
4. Sebuah Ironi
Perkataan Clint tadi pagi bagaikan sarapan yang rasanya sulit sekali dilupakan. Perkataannya terdengar seperti roti yang diisi daging, keju, sayuran, dan berbagai toping lengkap. Namun, ketika aku makan rasanya mematikan. Perbedaan prinsip antara aku dan dia sangatlah berbeda. Sudut pandang mengenai jalan mana yang terbaik di antara kami berdua benar-benar berlawanan arah. Pilihan yang dibuatnya, terlihat memuakkan bagiku.
“Selamat malam. Namaku Buyten, bartendermu untuk malam ini. Mau pesan apa?”
Terlalu sibuk melamun, sampai lupa kalau aku sedang memperlihatkan wujudku.
“Apapun yang kau sarankan, tapi jangan lebih dari 20% dan aku minta sebuah ceri hijau di bagian atas gelasnya. Itu saja, terima kasih, Buyten.”
“Baiklah akan kubuatkan sesuatu yang bagus untukmu.”
Perlu dicatat. Sebagai Dewa Kematian, aku tidak butuh makan dan minum lagi, tapi bukan berarti aku tidak bisa. Kalau aku duduk dan diam saja sambil mengamati sekitar, aku bisa dikira bukan manusia oleh orang-orang di sini.
Aku ada di mana?
Ini adalah sebuah tempat yang akan didatangi manusia ketika mereka sedang depresi atau sekedar melepas penat. Tempatnya penuh dengan musik yang lagunya dari awal sampai akhir cuma intro, agak bising karena suara pembicaraan yang bercampur aduk, dan dipenuhi beberapa manusia yang berkelakuan aneh.
Jawabannya adalah Klub Malam.
Untuk apa aku di sini? Jawabannya apa lagi kalau bukan untuk bekerja? Aku cukup menyukai tempat ini, karena di sinilah aku bisa melihat berbagai macam tingkah lucu manusia ketika mereka kehilangan kesadaran. Ada yang menari denga ritme yang berantakan, ada yang bernanyi dengan nada yang sumbang, sampai ada juga yang menyendiri dan berbicara sendiri. Seberbahaya itulah alkohol, tapi herannya masih ada saja yang rutin meminumnya. Begitulah manusia. Takut mati, tapi mencari mati.
“Pesananmu, Tuan. Selamat menikmati.”
“Terima kasih, Buyten.”
Minum sedikit, lalu makan cerinya. Luar biasa. Tidak ada rasanya.
“Bagaimana rasanya? Sesuai dengan yang kau inginkan?”
Kalau aku bilang tidak ada rasanya, dia pasti akan merenungkannya sampai besok pagi dan berhenti jadi bartender. Yang paling buruk, dia bisa saja bunuh diri.
“Lumayan. Rasanya agak unik, tapi cukup nikmat untuk diminum.”
“Wah… aku tidak menyangka kalau racikan yang baru pertama kali kubuat lima menit yang lalu, bisa memuaskan lidahmu. Baguslah kalau begitu.”
Kalau tahu dia meraciknya asal-asalan, seharusnya aku berkata sejujurnya saja tadi. Tapi… tak apa. Meski percakapan tadi agak menyebalkan dari sudut pandangku, setidaknya aku jadi bisa mulai membicarakan beberapa hal dengannya.
“Apa kau mengenal wanita yang sedang duduk sendirian di meja dekat tiang di sana?”
Aku hanya melakukan kontak mata untuk menunjuk ke arah yang kumaksudkan. Buyten melihatnya sejenak, lalu menganggukkan kepalanya dengan tersenyum.
“Iya, aku mengenalnya. Namanya, Gill. Sebaiknya kau cari wanita lain saja untuk didekati. Dia bukanlah wanita yang tepat untuk kau ajak menghabiskan malam.”
“Apa alasannya?”
“Dia tinggal di kamar apartemen yang berhadapan dengan apartemenku. Sekitar setahun yang lalu, pacarnya meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu, dia jadi lebih tertutup kepada laki-laki. Keadaan itu semakin memburuk ketika satu bulan yang lalu kedua orang tuanya meninggal dunia. Dan menjadi semakin parah setelah seminggu yang lalu dia dipecat dari pekerjaan yang sudah digelutinya bertahun-tahun. Menyedihkan, bukan?”
Benar, Buyten. Aku setuju kalau kehidupannya memang menyedihkan. Alibinya untuk menyendiri malam ini juga sangat kuat. Bahkan, aku akan terkejut kalau dia bisa baik-baik saja dan tak depresi sama sekali.
“Kau tahu bagaimana cara mengatasi keterpurukan mental tetanggamu itu?”
“Bagaimana caranya, Tuan?”
Membunuhnya.
“Aku tidak tahu caranya, Buyten. Itu sebabnya, aku bertanya padamu.”
“Aku kira kau ingin memberikan sebuah solusi, Tuan. Kalau aku tahu apa solusinya, aku pasti sudah melakukannya sejak setahun yang lalu. Aku selalu bertanya apa yang sedang dia alami dan dia hanya menjawabnya dengan jawaban-jawaban singkat. Meski aku peduli padanya, tetap saja aku tidak bisa berbuat banyak. Setidaknya, aku sudah mencoba menjadi seorang tetangga yang baik.”
Sebuah rasa yang selalu aktif di tempat dan di saat yang tidak bisa ditebak. Rasa yang pasti ada di dalam tubuh manusia, meski kadarnya berbeda-beda. Yakni, rasa kepedulian. Cukup menyenangkan juga berbicara dengan Buyten.
Kalau Clint suka mengamati sekitarnya untuk menentukan apa yang harus dilakukan terhadap skenario kematian yang ditanganinya, maka aku lebih suka berbicara dengan manusia. Entah itu targetnya langsung atau orang terdekatnya. Berhubung Gillian sedang depresi berat, sulit bagiku untuk mengajaknya bicara. Jadi, berbicara dengan orang yang cukup mengatahuinya adalah pilihan yang tepat.
Sekarang waktunya untuk pergi. Aku sudah mendapatkan apa yang aku cari, kini waktunya untuk mengeksekusi.
“Ambil saja kembaliannya, Buyten. Anggap itu uang tip dariku.”
“Terima kasih, Tuan.”
Suatu hari jika aku yang menangani skenario kematianmu, aku akan membuatnya tanpa penderitaan sama sekali, Buyten. Anggap saja sebagai bayaran untuk obrolan tadi.
***
Lima menit sebelum waktunya tiba. Aku ingin memastikan lagi skenario kematian yang tertulis untuk wanita ini.
Temse, Belgia, 4 Januari 2020. Gillian van Heerings meninggal pukul 11.21 malam, karena bunuh diri dengan terjun dari Jembatan Temse. Meninggal di umur 35 tahun.
Kelanjutan keterangan dari skenarionya sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Buyten tadi. Kalau sudah begini, sepertinya sudah jelas apa yang sebaiknya aku lakukan untuk menangani skenarionya.
“Tuhan, kenapa Kau sangat tidak adil padaku?”
Pidatonya sudah dimulai. Saat ini, aku sedang menjadi penonton kelas VVIP. Aku bersandar tepat di samping Gillian yang sedang berdiri di atas pagar pembatas dan membentangkan kedua tangannya.
“Setahun yang lalu Kau mengambil Nasser dariku, sebulan yang lalu Kau mengambil kedua orang tuaku, dan sekarang Kau juga mengambil pekerjaanku. Apa yang sebenarnya Kau mau dariku? Kenapa aku terus mengalami hal menyedihkan ini? Apa salahku?”
Tidak ada. Kau hanya mencoba menjalani kehidupan layaknya seorang wanita pada umumnya. Hanya saja, realita selalu membunuh segala sesuatu yang kau sayangi. Mungkin, dunia ingin kau berhenti. Berhenti untuk terus menyuplai oksigen ke paru-parumu.
“Kalau memang ingin aku segera menemui-Mu dan mengakhiri ini semua, maka aku akan melakukannya dengan suka rela. Sebentar lagi, aku akan bertemu dengan kalian bertiga.”
Beberapa tetes air mata melayang sejenak begitu tubuh Gillian lepas landas dari pagar pembatas. Sekitar dua detik berselang, suara air yang tengah menyambut kedatangan Gillian dapat kudengar dengan jelas. Sebuah skenario yang sangat hening di malam yang sangat sunyi dan dipenuhi salju ini.
Apa?
Kenapa aku tidak menolongnya?
Maaf saja, aku ini bukan Clint. Clint mungkin akan menolong wanita itu dan menulis ulang skenario kematiannya. Menurut Clint, begitulah yang terbaik. Aku dan Clint punya definisi ungkapan ‘Begitulah yang terbaik’ yang berbeda pemahamannya. Terbaik bagi Clint, belum tentu terbaik bagiku. Begitu juga sebaliknya. Tapi yang jelas, kami saling menghormati keputusan masing-masing.
Pekerjaanku hari ini sudah selesai. Sekarang, waktunya untuk pergi ke tempat yang diberitahukan oleh Cassandra. Semoga saja aku belum terlambat.
***
Aku terlambat, karena aku lupa. Aku pikir perbedaan waktu antara Belgia dan Jepang itu delapan jam, dengan waktu Jepang yang lebih cepat. Sekarang pukul 06.25 pagi waktu Jepang, artinya perbedaan waktu yang benar adalah tujuh jam. Benar-benar merepotkan sekali sistem perbedaan waktu di muka bumi ini.
Pemandangan yang aku lihat saat ini terlihat seperti sebuah taman bunga dengan berbagai macam jenisnya. Ada yang hitam, putih, biru, kuning, dan berbagai macam warna lainnya. Ada garis pembatas berwarna kuning yang menandakan tak bisa sembarangan bunga bisa melewatinya. Aku tidak tahu kalau suasana pagi di Jepang ternyata seramai ini.
Yang terpenting, aku tidak bisa menemukan keberadaannya. Kalau sudah seperti ini, aku harus bertanya kembali kepada Cassandra mengenai lokasi berikutnya yang akan dia datangi. Apa sebaiknya aku minta jadwalnya untuk hari ini saja sekalian? Agar keterlambatan semacam ini bisa aku tanggulangi dengan cepat nanti.
“Nier, tidak biasanya kau datang menemuiku. Aku tidak ingat kapan kau pernah melakukan hal ini. Sepertinya, sudah lama sekali.”
Apa yang kucari, akhirnya datang sendiri. Meskipun aku agak terkejut karena dia tiba-tiba muncul di sebelahku, setidaknya aku tidak perlu menemui Cassandra lagi.
“Apa kabarmu, Avandra?”
“Basa-basi ala manusia? Dewa Kematian seperti kita, tidak bisa sakit dan kehilangan keistimewaan untuk merasakan sesuatu. Jadi, setiap hari aku pasti baik-baik saja.”
Apa sulitnya menjawab, “Aku baik-baik saja, Nier. Bagaimana denganmu?” seperti itu pasti lebih enak untuk didengar. Walaupun, perkataannya memang benar.
“Sebelum membicarakan apa maksudku menemuimu, aku ingin bertanya mengenai skenario kematian yang baru saja kau tangani. Sepanjang mataku terus fokus menatap pemandangan yang ada di sebrangku, kenapa aku tidak bisa menemukan keberadaan mayat seorang gadis? Bukan kah kau menangani skenario kematian semacam itu?”
“Aku menyelamatkan gadis itu dan membunuh semua yang ingin membunuhnya.”
Jawaban yang sangat heroik. Avandra terdengar seperti seorang pahlawan yang diceritakan dalam film dan novel. Tapi, aku ragu kalau alasannya adalah demi menolong gadis itu, seperti pahlawan kebanyakan. Pasti ada alasan lain yang membuatnya mengubah skenario kematian yang sudah ada. Dan alasannya pasti tidak heroik.
“Apa alasanmu melakukannya, Avandra? Kau adalah seorang Dewa Kematian, bukan seorang pahlawan yang ditugaskan untuk menyelamatkan manusia yang tengah berada di ambang batas kematian.”
“Kau mau jawaban yang serius atau yang bercanda?”
Pertanyaan sulit.
“Jawaban yang serius.”
“Semua orang yang ingin membunuh gadis itu memiliki kehidupan yang berlika-liku. Aku tidak mau mereka terus mengalami penderitaan yang sama secara berulang-ulang. Jadi, lebih baik aku membunuhnya saja, kan?”
Avandra baru saja menginjak rajau. Hanya saja ranjaunya sudah lama mati, sehingga tidak terjadi ledakan yang dapat menewaskannya.
“Menjadikan metodeku dalam menangani skenario kematian sebagai sebuah jawaban. Apa kau tidak sengaja atau memang ingin menyindirku secara terang-terangan seperti itu?”
“Sekarang jawaban bercandanya.”
Seperti biasa, dia selalu saja menghiraukan pertanyaan semacam itu. Kuanggap jawabannya tadi sebagai sebuah gurauan saja.
“Entah kenapa, timbul secercah rasa di dalam diriku ingin menolong gadis itu. Dia tidak punya salah apa-apa. Dia hanya ingin pulang ke rumahnya setelah lelah kuliah dan bekerja paruh waktu. Namun di tengah jalan, dia berpapasan dengan sekelompok laki-laki yang tiba-tiba saja menculiknya dan membawanya entah ke mana. Di skenario aslinya, gadis itu mati terbunuh setelah diperkosa. Mayatnya dimusnahkan untuk menutupi jejak kriminal sekumpulan laki-laki tak bermoral itu.
“Awalnya aku tidak mempermasalahkan skenario itu, karena menurutku nantinya semua laki-laki yang membunuh gadis itu akan meninggal dengan cara yang jauh lebih mengenaskan. Tapi, begitu aku melihat skenario kematian mereka menggunakan bukuku, ekspetasiku bubar jalan. Semua laki-laki itu meninggal dengan cara yang wajar layaknya manusia yang baik pada umumnya. Meninggal tanpa karma.
“Jadi, itu lah alasan bercanda kenapa aku membunuh semua pembunuh dan menyelamatkan gadis yang seharusnya dibunuh.”
Alasan Avandra bisa aku terima. Yang tidak aku terima adalah keputusannya. Menyelamatkan gadis itu memang sebuah tindakan yang baik dan terdengar manusiawi, tapi malasahnya kami adalah Dewa Kematian. Kami tidak mengambil keputusan dengan cara manusiawi, karena itu bisa menimbulkan banyak masalah.
“Pertama-tama aku ingin bertanya bagaimana caramu membunuh semua laki-laki itu?”
“Aku masuk menyergap mereka. Sebelum membunuh mereka semua, aku membuat gadis itu tak sadarkan diri terlebih dahulu. Jadi, dia tidak tahu apa-apa mengenai pembunuhan itu. Dia terbangun dari tidurnya dan menyadari banyaknya mayat di sekitarnya. Dia berteriak keluar, kemudian polisi datang setelahnya dan pergi membawanya.”
“Apa menurutmu polisi bisa percaya begitu saja dengan pengakuan gadis itu?”
Ini lah masalah yang aku maksudkan. Menyelamatkan satu nyawa, artinya rentetan masalah akan datang setelahnya.
“Kalau pun polisi percaya dengan perkataan gadis itu, mereka juga tidak akan melepaskannya begitu saja, Avandra. Apa yang kira-kira masyarakat pikirkan setelah kesaksian gadis itu menyebar luas? Ada seorang pembunuh yang bisa membunuh banyak laki-laki dan kabur tanpa meninggalkan bukti apapun, berkeliaran di Jepang. Demi mencegah terjadinya ketakutan di masyarakat, polisi kemungkinan akan membuat gadis itu sebagai tersangkanya. Tidak kah kau berpikir sejauh itu?”
Avandra menghampiriku sambil mengeluarkan buku hitam miliknya dari balik jasnya. Dia membuka bukunya dan memperlihatkan padaku apa yang tercantum di dalamnya.
“Aku sudah mengetahui hal itu, Nier. Itu sebabnya aku membuat skenario lainnya, di mana gadis itu meninggal dalam kecelakaan menuju kantor polisi.”
Aku sama sekali tidak mengerti apa tujuan Avandra sebenarnya.
“Kalau memang pada akhirnya kau membunuh gadis itu, kenapa tidak lakukan saja sejak awal? Daripada kau melakukan cara berbelit-belit seperti ini.”
“Dampaknya akan berbeda. Kalau aku membiarkan skenario sebelumnya terjadi, banyak yang prihatin dengan gadis itu dan mulai meningkatkan kewaspadaan mereka. Kalau aku ubah skenarionya menjadi seperti itu, tak hanya perasaan prihatin dan waspada saja yang timbul di masyarakat, tapi juga motivasi untuk mulai belajar bela diri agar bisa mengatasi masalah semacam itu jika terjadi dalam hidup mereka. Gadis itu akan menjadi seorang pahlawan yang akan dengan senang hari ditiru wanita mana pun di seluruh Jepang.”
Aku tak bisa menyangkalnya. Motivasi akan benar-benar bekerja setelah adanya contoh yang nyata.
Sebuah ironi.
- 23 Juli 2020 -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro