Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9: Helicopter

Hamdi menatap lekat-lekat mata coklat penolong itu. Mengingatkannya pada dua tahun yang lalu. Pesawatku ditembak jatuh oleh agen rahasia, pikir Hamdi. Di sebuah padang pasir. Tanpa air. Tanpa makanan. Tanpa koordinat. Tanpa teman atau kolega. Jika sampai sebulan saja aku disana, aku akan gila. Namun, ia datang. Masih dengan senyuman hangatnya. Ya, sama seperti hari ini. Hamdi turun dari tangkapan orang itu dan menjabat tangannya. Tersenyum hangat.

“Agen Phil Coulson, sungguh. Aku berhutang padamu, lagi.”

“Ah, itu tidak apa-apa. Seorang teman memang harus seperti itu.” Jawab orang yang dipanggil Agen Phil Coulson itu sambil tersenyum lebar.

Hamdi menengok ke langit, bingung. “Ngomong-ngomong, Phil, dimana teman-temanku?”

Phil menunjuk ke atas. Teman-temannya berguguran dengan pelan dari gedung, seperti daun kering yang berguguran di tangkainya. Hamdi hampir terpekik seperti seorang wanita. Namun Phil segera membekap mulut Hamdi. Ia terlihat santai sekali sembari memakai kacamata hitamnya dan memasukkan tangan ke sakunya.

“Tenanglah, sobat.  Aku sudah menjamin keselamatan mereka.”

Teman-temannya tidak jatuh ke tanah. Namun melayang-layang di langit. Seperti ada kasur tak kasat mata menahan mereka. Hamdi mengerjapkan matanya dan melongo. Phil mengeluarkan sebuah remote kecil dari sakunya. Tiba-tiba, sebuah kasur tak kasat mata berubah menjadi kasat mata. Ya, tepat seperti dugaan Hamdi.

Semuanya terhempas dengan keras namun lembut. Memantul-mantul di atas kasur itu. Teman-temannya perlahan-lahan membuka dengan badan sedikit bergetar. Ketakutan kalau mengetahui mereka sudah mati atau belum. Novia memegangi kepalanya dan mengerang keras.

“Astaga, apakah aku sudah mati?” Tanyanya dengan kebingungan.

Ratna mendekatinya dengan alis setengah terangkat. “Bukan, bung. Kita masih di NYC dan kita hidup.”  Katanya dengan nada menggerutu.

Tiba-tiba, terdengar suara menderu dari atas. Semuanya mendongak ke atas. Helikopter. Baling-baling dari helikopter itu berputar dengan cepat. Menerbangkan serpihan-serpihan kaca dan meniup pelan rambut semua orang. Helikopter berwarna hitam itu mendarat, dengan logo siluet burung elang hitam.

Logo SHIELD.  Strategic Homeland Intervention, Enforcement and Logistics Division. Sebuah badan intelejen rahasia Amerika Serikat yang juga tempat bekerjanya Phil. Sebuah badan intelejen yang benar-benar rahasia. Bahkan tidak ada yang tahu letak persis markasnya. Hanya satu kata yang dapat menggambarkan semua hal yang berkaitan dengan itu: classified. Rahasia.

Teman-teman Hamdi hanya bisa melongo melihat helikopter itu. Sudah diduga, Hamdi merencanakan itu semua. Mulai dari mengebom jendela tersebut, hingga terjun dari ketinggian 850 kaki. Sepertinya apa yang dikatakan Nindi sebelumnya salah. Dia tidak gila. Memang. Cuma bisa dibilang,  “genius”.

Hamdi menyeringai kecil sambil mengendikkan kepalanya.

Shall we go now?”

Booom!

Asap menggantung di sekitar kepala Hamdi dan teman-temannya. Mereka segera berbalik. Melupakan keberadaan asap pekat hitam itu. Seseorang berdiri tepat di tepi jendela lantai 3 dari 30 Rockefeller yang telah di bom. Dengan jubah hitamnya dan para pasukannya. Menyeringai di balik pistolnya. Fikri Hulu. Lebih mengerikan dan jelek daripada sebelumnya.

“Kau tak akan pergi jauh, Little Captain!”

 Dor-dor-dor-dor! Para pasukan Fikri Hulu melancarkan rentetan tembakan laser ke arah Hamdi. Hamdi dan teman-temannya berguling ke bawah, berlindung dari terjangan tembakan. Dari atas helikopter, tiba-tiba Phil berseru. Berusaha menggapai tangan Hamdi di bawah.

“Hamdi! Kau harus masuk! Kalian juga!”

Semua saling berpandangan. Tanpa menunggu lagi, Hamdi dan teman-temannya memanjat ke arah helikopter hitam itu. Sekali lagi, tembakan terus mengalir. Namun tetap saja meleset. Hamdi melongok ke bawah sejalan dengan melayangnya helikopter itu. Memandangi menyedihkannya Fikri Hulu yang terus mengumpat dari kejauhan. Ia menghembuskan nafas lega. Fiuh... safe!

“Ehem!”

Hamdi langsung memasang posisi tegap mendengar dehaman Phil itu. Ia mengalihkan pandangannya ke seorang laki-laki paruh baya di samping teman lamanya itu. Wajah masam laki-laki itu  memandang Hamdi dengan jijik. Mata dan rambut hitamnya yang jarang, membuatnya tidak enak dipandang.

“Hamdi, kenalkan, dia adalah Agen Aaron Lancaster, pejabat tinggi SHIELD. Dia mengetahui usahamu dan teman-temanmu melawan Fikri Hulu. Jadi... ia ingin bertemu denganmu.”

Hamdi mengangguk hormat pada Agen Lancaster. Agen Lancaster hanya diam. Memandangnya dari ujung rambut hingga ujung kaki Hamdi yang berantakan semua. Penuh dengan robekan kecil, kotoran, lumpur, serpihan kaca, dan ketidakrapian lainnya. Ia mengalihkan pandangannya ke teman-teman Hamdi yang sama konyolnya dengan Hamdi. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kecewa.

“Tidak seperti yang kubayangkan.”

Semuanya hanya saling berpandangan.

“Maksud anda, Agen Lancaster?” Tanya Rick yang diam saja dari tadi.

“Maksudku, tim apa-apaan ini? Kukira orang-orang yang akan kutemui adalah orang-orang kuat bertubuh kekar dan hebat! Namun apa? Sekelompok orang tak berguna!” Ejek Agen Lancaster di depan semua orang.

Semuanya menatapnya dengan kesal dan mengatupkan bibir mereka. Oke, mereka sudah bekerja keras. Dengan mendapat penuh luka dan sayatan, dan jasa mereka hanya dibalas dengan sebuah tumpangan helikopter dan ejekan menyebalkan. Bagus sekali. Semoga dia mendapat balasan yang setimpal, pikir semuanya dengan kesal.

Prang! Prang! Dor! Dor! Suara tembakan dari ruang kokpit helikopter memecahkan keheningan. Phil dan Agen Lancaster mendobrak pintu kokpit, menemukan pilot dan ko-pilotnya tergeletak di lantai. Dengan lubang di tengah dahi mereka masing-masing. Meninggalkan jejak peluru yang retak di kaca depannya. Agen Lancaster mengambil peluru itu, menelitinya dengan baik. Bahan peluru itu bukan dari bumi. Ini peluru pasukan Fikri Hulu. Mereka diserang. Ralat. Mereka diserang DAN dikepung.

Helikopter perlahan-lahan kehilangan kecepatan. Speedometer dan semua alat pengukur kecepatan helikopter berputar-putar, merayap menuju angka nol. Phil mengerang kesal dan segera berlari dari kokpit ke arah teman-temannya. Ia berteriak memecah keheningan.

“Ada yang bisa mengendalikan helikopter?”

Semuanya diam. Linda dan Lina mengangkat tangan mereka dengan perlahan sekali. Semuanya menatapnya dengan tidak percaya, sementara Agen Lancaster terus mengejek mereka. Meskipun ejekannya diacuhkan oleh semua orang.

“Percaya, deh. Kami ini pernah dapat sertifikat mengemudikan helikopter.”

“Tahun berapa?”

Lina menghitung dengan jarinya, lalu tertawa kecil.

“Entahlah, sekitaar... 6 tahun yang lalu. Aku bahkan sudah lupa carany...”

Belum selesai berbicara, Hamdi mendorong Lina dan Linda masuk ke dalam kokpit helikopter dengan tidak sabar. Lalu segera berdiri di atas tumpukan kardus di belakang. Memerintahkan teman-temannya untuk kembali bekerja.

Now listen to me, guys! Lupakan semua kata Agen Lancaster! Lina, Linda, kendalikan helikopter sekarang. Phil, berikan koordinat markasnya untuk mereka. Fikri, Bill, pantau pergerakan para alien! Sisanya, pertahankan helikopter hingga markas!”

Semuanya mengangguk mengerti. Bahkan Phil yang merupakan direktur SHIELD itu juga. Mereka mengambil senjata mereka masing-masing dan segera menembak dari kaca jendela helikopter. Linda dan Lina mengambil alih kendali helikopter. Fikri dan Bill berkutat kembali dengan komputernya. Hamdi mengambil binokularnya. Fikri Hulu menunggangi burung aliennya, mengejar helikopter mereka. Wajahnya berapi-api dan ia mengangkat pistolnya.

“Seraaaang!!”

 Dor-dor-dor-dor! Tang! Pssshhh!! Suara desisan terdengar dari luar. Nash yang sibuk menembak dengan shotgun-nya dari jendela segera berlari ke pintu helikopter. Ia membuka pintu, menengok ke bagian belakang ekor helikopter. Sebuah tangki bocor karena tertembak. Selama itu tangki biasa, itu tidak masalah. Atau bisa dibilang itu akan menjadi masalah, karena itu tangki bensin!

“Hamdi! Tangkinya...”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, dor! Sebuah peluru mengenai tepat di kaki Nash. Nash mengerang kesakitan dengan keras. Tiba-tiba, Fikri Hulu menembak pijakan Nash berdiri hingga patah. Ia terjatuh ke bawah, namun ia sempat berpegangan dengan kaki helikopter. Ia melihat ke bawah, dan gedung-gedung di bawahnya terasa menjadi kecil. Ya, karena ia sedang bergelantungan di tengah hujan tembakan dan berada di ketinggian 4.000 kaki!

“Haaa... Selamat menikmati pembalasanku, musuhku!” Ejek Fikri sambil melayang ke depan.

Haaah! Nash merasa ingin pingsan dan terkena serangan vertigo seketika. Ia berusaha melihat teman-temannya diatas. Tidak ada yang melihatnya. Dan ia tidak dapat melihat teman-temannya. Kecuali, Jimmy yang terus menembak dari jendela tempat berdirinya tadi. Ialah satu-satunya orang yang dapat menolongnya.

“Hei! Jim! Help me!” Teriak Nash.

Jimmy menengok ke kaca, mendapati kawannya yang bergelantungan di udara. Memegangi kaki helikopter sambil berteriak-teriak minta tolong. Ia langsung berlari dan mendapati temannya yang terluka. Ia hanya menggaruk rambutnya dengan kebingungan.

“Astaga, apa yang kau lakukan disitu?” Tanya Jimmy dengan lugu.

“Kau pikir aku lagi main akrobat, hah?”

“Nggak, sih.”

Nash membenturkan dahinya berkali-kali ke kaki helikopter dengan pelan. Tiba-tiba, Jimmy baru sadar tentang apa yang terjadi. Ia segera menunduk, menggapai tangan Nash. Nash menangkap tangan Jimmy. Belum sempat menarik Nash ke atas, malah Jimmy yang kehilangan keseimbangan dan tidak sempat berpegangan. Jimmy dan Nash berteriak dengan panik.

NO!”

Mereka berdua telah menutup mata mereka dengan badan bergetar. Tidak terjadi apa-apa. Jimmy membuka matanya sedikit, melihat Rick memegangi pergelangan kakinya dengan erat. Rick nyengir sendiri melihat kedua temannya ketakutan. Daan... dor-dor-dor-dor! Tembakan kembali dilancarkan oleh pasukan alien ke arah Nash.

“Nash!” Teriak Jimmy dan Rick.

Dengan cepat, Jimmy mengayunkan badan Nash di udara. Berusaha menghindari tembakan itu. Nash berteriak ketakutan, dan itu membuat Rick juga terjatuh. Untunglah, giliran Ratna yang melihat mereka bertiga memegangi kakinya. Dan ia tidak dapat menahan berat mereka bertiga.

“Nindi! Panggil Hamdi!” Teriak Ratna pada Nindi yang sibuk menembak. Nindi segera berbalik dan membantu memegangi Ratna.

“Tidak! Aku tidak bisa meninggalkan kalian!”

Di ruangan helikopter yang lain, Fikri dan Bill melihat ke arah radar. Banyak titik hijau di radar itu mengepung titik helikopter mereka. Sementara itu, mereka hampir sampai di lokasi markas rahasia SHIELD. Hanya ada satu-satunya cara untuk menembus kepungan alien itu. Bill memperbaiki kacamatanya dan memasang headphone ke telinganya.

“Bill kepada Linda, kau bisa mendengarku?”

Lina kepada Bill, aku bisa mendengarmu. Ada apa?”

“Kita dikepung. Satu-satunya cara untuk kabur dari sini adalah menerobosnya.”

Okay, copy that.”

Lina mendorong gas helikopter dengan perlahan. Baling-baling helikopter berputar lebih cepat, membuat Nash, Jimmy, dan Rick terombang-ambing di udara. Belum masalah itu selesai, masalah lain dimulai. Boom! Bagian kanan helikopter dibom oleh Fikri Hulu, membuat seluruh kertas-kertas berterbangan dan tersedot keluar.

“Aaarggh!!”

Semuanya berteriak panik. Namun Lina Pene tidak. Wajahnya tetap datar seperti biasa. Ia berlari ke arah kotak inflatable boat, lalu memecahkan kacanya dengan kepalan tangannya sendiri. Ia segera menarik dan menekan tombol tiup otomatis inflatable boat itu dan melemparhya ke arah lubang besar helikopter.

“Pulu!”

Lina Pene berguling ke bawah meja. Blup! Inflatable boat itu mengembang seketika. Menutup lubang besar yang ada. Dan semuanya kembali normal. Novia berbalik ke arah pintu helikopter, melihat Ratna dan Nindi yang memegangi kaki Rick.

“Astaga! Apa yang kalian lakukan disana?”

Ratna dan Nindi diam. Mereka justru memelototi Novia yang tidak tahu apa-apa.

“Oh, oke, oke. Aku paham.”

Novia berlari ke arah kotak peralatan, mengambil tali, dan mengulurkannya ke Nash. Nash menangkap tali itu, dan memanjat naik dengan tali. Begitu pula Jimmy dan Rick. Ketika semuanya sudah kembali di dalam helikopter, Nindi menutup pintu helikopter. Nash, Jimmy, dan Rick terengah-engah, masih sedikit syok dengan kejadian tadi.

“Nash, Jimmy, pikiran pertamamu?” Tanya Rick sambil melirik kedua temannya.

One word: Wow.” Jawab Nash dan Jimmy sambil memutar bola matanya.

“Sebenarnya apa yang kalian lakukan tadi?” Tanya Phil yang baru saja datang bersama Agen Lancaster dan Hamdi sambil melipat tangannya. Wajahnya berkerut melihat penampilan mereka berenam yang sangat kacau.

Nash, Jimmy, Rick, Ratna, Nindi, dan Novia saling berpandangan. Beberapa detik kemudian, mereka bercerita tentang apa yang terjadi secara bergiliran. Wajah Phil terus berkerut, sedangkan Hamdi terlihat pucat pasi dan memerah karena malu. Mereka semua hanya menunduk dan diam. Hingga sebuah suara Linda dari megafone helikopter.

Guys, kita akan sampai di markas dua menit lagi. Jadi, bersiaplah!”

Semuanya kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Mengencangkan sabuk pengaman mereka. Selama itu, Hamdi terus diam menunduk, malu akan kelakuan anggota-anggota timnya itu. Setelah sampai di sebuah tempat (ini rahasia, bahkan Hamdi tidak memberitahu tempat itu pada teman-temannya), Phil dan Agen Lancaster mendekati Hamdi.

“Hamdi, temui kami di ruanganku. Ajak teman-temanmu ke ruang konferensi. Biarlah mereka istirahat sejenak di sana.”

Hamdi hanya mengangguk pelan. Selepas kepergian mereka kedua, Linda Paka dan Amelia berlari mengejarnya.

“Ada masalah apa, Di?” Tanya Linda Paka.

Hamdi hanya tersenyum lirih ke arah kedua temannya. “Tidak apa-apa, aku cuma dipanggil ke ruangannya Phil. Kalian berdua, pergilah ke ruang konferensi. Ada makanan dan minuman disana, tim lain juga. Kalian bisa beristirahat.”

Hamdi berjalan meninggalkan mereka berdua. Menuju ruangan Phil Coulson, temannya yang direktur SHIELD itu. Linda Paka dan Amelia saling berpandangan. Amelia bertanya pada Linda Paka sambil mengangkat alisnya.

“Apa yang terjadi dengannya?”

Linda Paka mengendikkan kepalanya.

“Entahlah, sepertinya itu serius. Bagaimana kalau kita minum Diet Coke sekarang?”

***

Hamdi berdiri tegak di ruangan direktur Phil. Ruangan itu merupakan ruangan bercat oranye yang kecil, dengan rak buku yang rapi dan meja yang bersih. Dengan berkas yang tertumpuk rapi disamping lampu mejanya. Phil duduk dengan tegak di kursinya, ditemani Agen Aaron Lancaster yang berdiri dengan tampang masam di sampingnya. Phil tersenyum. Itu bukan senyumannya yang biasa.

“Hamdi, kau sudah tahu kan, apa yang terjadi selama ini?” Kata Phil sambil memulai pembicaraan. Hamdi mengangguk dengan enggan.

“Ya, tapi sepertinya kami banyak menyusahkan kalian semua.” Kata Hamdi.

Phil tersenyum lembut. “Menurutku tidak. Kalian telah banyak membantu. Kalian telah menyelamatkan orang-orang di 30 Rockefeller, dan...”

“Tidak!” Agen Lancaster segera memotong Phil. “Mereka mengganggu kita semua, Coulson! Kau lihat sendiri, kan, apa yang mereka perbuat? Dia menghancurkan gedung, menghancurkan helikopter kita, dan semuanya!”

“Lalu apa salah kami?” Tanya Hamdi dengan suaranya yang meninggi. “Kami sudah terluka cukup banyak, dan satu-satunya yang kami inginkan adalah menangkap Fikri Hulu, saudara Linda Paka sendiri dan menyelamatkan New York!”

“Kau tahu, timmu itu hanyalah sekelompok pecundang yang konyol! Mereka tidak bisa berperang! Taruhan, mereka akan mati di pertempuran!”

“Aku tahu apa yang kau inginkan! Kau iri dengan keberhasilan tim kami, dan dan berusaha menyingkirkan kami semua dari sini!”

“Apa katamu?”

“Diamlah kalian semua!”

Phil membentak mereka berdua. Hening. Hamdi dan Agen Lancaster terdiam, namun mata mereka saling bertatapan tajam. Sebenarnya, Hamdi belum pernah melihat Phil semarah itu. Dan jujur saja, itu mengerikan. Maksudnya, Phil bukan tipe orang yang selalu marah dengan meledak-ledak. Phil menghela nafas.

“Hamdi... maafkan aku. Tapi, dengan berat hati kami tidak memperbolehkan timmu berperang lagi. Dan jika kalian berperang, kalian dapat ditahan oleh kami.”

“Apa!?”

Hamdi menggebrak meja dengan refleks. Ia meneguk air liurnya dengan ketakutan. Lalu segera mundur selangkah. Ia melirik ke arah Agen Lancaster yang tersenyum licik padanya. Hamdi mengepalkan tangannya dengan keras-keras, berusaha menahan amarahnya. Agen Lancaster terkekeh.

“Jadi, pergilah kalian dari sini. Sekarang.”

Wajah Hamdi memerah. Ia berjalan cepat ke arah pintu. Ia berbalik ke arah Agen Lancaster dengan wajah datar. Badannya bergetar.

“Kalau itu maumu, Lancaster.”

Brak!

***

Hamdi berjalan lesu sambil menyeruput Frapuccino-nya menuju teman-temannya di ruang konferensi. Pikirannya terus berkecamuk. Apa yang harus ia katakan pada teman-temannya sekarang? Apakah dia harus berkata “Hei teman! Pergilah kalian semua sekarang! Hush!”? Tidak mungkin. Itu terlalu kasar.

Hamdi memandangi teman-temannya yang sedang sibuk bercanda ria sambil meminum minuman mereka masing-masing. Pemandangan indah itu memang menenangkan hatinya, namun ia masih marah dan curiga dengan Agen Lancaster. Tidak mungkin ia iri dan berusaha menyingkirkannya tanpa sebab. Apa jangan-jangan, dia... orang bayaran Fikri Hulu?

“Hamdi?”

Lamunan Hamdi pecah oleh Nelson. Nelson memandangi sahabatnya dengan cemas. Ia tahu ada sesuatu yang buruk terjadi pada Hamdi.

“Ada apa?”

“Tidak apa-apa.”

“Itu bukan tidak apa-apa, Di. Pasti ada sesuatu yang terjadi padamu.” Kata Amelia dengan serius. Seakan-akan ada detektor kebohongan di dalam otaknya.

Hamdi menghela nafas. Sudah waktunya.

“Dengarkan semuanya. Kita... kita tidak bisa mencari Fikri Hulu lagi. Izin kita dicabut. Kita tidak akan berperang lagi, atau kita semua akan dipenjara.”

Semuanya terdiam. Hening melanda ruangan konferensi seketika. Mata Hamdi berkaca-kaca. Semuanya tersenyum hangat pada Hamdi. Rick menghampirinya, lalu memegang kedua pundak Hamdi dan berkata,

“Itu tidak apa-apa. Selama kita masih bersama, itu tidak apa-apa.”

Hamdi memandang Rick. Teman-temannya mengangguk padanya sambil tersenyum. Rick benar, selama mereka masih bersama, itu tidak apa-apa. Kalimat itulah yang yang dapat menentramkan hatinya sekarang. Hamdi tersenyum lirih. Lalu kembali meminum Frapuccino-nya.

Tiba-tiba, Nash menghampiri Hamdi dengan tertatih-tatih. Wajahnya terlihat murung dan lesu. Rambutnya brunette-nya lebih acak-acakan. Ia pun melepas jaket coklat dan helm pelindung B-Team-nya. Serta menaruh lencana dan shotgun-nya. Hamdi terlihat kebingungan. Bukannya dia masih menjadi anggota tim? Apa yang terjadi?

“Aku mengundurkan diri.” Kata Nash dengan pendek.

Semuanya langsung berbalik, memandang Nash dengan terkejut. Tidak ada yang berbicara. Pensil milik Bill jatuh seketika. Bahkan, Linda Paka dan Nelson yang sedang minum Diet Coke dan baru saja bersulang, langsung kembali menyemburkan minuman mereka. Tiba-tiba, mereka tidak selera untuk meminumnya kembali. Hamdi mengangkat setengah alisnya.

“Tapi kenapa? Bukannya kau mendapat tugas di tim ini?”

“Ya, aku tahu. Tapi, timku membutuhkanku.”

“Apa? Tim-mu?”

“Ya, mereka.”

Nash menunjuk sekelompok pemuda di sudut lain ruang konferensi SHIELD. Linda dan Amelia sudah tahu jelas mereka siapa: Magcon. Grup Youtuber terkenal kesukaan mereka sejak SMP. Tapi, mereka tidak mengatakan apa-apa. Tidak berteriak, menangis bahagia, ataupun berusaha mengambil ribuan selfie dari masing-masing anggota Magcon itu.

“Mereka membutuhkanku. Sejak dulu, aku yang selalu menjadi pemimpin mereka. Kami akan bertugas di perbatasan, jembatan Brooklyn.” Kata Nash sambil menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Hamdi.

Sebenarnya, Hamdi tidak rela melepaskan salah satu anggotanya. Nash adalah salah satu pemberi ide di sana. Atau bisa dibilang, dialah salah satu komedian di tim itu. Ketika bosan atau putus asa, dia, Jimmy, dan Nelson-lah yang biasa memberikan lelucon padanya. Meskipun terkadang tidak lucu, sih. Dia juga banyak menolong anggota lainnya. Tapi, Hamdi tidak mau memaksa.

“Baiklah, kalau begitu, kalau itu keinginanmu.” Hamdi tersenyum lebar. Nada suaranya ramah, seperti tidak menyimpan beban apapun di dalam dirinya.

Nash terkejut. “Kau serius, kan?”

Hamdi mengangguk. “Aku tidak mau memaksa, sobat.” Katanya sambil tertawa.

Nash tersenyum lebar. Ia langsung memeluk Hamdi dengan erat. Benar-benar erat. Hamdi merasa semua tulang rusuk dan tulang iganya remuk seketika. Nash melepaskan pelukannya yang membuat Hamdi sempat terhuyung-huyung.

“Terima kasih, sobat. Kita akan bertemu lagi. Dan itu pasti.”

Nash dan Hamdi bersalaman dengan mantap. Semuanya bersalaman dengan Nash, melepaskannya dari B-Team. Dari semua anggota tim, yang paling merasa emosional adalah Linda (Ya tentu saja, lah! Itu kan, idola kesukaannya!). Ia bersalaman dengan mata berkaca-kaca. Nash menatapnya baik-baik. Nash memandang baik-baik mata Linda sambil tertawa kecil.

Are you okay?”

Linda menyapu air matanya. Berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya. Karena terharu, Nash memeluk Linda. Sama eratnya dengan pelukan Hamdi tadi. Hingga Linda merasa sesak nafas. Nash menepuk pundak Linda seraya memasukkan tangannya ke saku celananya.

“Tenanglah, aku pasti kembali. Nanti akan kuundang kau di setiap tur-ku.”

Really?”

Wajah Linda tiba-tiba menjadi cerah. Nash melangkah pergi sambil mengacungkan dua jari jempolnya. Linda berteriak kegirangan, suara memenuhi ruangan konferensi hingga semua orang dan pejabat menatapnya. Ia langsung tertawa malu sambil melangkah pergi menuju Lina, Novia, dan Amelia lalu memeluk mereka dengan girang.

Sementara itu, Hamdi termenung selama bermenit-menit. Ia tidak menghiraukan teman-temannya yang saling berbincang atau tertawa keras. Ia mondar-mandir memikirkan satu hal: Siapa yang akan menjadi pengganti Nash? Jika kurang satu saja, pertahanan mereka untuk melawan Fikri Hulu akan menjadi lemah. Dan kemungkinan terburuknya, mereka kalah. Fikri menghampirinya.

“Kau pasti cemas soal pengganti Nash, kan?”

Hamdi mengalihkan pandangannya kepada Fikri sambil mengangkat setengah alisnya. Maksudku, darimana ia tahu itu? Pikir Hamdi kebingungan. Fikri hanya memperbaiki kerah kemeja kotak-kotak merahnya. Ia tidak berani menatap mata  Hamdi yang sedang lesu dan menyedihkan. Hamdi menghela nafas.

“Ya. Aku bingung, siapa yang harus...”

“Menggantikannya?”

Hamdi mengangguk pelan. Teringat lagi kata-kata Agen Lancaster yang menusuk hatinya ketika ia masih berada di ruangan direktur SHIELD. Timmu itu hanyalah sekelompok pecundang yang konyol! Mereka tidak bisa berperang! Taruhan, mereka akan mati di pertempuran! Tapi, betulkah? Pikir Hamdi. Apa memang... seperti yang dikatakan Agen Lancaster sebelumnya? Tim yang lemah dan akan mati di pertempuran? Apalagi karena satu orang sudah keluar dari tim itu.

Para anggota B-Team masih merasa kehilangan Nash. Padahal Nash baru saja pergi beberapa menit yang lalu. Padahal Hamdi sudah berusaha keras membuat mereka untuk melupakan hal itu. Tiba-tiba, mereka mendengar langkah kaki seseorang dan suara familier seseorang. Tebak siapa yang datang?

Hey, hey, hey! Guess who back to the team? It’s me!”

Semua langsung berteriak kegirangan. Itu Nash! Mereka memeluknya dengan sangat keras hingga Nash merasa sesak nafas dan tulang iganya retak. Sama seperti yang dialami teman-temannya tadi. Namun, Amelia masih terlihat bingung.

“Tapi, bagaimana dengan ti...”

“Ssst...” Nash menaruh jarinya di bibir Amelia. “Aku memutuskan untuk tetap di tim ini. Atau bisa kubilang, tim kesayanganku ini!”

Teman-temannya menatap Nash dengan ceria. Ya, mereka menjadi tim yang utuh. Yang pasti, mereka siap menghadapi serangan selanjutnya Fikri Hulu dan pasukannya. Meskipun mereka tidak diperbolehkan mengikuti misi penyelamatan oleh Agen Lancaster, Hamdi punya ide.

Semuanya memandangi Hamdi yang tersenyum lebar dan membuka lebar peta. Ia menusuk pin merah di suatu titik. Suatu titik yang sangat familier di otak mereka. Mereka akan kembali menyelamatkan dunia, meskipun mereka akan melanggar peraturan dan akan kembali menjadi buronan.

Guys, we will back to Times Square.”

***

Fiuuh... Akhirnya sampai chapter 9 :))

Seperti biasa, thank you, bagi kalian telah membaca dan memvote sampai sini. Dan maaf kalau ada keterlambatan post, karena beberapa minggu ini... ada banyak ulangan dan tugas :D

Sekali lagi, thanks! :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro