Chapter 8: 30 Rockefeller
30 Rockefeller Plaza, atau yang biasanya bisa disingkat 30 Rock. Salah satu gedung ternama di New York. Rumah bagi Radio City Music Hall, NBC, dan General Electric. Gedung dengan penuh keramaian dan cerita. Namun untuk hari ini, tidak ada orang di sana. Kecuali, para alien dari planet nun jauh sana dan sebuah tim yang tidak terkenal, B-Team.
Hamdi, si kapten tim tersebut, memegangi Quad Blasters-nya dengan erat. Matanya yang tajam memperhatikan sekelilingnya dengan waspada. Gedung tersebut sepi dan gelap. Sehingga mereka perlu berhati-hati. Sewaktu-waktu bisa saja ada alien yang menerjang ke arah mereka dari belakang dan menggigit mereka.
Di belakangnya, teman-temannya senantiasa mengikuti sambil memegangi senjata mereka masing-masing. Fikri dan Bill, duo komputer di tim itu, tetap memerhatikan layar tablet mereka. Mengawasi perkembangan dari pergerakan alien itu.
"Hamdi, sepertinya aku curiga akan sesuatu." Celetuk Bill sambil memperbaiki letak kacamatanya.
"Memangnya ada apa?" Tanya Hamdi tanpa melepaskan pandangannya dari sekelilingnya.
"Sepertinya, tidak mungkin Fikri Hulu menyerang tempat ini tanpa alasan apapun. Maksudku, mungkin ia sengaja menjebak kita di sini."
Hamdi hanya termenung, tidak memperdulikan hal itu. Ia pikir, mungkin apa yang dikatakan Bill memang benar. Namun, bagaimana jika ada orang yang perlu mereka selamatkan gedung itu? Lagipula, apa gunanya ada tim jika tidak untuk menyelamatkan orang lain? Hamdi mengulang-ulang pertanyaan itu dalam pikirannya.
Plak, plak, plak. Beberapa langkah sepatu boot terdengar dari belakang lorong. Secararefleks, semuanya membalikkan badan mereka, menodongkan pistol dan memasang kuda-kuda, menghadapi kemungkinan adanya alien. Tiba-tiba, beberapa alien muncul tepat di ujung lorong itu. Membawa senjata yang berpendar dalam kegelapan dan mengarahkannya pada Hamdi.
Dor-dor-dor-dor-dor! Rentetan tembakan meluncur dari senjata para alien. Hamdi dan teman-temannya berlari ke kiri, berusaha lolos dari kejaran mereka. Dor! Buk! Suara tembakan dan debuman terdengar di samping Linda. Ia menoleh, tidak ada Lina di sampingnya. Lina terjatuh, dengan kakinya tertembak. Lina memekik kesakitan, memegangi kaki kanannya yang terluka.
"Lina!" Pekik Ratna.
Pak! Seorang alien menggengam keras kaki Lina. Menarik dan menyeretnya ke lantai seperti adegan film horor. Lina melolong keras seperti serigala yang tak berdaya. Semuanya berhenti berlari, berbalik dan segera mengejarnya. Not again! Teriak Hamdi dengan kesal. Di tengah terjangan tembakan, api, dan kekacauan itu, Lina berpegangan pada sebuah tiang, berusaha untuk terus bertahan.
"Hamdi! Tinggalkan aku! Aku akan selamat!"
"Tidak! Kami tidak akan meninggalkanmu!"
Hamdi menembakkan rentetan peluru dari senapannya pada alien-alien itu. Dor-dor-dor-dor! Tidak mempan. Jumlah mereka tidak sebanding dengan musuh. Lina menatap lekat-lekat wajah lesu temannya yang terus bertarung. Wajah Lina pucat dan penuh dengan debu. Ia menghela nafas dan memelas.
"Hamdi! Kau harus dengarkan aku! Kalau kau menolongku, kalian semua mati!"
Nafas Hamdi berderu. Dadanya berdegup dengan kencang. Keringat terus bercucuran di dahinya. Ia menoleh ke depan, melihat mereka telah ada di ujung lorong yang buntu. Sebuah pintu bersinar di sana. Pintu tangga darurat ke atas. Satu-satunya jalan untuk menolong orang lain. Tapi di satu sisi, ada temannya yang perlu bantuan. Ia harus menarik keputusan. Hamdi mengangguk mengerti dengan tegas pada Lina.
"Semuanya! Ke pintu darurat!" Perintah Hamdi dengan tegas.
"Tapi bagaimana dengan Lina?" Pekik Novia sambil mencabut panah dari tasnya.
Hamdi tersenyum pada Lina. Lina membalasnya dengan jenaka. Berusaha menyemangati Hamdi meskipun dirinya sendiri juga berada dalam bahaya.
"Ia akan menyusul kita. Ayo!"
Mereka tidak tahu apa yang mereka harus lakukan, kecuali masuk ke dalam pintu darurat. Hamdi membuka pintu darurat lebar-lebar, menarik teman-temannya dengan tidak sabar. Lalu membanting menutup pintu dan segera menahannya. Karena sebuah tangan alien mulai masuk melalui sela-sela pintu.
"Hamdi! Apa yang harus kita lakukan sekarang?!" Teriak Linda dengan tidak sabar.
Hamdi mengeluarkan pistol dari jaketnya. Tunggu. Itu bukan pistol. Itu sebuah "pistol" pengait. Pistol berwarna silver itu bercahaya di tengah kegelapan ruangan. Ia mengarahkan pengaitnya ke atas, sambil masih menahan pegangannya ke pintu.
"Kalian semua, berpeganganlah pada kakiku dengan erat sekarang." Katanya.
"Apa!? Kau gila, ya? Kita yang bertigabelas ini, ditambah dirimu sendiri, harus berpegangan dengan sebuah pengait kecil?" Tanya Nash.
"Oh, just shut up, Nash! Berpeganganlah atau kau mati!"
Hamdi mendengus dengan kesal. Ia mulai merasa frustasi karena semua alien itu. Kecuali si dua bersaudara itu, Linda Paka dan Linda Pene. Teman-temannya berpegangan pada kakinya. Dor! Hamdi menarik pelatuk pistol itu. Tak! Pengait itu menancap tepat mengenai sebuah lantai yang sangat tinggi. Sekarang! Hamdi berteriak dalam hatinya. Menarik dirinya dan teman-temannya ke atas, meninggalkan para alien itu di bawah.
"Hamdi! Talinya akan putus!" Pekik Rick di tengah perjalanan naik mereka.
Hamdi mendongak ke atas. Benar, talinya mulai aus. Tak tahan dengan berat mereka semua. Sialan, kurasa aku perlu diet. Mungkin aku harus bilang itu ke teman-temanku supaya mereka menguruskan badan! Pikirnya dengan kesal. Hamdi membuyarkan pikiran sarkastiknya tadi, berusaha mencari jalan keluar.
Di bawah, para alien hijau masih menggeliat kesal, menaiki tangga dengan kaki mereka yang lambat. Yang paling menyebalkan, beberapa alien mulai merayap menghampirinya dari atas. Hamdi memutar otaknya. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah pintu yang ada di depannya. Itulah satu-satunya jalan keluar. Hamdi berteriak ke bawah,
"Dengar semuanya! Kalian harus berayun sekarang, dan dalam hitungan ketiga, meloncatlah ke pintu darurat di ujung itu sekarang! Paham?"
Semuanya terpekik keras. "Tidak! Jangan! Apakah tidak ada cara lain?"
"Tidak ada! Satu ... Dua ...." Hamdi dan teman-temannya berusaha berayun. Sedikit lagi! Ya, sedikit lagi mereka akan terjun ke pintu itu dan selamat. Dan sedikit lagi, para alien itu akan menyentuh kulit mereka!
"Tiga!"
Hup! Hamdi dan teman-temannya melepaskan ayunan. Menabrak masuk pintu darurat dan mendarat berguling-guling. Para alien yang berada di dekat mereka terlonjak kaget, dan jatuh dengan tiba-tiba. Kini, Hamdi selamat. Atau yang lebih penting, semua anggota B-Team selamat (Yaah... nggak semuanya, sih). Hamdi menggosok dahinya yang terasa nyeri tertabrak dinding.
"Aduh... Fikri dan Bill, analisis?" Tanyanya. Fikri dan Bill mengangkat alisnya dengan aneh.
"Analisis?"
"Maksudku, kemana kita akan pergi dan dimana kita, bung?"
Fikri dan Bill mengangguk mengerti, seraya berjalan dan diikuti oleh teman-temannya yang tidak tahu arah kemana mereka. Mata mereka terpaku kembali dengan layar. Tiba-tiba, Fikri membuka mulutnya dengan mata masih terpaku. Tapi terlihat bingung.
"Ya, ya, ya. Kita ada di lantai 8 gedung ini. Dan GPS bilang, kita sudah dekat dengan tempat tujuan kita. Studio 8H, studio terbesar di gedung ini, atau mungkin di New York. Entah studio acara apa itu." Jelas Fikri sambil berputar balik kembali ke jalan yang benar.
Hamdi masih belum mengerti. Maksudnya, kemana mereka harus pergi? Lalu, ada apa disana? Namun, Nelson dan Jimmy mengambil alihnya. Mereka memimpin jalan di depan karena mereka mengaku benar-benar ingat tempat itu. Mereka bercerita, bahwa tempat itu adalah tempat pekerjaan pertama mereka di gedung itu.
"Ya, dulu kami bekerja disana, di acara SNL." Kata Nelson dengan pendek. Dibalas dengan anggukan Jimmy. Novia, Linda Paka, dan Lina Pene menatap mereka berdua dengan aneh.
"SNL?" Tanya mereka bertiga serempak.
Nelson dan Jimmy memutar bola mata mereka. "Saturday Night Live." Jawab mereka serempak.
"Stop, stop, stop. Acara apa?"
Nelson dan Jimmy menepuk dahi mereka. Lalu mereka menjelaskan, bahwa acara itu adalah acara komedi mingguan terkenal, yang tempatnya berpusat di studio itu. Linda Paka dan Lina Pene mengangguk-angguk kepala mereka, meskipun mereka masih belum mengerti apa maksudnya. Tiba-tiba, pandangan Amelia yang berada di belakang, terhenti pada sesuatu sambil menunjuk sebuah pintu.
"Itu dia."
Studio 8H. Nash membuka pintu studio dengan perlahan. Mengintip dari pintu, jika ada alien yang sedang berjaga disana, sambil membawa shotgun-nya. Tidak ada orang. Aman. Nash membuka pintu lebar-lebar.
"Halo?" Teriaknya.
"Ssst! Kau bisa mengundang perhatian para alien!" Seru Rick.
Tidak ada siapapun kecuali mereka di studio itu. Yang ada hanyalah sebuah panggung, dengan beberapa ruangan kecil di sampingnya. Juga kursi-kursi dan alat-alat musik para pemain musik. Mereka melangkah dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Tiba-tiba...
Brakkk!!
"Itu merekazzz!" Para alien itu menjebak mereka dari atap studio.
"Lari!" Teriak Hamdi.
"Kita tidak bisa lari, Hamdi! Kita harus melawan mereka sekarang!" Balas Ratna.
Ia mengeluarkan pedang dari sepatunya. Lalu menangkis tembakan-tembakan laser dengan perisainya. Menebas kepala-kepala para alien dengan ujung pedangnya dengan tajam. Semuanya segera bertarung. Fikri mengeluarkan pistolnya, dan dor! Ia menembak para alien itu dengan lihai. Hamdi menembaki para alien dengan Quad Blaster, hingga ia mendengar pekikan Amelia.
"Aku tergigit alien! Aku tergigit! Aku..." Amelia terus berteriak saat teman-temannya masih terus bertarung hingga akhirnya Nindi merasa sedikit kesal.
"Diamlah Amelia! Meskipun kau tergigit, kau tidak akan terkena penyakit anjing gila!"
Ia memegangi pundak Amelia sambil berseru dengan kesal. Yang hanya dibalas dengan ucapan "Oh." dari Amelia. Lina Pene menengok ke kanan. Pintu para kru. Satu-satunya jalan keluar. Ia segera berlari menuju Hamdi yang kehabisan peluru dan sedang menonjok para alien. Ia menepuk pundak Hamdi yang langsung berbalik ke hadapannya.
"Pulu! Pulu pulu pulu pulu!" Serunya sambil menunjuk ke arah pintu para kru. Hamdi mengernyitkan dahinya.
"What?" Tanyanya masih tidak mengerti. Lina Pene menepuk dahinya, lalu berusaha keras untuk berbicara dengan Hamdi memakai bahasa manusia.
"Kataku... tadi, kita... bisa... le..le..lewat...sana!"
Ia tertawa dan tersenyum lebar karena berhasil menggunakan bahasa manusianya. Hamdi tertawa gembira. Ia segera mengacak-acak rambut pendek Lina Pene yang berbadan lebih pendek daripadanya. Terima kasih, Lina Pene! Kau anak pintar! Serunya di dalam hati. Ia berseru pada teman-temannya.
"Hey guys! Tinggalkan para alien itu! Kita harus ke sana! Lina Pene! Siapkan bom-mu! Kita akan meledakkan para alien itu!"
Semuanya meninggalkan musuh mereka, berlari kabur menuju pintu. Lina Pene merakit bomnya dengan cepat, sambil memakai helm pelindungnya. Melemparkan bomnya ke arah para alien yang mengejar mereka dengan kebingungan. Hamdi membanting pintu dengan keras, memalanginya dengan kayu. Ia mengintip dari kaca pintu. Dan, kaboom!! Bom itu meledak, memuncratkan lendir hijau di kaca. Lina Pene tertawa.
"Hahahaha! Kaboom!" Katanya dengan riang. Teman-temannya tertawa kecil melihat ulahnya. Kecuali Fikri dan Bill, yang terlihat makin serius. Mereka berdua mengerutkan dahi, membuat mereka terlihat tiga kali lebih tua daripada sebelumnya.
"Kita sudah sampai." Kata Bill dengan pendek.
"Apa!?" Teriak semuanya dengan kaget. Fikri menunjuk ke sebuah ruang kaca yang merupakan Writer Room studio itu. Semuanya segera berlindung di balik dinding. Semuanya mendengus melihat sosok-sosok makhluk yang ada di dalam ruangan itu. Astaga, alien lagi?
Di dalam Writer Room, terdapat banyak orang yang diikat tali di meja. Mereka meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Para alien yang menggunakan helm mondar-mandir di sekitar mereka. Membawa senapan di lengan hitam keabu-abuan mereka. B-Team mengintip dari dinding putih samping pintu masuk.
"Kalian harus berhati-hati. Menurutku, alien itu memiliki senapan yang dapat membakar tubuh kalian." Bisik Fikri. Hamdi meneguk air liurnya. Jangan menakut-nakuti seperti itu, dong! Pikir Hamdi di dalam hatinya.
B-Team terus memantau hingga mata mereka tertuju pada sesuatu. Seluruh pasang mata memandang kertas yang tertempel pada kaca Writer Room itu. Tertulis: "Sampai kapanpun, kaca ini tidak bisa dipecahkan, kecuali oleh orang yang terkenal lucu." Semuanya langsung mengernyitkan dahi ketika melihat kertas yang terpampang. Apa maksudnya peraturan bodoh itu?
"Ehm... Terakhir kali aku bekerja di sini, itu cuma lelucon. Kurasa, itu masih menjadi sebuah lelucon."
Nelson bercerita, dulu ia bekerja sebagai Head Writer di acara itu. Ia dan rekan-rekannya menempel kertas itu sebagai lelucon belaka. Ia tersenyum sendiri ketika menceritakan hal itu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Tapi, Jimmy menggeleng sambil tertawa kecil.
Ia bercerita, sekarang lelucon tidak lucu Nelson menjadi kenyataan. Sekarang Writer Room menjadi ruangan yang tidak bisa dibom, ditembak, atau apapun. Kecuali dari kaca jendelanya. Kaca ruang itu bisa dipecah kecuali didobrak oleh orang yang terkenal lucu.
Semuanya mengalihkan pandangan ke Nelson dengan kesal. Yang kini hanya nyengir sendiri. Oh, great job, Mr. Jonathan! Berkat lelucon tidak lucumu, kita tidak bisa masuk ke dalam sana. Thank you! Pikir teman-temannya dengan kesal. Tiba-tiba, Nash mempunyai ide.
"Bagaimana jika kita semua mendobrak dan memecahkan kaca itu? Kita semua kan, lucu!" Katanya sambil tersenyum lebar. Teman-temannya membalas ucapannya dengan mengangkat setengah alis.
"Maksudmu, kita semua lucu karena wajah kita ini, atau karena kita ini orang-orang konyol?" Tanya Novia. Nash menepuk dahinya.
"Maksudku, kita semua pasti punya selera humor! Berarti kita semua bisa memecahkan kaca itu!"
Nash tersenyum lebar. Semuanya hanya memandanginya dengan aneh. Sebenarnya, itu bukan ide yang buruk. Detik berikutnya, para anggota B-Team berdiri di depan ruang kaca itu. Mengambil ancang-ancang untuk mendobrak, memecahkan ruangan kaca. Hamdi, yang kini telah menaruh Quad Blaster di punggungnya, memakai helm pelindungnya.
"You guys ready?" Seru Hamdi.
Teman-temannya, yang kini juga memakai helm pelindung dan mengencangkan jaket mereka, mengangguk mengerti. Hamdi memandang fokus ke depan. Dimana para alien memandangi mereka berempat belas kebingungan. 1... 2... 3! Hamdi dan teman-temannya memacu kecepatan, mengarahkan lengan mereka ke kaca.
PRANG! Kaca ruangan itu perlahan hancur lebur dalam gerakan lambat. Mereka berempat belas jatuh berguling-guling di tengah serpihan kaca. Jimmy dan Nelson terbangun dengan rambut acak-acakan sambil tersenyum canggung pada teman-teman lama mereka yang yang disekap dan memandangi mereka dengan aneh.
"Ehhm... Uuh... Hiii?" Sapa mereka berdua.
Hamdi mengerjapkan matanya dengan wajahnya yang terkena goresan kaca. Ia menatap sebuah sepatu boot coklat yang mengkilap. Ia mendongak ke atas. Alien. Alien itu menarik kerah baju putih Hamdi, melemparkannya ke meja dengan keras. Brak! Hamdi terlempar dan kepalanya terkena meja. Kini, ia bergabung dengan teman-temannya dan para tawanan. Terpojok di dekat jendela
"Psst! Welcome back, buddy!" Bisik Linda dengan tersenyum lebar. Hamdi mendengus kesal.
Di depan mereka, para alien berjejer tepat di depan kaca yang pecah. Mereka menghormat pada sesosok bayangan yang perlahan maju menuju arah mereka. Wajahnya mirip dengan Fikri, dengan memakai baju hitam dan jubah hitam. Dan juga dua pistol di pinganggnya. Ia menyeringai pada Hamdi dengan licik. Membuat Hamdi menggeram dan Linda Paka mendesah. Sudah bisa ditebak dia siapa.
"Fikri Hulu." Geram Hamdi dengan kesal.
"Ah, Hamdi, Hamdi, Hamdi. Sudah lama kita tidak berjumpa." Kata Fikri Hulu dengan malas.
"Apa yang kau mau, Fikri Hulu? Balas dendam? Itu tidak ada gunanya! Kau hampir menghancurkan New York City!" Teriak Hamdi dengan marah sambil segera berdiri.
"Oooh! Sabar, temanku! Aku tidak ingin balas dendam! Yang kuinginkan cuma itu." Fikri Hulu menunjuk ke benda di pergelangan kanan tangan Hamdi. Hamdi mengangkatnya dengan kebingungan.
"Jam tangan ini?" Tanyanya. Fikri Hulu mengangguk.
"Ya. Kalau kau tak menyerahkan jam itu, temanmu yang akan berkorban."
Fikri Hulu menarik seseorang. Lina. Yang pergelangan celananya berubah menjadi merah. Ya, dia terluka. Lina terengah-engah dengan rambut pendek berantakannya. Ia menggeleng-geleng, meminta Hamdi untuk tidak menyerahkan jam itu pada Fikri Hulu.
Sebenarnya, apa yang istimewa dengan jam itu? Jam itu pemberian Linda Paka saat ia pertama kali bertemu dengannya. Jam berwarna coklat dengan jarumnya yang terus berputar. Sungguh, tidak ada yang istimewa. Hamdi mengalihkan pandangannya dari jam. Menatap marah Fikri Hulu. Ia menaruh lengan kanannya ke belakang, mengeluarkan Quad Blaster-nya.
"Tidak!" Hamdi menggeleng tegas.
"Jika itu yang kau mau!" Balas Fikri Hulu seraya mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya tepat di leher Lina. Lina menjerit ketakutan melihat lubang peluru itu.
"Hamdi!"
Hamdi segera berpikir cepat. Ia melontarkan kata-kata yang kini berada di pikirannya:
"Gigit tangannya!"
Konyol. Memang. Tapi cara itu berhasil. Lina mengigit pergelangan tangan Fikri Pulu dengan giginya yang keras. Fikri Hulu mengerang, melepaskan pistolnya dari tangannya. Pistol itu berdenting jatuh. Lina berlari ke arah teman-temannya, menendang pistol Fikri Hulu ke arah jendela. Prang! Gol, pistol itu melayang, jatuh dari jendela itu.
"Lina Pene! Bom jendela sekarang! Yang lain, serang!"
Semuanya bersorak. Mereka telah melepaskan tawanan, dan B-Team mendapat bantuan tambahan. Di tengah lemparan alat tulis dan gunting dari para tawanan dan tembakan laser serta dentingan pedang dari anggota B-Team, Lina Pene merakit bomnya dengan lihai. Ia melemparkan bom kecilnya ke arah kaca.
"Berlindung!"
Boom! Hamdi menengok ke belakang. Jendela kaca hancur lebur. Begitu pula Writer Room itu. Kesempatan kabur mereka telah tiba. Ia menembak alien untuk terakhir kalinya, dan berteriak kepada teman-temannya.
"Tinggalkan mereka sekarang! Kita harus terjun dari sini!"
"Apa?" Teriak semuanya tidak percaya sambil menjatuhkan senjata mereka masing-masing.
"Kau sudah gila ya, Di?" Teriak Fikri.
Hamdi segera menarik tangan teman-temannya dan para tawanan. Ia berdiri memimpin di depan. Melihat ke bawah. Mobil-mobil dan lampu jalanan menunggunya di bawah. Fikri Hulu bangkit dengan tangannya yang terluka dengan bekas gigitan Lina. Wajahnya merah padam, murka akan perintah Hamdi.
"Kejar mereka!"
Hamdi melihat ke bawah. Waktunya telah tiba. Ia memandangi teman-temannya yang masih tidak yakin.
Hamdi tersenyum lebar. "Terjunlah, aku sudah punya rencana."
Nindi menggeleng. "Kau dahulu, maka kami akan mengikutimu. Lagipula, kau sudah gila, ya?"
Hamdi mengacak pinggang sambil tersenyum menghadap Nindi. Ia tertawa renyah. "Ya, aku memang sudah gila."
Ia menjatuhkan diri ke bawah. Semuanya menjerit kaget. Namun di belakang mereka, alien-alien mengejar mereka. Tidak ada cara lain. Semuanya meloncat dari lantai 8 gedung itu. Memejamkan mata mereka masing-masing. Begitu pula Hamdi, yang memejamkan matanya dengan damai. Melupakan semua yang terjadi hari itu. Ya, dia akan mati.
Tidak. Kalian salah. Hamdi terjatuh, namun ia merasa ditangkap oleh seseorang. Ia membuka matanya, lalu mengucek matanya sambil tersenyum. Seorang lelaki paruh baya menangkapnya. Rambutnya agak botak, dengan mengenakan setelan jas abu-abu. Ia tersenyum hangat pada Hamdi, seolah mengenalinya. Seperti seorang teman lamanya. Hamdi membalas senyuman itu.
"Halo, Hamdi." Sapa lelaki itu.
"Hai, Philip. Aku berutang budi padamu lagi."
***
Thank you, bagi kalian semua yang sudah membaca dan menvote cerita ini. Maaf atas keterlambatan postnya, karena beberapa minggu ini penuh dengan tugas dan ulangan berhubung aku sudah kelas 9. Sekali lagi thank you and don't forget to vote :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro