Chapter 6: B-Team
Senin, 24 September 2014. Saya, Nindi Prasadini, melaporkan dari tempat kejadian. Saat ini, New York sedang berada dalam ambang kehancuran. Tepatnya di Times Square, sebuah pesawat antariksa raksasa milik alien tengah menghancurkan sebagian besar gedung. Orang-orang berlari ketakutan, berusaha menyelamatkan diri mereka masing-masing. Dikutip dari CNN, alien tersebut sedang dalam misi mencari tiga orang, salah satunya kapten pesawat NASA, Ikhlasul Hamdi.
Namun, alien itu menyerang kota karena menganggap warga kota tidak menyerahkan tiga orang yang dicarinya itu. Kabar miringnya, alien yang menyerang kota ini adalah Fikri Hulu Hulu, kakak dari Linda Paka Piki dan Lina Pene Pono, dua orang alien dari Planet Pulu Pulu. Saya masih belum bisa mengonfirmasi berita ini. Namun, pertanyaan besar yang masih belum bisa dijawab: Mengapa mereka menyerang bumi? Dan siapa yang bisa menghentikannya? Koresponden FOX News, mengabarkan dari tempat kejadian.
Tiiit!
“Sudah selesai mengabarkan berita, Nin?”
“Tidak, aku bukan mengabarkan berita, tapi ini sebagai arsip.”
Pagi itu terasa suram. Di gerai MacDonald yang setengah hancur, tidak ada yang bergembira. Tidak ada yang menikmati Big Mac atau Coca Cola. Yang ada hanyalah segerombolan orang, yang berusaha memindahkan tangan seorang perempuan yang terjepit di balik reruntuhan gedung. Nindi baru saja merekam reportasenya dengan recorder. Tetapi, itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk diberikan kepada atasannya.
Hamdi termenung. Ia sedang duduk di samping Amelia, yang tangannya masih terjepit dan meringis kesakitan. Ia mengalihkan pandangannya pada Linda Paka dan Lina Pene. Mereka terlihat gelisah dan menggigit jari setengah berlendir mereka karena berita itu. Hamdi menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
“Kalian serius, tentang alien itu? Benar itu kakak kalian?” Ia bertanya sambil mengangkat alisnya.
Linda Paka mengambil kursi gerai Mac’D dan mendudukinya. Dikelilingi oleh tiga belas pasang mata yang memandanginya dengan serius. Wajahnya terlihat lesu. Ia berusaha menghindari tatapan Hamdi, yang setengah kesal dan penasaran padanya.
“Itu kisah panjang, Hamdi.”
“Kami punya banyak waktu.”
Hamdi beranjak dari duduknya. Berdiri tepat di depan Linda Paka dengan memasukkan tangannya di saku celana coklatnya. Wajahnya terlihat jenaka, tetapi tatapan matanya serius. Ia memperbaiki dasi merahnya yang longgar. Berusaha menambah kewibawaan dalam dirinya. Linda Paka menegakkan sandaran kursinya. Lalu mengambil nafas dalam-dalam, dan menghembuskan nafasnya.
“Kalian tidak pernah tahu ini sebelumnya. Kami bukan dua bersaudara, melainkan tiga bersaudara. Kakakku adalah Fikri Hulu Hulu. Usianya lima tahun lebih tua daripadaku. Dia... memegang jabatan tinggi di keamanan planet kami. Lalu...”
Linda Paka menghentikan ceritanya.
“Lalu apa?”
Linda Paka menghembuskan nafasnya kembali. Astaga, berapa kali dia sudah menghembuskan nafas? Lupakanlah. Itu tidak penting. Linda Paka akan melanjutkan ceritanya kembali dengan perasaan tidak nyaman.
“Ayah... tidak mengakuinya sebagai anaknya. Dia kurang menyukainya. Menurut tes, dia berbakat menjadi penjahat. Memang, sejak kecil, kakakku suka mencuri dan mencelakakan orang lain. Kami menjauhinya. Oleh karena itulah, ia menyerang planetku dengan pasukannya.”
“Tunggu, jadi kau mengambil perjalanan ini untuk...”
“Menyelamatkan diri. Ayahku memintamu mengantarkan kami untuk berwisata. Tidak. Ia berusaha melindungi kami. Ayahku memintaku untuk menjaga adikku. Sementara dia...dia....”
Air mata berlinang di mata Linda Paka. Ia terisak-isak mengingat kenangan buruknya itu. Para perempuan di tempat itu menepuk pundak dan mendekap Linda Paka. Kecuali Amelia. Tentu saja ia tidak bisa menenangkan Linda Paka karena tangannya masih terjepit di reruntuhan. Mereka berusaha menenangkannya dari kesedihan. Sementara itu, para lelaki di tempat itu, hanya diam dan menganggukkan kepala mereka.
Sementara itu, Hamdi menggaruk-garuk kepalanya. Jika ayahnya yang menjadi sasaran balas dendam, lalu kenapa aku menjadi sasaran buron juga? Tanya Hamdi di dalam hatinya. Ia ingin menanyakannya. Tapi, Linda Paka sudah terlanjur menjawabnya. Ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.
“Dia juga mencarimu, Hamdi. Dia ingin balas dendam. Kau lupa? Dulu ia bercerita bahwa ia pernah bertemu denganmu saat wisata antariksa. Ia hampir membuat pesawatmu tertabrak asteroid. Kau marah besar padanya. Ayah juga. Makanya ia ingin balas dendam, terutama karena kaulah yang mengantarkanku dan Lina Pene ke sini.”
Hamdi tertegun. Ia sadar sekarang. Seakan sebuah pintu ingatannya yang hilang telah ditemukan kembali. Ia ingat bertemu dengannya empat tahun yang lalu. Tepat pada saat ia baru saja diangkat sebagai seorang kapten senior dan termuda di NASA. Usianya saat itu baru 19 tahun. Ia akan melakukan perjalanan pertamanya dengan pesawatnya yang masih mengkilap, Spaceship One. Pesawat kesayangannya.
Hamdi ingat, saat itu sedang perjalanan menuju planet yang belum dinamai, Planet A939. Seorang alien berdiri di belakangnya. Rambutnya pirang. Wajahnya putih licin. Namun mata birunya, menyiratkan kelicikan dan kejahatan yang selalu membayang-bayangi dirinya. Senyumannya menyimpan seribu kebohongan. Arrghh... Hamdi muak mengingat wajahnya, terutama matanya. Seperti air bak kamar mandi yang diberi kaporit saja, pikirnya.
Oke, oke. Aku tidak bermaksud memanggilnya tuan-alien-bermata-air-kaporit. Tapi, ia benar-benar licik. Dengan mudahnya, ia menawarkan diri untuk menggantikanku di kendali. Tentu saja aku tidak mau. Maksudku, mana mungkin aku mau menyerahkan pesawat kesayanganku pada orang yang tidak kukenal? Ia mendorongku, menyenggolku, berusaha merebut setir kendali. Aku terjatuh ke lantai. Dia merebut kendali. Tidak. Tidak, dia mengarahkannya ke asteroid yang melaju dari kanan.
Ini tidak akan terjadi. Aku meloncat, mendorongnya hingga terjatuh. Membanting setir ke kiri. Braak! Ya, itulah suara yang kudengar. Sialnya, bagian kanan pesawatku tergores panjang. Untunglah, kami berdua tidak mati. Aku memarahinya. Tapi mata birunya membalas pandanganku dengan cara anehnya. Bola matanya diputar, lalu segera memfokuskan pandanganya padaku. Seperti berkata, bahwa ini belum berakhir.
“Hamdi? Mi amigo (temanku dalam bahasa Spanyol)?”
Ratna menepuk pundaknya. Hamdi tersadar dari lamunannya. Wajahnya terlihat sangat linglung saat itu, dengan rambut ikalnya yang mencuat ke depan dan dasinya yang longgar. Melamun lagi dia, Ratna memutar bola matanya. Sebenarnya, jika dikoreksi, itu bukan melamun. Tapi mengingat masa lalu buruknya kembali. Hamdi membalikkan badannya, sambil bertanya,
“Ada apa?”
Ratna menggaruk rambut berponi hitamnya yang acak-acakan.
“Ehmm.. Kau tahu, sepertinya kita harus membuat tim.”
“Tim?”
“Yeah. You know, masalah ini benar-benar parah. Kita harus menyelesaikannya. Terutama karena kau jadi buronan. Jadi, begitulah.”
Hamdi kembali tertegun. Ia melihat ke sekeliling. Karena serangan itu, teman-temannya tidak berpakaian rapi lagi. Justru penampilan mereka lebih terlihat kacau dan brutal. Seperti, seorang pejuang. Rambut hitam dan coklat mereka tidak tertata rapi, goresan kaca dan debu ada di mana-mana, baju mereka setengah keluar, juga dasi yang longgar.
Namun dari mata mereka semua, tersirat semangat yang besar untuk melawan alien itu. Ratna salah. Hamdi berpikir, ialah yang memulai masalah ini. Maka ia juga yang harus mengakhirinya. Teman-temannya tidak boleh ikut campur dengan masalah ini. Ia tidak mau orang-orang yang ia sayangi harus terluka untuk membelanya.
“Sebenarnpllul, ini pulu, bukan salah pulumu, Hamdi. Ini salah pulu juga.”
Lina Pene dari muncul belakang, dengan badannya yang pendek dan terlihat polos. Ia seperti bisa membaca pikiran Hamdi. Hamdi menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini bukan salahmu, mi amigo, kata Hamdi di dalam pikirannya. Ia segera naik ke atas meja dan mengambil gelas juga garpu.
Ting! Ting! Ting! Ting!
Hamdi memukul-mukul gelasnya dengan garpu. Meminta perhatian dari teman-temannya sejenak. Semua orang langsung berbalik, memandang Hamdi yang berdiri dengan tegas di atas meja. Hamdi mendeham.
“Kalian tahu, New York City telah diserang oleh alien pagi ini. Ini semua salahku. Ini semua karena masalah kami pada masa lalu. Aku harus menyelesaikan masalah ini, sendirian.” Kata Hamdi dengan tegas.
Lina menggelengkan kepalanya. Ia mengatupkan bibirnya.
“Tidak, di. Kami juga harus melawannya. Ini bukan tentang masalah pribadi, tapi keselamatan orang lain. Bahkan seluruh kota. Kita... harus membuat sebuah tim.”
“Ya, Lina betul. Jangan berpikir kami tidak bisa berperang karena salah satu dari kita bekerja sebagai guru, pengusaha, komedian, dokter, atau yang lainnya. Meskipun kami tidak memiliki senjata, kita masih bisa berperang.” Bill mengemukakan pendapatnya.
“Sepertinya kita harus membuat tim seperti... A-Team?” Tanya Nash dengan tersenyum lebar sambil mengangkat setengah alis dan pundaknya. Jimmy menggelengkan kepala dengan tidak setuju dan memasukkan tangannya ke saku celananya.
“No, no, pal! That’s plagiarism! Kecuali... B-Team? Maybe, be “a” team?” Balas Jimmy.
Mereka berdua tertawa kecil. Hamdi tersenyum. Teman-temannya juga benar. Itu semua bukan kesalahannya. Jadi, membuat tim melawan alien? That’s a good idea, pikir Hamdi di dalam hati. Dan nama yang diusulkan Nash dan Jimmy juga bagus: B-Team. Be a team. Sebuah tim dari kumpulan orang dari profesi, sifat, dan asal yang berbeda. Namun melawan invasi alien. Haha, good story, pikir Hamdi sambil tertawa kecil. Ia tersenyum lebar kepada teman-temannya sambil meloncat turun dari mejanya.
“Jadi, siap menjadi anggota B-Team? Melawan alien?” Tanyanya.
Semua teman-temannya mengangguk.
“Yes, and you be the team leader!” Kata Rick sambil tersenyum geli.
“Wait, whaaaat?”
Kemudian, Rick menjelaskan kembali pada Hamdi, dialah yang harus menjadi pemimpin tim. Karena dia tahu banyak tentang alien yang akan dilawan. Jika Linda Paka menjadi pemimpinnya, itu akan sulit. Lagipula, dia alien dan terlalu lemah. Lagipula, Hamdi memiliki kemampuan yang baik dalam membuat rencana. Hamdi menerima usul itu dengan menghela nafas.
Tiba-tiba,
“Kalian semua terlalu sibuk mengurusi tim! Sampai-sampai tanganku masih belum bisa keluar sampai 15 menit!”
Semua berbalik. Astaga, mereka hampir melupakan Amelia! Semuanya tertawa sendiri. Amelia memandang mereka dengan masam. Beberapa kali ia dilupakan oleh teman-temannya. Sambil mengeluarkan tangan kiri Amelia bersama-sama dari reruntuhan, mereka meminta maaf padanya. Amelia hanya menggerutu sendiri ketika tangannya dibalut perban oleh Novia. Namun, tidak ada yang memperdulikannya lagi. Nindi dan Ratna memakai jaket hitam bertuliskan FBI berwarna kuning dan topi hitam FBI mereka.
“Jangan menggerutu terus, mel! Kau akan mendapatkan pistol sehabis ini!” Kata Nindi sambil tersenyum tipis.
Wajah Amelia kembali cerah.
“Betulkah? Astaga, aku sudah lama menginginkan pistol Beretta 92, tahu!” Katanya.
Hamdi langsung menyelanya.
“Whoa, whoa, whoa! Apa yang sedang terjadi disini? Apa maksud kalian ‘mendapatkan pistol’?”
Ratna memasukan pistol hitam berkode Springfield 1911 miliknya ke jaketnya. Pistol itu pemberian FBI ke semua agen-agennya. Termasuk Ratna dan Nindi.
“Kalian kekurangan senjata. Mana mungkin kalian bisa melawan alien jika tidak memiliki senjata satu pasang pun? Aku sudah menghubungi kontakku di FBI New York, Agen Jeff Landon. Dia bilang, kita boleh mengambil setidaknya beberapa senjata untuk melindungi diri. Jimmy, kau bawa mobil, kan? Kita ke FBI sekarang, ini alamatnya.”
Ratna menjelaskan dengan sangat cepat. Hamdi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Kecuali, mengikuti apa yang diinsturksikan oleh Ratna dan Nindi. Mereka berdua melihat situasi di luar. Tidak ada apapun. Nindi membuka pintu gerai dengan cepat karena mengira tidak ada apapun. Ia salah.
Dor!
Nindi tertembak. Ia tumbang seketika.
“Nin!”
Semuanya segera berlari ke arahnya. Nindi memegangi lengannya, berusaha untuk bangkit. Lengannya tidak tertembak. Peluru itu meleset, dan menancap di sebuah pigura promosi Mac’D hingga retak. Tembakan itu membuat goresan berdarah di baju putihnya.
Tepat di depan pintu, beberapa bayangan muncul. Itu bukan bayangan manusia. Itu bayangan alien. Alien itu tidak berbentuk, dengan badan setengah bungkuk dan mata tiga yang berkilat-kilat. Mereka membawa senapan laras panjang di tangan mereka masing-masing.
B-Team segera mundur dengan perlahan dan perlahan. Fikri mengeluarkan pisau Swiss-nya, lalu mengeluarkan obeng dari situ. Dari belakang, ia melepas mur-mur penopang meja di meja bundar Mac’D dengan cepat. Ia curiga, akan terjadi banyak tembakan sebentar lagi. Dan meja itu akan berguna baginya.
“Jangan bzubbbbzzz bergerak! Atau bbbzbzzz akan ditembak!” Kata salah satu alien sambil menodongkan senjata pada kami.
Hening. Tidak ada yang bergerak, ataupun bersuara.
“Lari!!”
Hamdi memecah keheningan. Semua berlari menuju pintu masuk gerai, dengan berlindung memakai barang-barang yang ada. Dor-dor-dor-dor-dor! Rentetan tembakan ditembakkan oleh tentara-tentara alien itu. Dengan refleks, Hamdi berguling menghindari tembakan itu. Fikri segera mencopot meja bundar dari kaki-kakinya, merubahnya menjadi sebuah perisai plastik raksasa.
Dor-dor-dor-dor-dor! Dari belakang sofa, Nindi dan Ratna menembakkan peluru dari pistol Springfield 1911 mereka. Satu per satu alien mulai tumbang. B-Team harus keluar dari sana. Namun, sulit untuk keluar dari pintu depan dan belakang karena mereka dikepung oleh alien. Satu-satunya jalan untuk keluar adalah menerjang melewati kaca gerai.
“Move! Move! Move!” Seru Hamdi.
Mereka semua berlari dengan kencang menuju kaca. Praaang!! Kaca hancur lebur diterjang oleh anggota B-Team. Mereka terguling menuju trotoar dan ke jalan raya. Badan mereka dipenuhi oleh pecahan kaca. Sebagian mengalami goresan kaca di lengan baju. Namun, tidak ada waktu mengeluh dan mengerang kesakitan.
Tim tersebut segera berlari menuju mobil pick up berwarna putih milik Jimmy. Mobil tersebut berada di sisi lain jalan. Hamdi, Jimmy, Nash, dan Novia segera masuk ke bagian dalam mobil. Sementara sisanya segera naik ke belakang mobil.
“Injak gasnya!” Teriak Novia. Para alien mengejar dengan cepat.
Reeeng!! Mobil melaju dengan cepat. Meninggalkan para alien di belakang yang segera menembakkan peluru mereka. Dor! Dor! Dor! Peluru hanya bisa menancap di sisi-sisi mobil. Dari jauh, terdengar para alien itu mengumpat dalam bahasa mereka sambil menendang kaleng yang ada di depan mereka. Mobil itu melewati jalanan New York yang sangat sepi. Tidak seperti biasanya yang penuh dengan taksi-taksi kuning dan para pekerja. Seperti kota mati saja.
Setelah perjalanan 5 kilometer yang sepi dan membosankan, mereka pun sampai di FBI cabang New York di Federal Plaza. Gedung luas yang sebelumnya terlihat rapi itu, kini dipenuhi oleh asap dan kaca pecah. Tiang lampu tumbang di sekitar gedung. Beberapa jejak roda mobil menghiasi jalanan. Sepertinya para pengendara mobil itu menginjak rem atau gas karena ditakut-takuti para alien itu.
Di lobi gedung itu, seorang lelaki paruh baya berdiri dengan tegap. Dari jauh, terlihat perawakannya yang tinggi, dengan rambut hitam setengah botak, dan mata abu-abunya yang setajam elang. Para anggota B-Team melompat dari mobil mereka. Di depan, Nindi dan Ratna memandu mereka. Mereka berdua mengangkat topinya pada lelaki itu sambil tersenyum simpul.
“Agent Landon.” Sapa mereka berdua. Agen Trent mengangkat topinya sambil tersenyum kecil. Entahlah, atau itu sebuah senyuman menyeringai?
“Agent Feraniza, Agent Prasadini. Maaf aku tidak bisa memperbolehkan kalian masuk ke dalam. FBI benar-benar hancur. Seluruh database kami telah dibobol alien. Kami benar-benar kewalahan. Jadi,” kemudian Jeff berbalik ke belakang dan mengambil sebuah kardus besar. Lalu menyerahkannya pada Nindi dan Ratna.
“Aku harap ini akan betul-betul berguna. Gunakanlah dengan baik. Aku harus pergi sekarang, banyak yang harus kulakukan.”
Kemudian Jeff berlalu, mengencangkan jas coklatnya sambil memasuki gedung FBI. B-Team hanya tertegun melihat Jeff dan kardus coklat itu. Ratna menyerahkan kardus besar pada Hamdi sambil nyengir sendiri dengan jenaka.
“Usted es el jefe! (Spanyol: Kau bosnya!)” Katanya.
“Apa-apaan maksudnya?!” Tanya Hamdi dengan bingung sambil mengangkat kardus itu. Bill menghela nafas.
“You’re the boss, Hamdi. You’re decide what is inside that box.” Kata Bill.
Hamdi menganggukan kepalanya. Ugh, Ratna terlalu tergila-gila dengan bahasa Spanyolnya lagi! Pikir Hamdi dalam hati. Ia membuka kardus besarnya dengan perlahan. Itu beberapa jenis senjata, dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Catatan itu berisi nama-nama anggota tim beserta senjata yang akan mereka gunakan. Sepertinya senjata-senjata itu pesanan dua agen itu, tapi bagaimana mereka bisa tahu senjata apa yang diinginkan teman-temannya? Pikir Hamdi lagi. Tidak ada waktu untuk berpikir hal itu. Ia segera memanggil teman-temannya satu per satu.
“Nindi, Ratna, Nelson!”
Ketiga temannya segera maju satu langkah. Wajah mereka sedikit pucat, merasa seperti mereka akan dieleminasi dari sebuah pertandingan. Namun tidak. Hamdi memberi Nindi sebuah lightsaber, Nelson sebuah pistol, dan Ratna sebuah sepatu kets merah tidak bermerek.
“Apa istimewanya ini?” Tanya Nelson sambil mengangkat pistolnya.
Itu bukan pistol biasa. Itu FN Five-seven, pistol nomor satu di dunia. Pistol keren berwarna hitam, semi-otomatis, dan asli dari Belgia. Yeaah, itu terlihat keren sekali, pikir Nindi sambil mengulum bibirnya. Namun, ia tidak bisa iri. Di tangannya, terdapat sebuah lightsaber bercahaya biru yang ringan sekali. Berkali-kali ia memainkan senjatanya. Sementara itu, Ratna baru mengetahui kalau sepatunya dapat mengeluarkan pedang dan tali sepatunya dapat menjadi sebuah lasso.
“Oho, itu seperti topi Harry Potter yang direkayasa menjadi sepatu!” Kata Ratna sambil memutar-mutar pedangnya.
“Next! Linda Paka, Lina Pene, dan Amelia!” Seru Hamdi.
Hamdi menyerahkan satu set perakit bom pada Lina Pene, apapun itu alasannya. Lalu pistol Berreta 92 pada Amelia, sesuai dengan keinginan Amelia sendiri. Dan, sebuah senapan hitam berukuran besar untu Linda Paka. Itu M41A Pulse Riffle, senapan yang mengeluarkan api dan khusus dikeluarkan oleh angkatan laut Amerika Serikat.
“Menurut catatan ini, senapan itu dicuri dari museum... apa!? Ini gila! Lupakan saja! Next, Linda, Lina, Novia, Fikri!”
Hamdi memberi Linda, Lina, dan Novia sebuah panah, lengkap dengan busurnya. Itu bukan panah biasa, karena panah tersebut bisa mengeluarkan sengatan listrik. Busurnya pun sangat ringan dan elegan dengan cat hitamnya. Sedangkan untuk Fikri, ia memberi pistol yang sama dengan Nelson.
“Aku merasa seperti Hawkeye di film The Avangers sekarang!” Kata Linda sambil tertawa lepas.
“Last! Fallon, Gates, Grier, and Riordan!”
Hamdi berseru memanggil nama-nama terakhir. Terasa sangat aneh ketika ia memanggil nama-nama terakhir dengan nama belakang mereka. Mungkin itu karena mereka adalah orang yang lebih tua, atau entahlah. Mereka berempat segera maju kedepan. Hamdi memberi Jimmy dan Bill pistol yang sama dengan Nelson dan Fikri. Lalu memberi Rick sebuah pedang dan perisainya, daaan... Nash. Dengan shotgunnya.
“Shotgun!” Pekik Nash sambil memeluk dan mencium shotgun barunya.
Semuanya menatapnya dengan aneh dan takut. Semuanya berpikir itu konyol. Namun, Hamdi meminta mereka untuk melupakan hal itu.
“Okay, forget it. Kita punya hal yang lebih penting dari pada itu. Kita tahu Fikri Hulu akan menyerang suatu gedung. Tapi kira-kira gedung apa itu?” Tanya Hamdi.
Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba, Fikri menyelanya. Ia membuka laptopnya sambil mengetik beberapa kode di sana. Raut wajahnya terlihat benar-benar serius.
“Ehm... sebentar. Menurut situs yang barusan ku-hack, aku nggak akan bilang situs apa itu, mereka akan menyeraaaaang... 30 Rockefeller.”
“Itu studioku!” Pekik Nelson dan Jimmy dengan histeris.
“Oke, oke. Sekarang tenanglah. Berarti, kita akan menuju ke sana dengan waktu perjalanan 20 menit dari sini. Oke?”
Tiba-tiba, muncul masalah di depanmu. Alien. Benar-benar banyak alien. Semuanya segera mundur dengan perlahan-lahan. Tim tersebut mengeluarkan senjata mereka masing-masing. Kecuali Hamdi. Ia tidak tahu apakah ada senjata yang tersedia untuknya. Mereka semakin tersudut oleh alien yang menyeringai pada mereka.
“Hamdi! Kita perlu rencana!” Kata Lina.
Hamdi hanya diam sambil dikelilingi teman-temannya yang melindunginya. Rencana? Rencana katamu, Lina? Pikir Hamdi dalam hati. Kau harus tahu, hanya ada satu rencana yang berada di otakku sekarang: Berdoalah agar kalian tidak lekas mati sekarang!
***
Thank you, bagi kalian semua yang telah membaca dan memvote cerita ini sampai sini! Mohon maaf juga jika ada kesalahan ketik atau penulisan yang ada dalam cerita ini :) Ditunggu vote dan comment-nya :)
Special Thanks: For my many friends, yang banyak memberikan masukkan tentang cerita ini. Maaf tidak bisa disebutkan satu-satu karena benar-benar banyak :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro