Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Kail Pancing Berkualitas

Kapan kira-kira terakhir kali aku melihat langit biru yang terhampar luas seperti ini? Untuk menenangkan pikiran dan mengisi waktu luang, aku lebih sering melakukannya dengan menatap hamparan laut yang luas. Alasannya karena aku lebih suka melihat ke depan daripada melihat ke atas. Dengan posisiku saat ini, aku bisa menatap langit dengan tetap melihat ke depan. Aku tidak menyangka kalau situasi semacam ini cukup bisa menenangkan diriku juga.

Baru saja aku bisa menikmati sensasi terjun bebas, timbul sebuah ganggungan. Ada seseorang yang menangkap kedua bagian tubuhku yang terpisah, lalu membawaku ke sebuah tempat yang berbau asin. Dari suaranya juga, aku bisa menebak dengan mudah ada di mana aku saat ini. Yang belum bisa kutebak adalah siapa yang telah membawaku ke sini. Tidak mungkin manusia. Manusia tidak bisa berteleportasi.

“Kalau saja tubuhmu tidak terbelah dua, kita berdua pasti sudah terlihat seperti Romeo dan Juliet, Senior. Kalau saja kau tidak pernah mengajakku ke pulau tak berpenghuni ini, aku pasti sudah kebingungan untuk memilih tempat yang tepat untuk membawamu.”

Ah… Tarusanu. Bisa diandalkan juga dia.

“Terima kasih, Tarusanu. Kau bisa menurunkanku sekarang.”

Tarusanu mendaratkan tubuhku ke pasir secara perlahan. Aku cukup terkejut. Aku kira dia akan langsung melepaskan tubuhku dan membiarkannya menghantam pasir dengan keras. Boleh juga perlakuan baik Romeo satu ini.

“Kenapa kau kembali, Tarusanu? Bukan kah kau harus menangani sebuah skenario?”

“Niatku seperti itu. Tapi setelah sampai di tempat targetku berada, aku lupa menyampaikan sebuah hal penting kepadamu. Karena skenario kematian yang harus kutangani sudah memiliki nilai seni yang tinggi, jadi aku memutuskan untuk membiarkannya dan langsung pergi menemuimu lagi.”

“Hal penting apa yang ingin kau sampaikan?”

Tarusanu menatapku dari ujung kaki sampai kepala. Dia terlihat cukup detail memperhatikan sekujur tubuhku. Jujur, aku mulai risih.

“Aku akan memberitahukannya setelah kau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, Senior. Kenapa kau terjun bebas dengan kondisi badan seperti ini? Apa kau punya banyak sekali waktu luang, sehingga bisa melakukan hal sekonyol ini?”

“Portnosz tiba-tiba saja datang menemuiku.”

Tatapan mata Tarusanu yang semula terus memperhatikan sekujur tubuhku, saat ini hanya berfokus menatap kedua mataku. Aku sama sekali tidak bisa menebak ekspresi macam apa yang tengah dirasakannya.

“Apa dia yang telah membuatmu jadi seperti ini? Apa alasannya melakukan hal itu? Apa dia punya lebih banyak waktu luang?”

“Sebenarnya… dia melihat kejadian saat aku mendorongmu. Karena hal itu, aku dimarahi olehnya. Dia bilang, ‘Sebagai seorang mentor, kau tidak boleh berbuat seenaknya. Bercanda ada batasnya. Bagaimana kalau aku juga menunjukkan padamu bagaimana caranya bercanda yang benar.’ Setelah itu, aku dihajar sampai terbelah dua.”

Tarusanu memalingkan pandangannya sejenak, kemudian menatapku kembali.

“Entah kenapa, cara bercanda Dewa Portnosz lumayan lucu bagiku. Kalau aku tahu alasannya seperti itu, aku sedikit menyesal karena telah menolongmu. Kau memang pantas mendapatkannya. Bagaimana rasanya dihempas, lalu terjun bebas?”

“Kenapa harus bertanya lagi kalau kau sudah pernah merasakannya sendiri?”

Tarusanu menjulurkan tangannya untuk membantuku bangkit. Karena tubuhku sudah kembali menyatu, aku pun menggenggam tangan Tarusanu dan bangkit dari baringanku.

“Sekarang, hal penting apa yang lupa kau sampaikan?”

“Aku… bertemu Senior Idazzi tiga hari yang lalu.”

Ah… aku sampai lupa dengan permasalahan itu. Air mata yang menetes dari kedua mata Avandra membuatku melupakannya.

“Apa kau bertemu dengannya di tepi sungai?”

Tarusanu menatapku dengan tajam dan menggelengkan kepalanya.

“Aku bertemu dengannya di atas Menara Kembar. Duduk bersila di atas beton pembatas sambil melakukan hobinya menyusun batu-batu.”

“Kenapa dia berada di tempat semacam itu untuk melakukan hobinya?”

“Dia tidak ingin kau menemukannya, tapi itu hanya sebatas hioptesaku saja. Saat bertemu denganku, dia hanya mengucapkan sebuah kalimat dan pergi setelahnya. Dia berkata, ‘Aku lupa kalau kau menyukai tempat yang tinggi, Tarusanu.’ Dari kata-katanya itu bisa disimpulkan bahwa dia sedang menghindari kita berdua, Senior.”

Aku tidak mengira sebelumnya kalau menjadi Dewa Kematian ternyata tidak terlepas dari yang namanya permasalahan. Sembilan ratus tahun berlalu tanpa ada masalah berarti, sekarang aku dihadapkan masalah yang kian bertambah. Memikirkannya terlalu keras, aku akan dinetralkan. Lalu, bagaimana mencari jalan keluarnya?

“Salah satu di antara kita berdua harus segera menemuinya, Senior. Kita berdua sama-sama tidak tahu apa yang membuatnya terus menghindar. Hanya dengan berbicara lah kita bisa tahu apa alasannya. Tapi karena dia tidak pernah mau mendengarkan perkataanku, mau tidak mau memang harus kau yang menemuinya.”

“Iya, aku tahu. Tapi… tunggu sebentar. Dari mana kau tahu ada permasalahan di antara aku dan Idazzi? Clint lagi? Atau kali ini Avandra?”

Tarusanu menyilangkan kedua tangannya di dada dan berdiri menghadap laut.

“Berhenti lah membuat masalah yang dapat membuat banyak pihak khawatir, Senior. Karena masalah yang kau hadapi saat ini, Senior Clint dan dia datang menemuiku untuk meminta bantuan. Kalau kau masih ingin membuat masalah, dengarkan perkataan orang lain juga. Jangan hanya mendengarkan perkataanku saja.”

“Aku membuat masalah karena aku merindukanmu.”

“Jangan merindukanku. Berat. Berat bagiku untuk menahan rasa ingin muntah.”

Aku ingin sekali tertawa untuk mengekspresikan apa yang tengah kurasakan saat ini. Sayangnya, rasa bahagia itu hanya bisa kurasakan sesaat.

“Terima kasih karena sudah menolongku, Tarusanu. Untuk itu, aku akan mengabulkan satu permintaanmu. Apa pun itu pasti akan kuberikan.”

“Apa pun?”

“Iya, apa pun.”

Tarusanu menatapku dengan tajam. Dari raut wajahnya, sepertinya dia ingin meminta sesuatu yang sulit untuk aku penuhi.

“Bayangkan kalau kau adalah sebuah kanvas. Sembilan Dewa Kematian, tiga Dewa Agung dan Cassandra adalah ketiga belas warna yang berbeda. Anggaplah kalau Senior Idazzi warna biru, sementara aku warna merah. Permintaanku adalah buatlah dirimu diisi dengan warna yang lain tanpa mencampurnya satu sama lain. Cukup campurkan merah dan biru saja. Kalau kau mencampurkan semua warna, kanvasmu jadi tidak indah. Tempatkan setiap warna di bagian yang berbeda-beda. Dengan begitu, kau akan menjadi karya seni bernilai tinggi.”

“Bagaimana jika aku tidak bisa menjadi lukisan seindah itu?”

“Itu artinya, kau tidak pantas menggantikan Father.”

Kata-kata Tarusanu secara cepat menghunjam batinku. Kata-kata memang sangat luar biasa. Dia bisa memberikan serangan sesakit ini. Kalau tak ada anti-virus, kata-kata Tarusanu bisa membuatku termenung selama delapan belas hari.

“Tarusanu. Jika Avandra adalah warna kuning, apa boleh aku menyatukannya dengan warna ungu? Sepertinya, warnanya akan jadi semakin bagus.”

“Tidak, warnanya akan menjadi tidak indah sama sekali. Kalau bisa, jangan sertakan warna kuning. Warna itu bisa merusak kanvasmu.”

Aku sudah menduga jawabannya pasti seperti itu. Padahal, dia sendiri yang memintaku untuk menempatkan semua warna di kanvasku. Kalau aku sudah menyelesaikan semua masalah yang ada, aku akan coba untuk membuat dia dan Avandra akur. Meskipun sepertinya hal itu jauh lebih sulit dilakukan dibanding menyelesaikan semua masalah yang ada saat ini.

“Baiklah, aku akan mencoba mengabulkan permintaanmu itu.”

“Memang harus. Setelah semua warna telah diberi izin untuk menghiasi kanvasmu, Senior Clint dan dia tidak akan menemuiku lagi karena mereka bisa melakukannya sendiri. Aku jadi bisa menangani skenario dengan lebih tenang. Karena tatapan matamu mulai menyeramkan, aku pamit, Senior.”

Tarusanu pergi setelah meminta sesuatu yang sulit dipenuhi dan mengucapkan kata-kata menyebalkan. Kalau bertemu lagi, aku akan membuat lehernya menyatu dengan lutut.

Sekarang… apa yang harus aku lakukan?

Masih ada waktu sekitar dua menit lagi sebelum skenario kematian yang harus aku tangani terjadi. Meski segala macam kegundahanku selalu dinetralkan, permasalahan-permasalahan itu tetap selalu muncul di kepalaku. Idazzi yang menghindariku, air mata yang keluar dari mata Avandra, dan yang terbaru adalah ancaman dari Portnosz. Keyakinan untuk menggantikan Hadesz yang semula sudah mencapai 70%, sekarang harus kembali ke titik nol.

Apa yang membuat Portnosz tidak mau aku menggantikan Hadesz? Apa dia belum tahu soal waktu Hadesz yang tersisa? Atau apa ada alasan lain? Ah… kepalaku sudah terlalu malas untuk berpikir. Lebih baik aku alihkan fokusku ke skenario kematian saja. Mungkin saja hal itu bisa jadi anti-virus alami.

“Halo, Nier. Apa kabarmu?”

Baru saja aku ingin berteleportasi, wajah Cassandra tiba-tiba muncul di hadapanku. Kenapa dia menteleportasikan dirinya terlalu dekat denganku seperti ini? Seharusnya, dia mendarat di tempat yang lebih jauh dariku.

“Sangat baik, Cass. Entah kenapa… akhir-akhir ini kau selalu mendatangiku. Mulai luluh dengan segala hal yang pernah aku tawarkan?”

“Entah kenapa akhir-akhir aku tidak pernah menerima penawaran darimu lagi. Aku datang ke sini karena merindukannya.”

Kata-kata manis ditemani dengan tatapan datar. Sungguh sebuah tindakan yang cukup bagiku untuk mengajaknya menghabiskan waktu bersama.

“Mau menghabiskan waktu bersamaku dengan mengelilingi dunia? Kalau kau berminat, aku bisa bolos hari ini dan dimarahi habis-habisan oleh Hadesz besok.”

“Tidak. Aku tidak mau.”

Kalau perkataan Tarusanu bisa membuatku termenung selama delapan belas hari, maka penolakan Cassandra ini bisa membuatku termenung selama delapan belas tahun. Ah… aku mengerti. Dia hanya merindukan penawaran yang setiap kali aku katakan padanya. Bukan berarti dia berniat untuk menerima penawaranku. Kenapa hal semudah itu tak terpikirkan olehku? Aku telah dibutakan wajah datarnya.

“Kau sudah mendapatkan apa yang kau rindukan. Aku harus pergi sekarang. Ada skenario kematian yang sedang menungguku.”

“Aku ikut.”

“Ikut?”

Membingungkan. Apa yang sebenarnya perempuan ini inginkan? Tadi dia menolak ajakanku, sekarang dia ingin ikut bersamaku. Kalau saja ekspresi wajahnya tidak selalu datar, aku pasti bisa mengira-ngira apa yang sedang dirasakannya.

“Aku tidak mau kau bolos dan dimarahi oleh Hadesz. Daripada melakukan tawaranmu tadi, bagaimana kalau selama satu hari penuh aku ikut bersamamu menangani skenario kematian? Kau tidak perlu bolos dan Hadesz tidak akan memarahimu.”

Gawat. Dihadapanku saat ini ada kail pancing berkualitas tinggi. Kalau aku menggigitnya, aku pasti tertarik dan tidak pernah bisa kembali lagi. Tapi… kail sebagus ini tidak datang untuk kedua kalinya.

“Baiklah. Aku dengan senang hati memberikanmu kursi terdepan untuk menonton setiap skenario kematian yang aku tangani hari ini.”

Kubuka telapak tanganku sebagai tanda aku telah menggigit kail pancingnya.

“Jangan sampai membuatku bosan, Nier.”

“Tidak akan, Cass.”

Tanganku dijabat olehnya. Aku mungkin tidak bisa kembali ke laut lagi. Mungkin, aku juga adalah satu-satunya ikan yang merasa riang gembira ditarik oleh sebuah kail pancing.

Setelah berteleportasi, segala perasaan senang itu langsung menghilang. Ini lah momen yang membuatku sangat membenci anti-virus di dalam diriku. Aku sebenarnya masih merasa bingung sampai detik ini. Sejak pertama kali bertemu Cassandra, ada rasa yang selalu membuatku ingin mendekatinya. Seharusnya, perasaan semacam itu sudah tidak bisa lagi aku rasakan. Tapi kalau Avandra saja bisa menangis, mungkin aku juga bisa merasakan cinta. Entahlah, aku tidak mau banyak berharap atau memikirkannya.

“Sepertinya waktumu sudah tidak banyak lagi, Nier.”

Saat ini, aku dan Cassandra ada di hadapan sebuah palang pintu kereta. Bel peringatan tanda adanya kereta yang akan lewat, tengah berbunyi dengan nyaring. Namun sayangnya, palang pintu otomatisnya sedang dalam perbaikan. Di sisi seberang, ada seorang perempuan tengah melaju dengan sepedanya sambil menggunakan headphone. Siapapun bisa menebak dengan mudah apa yang akan terjadi sebentar lagi. Waktunya bagiku untuk mengoreksi apakah menjadi penonton saja atau menjadi pahlawan yang datang sangat terlambat.

“Selamatkan perempuan itu, Nier. Tak perlu membaca buku hitammu lagi. Lakukan saja apa yang aku katakan.”

Tidak biasanya dia memerintahkan hal seperti ini. Bahkan, ini mungkin kali pertama dia memerintahkanku untuk menangani skenario kematian sesuai perkataannya. Selalu ada yang pertama untuk hal apapun di dunia ini. Jadi, ikuti saja perkataan Cassandra.

Aku bertelportasi ke belakang perempuan yang tengah bersepeda itu, kemudian mengganggam jari-jari rodanya dengan tanganku. Sepedanya berhenti dan kereta melintas dengan kencang tepat di hadapannya. Seketika itu juga, dia tersadar dari lamunanya. Matanya membelalak menatap kereta dan tangan kanannya terus memegangi area dadanya. Tak lama, dia bersandar pada setang sepedanya dan mulai menangis.

Kereta telah melintas dan Cassandra belum beranjak dari posisinya. Dia menatap ke arahku, lalu memberi isyarat untuk segera menghampirinya. Karena aku ikan penurut, aku segera menghampirinya. Aku sudah ada di sebelahnya, tapi tatapan mata Cassandra masih menatap perempuan di seberang jalan.

“Ketika seorang perempuan melihat laki-laki yang disukainya menolong perempuan lain, mereka pasti merasa sakit. Tapi, ketika seorang perempuan melihat laki-laki yang disukainya menolong orang yang membutuhkan, mereka pasti merasa bangga. Namun sayangnya, aku tidak merasakan kedua perasaan itu.

“Selama sembilan ratus tahun kau tidak pernah bosan mengajakku menghabiskan waktu bersama. Selama itu juga aku selalu menolaknya. Tapi ketika kau tak mengajakku, aku malah menunggu kedatanganmu. Aku tidak merasakan semua hal yang dijelaskan di berbagai macam artikel tentang kondisi saat seorang perempuan jatuh cinta. Aku tidak memikirkanmu, aku tidak gugup saat bersamamu, dan aku juga tidak cemburu saat melihatmu menolong perempuan tadi. Jadi, apa arti dari perasaan rinduku itu? Apa karena aku ada di dalam dirimu, sehingga aku merasakan rindu semacam itu?”

“Apa maksudmu… Cass?”

- 15 September 2020 -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro