Chapter 4: Midnight Webcam
Pukul 01.00 pagi. Hamdi tertidur dengan pulas di ruang interogasi FBI. Guling dan selimutnya berantakan. Terkadang, ia mendengkur dan meneteskan liurnya di bantal empuknya. Dia seperti sedang tidur di hotel bintang lima saja. Dengan kasur yang ekstra empuk dan televisi dengan tayangan 360 saluran di seluruh dunia. Sudah bisa disimpulkan, ia benar-benar kelelahan.
Sebenarnya, kemarin teman-temannya mau menginterogasinya. Tapi, apa boleh buat. Hari itu sudah benar-benar larut. Banyak teman-temannya yang masih menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Dan tambahannya, Nelson sudah menemukan Hamdi tertidur di lantai ruangan.
Hamdi membuka dan menggosok matanya. Ia merenggangkan badannya, berusaha bangun dari tidurnya yang lelap. Ia melihat badannya sudah diselimuti dan di sampingnya ada bantal. Tunggu dulu, sepertinya aku tidak memakai selimut tadi, pikir Hamdi dalam hati yang setengah tersadar dari tidurnya. Lalu, siapa yang memberikan selimut itu? Jangan-jangan...
“Sudah bangun, di?” Tanya suara dari sampingnya.
“Siapa itu?!” Hamdi kaget. Ia langsung menodongkan bantalnya pada sumber suara itu dengan rambutnya yang masih acak-acakan.
Itu bukan siapa-siapa. Itu hanya sahabatnya, Nelson. Yang kini telah melepas jas hitamnya dan memainkan laptop miliknya di meja interogasi. Rambutnya acak-acakan, kemejanya setengah keluar, dasinya dilonggarkan, dan matanya sedikit berkantung. Lengkap dengan berkaleng-kaleng Diet Coke. Dia seperti orang yang belum tidur selama berhari-hari. Hamdi segera beranjak dari lantai dan duduk di kursi yang berada di depannya.
“Sudah berapa kaleng yang kau minum, Nel?”
Nelson tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan terus mengetik.
“Itu bukan cara yang bagus untuk mengawali percakapan ketika baru bangun tidur, Di. Tapi kalau soal pertanyaan itu, aku baru minum dua kaleng.”
Hamdi memutar bola matanya. Lelucon yang enggak lucu, kata Hamdi dalam hati
“Kau tidak tampil?”
“Ini hari Minggu pagi, sobat. Kau lupa, ya? Aku kan, cuma tampil hari Senin sampai Jum’at.”
Hamdi tertegun. Minggu? Tanya Hamdi dalam hati dengan bingung. Bukannya aku sudah tidur semalaman? Pasti sekarang sudah siang. Hamdi menengok ke jendela ruang interogasi. Ia salah. Di luar masih gelap gulita. Lampu-lampu bertebaran dimana-mana. Taksi dan mobil berlalu-lalang di jalan raya. Yang terdengar hanyalah bunyi klakson mobil yang meraung-raung berbaur dengan bunyi jangkrik. Hamdi kembali ke tempat duduknya sambil memperbaiki rambut dan dasi merah bajunya.
“Pukul berapa sekarang?” Tanya Hamdi.
Nelson kembali tidak memperdulikannya. Ia terus mengetik, mengetik, dan mengetik. Hamdi mengigit bibirnya dengan tidak sabar. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Nelson masih belum menjawab pertanyaanya. Dengan kesal, Hamdi melemparkan kaleng Diet Coke yang sudah kosong ke kepala Nelson. Tepat sekali.
Tukk!!
“Aduh!”
Nelson menggosok-gosokkan kepalanya sambil mengerang kesakitan. Ia tersadar, ada Hamdi di depannya. Wajah Hamdi memerah karena kesal pertanyaannya tidak dijawab.
“Apa?” Tanya Nelson dengan tidak merasa bersalah sedikit pun sambil mengangkat bahu dan tangannya. Hamdi menepuk dahinya.
“Aku bilang, pukul berapa sekarang, Nelson Jonathan?” Hamdi mengulangi pertanyaannya dengan lambat-lambat. Nelson menengok ke jam tangannya.
“Pukul... 01. 26 pagi.”
“Jadi, ini masih Minggu pagi? Lalu harus apa aku sekarang? Aku tidak ngantuk!”
“Webcam dengan teman-teman kita.” Jawab Nelson sambil kembali mengetik.
Hamdi tertegun. Webcam, webcam, dan webcam. Ia teringat terakhir kali dia menggunakan webcam ketika 4 tahun yang lalu. Ia menggunakannya untuk berbincang kembali dengan keluarganya. Tapi ia masih di Boston untuk menjalani pekerjaan administrasinya di NASA sekaligus melanjutkan kuliahnya di Boston University.
Tapi, Hamdi gagal melakukannya. Itu semua karena keteledorannya memasang dua kabel merah dan kuning yang salah saat ia merakit webcamnya. Singkatnya, ia tersetrum dan meledak. Keadaannya benar-benar parah. Bahkan rambutnya yang sebelumnya ikal menjadi lurus dan berdiri semua. Ia pun harus menjalani perawatan sebulan yang menyakitkan di rumah sakit umum Boston. Rasanya bukan seperti di rumah sakit. Tapi di penjara.
“Jadi? Kita pakai webcam sekarang?” Tanya Nelson memecah lamunannya.
“Ta..ta..tapi, ini nggak menyetrum kita, kan?”
Hamdi menjadi gelagapan ketika ia mendengar kata “webcam”. Kata itu percampuran antara trauma, fobia, dan mimpi buruk baginya. Nelson tertawa lepas.
“Memangnya kau tidak pernah pakai webcam, ya? Bukankah kau orang yang selalu menggunakan teknologi canggih di NASA?” Kata Nelson sambil mengangkat setengah alisnya.
“Ehhmm... Ya, pernah sih, sekali.” Hamdi menggaruk kepalanya. Wajahnya memerah ketika ia mengingat-ingat kembali cerita memalukannya itu.
“Kau duduk di sampingku sekarang.”
Hamdi pun mengangkat kursinya ke samping Nelson. Sementara itu, Nelson mengirim SMS ke beberapa orang dan mulai menyalakan aplikasi webcam di laptopya. Lalu, ia mengetikkan beberapa username di tempat pencarian orang di komputernya. Kini, muncul tanda loading di komputer Nelson. Nelson bertepuk tangan.
“Great! Sekarang coba kau lihat dengan siapa kita akan berbicara!” Kata Nelson.
Hamdi memandang baik-baik layar itu. Yang ada hanyalah lingkaran loading yang berputar sejak tadi. Tiba-tiba, munculah hantu berambut panjang di layar itu. Hantu itu tertawa dengan panjang dan melengking. Kuntilanaaaak!!! Teriak Hamdi dalam hatinya.
“Hihihihiiiii!!!”
“Hwaaa!!” Hamdi langsung berteriak dan bersembunyi di balik meja. Nelson tertawa melihat tingkah Hamdi. Begitu pula dengan hantu itu. Anehnya, hantu itu tidak tertawa melengking lagi.
“Aduh, di, di! Dari dulu kok masih takut sama hantu!”
Hantu itu mengikat rambutnya dan melepaskan baju putih panjangnya. Yang ada di layar laptop sekarang adalah Nindi, dengan rambut hitam kecoklatannya yang diikat. Ia memakai baju kemeja flanel bermotif kotak berwarna biru serta celana panjang biru tuanya. Bukan hantu lagi.
Kini, Nindi berada di flat kecilnya di Fifth Avenue, New York. Dari webcam, terlihat dinding merah flat-nya yang penuh dengan foto jepretan terbaiknya. Buku-buku dan coretan-coretan tertumpuk rapi di meja bacanya. Di dekat perapian flat yang ada di belakangnya, terdapat sebuah gramofon antik pemberian Lina dan Linda. Gramofon itu sedang mengalunkan lagu-lagu Michael Buble dan Frank Sinatra dari piringan hitamnya sekarang. Jika Lina melihat flat Nindi, pasti dia akan bilang bahwa flat temannya itu “benar-benar formal”.
“Hantunya sudah pergi?” Sementara itu, Hamdi masih bersembunyi di balik meja dengan badan bergetar.
Nindi dan Nelson memutar mata mereka. Mereka tidak habis pikir, kalau fobia temannya dengan kuntilanak itu masih belum hilang sejak SMP. Hamdi, si kapten pesawat antargalaksi itu, tidak takut dengan alien, guncangan, ataupun meteor. Justru anehnya, ia malah takut dengan sebuah webcam kecil dan kuntilanak. Seperti kata Hamdi ketika masih SMP, itu “unik” sekali.
“Dia sudah pergi, dan hantu itu tidak ada. It’s me.” Kata Nindi dengan nada yang malas.
Hamdi menengok ke kiri dan ke kanan. Ia segera duduk kembali di kursinya dengan tertawa kecil. Wajahnya sedikit memerah karena malu. Ia menggaruk-garuk rambutnya (lag. Nelson hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kan sudah kubilang, coba lihat di username-nya.” Kata Nelson.
Nelson menunjuk ke arah keterangan siapa yang bergabung dalam pembicaraan itu. Hamdi menelitinya. Memang benar, yang bergabung di pembicaraan itu hanya Nelson dan Nindi. Sekali lagi, bukan hantu yang ikut dalam pembicaraan itu. Hamdi menepuk dahinya. Memalukan! Teriak Hamdi dalam hatinya dengan sekeras-kerasnya. Ia pun kembali berbicara dengan Nindi.
“Nin, sebenarnya ngapain kita harus webcam sepagi ini? Kamu nggak ngantuk?”
Nindi mengangkat mug Tonight Show yang diberikan Jimmy Fallon sehari sebelumnya padanya sambil tersenyum bangga.
“Kau tahu, aku sudah minum kopi.”
Hamdi menepuk dahinya sambil menggelengkan kepalanya dengan pelan. Sudah pasti Nindi ingin pamer mug itu padanya.
“Oke, oke. Lupakan tentang mug itu. Tentang bagaimana kamu nggak ngantuk itu aku sudah tahu. Tapi, kenapa kita harus webcam sepagi ini?”
Nindi tersenyum misterius. Ia merenggangkan badannya sejenak. Kemudian ia bertepuk tangannya tiga kali. Prok, prok, prok! Tiba-tiba, layar itu terbagi menjadi beberapa layar kecil lainnya. Dan mereka yang ada di masing-masing layar itu adalah teman-temannya yang kemarin datang ke FBI! Hamdi tertawa dan juga terkejut.
“Whoa! Darimana kau belajar itu?”
Nindi menunjuk ke orang yang berada di layar atasnya. Yaitu Bill Gates dan Fikri yang sudah tertawa sendiri.
“Kau tahu, kini aku dan Bill bekerja sama untuk proyek tertentu.”
Fikri yang kini berkacamata dan memakai kemeja putih dan dasi hitam menyampaikan kabar gembiranya pada Fikri. Kini ia berada di rumah kecilnya yang dekat Harvard University di Massachusetts. Di belakang Fikri, ada banyak rak buku yang terjejer rapi. Juga perapian serta sofa yang empuk. Di dindingnya, ada sebuah sebuah foto bersama yang menempel di dindingnya: foto bersama teman-teman SMP-nya. Sepertinya enak bisa tinggal di sana.
“Aku masih belum paham. Kenapa kita harus webcam sepagi ini?” Tanya Hamdi lagi.
Semuanya saling berpandangan. Ratna pura-pura melanjutkan panel komik yang sedang dibuatnya. Lina dan Linda pura-pura menguap. Nash hanya pura-pura menggaruk kepalanya. Rick dan Jimmy berpura-pura menulis sesuatu. Dan ya, mereka semua berpura-pura saat itu, seperti tidak mau menceritakan yang sebenarnya terjadi. Nindi mendeham.
“Kau siap, kalau aku menyampaikan berita ini?”
Gluk. Hamdi meneguk ludahnya. Setetes keringat dingin mengalir di dahinya.
“Be..be..berita..apa?”
Nindi menegakkan sandaran kursinya dan mendekatkan wajahnya ke layar komputernya.
“Interogasi, di.” Katanya dengan dingin.
Hamdi diam. Tatapan matanya kosong. Di dalam pikirannya, sebenarnya dia sudah berteriak “Heeeii!! Kalian tahu, aku belum siap! Sekali lagi, belum siaap! Kau kira aku ini apa, hah! Aku baru bangun tidur, tahu!” Tapi, ia takut kalau ada masalah yang akan menghampiri dirinya lagi jika dia berteriak seperti itu lagi.
“Kau siap, di?” Tanya Ratna.
“Kurang siap! Ups! Eeeh.. Maksudku...”
Hamdi membekap mulutnya dengan tangannya sendiri. Semua menatapnya dengan tajam. Tiba-tiba, Kriiing!! handphone Amelia berdering keras hingga terdengar dari webcam. Amelia pun mencek pemberitahuan dari handphone-nya.
“Oho, kedengarannya ada satu orang lagi yang akan bergabung dengan pembicaraan kita.” Kata Amelia sambil tersenyum lebar.
“Memangnya siapa?” Tanya Rick.
Tiba-tiba, muncul tambahan satu layar lagi. Layar itu gelap. Dan seketika, seorang perempuan muda berambut pendek dengan sedikit berponi muncul di sana. Ia memakai jas laboratorium putih, dengan kemeja hitamnya dan dasi bergaris, juga kacamata berlensa minusnya. Wajahnya terlihat ramah, mengingatkan Hamdi akan seseorang yang pernah ditemuinya.
“Hai, semua!” Kata perempuan itu dengan ramah. Semua menyapanya, kecuali Hamdi.
“Pssst! Hamdi, kau belum menyapanya!” Bisik Nelson. Tapi Hamdi tak menghiraukannya. Ia hanya terdiam.
“Kau..” Kata Hamdi. Perempuan itu menggigit jarinya.
“Astaga! Kau lupa aku?” Tanyanya dengan tidak sabar.
Hamdi berpikir sejenak. Rasanya ia pernah melihat perempuan. Tunggu dulu. Ah ya! Sepertinya perempuan itu ada di foto yang ditunjukkan Nindi waktu di Times Square! Tapi siapa? Pikir Hamdi di dalam hatinya. Tiba-tiba, ia menjentikkan jarinya.
“Kau... Feni, kan?” Tanya Hamdi dengan takut-takut. Perempuan itu tertawa mengiyakan.
Feni baru saja bergabung dalam pembicaraan itu dari Rusia. Ia mendapat kabar dari Novia kalau Hamdi ditangkap. Dengan kemampuan hacking-nya, ia bisa berbicara dengan teman-temannya sekarang. Tanpa perlu menggunakan username atau apapun. Dan bisa saja dia dihukum karena ia telah menerobos sistem keamanan webcam. Nekat sekali.
“Jujur saja, aku jadi kangen denganmu.” Kata Hamdi sambil tersenyum dengan setengah melamun.
“Apa katamu?!” Teriak Feni dengan memekakan telinga.
Ia langsung mengeluarkan senapan laras panjang dari bawah mejanya dan mengarahkannya ke arah laptopnya. Semuanya langsung berteriak ketakutan, panik apabila Feni akan menembakkan senjata itu. Sementara itu, Hamdi langsung bersembunyi di bawah meja.
“Calm down.. Feni. I said, calm down.” Kata Novia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Keheranan juga sedikit takut. Feni tertawa kecil sambil memegangi senapan laras panjangnya.
“Jujur saja, lagipula aku tidak akan menembak kalian semua. Cuma, ada sebuah kata dari Hamdi yang membuatku sedikit naik darah.” Feni menatap tajam Hamdi yang masih bersembunyi di bawah meja. Hamdi tidak mau keluar dari sana.
“Maksudku, kangen karena kita tidak pernah bertemu lagi sejak SMP. Bukan karena sebenarnya aku menyukaimu! Ups! Maksudku...”
Hamdi langsung menutup mulutnya, takut keceplosan lagi. Sebenarnya, Hamdi menyukai Feni sejak masih SMP. Yaah, sedikit sih (jangan bilang siapa-siapa, itu rahasia Hamdi). Tapi, ia takut mengatakan itu pada Feni. Nanti dia malah mengalami jambakan di kepala yang pernah didapat oleh temannya, Tarna. Atau yang lebih parah, tembakan dari senapan AK40 milik Feni.
Mendengar kata itu, Feni makin menatap tajam Hamdi. Ia langsung memasukkan peluru ke senapannya hingga berbunyi “Klik!”. Itu membuat Hamdi serta yang lainnya meneguk air liur mereka. Kalian harus tahu, ia tidak suka mendengar hal-hal yang berkaitan dengan percintaan seperti itu sejak SMP.
“Eeeh... Darimana kau dapat senapan itu?” Tanya Jimmy dan Nash, berusaha untuk mengalihkan perhatian Feni.
Sebenarnya, mereka berdua juga takut kalau mereka akan ditembak juga. Untunglah, perhatian Feni teralih dari Hamdi. Hamdi menghembuskan nafas lega. Fiuuhh.. Trims, Jimmy. Trims, Nash. Aku berhutang budi pada kalian, pikir Hamdi sambil mengelus-elus dadanya. Sementara itu, Feni membersihkan senapannya.
“Ah, Jimmy Fallon dan Nash Grier. Aku ingat ketika aku masih SMP, Nindi, Linda, dan Amelia selalu membicarakan tentang kalian. Ngomong-ngomong, senapan ini pemberian ayahku ketika aku masih SMA.” Katanya.
“Oke, tapi senapan itu buat apa? Bukankah pekerjaanmu adalah seorang ilmuwan?” Tanya Nash. Tiba-tiba, Fikri dan Bill mematikan layar Feni dengan kemampuan hacking mereka. Nash kaget.
“Apa yang...”
Lina menatap tajam Jimmy dan Nash sambil menaruh jari telunjuknya di bibirnya.
“Tutup mulut kalian.” Kata Lina dengan tajam dan berat.
“Tapi kenapa...” Perkataan Jimmy dipotong tiba-tiba oleh Ratna,
“Diamlah kalian. Aku harus mengatakan ini dengan cepat, karena sekarang Feni berusaha menerobos sistem keamanan webcam. Dengarkan, Feni punya pekerjaan lain selain menjadi ilmuwan: seorang penembak bayaran. Itu cita-cita lainnya sejak SMP. Jadi, tutup mulut kalian atau aku akan menembak kalian berdua.” Jelas Ratna dengan nada tajam.
Jimmy dan Nash langsung meneguk ludah mereka. Kalau begitu, tamatlah riwayatku! Pikir mereka berdua bersamaan. Mereka berdua mengangguk dengan cepat. Sementara itu, Fikri dan Bill menyalakan kembali layar Feni yang sebelumnya diblokir.
“Jangan khawatir. Feni memang seperti itu. Agak nyentrik.” Kata Hamdi yang sudah kembali ke kursinya sambil tersenyum datar.
Rick, yang melihat semua kejadian itu, hanya mengangkat alisnya sambil tersenyum. Entahlah, apakah senyuman itu adalah senyuman datar atau sarkatis. Nyentrik? Nyentrik katamu? Itu bukan nyentrik, tapi lebih mirip seperti pembunuh bayaran! Pikir Rick dalam hatinya. Tapi, kejadian ini bagus juga untuk bahan menulisku yang berikutnya, lanjut Rick.
Sementara itu, Feni kembali lagi. Tapi wajahnya lebih bingung.
“Ada apa tadi? Aku berusaha menerobos keamanan, tapi sulit sekali. Tidak seperti tadi!” Kata Feni sambil mengangkat pundaknya. Sementara itu, Fikri dan Bill mengedipkan mata mereka, saling memberikan kode.
“Eeehh.. Tadi ada lalat yang masuk ke laptop Fikri, jadi ada sedikit gangguan teknis tadi.” Kata Hamdi sambil tertawa tidak enak.
“Nggak masuk akal, di. Pertama, bagaimana sebesar itu bisa masuk ke laptop? Masuk darimana? Apa yang bisa menye...”
“Okay, okay. Forget about it.”
Hamdi kalah dalam perdebatan itu. Sejak SMP, Hamdi selalu kalah jika berdebat di kelompok dengan Feni. Apalagi, Feni mempunyai kemampuan analisis yang cermat dan cepat sehingga mengantarkannya menuju pekerjaannya di Rusia. Sementara itu, Ratna mengeluarkan setumpuk berkas Hamdi dari Nindi.
“Kau siap, di?” Tanya Nelson.
Hamdi mengangguk dengan mantap. Mau tidak mau, ia harus melakukan interogasi itu. Nindi membuka interogasi. Ia berjanji, interogasi ini akan berjalan hanya dengan dua buah pertanyaan saja. Hamdi kurang yakin dengan hal itu.
“Ikhlasul Hamdi, apa alasanmu merencanakan invasi alien itu? Ceritakanlah bagaimana hal itu bisa terjadi. Apakah alien itu jahat?”
“Hei! Itu tiga pertanyaan! Padahal perjanjiannya kan...”
“Kutarik lagi perjanjian tadi.” Nindi memotongnya dengan pendek.
Hamdi mendengus.
“Kau harus tahu, itu bukan invasi! Kami cuma jalan-jalan di sini!”
“Jangan bohong, di! Kami mendapatkan peta bertuliskan bahasa-bahasa planet lain! Bukankah itu suatu keanehan?” Tanya Ratna.
Hamdi berusaha untuk sabar. Lalu ia menceritakan semuanya. Mulai dari ketika ia merasa rindu dengan bumi, lalu para alien ingin singgah ke bumi untuk salah satu tujuan tur mereka. Singkat cerita, kalian tahu apa yang terjadi. Mereka jatuh di New York, dan terjadilah penangkapan itu. Kemudian, Hamdi membuka tas ranselnya dan mengambil dua buah surat. Yang satu berbahasa Inggris, dan yang satunya berbahasa alien.
“Ini, adalah surat izin dari Departemen Penjelajahan Antariksa NASA di Houston dan surat izin dari Raja Pulu-Pulu dari Planet Pulu. Mereka mengizinkanku untuk mengajak kedua alien itu jalan-jalan, bukannya invasi!” Tegas Hamdi dengan tidak sabar. Ratna dan Nindi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, aku minta konfirmasi dengan pimpinanmu di Houston. Bill, tolong hubungkan kami dengan Departemen Penjelajahan Antariksa.” Kata Nindi. Ia pun meninggalkan kursinya, menuju mesin pembuat kopi untuk menambah lagi kopinya. Dan itu untuk ketiga kalinya.
Bill dan Fikri membuka sistem keamanan, mencari webcam dari Departemen Penjelajahan Antariksa di Houston. Dan mereka terhubung dengan seorang laki-laki, yang sedang duduk di kursinya dengan setumpuk kertas berkas. Rambut coklatnya tidak tertata rapi. Dasi merahnya berantakan sekali. Ia terlihat kacau sekali.
“Siapa kalian? Beraninya sepagi ini kalian mengangguku yang sedang mengatur berkasku.” Kata orang itu dengan setengah mengantuk.
“Sir, it’s me.” Kata Hamdi dengan pendek. Mata orang itu tiba-tiba mencerah.
“Ah! Kapten Hamdi! Salah satu anggota terbaikku! Ada apa, nak?” Orang itu, yang merupakan pimpinannya Hamdi, tiba-tiba bersifat kebapakan padanya.
Hamdi menceritakan semuanya. Terutama tentang penangkapannya. Orang itu, yang dikenal bernama Michael John Auxbury, hanya menganggukkan kepalanya. Dia tahu, sehari yang lalu dia mendapat laporan penangkapan alien. Tapi ia baru tahu kalau Hamdi adalah pilot yang mengantarkan alien-alien itu.
“Aku harus bicara dengan alien-alien itu sekarang. Bisakah, Pak Auxbury?” Tanya Hamdi.
“Jangan memanggilku seperti itu, Hamdi. Kalau diluar kantorku, panggil saja aku Mike. Dan oke, kau boleh berbicara dengan kedua alien itu.” Kata Mike sambil tersenyum lebar.
Hamdi tersenyum mendengar kabar itu. Sementara itu, Mike menghubungkannya dengan ruang dimana Linda Paka dan Linda Pene ditahan di suatu tempat rahasia. Tiba-tiba, bertambah satu layar lagi di sudut webcam. Nelson hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah ada 17 orang yang bergabung dengan pembicaraan itu!
Hari semakin pagi. Jam dinding menunjukkan pukul 03.13. Tapi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk melanjutkan interogasi. Setelah menunggu beberapa lama, layar dari ruang tahanan alien menyala. Dan disana, ada Linda Paka dan Lina Pene. Wajah mereka berseri-seri ketika melihat Hamdi.
“Pulupulu!” Teriak Lina Pene.
Hamdi tertawa ketika mendengarnya.
“Hei, kau tidak apa?” Tanya Linda Paka yang sedikit cemas tentang keadaan Hamdi.
“Jangan khawatirkan aku. Aku minta tolong kalian sekarang. Bisakah kalian menceritakan apa yang terjadi sebelum kita jatuh?” Tanya Hamdi.
Singkat cerita, Linda Paka dan Lina Pene bercerita secara bergantian tentang apa yang terjadi sebelum mereka jatuh ke bumi. Mereka membenarkan, bahwa sebenarnya tujuan mereka mampir ke bumi adalah jalan-jalan. Tiba-tiba, Mike menyela mereka saat bercerita.
“Sebentar, tadi aku barusan cek kamera keamanan dan melihat pembicaraan mereka, tidak ada tanda-tanda kedua alien itu berbohong. Mereka memang ingin jalan-jalan saja.”
Nindi dan Ratna termenung. Semua masalah itu cuma kesalahpahaman. Yang merasa benar-benar bersalah adalah Nindi, karena sebelumnya ia yang menuduh Hamdi terlebih dahulu.
“Hamdi, aku minta ma...”
“Stop,” Hamdi langsung menyelanya. “Aku sudah tahu dari awal kau akan menuduhku. Tapi, itu tidak apa-apa.”
Semuanya langsung mengerang. Hanya gara-gara dua alien dan sebuah pesawat antariksa yang terdampar di Times Square, mereka harus begadang. Ujung-ujungnya, ternyata masalah itu hanya kesalahpahaman. Tiba-tiba, Linda dan Lina menyela.
“Ya sudah, deh. Nanti pagi, kita kumpul di Mac’D di Times Square. Buat sarapan.” Kata Linda.
“Kami yang traktir.” Kata Lina.
Semuanya langsung bersorak sorai kegirangan. Fikri langsung meneriakkan kalimat lamanya: “Sekali burger, tetap burger”. Entah apa maksudnya. Satu persatu mematikan webcam mereka. Hingga tinggal Linda, Lina, Nelson, dan Hamdi yang ada di situ.
“Ah, salahmu bilang Mac Donald tadi.” Komentar Linda.
“Kan, itu usulmu juga. Ayo tidur.” Kata Lina sambil menguap.
Layar terakhir yang menyala kini mati. Hamdi termenung menatap layar laptop yang kini telah gelap. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Hari Minggu yang paling aneh, pikir Hamdi. Ia berbalik ke Nelson.
“Nelson, ba...”
Hamdi termenung. Kini, Nelson menelungkupkan kepalanya ke meja. Mengorok dengan pelan sambil memangku tas ranselnya. Hamdi menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. Giliran dia yang tidur. Justru aku yang imsomnia! Teriak Hamdi dalam hatinya. Apa boleh buat, dia mengutak-utik laptop Nelson. Memainkan game yang ada di laptop itu sambil meminum sisa Diet Coke Nelson. Menghabiskan Minggu pagi yang aneh.
***
Jauh dari Washington dan bumi, sebuah kapal antariksa mengapung di angkasa. Lebih besar, kuat, dan gelap daripada Spaceship One. Bayangan seorang laki-laki berambut pendek duduk di singgasananya. Memperhatikan Hamdi yang mengutak-utik komputer Nelson dan Nelson yang sedang tertidur. Ia terkekeh.
“Tunggu pembalasanku, Hamdi. Sebentar lagi kau akan merasakan pembalasanku.”
Laki-laki itu tertawa jahat. Tawanya mengelegar seluruh angkasa. Ia berdiri dari singgasanannya. Berjalan menuju meja kendalinya, membidik bumi sebagai tujuan selanjutnya. Dengan kaki yang berlendir hijau.
***
To Be Continued...
Btw, thanks bagi yang sudah membaca cerita ini sampai sini :) Maaf jika ada kesalahan ketik dan lama nggak update, soalnya dua minggu ini banyak tugas dan ulangan :p
Special thanks: @littlerose_ dan @IlvaniThine371, yang memberi sedikit saran soal chapter ini (Atau banyak?). Sekali lagi, thanks :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro