Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09 ☠ Kirei's Point of View



Abryan Davin Darendra.

Sudah satu tahun lamanya aku mengenal pria pecinta basket dan skateboard itu. Akan tetapi, sampai saat ini aku belum juga bisa mengetahui apa sebenarnya motif Davin bergabung dengan Psycho Elite, selain karena dia bilang kalau dia ingin mengenalku lebih dekat.

Sudah bukan rahasia umum lagi di kalangan para anggota PE kalau pria yang identik dengan potongan rambut undercutnya itu menyukaiku. Karena Davin sepertinya juga tidak pernah berniat untuk menyembunyikannya.

Namun sampai sekarang, entah kenapa aku masih belum bisa mempercayai pria itu sepenuhnya. Ada sesuatu dalam diri Davin yang terus membuatku merasa ragu. Meski harus kuakui, kalau dia selalu bisa membuatku nyaman dan merasa aman kalau didekatnya.

Aku juga tidak mengerti, kenapa saat ini aku justru memeluk leher pria itu dari belakang sofa seolah enggan membiarkannya pergi.

"Don't go ..."

Davin menolehkan kepalanya, menarik kepalaku mendekat dan mengecup bibirku berkali-kali seolah tiada hari esok. Pria itu menatapku dengan netra kelamnya.

Tatapan yang sulit diartikan.

Jujur saja, aku tidak pernah bisa mengartikan setiap tatapan pria itu padaku. Davin adalah pria yang tidak bisa ditebak. Bahkan terkadang, ekspresi wajah dan tindakannya cenderung berbeda.

"Kenapa?"

Dia bertanya, dan aku dibuat bungkam karena aku pun tidak tahu mengapa aku bersikap demikian. Bahkan sampai sekarang, aku juga tidak tahu hubungan kami sebenarnya itu apa. Davin selalu berkata kalau dia menyukaiku, tapi laki-laki itu tidak pernah memintaku menjadi kekasihnya secara langsung.

"Kenapa kau melarangku pergi, Kirei?"

Davin menarikku dan mendudukkan diriku di atas pangkuannya. Lalu melesakkan wajah tampannya pada ceruk leherku dan sesekali juga mengecupnya.

"Katakan. Kenapa kau melarangku pergi, hm?"

Pergerakannya di sekitar leherku membuatku kegelian. Aku spontan menjauhkan wajah Davin dari ceruk leherku dan menatapnya dengan ekspresi setengah jengkel. "Hentikan itu, Davin."

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Apakah itu perlu?"

Davin mengangkat sebelah alisnya. "Menurutmu?"

"Aku tidak mengizinkanmu pergi sebelum aku tahu kamu mau pergi ke mana, Davin. Kamu selalu bilang hanya beberapa hari, tapi faktanya malah seminggu lebih."

"Aku tidak perlu izinmu untuk pergi ke manapun yang aku mau, Rei." Davin mengangkatku dari pangkuannya dan mendudukkan tubuh kecilku di sofa sebelahnya. Pria itu berdiri dan mengambil ponsel milikku yang ada di atas meja nakas. "Pinjam ponsel," katanya.

Aku hanya mengangguk dan membiarkannya mengutak-atik ponselku. Toh, di dalam sana tidak ada apa-apa selain aplikasi chat, sosmed dan game asah otak. Aku menunduk, menatap kaos kebesaran Davin yang tengah kupakai. Aroma maskulin menguar dari sana, begitu memabukkan.

Entah sejak kapan aku mulai merasa kalau aku bergantung pada laki-laki ini. Terkadang, aku selalu menolak setiap perhatian yang dia berikan padaku. Namun ada kalanya aku akan diam saja dan menerima semua perlakuannya padaku tanpa penolakan apapun.

"Aku akan berangkat sebentar lagi. Jika tidak berangkat sekarang, aku bisa ketinggalan pesawat." Davin kembali berujar setelah meletakkan ponselku kembali ke atas meja nakas. Kemudian pria itu sibuk memasukkan ponsel, dompet, parfum, dan entah apa saja itu ke dalam tas sport kecil yang akan dibawanya.

"Kamu benar-benar akan berangkat? Aku tidak mengizinkanmu."

Aku merengut saat Davin tak memedulikan ucapanku. Pria itu malah sibuk dengan ponselnya dan tampak sedang menelepon seseorang.

"Ya. Sebentar lagi aku berangkat."

"..."

"Tidak. Aku akan berangkat sendiri."

"..."

"Hmm, ya."

"..."

"Tunggu saja di sana."

"..."

"Baiklah."

Davin mengakhiri teleponnya dan langsung menghampiriku yang masih duduk di sofa. Pria itu mendaratkan satu kecupan lagi pada bibirku sebelum memberikan elusan pada puncak kepalaku.

"Ingat perkataanku, Rei. Jangan lakukan hal-hal gila selagi aku tidak ada."

Aku hanya menghela napas dan memilih mengangguk. Mencegah Davin agar tidak pergi pun rasanya percuma. Sepertinya pria itu memang ada urusan penting yang mengharuskannya benar-benar pergi entah ke mana.

"Aku pergi."

"Ya."

Aku mengantar Davin sampai di depan pintu apartemen pria itu. Tidak. Lebih tepatnya sampai sosok tampannya menghilang di balik tikungan koridor.

Usai kepergian Davin, aku lebih memilih untuk menetap di apartemen laki-laki itu dan membolos kuliah hari ini. Aku bahkan sudah mengirim pesan pada Byza agar mengizinkanku kepada setiap dosen pengampu yang mengajar. Tentu saja sahabatku itu langsung menjawab pesanku secepat kilat.

Aku mendengkus begitu melihat balasan yang dikirim oleh Byza. Sahabatku itu memang benar-benar tidak punya pendirian. Masa aku membolos, dia juga mau ikutan membolos.

Aku memutuskan untuk tidak menjawab pesan terakhir Byza dan memilih untuk mematikan ponselku, lalu meletakkannya kembali ke atas nakas. Jujur saja, kepalaku masih sedikit pusing karena efek mabuk semalam. Aku juga lupa kalau aku belum makan apapun pagi ini. Pantas saja cacing-cacing di perutku sudah meronta-meronta heboh meminta asupan.

"Sabar ya, Tuan Cacing dan Nona Cacing. Aku akan memasakkan makanan dulu untuk kalian." Aku terkekeh sebelum beranjak ke dapur apartemen untuk memasak sarapan guna mengganjal perut.

Ada banyak bahan yang bisa kutemui di dapur apartemen Davin. Karena setiap bulan, aku selalu mengajak pria itu untuk berbelanja bahan makanan. Agar setiap aku ke sini, aku tidak akan kelaparan ...

... dan nasi goreng menjadi menu praktis yang aku pilih untuk sarapanku pagi ini.

☠☠☠

"Sialan emang si Kirei. Enak banget dia bolos kuliah hari ini. Mana gue lagi yang disuruh ngizinin dia ke dosen."

Syafreza Altezza Byza terus saja menggerutu di depan cermin riasnya. Gadis bule itu tengah bersiap-siap untuk berangkat kuliah, sebelum notifikasi pesan dari Kirei membuat ia menghentikan kegiatan berdandannya sejenak.

"Ya emang, sih. Kan kita sekelas. Pastinya Kirei bakalan nyuruh gue buat ngizinin dia. Nggak mungkin juga kan dia malah nyuruh Reynand yang jelas-jelas beda kelas, bahkan beda angkatan?"

Byza kembali bermonolog sembari menyisir rambut blondenya dengan perlahan. Bagi gadis berusia 21 tahun itu, penampilan adalah segalanya. Apalagi jika sudah terlahir cantik sejak dalam kandungan.

"Tapi tunggu, tumbenan banget si Kirei izin kuliah dengan alasan malas. Biasanya kalau nggak sakit, pasti ada aja urusan mendadak dari kantor yang nggak bisa ditinggal atau diwakilkan."

"Ah, tapi bodo amatlah. Mending gue berangkat sekarang biar nggak telat."

Byza pun segera mengakhiri acara berdandannya dan menyambar tas kuliahnya yang tergeletak di atas ranjang. Jarak rumahnya dan kampus memang cukup memakan waktu yang lama. Itulah kenapa ia harus bisa mengatur waktu sebaik mungkin agar tidak terlambat.

Drap! Drap! Drap!

"Ma! Byza berangkat kuliah dulu, ya!"

"Lohh? Kamu nggak mau sarapan dulu?"

"Nanti aku sarapan di kantin aja. Kelompokku ada presentasi soalnya hari ini."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan."

"Pasti. Ya sudah, Byza berangkat dulu, ya! Bye, Ma!"

"Byeee!"



So, gimana sama part ini?

Ada yang mau kasih pendapat?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro