atau mendiamkannya saja.
“Aku terus melakukan hal itu selama delapan ratus tahun dan tak pernah bosan sedikitpun. Aku hanya ingin meneliti dan terus meneliti untuk menemukan sebuah akhir yang pas untuk setiap skenario kematian yang aku tangani. Kau menyebutku bijaksana dan berbagai sebutan semacam itu lainnya, tapi aku sendiri tak mengganggapnya seperti itu. Aku hanya berusaha menjadi diriku sendiri, seperti yang Clint dan kau lakukan. Itu saja.”
Ekspresi datar Avandra memang sulit diartikan, tapi dari nada suaranya aku sangat memahami kalau dia ingin aku menerima dan mau mengerti dengan jawabannya. Kalau sudah begini, sulit bagiku untuk membujuknya menerima permintaan Hadesz. Kalau aku gunakan pendekatan yang lebih dari ini, bisa-bisa dia marah dan tak mau lagi bertemu denganku.
“Lagipula kalau aku yang menggantikan Hadesz, Idazzi dan Tarusanu pasti tidak akan setuju, Nier. Mereka berdua sangat menghormatimu, karena kau lah mentor mereka. Kalau kau yang menjadi pengganti Hadesz, semuanya akan menerimanya meski Lahika dan Ribelle pasti lebih suka Clint yang menggantikannya karena Clint mentor mereka. Jabatan palsumu sebagai ‘Kakak Tertua’ akan membuat mereka semua mudah untuk setuju.”
Lagi-lagi kembali ke pemahaman itu. Kalau pembicaraan ini sudah dibawa ke sana, aku sudah tidak bisa lagi membelokkannya. Sekarang, aku semakin menyesal karena telah menerima permintaan Clint saat itu. Kalau tahu sampai menyusahkan seperti ini, aku tidak mau menerimanya begitu saja.
“Intinya, selain karena kau hanya ingin meniliti saja, sejak awal kau sudah mengganggap dirimu tidak akan diterima secara penuh untuk mengisi posisi itu?”
Avandra menoleh ke arahku dan menganggukkan kepalanya. Pembicaraan panjang lebar ini berakhir menjadi sebuah kesimpulan yang menyebalkan. Meski perkataanku telah berhasil menghindari kotak Pandora yang ada di dalam diri Avandra, aku tetap mendapatkan akhir yang sudah kuketahui dan sangat pahami. Membicarakan masalah rumit ini kepada yang paling bijak sekalipun tetap tak bisa membuatku mengelak dari permintaan ini. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain menerima permintaan Hadesz.
“Karena sudah tidak ada yang mau dibicarakan lagi, aku akan pergi. Ada pekerjaan lain yang harus aku kerjakan sebentar lagi.”
“Terima kasih sudah meluangkan waktumu, Avandra.”
“Tidak masalah. Saranku, untuk meyakinkan pilihanmu mengenai menerima permintaan Hadesz atau tidak, coba temui ke tujuh juniormu yang lainnya. Tanyakan pendapat mereka mengenai permintaan Hadesz itu. Dengan begitu, kau akan paham kenapa kau lah yang justru lebih pantas dibandingkan aku atau Clint.”
“Hmm. Sejak awal aku memang berniat menemui kalian satu-persatu sesuai urutan.”
“Kalau begitu aku pamit. Sampai bertemu lagi, Guru.”
Panggilan itu… sudah lama sekali aku tak mendengarnya dari mulut Avandra. Setelah kulepas untuk bekerja sendiri, dia tak pernah memanggilku lagi seperti itu. Di sisi lain aku merasa agak senang, tapi di sisi yang satunya aku merasa sedikit sesak. Panggilan itu membuatku mengingat kembali apa alasanku menawarkan diri untuk mengajarinya. Padahal, saat itu Clint lah yang diminta oleh Hadesz.
Rahasia di antara aku dan Hadesz ini, tak boleh sampai diketahui oleh Avandra.
***
Aku sudah menemui dua Dewa Kematian pendahulu dan jawaban mereka kurang lebih sama. Mereka menolak permintaan Hadesz karena menurut mereka aku lah yang lebih pantas. Sekarang, waktunya untuk menemui ketujuh juniorku yang punya kepribadian yang berbeda-beda. Bertemu dengan Idazzi dan Tarusanu mungkin akan mudah, karena aku adalah mentor yang mendidik mereka sebelum mereka mulai bekerja sendiri menjadi Dewa Kematian.
Setahuku, yang sulit untuk diajak berkomunikasi dengan baik adalah Lahika dan Ribelle. Kepribadian keduanya berbanding terbalik denganku. Sisanya Vazco, Ezcort, dan Flattern kurasa aku bisa berinteraksi dengan mereka. Tapi masalahnya, aku ingin mengunjungi mereka secara berurutan. Itu artinya pilihanku saat ini cukup sulit.
Bertemu dengan muridku atau bertemu dengan yang merepotkan terlebih dahulu?
Memikirkan jawabannya nanti saja. Ada pekerjaan yang harus aku lakukan terlebih dahulu sebelum menemui salah satu di antaranya. Meskipun sebenarnya, aku tiba sepuluh menit lebih cepat di tempat terjadinya skenario kematian yang harus kutangani saat ini.
Rumahnya lumayan besar, namun cukup berantakan. Penataan ruangnya lumayan baik, namun banyak sampah bekas botol berbagai jenis minuman di mana-mana. Dari yang kandungannya sedikit sampai ada yang menyentuh batas maksimal. Rumah megah, tapi ornamennya botol alkohol. Para pecinta minuman beralkohol tak mungkin sampai sebarbar ini.
Di era modern seperti sekarang, kebahagiaan sejati sulit sekali untuk didapatkan. Mereka yang bergelimang harta seperti pemilik rumah ini saja, masih bisa merasakan depresi berat. Karena untuk mencari rumusan yang sempurna dalam mendefinisikan kebahagiaan, diperlukan sebuah pengalaman yang tak sebentar. Bukan berasal dari mulut seorang motivator.
Akhirnya ketemu. Setelah berkeliling rumah yang pemandangannya merusak dua panca indera ini, aku menemukan juga pemilik rumah yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton sebuah rekaman video di televisi. Rekaman video yang berisi seorang anak perempuan membuka bungkus kado di dekat pohon cemara yang dipenuhi dekorasi.
Kalau begitu, izinkan aku duduk di sampingmu untuk menemanimu. Bukan untuk ikut menonton, tapi untuk membaca skenario kematianmu beserta rangkuman kilas balik kehidupanmu di buku hitamku.
Auckland, Selandia Baru, 5 Januari 2020. Ridenton McCowatt meninggal pukul 10.12 pagi karena serangan jantung. Meninggal di umur 40 tahun.
Kecanduannya mengonsumsi minuman beralkohol bermula dari perceraiannya dengan sang istri yang terjadi tiga bulan sebelum kematiannya. Kesibukannya dalam bekerja membuat istrinya berselingkuh dengan pria lain, sehingga pernikahan mereka yang telah dikaruniai seorang anak perempuan harus kandas. Istrinya memenangkan hak asuh penuh, yang membuatnya semakin terpuruk karena tak pernah diizinkan satu kalipun untuk bertemu dengan anak semata wayangnya.
Tugas laki-laki adalah bekerja untuk menafkahi keluarganya, tapi menafkahi saja tidaklah cukup. Membagi waktu dan menyebarkan rasa kasih sayang dengan komposisi yang besar terhadap keluarganya merupakan hal wajib lain yang harus laki-laki lakukan. Sebenarnya, niat Ridenton McCowatt untuk bekerja dengan giat demi masa depan anak dan istrinya merupakan tujuan yang baik. Tapi, karena dia menikahi seorang wanita yang batas sabarnya sependek batang korek api, masa depan semacam inilah yang harus dirasakannya. Sungguh menyedihkan.
“Annalie, maafkan aku. Aku memang tidak pantas dipanggil ayah olehmu. Tapi, kalau aku diizinkan satu kali saja menghabiskan waktu denganmu, aku pasti memperbaiki kesalahanku di masa lalu. Aku juga akan banyak menghabiskan waktu denganmu.”
Sudah terlambat, Ridenton. Sel saraf yang terhubung langsung dengan perasaan rindu, kasih sayang, dan kepedulian terhadap keluarga yang bersemayam di dalam dirimu, terlambat aktif. Kalau saja kau menyadarinya lebih cepat, kau pasti tidak akan mengalami hal ini. Susu sudah menjadi keju, semuanya tak bisa terulang kembali. Kalau sudah begini, hanya ada satu hal yang bisa aku lakukan untuknya.
“Selamat pagi, Ridenton.”
“Hah? Siapa kau? Kenapa kau bisa masuk ke sini?”
Luar biasa. Kalau orang biasa, mereka pasti langsung ketakutan begitu aku tiba-tiba menampakkan diri di dekat mereka. Sepertinya, saraf takut manusia akan berhenti bekerja untuk sementara waktu saat mereka sedang mabuk.
“Sudahlah, paling kau hanyalah halusinasiku saja. Sepertinya aku memang sudah minum terlalu banyak, sampai bisa menghalusinasikan seseorang yang tidak pernah kukenal.”
Ucapanmu tak selaras dengan sistem pencernaanmu yang baru saja kau suguhkan kembali dengan alkohol. Padahal, ini masih terlalu pagi untuk mulai terbang tinggi.
“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu, Ridenton. Kalau kau punya kesempatan berbicara satu kali lagi dengan anak dan istrimu, apa yang akan kau katakan kepada mereka?”
“Aku hanya ingin meminta maaf kepada mereka, itu saja.”
Suara nyaring terdengar keras begitu Ridenton melempar botol di tangannya ke tembok. Sepersekian detik kemudian, derai air mata menghujani lantai. Kalau aku masih manusia, aku pasti akan memberikannya dukungan dengan menepuk-nepuk pundaknya. Tapi karena aku mantan manusia, aku harus mengerjakan sesuatu yang lebih penting.
Sementara aku sibuk dengan urusanku, Ridenton sudah terkapar di lantai dan terus memanggilku meminta pertolongan. Maaf tidak bisa membantumu, Ridenton. Ini lah caraku membantumu, yaitu dengan tidak menolongmu. Semoga perjalananmu nanti lancar-lancar saja.
Selesai. Sekarang waktunya untuk mengunjungi rumah si mantan istri.
Rumahnya biasa-biasa saja, tak seperti dugaanku. Ternyata, tak selamanya materi menjadi hal yang paling dicari oleh seorang wanita dari laki-laki. Tak perlu berlama-lama lagi. Letakkan kertas di atas keset, lalu pergi. Namun begitu aku ingin menutup mata dan berteleportasi lagi, mantan istri Ridenton keluar dan berdiri tepat di hadapanku. Dia mengambil kertas yang baru saja kuletakkan dan membacanya.
“Aku minta maaf. Tertanda, Ridenton.”
Dia meremukkan kertasnya dan melemparnya ke tempat sampah. Aku yakin dia akan menyesali perbuatannya itu begitu melihat berita kematian ironis Ridenton. Datanglah ke pemakamannya nanti dan minta maaf padanya soal perselingkuhanmu. Kalau kau tidak melakukannya, aku akan kembali ke sini lagi, tapi bukan untuk mengantarkan pesan.
- 2 Agustus 2020 -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro