Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3: The Unexpected Friends

Hamdi, seorang kapten pesawat antargalaksi, kini mendekam di sebuah ruang interogasi FBI, Washington DC. Ruang itu gelap, hanya diterangi oleh sebohlam lampu. Ia menatap ke depannya. Hanya kursi kosong. Yang kemungkinan akan diisi oleh Ratna atau Nindi yang akan menghajarnya ketika ia diinterogasi.

Sebelumnya, Hamdi ditahan karena perencanaan invasi alien dan perusakan fasilitas umum. Sebenarnya, bukan begitu, sih yang terjadi. Ini semua cuma kesalahpahaman. Ia ingin memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, Ratna dan Nindi tidak punya waktu untuk mendengarkan semua itu.

Kali ini, kedua kakinya terasa nyeri dan sakit karena ia harus berjalan 5 kilometer menuju FBI. Parahnya, ia pingsan di tengah jalan. Nindi terpaksa menyeretnya ke Grand Central dan naik kereta menuju Washington DC. Padahal, Nindi mengaku ia biasa berjalan sejauh itu. Coba ia tidak mampir ke bumi, tidak bakal begini ceritanya. Tidak ada penangkapan, pesawat jatuh, ataupun pingsan. Hamdi merasa kesal dengan semua yang terjadi pada hari itu.

"Dasar sial! Siaal!" Hamdi langsung menendang gelas Starbuck yang ada di depannya dengan kesal.

Hamdi tidak sadar, bahwa Nindi dan Ratna mengawasinya dari kaca satu arah yang ada di ruang interogasi. Mereka melihatnya dari ruang pantau interogasi. Nindi merasa bersalah ketika mendengar Hamdi mengumpat seperti itu. Sebenarnya, ia tidak ingin membentaknya ketika ia menemukan dua alien itu. Tapi, itu sudah kebiasaan. Pekerjaannya di FBI telah membuat gaya berbicaranya dengan seorang calon tersangka seperti itu.

"Astaga, aku jadi ingin minta maaf padanya." Kata Nindi dengan nada lirih.

"Tapi, Hamdi pasti akan memaafkanmu. Kau tahu sendiri kan, Hamdi bukan tipe orang yang pendendam." Balas Ratna.

"Betul juga, sih."

Nindi berusaha mengalihkan pandangannya dari Ratna. Namun, ia kurang yakin dengan itu. Tiba-tiba, ponsel Ratna berdering. Ratna menerimanya dengan serius, namun ia segera menutupnya. Ia beranjak dari kursinya.

"Kita harus berbicara dengan Hamdi."

"Soal?"

"Pembelanya."

Ratna dan Nindi pun segera meninggalkan ruangan. Lalu mereka berpindah ke ruang interogasi, mendapati Hamdi yang segera duduk di kursinya. Ia terlihat seperti seorang murid yang tiba-tiba mendapat kedatangan gurunya dan segera berlari ke tempat duduk. Nindi berusaha meminta maaf soal kesalahannya.

"Di, maafkan aku soal..."

"Lupakanlah. Toh, aku sudah memaafkanmu juga." Potong Hamdi dengan cepat. Ia tidak mau mengungkit-ungkit masalahnya dengan Nindi. Dia tidak mau bertengkar dengan sahabatnya sendiri.

"Tapi..."

"Aku bilang, lupakan. "

Hamdi menekan kata terakhirnya. Nindi tidak mau membantahnya lagi. Kalau ia sudah menekankan kalimatnya seperti itu, berarti ia tidak mau melanjutkan masalah itu lagi. Ratna melirik kedua teman sambil batuk dengan sengaja.

"Eeeh.. Hamdi, apakah kau punya pembela?"

"Pembela apanya?"

"Kau tahu, kau dituntut atas kasus ini. Tapi, kau boleh dibela oleh seseorang."

"Betulkah?!"

Hamdi terlihat girang. Ratna dan Nindi mengangguk sambil tersenyum. Hamdi diam sejenak. Bola matanya berputar, melihat sekeliling meja. Ia menggaruk rambutnya berkali-kali, tanda ia sedang berpikir. Kemudian ia membuka mulutnya.

"Bolehkah aku berbicara dengan Nelson? Cuma kami berdua saja."

Ratna langsung membuka pintu ruang interogasi dan menengok sekeliling, mencari Nelson. Ia pun mendapati Nelson yang sedang jongkok di ujung lorong FBI yang berdinding jingga. Dia... ya.. bisa dibilang... masih sibuk dengan Diet Coke-nya yang belum habis selama berjam-jam. Nelson langsung menyembunyikan minuman yang diseruputnya.

"Apa yang kau lihat, huh?" Tanya Nelson dengan nada tajam. Ratna tertawa kecil.

"Aku nggak mau memergokimu minum Diet Coke. Tapi Hamdi memintamu untuk berbicara sebentar. Berdua."

Nelson pun segera bangkit, memasuki ruang interogasi. Sementara Nindi dan Ratna kembali ke ruang pantau interogasi. Di sana, Nindi mematikan suara dari ruang interogasi. Supaya Hamdi merasa lebih nyaman berbincang dengan Nelson. Selama bercakap, Hamdi dan Nelson terlihat berbisik-bisik dan tertawa berkali-kali. Aneh.

"Kau tidak curiga mereka merencanakan sesuatu yang buruk?" Tanya Ratna seraya memasukkan tangannya ke kantong celananya.

"Nggak. Kayaknya Nelson punya lelucon baru untuk diceritakan pada Hamdi."

Tiba-tiba, Nelson mengacungkan jempolnya pada Nindi dan Ratna. Menandakan bahwa pembicaraan mereka telah usai. Mereka bertiga pun segera bertemu di luar. Nelson menjelaskan bahwa ia dan Hamdi telah memanggil beberapa orang untuk membela Hamdi.

"Tapi siapa?" Tanya Nindi.

Nelson tidak menjawabnya. Ia hanya tersenyum misterius, kebiasaan khasnya. Ratna dan Nindi yang tidak memahami maksudnya. Mereka saling berpandangan sementa Nelson kembali masuk ke ruang interogasi. Ia berusaha berbincang dengan Hamdi tentang apa saja yang tidak ada kaitannya dengan kasusnya.

Ratna dan Nindi hanya bisa menunggu. Menunggu dan menunggu. Mereka duduk di meja bundar putih yang ada di ujung lorong sempit FBI. Tidak ada orang selain mereka disana. Hanya ada mesin kopi yang selalu beruap panas. Juga vending machine yang hanya menampilkan tulisan yang bergerak. Dua benda itu saja yang menemani mereka.

Nindi dan Ratna menghabiskan waktu dengan mengetik cerita, menggambar, dan meminum kopi mereka masing-masing. Hingga lima menit kemudian, telepon Nindi berdering. Ia menyalakannya. Cuma SMS dari Nelson.

Kau tahu, pembela kita sudah ada di lobi FBI. Mereka akan datang!

Nindi dan Ratna memelototi pesan dari Nelson. Apa maksudnya? Mereka berpikiran hal yang sama. Tiba-tiba, terdengar banyak langkah kaki dan bisikan-bisikan dari sudut lain lorong. Muncullah sekelompok orang. Kehadiran mereka membuat Nindi dan Ratna terkejut.

"Kalian?!" Nindi dan Ratna berseru.

Ternyata, mereka adalah Lina, Linda, Amelia, dan Fikri. Mereka semua adalah teman lama Nindi, Ratna, Nelson, dan sudah pasti, Hamdi. Linda dan Amelia berteriak kegirangan. Mereka semua saling berpelukan, tak percaya bisa bertemu lagi. Mereka saling bersalaman dan bercengkrama satu sama lain.

"Hei, hei, hei! Aku bertemu kembali dengan mentor menulisku!" Kata Amelia sambil memeluk erat-erat Nindi yang sampai tidak bisa bernafas.

"Aku tidak menyangka, kau menjadi dokter, Nov!" Ratna dan Novia saling kompak.

"Nel, kau jadi hostnya Late Night Show? Biasanya dulu Nindi yang cerita soal itu." Linda tidak percaya tentang pekerjaaan Nelson.

"Nelson Jonathan, kita bertemu lagi. Berkat Tuhan, kita bisa berkumpul lagi disini. Aku mau menyampaikan ceramah, yaitu.." Fikri bersalaman dengan Nelson sambil mulai berceramah lagi.

Sama seperti yang lainnya, mereka tidak banyak mengalami perubahan (lagi!). Lina, ia masih berbadan pendek dan berambut berponi dengan potongan pendek. Juga dengan pipi bulatnya yang sering dicubit oleh teman-temannya ketika masih SMP. Tapi, ia jauh terlihat lebih keren dengan baju batik berwarna merah yang dilapisi dengan jas coklat. Ia terlihat sederhana. Padahal, sebenarnya ia seorang direktur perusahaan mebel terkenal.

Linda, senyum dan tawanya yang khas tidak pernah berubah. Juga dengan postur badannya yang tinggi kurus dengan rambut panjangnya yang tergerai. Ia memakai pakaian yang sama dengan Lina. Ya iyalah, mereka kan, sama-sama menjadi seorang direktur perusahaan yang sama.

Novia, ia selalu tertawa ketika bertemu dengan teman-temannya. Rambutnya setengah lurus dan setengah keriting. Ia lebih tinggi daripada sebelumnya. Tapi kini, ia memakai kemeja berwarna jingga dan jas dokternya. Ya, kini ia menjadi dokter, dan itu tidak disangka.

Fikri, masih dengan kopiah hajinya dan rambut pendeknya. Ia tidak kelihatan berbeda meskipun memakai kemeja kotak-kotak dan dasi hitam. Ia juga memanggul tas ransel hitam dan buku-buku karangannya. Ia lebih terlihat seperti seorang profesor agama yang masih muda, jenius, dan ya... suka menceramahi teman-temannya.

Amelia, ia mengaku sebagai anak murid pelatihan menulisnya Nindi ketika masih SMP (padahal Nindi tidak merasa ia anak muridnya). Ia mengalami beberapa perubahan. Rambutnya yang dulu keriting, kini menjadi lurus. Tapi postur badannya tetap tinggi seperti dulu. Dan senyumannya, tidak ada berubah. Dengan kemeja berlapis jaket kulitnya, ia bisa ditebak menjadi seorang desainer terkenal.

Ketika semuanya saling bercengkrama, Nelson terlihat gelisah. Ia berulang kali menengok ponsel dan jam tangannya. Ia juga mondar-mandir mengelilingi teman-temannya.

"Ada apa, Nel?" Tanya Linda.

"Ada yang belum... Nah! Itu mereka!" Nelson menunjuk seseorang yang berada di ujung lorong.

Semuanya membalikkan badannya. Linda dan Amelia langsung berteriak melihat sosok itu. Lina, Novia, dan Fikri mengerutkan dahinya. Ratna dan Nindi tertawa terbahak-bahak. Siapa yang sebenarnya datang?!

"Na...Na...Naaaasshh!!!" Linda dan Amelia berlari menuju orang di ujung lorong itu.

"Orang" yang dimaksud mereka adalah Nash Grier, viner dan youtuber terkenal. Matanya berwarna biru jernih seperti laut. Rambutnya setengah brunette. Ia memakai kaus t-shirt dan celana jeans. Senyumnya selalu tergantung di wajahnya. Linda dan Amelia langsung mengeluarkan ponsel mereka.

"But first, let us take a selfie!" Seru Linda dan Amelia sambil bergaya untuk selfie. Tiba-tiba Linda terlihat ragu dan berbalik pada Nash.

"Eeeh.. Kau tidak keberatan kan, Nash?"

"Absolutely not!" Nash tertawa lepas.

Mereka pun memotret ratusan gaya selfie. Bahkan ribuan. Tidak ada yang menghitung berapa kali mereka melakukan selfie. Yang terdengar hanya suara cekrek, cekrek, dan cekrek. Lina, Novia, dan Fikri langsung menepuk dahi mereka.

"Oh my. Aku tidak membenci Nash. Tapi selfie, that's gross." Ucap Ratna sambil memicingkan matanya.

"One word for selfie: Ew. Kalau aku bertemu dengan tokoh yang kusukai, aku nggak akan berlebihan seperti itu." Ucap Nindi menggeleng kepalanya sambil tertawa kecil.

Setelah puluhan ribu selfie kemudian, Nelson menghampiri Nash dan Lina menghampiri Linda. Lina hanya tertawa ketika melihat Linda yang wajahnya merah karena gembira.

"Kau ingin terkenal kan, dengan semua foto itu? Lalu kau menyebarkannya ke Facebook, Twitter, Path, dan media sosial bla-bla-bla lainnya, kan?" Tanya Lina. Linda langsung memicingkan matanya pada Lina.

"Nggak! Aku sudah jera jadi orang famous!"

Linda mengucapkan kata famous dengan wajah datar. Lina tertawa terbahak-bahak. Ia jadi teringat pada sebuah kisah tentang itu. Tapi ia terlalu malas untuk menceritakannya. Sementara itu, Nelson menyalami Nash.

"Hi, Nelly! Longtime no see you." Kata Nash dengan nada ramah.

"Ya, sobat. Yang lainnya juga datang?"

Nelson menepuk pundak Nash. Nash mengangguk sambil mengunyah permen karetnya. Ia melirik Linda, yang menatapnya terus-menerus dengan mata melotot. Nash meneguk ludah dan permen karetnya sekaligus, ketakutan melihat tatapan Linda yang mengerikan. Kalian harus tahu, tatapan Linda itu seperti campuran dari tatapan kuntilanak dan Sadako.

Kemudian terdengar langkah kaki lagi dari ujung lorong. Novia langsung menoleh dan menyenggol Lina. Lina langsung terkejut.

"Apaan?"

"I..ii.tu..." Lina langsung terkesiap melihat orang itu.

"Astaga, itu Bill Gates!"

Telinga Fikri langsung tajam ketika mendengar nama itu.

"What? Just kill me now." Ucap Fikri dengan nada datar.

Mereka bertiga saling mendekat dengan badan tergetar. Ya, itu memang Bill Gates, pencipta Microsoft yang terkenal itu. Ia datang dengan kemeja biru bergarisnya dan jas hitamnya. Fikri langsung menepuk dahinya.

"Bill Gates... Sudah lama aku ingin berjumpa denganmu." Kata Fikri pada Bill yang sudah ada di depannya. Novia dan Lina langsung menoleh terkejut.

"Kau? Penggemar Bill Gates? Bukannya kau dulu ingin jadi ustadz?" Tanya Novia yang mulai tertawa.

"Aku itu bukan sekedar ingin jadi ustadz, tahu! Aku ingin juga jadi penyelidik forensik komputer!" Seru Fikri. Lina langsung menggaruk kepalanya. Aku tidak pernah mengerti tentangmu! Teriak Lina dalam hatinya.

"Ah, jadi, kau tahu banyak soal Microsoft?" Bill mengangkat setengah alisnya.

"Yah.. Tidak terlalu, sih... Aku lebih banyak tahu soal agama dan forensik komputer." Fikri terlihat malu sambil menggaruk kepalanya.

"Kau profesor kan? Aku pernah melihatmu di televisi. Bagaimana jika kita berbicara sebentar? Mungkin kita bisa bekerjasama di Microsoft." Kata Bill sambil menyalami Fikri yang kini tangannya bergetar.

Sebenarnya, Bill tidak banyak bicara. Tapi ia terlihat tertarik dengan Fikri, yang juga salah satu profesor termuda di Harvard University. Ia berbincang dengan Fikri lama sekali soal forensik komputer dan juga agama. Semuanya tidak ingin menganggunya. Tiba-tiba, Fikri melihat sosok dari kejauhan. Fikri menepuk pundak Ratna.

"Itu, Rick Riordan ya, Rat?" Tanya Fikri pada Ratna. Ratna langsung melotot mendengar perkataan Fikri. Ia menghentak pundak Fikri dengan keras

Ya, Rick Riordan adalah penulis favorit Ratna. Sejak SMP, ia dan Nindi saling berbagi info tentang buku novel terbaru. Dan Ratna selalu berusaha mencari sebuah novelnya yang belum ia punya: Percy Jackson Greek Gods. Kadang Nindi berusaha mengerjainya dengan cara berbohong sudah mempunyai buku itu. Supaya Ratna merajuk berhari-hari.

"Mana? Mana?"

Ratna melihat baik-baik. Dari kejauhan, terlihat seorang laki-laki paruh baya yang berkacamata dan rambutnya yang setengah beruban, dengan memegang buku berwarna biru disampingnya. Ratna diam. Namun lama-kelamaan tersenyum, tersenyum, hingga benar-benar lebar.

"Nin! Itu Uncle Rick!! Dan dia asli!!"

Ratna mengguncang badan Nindi hingga membuat Novia tertawa. Nindi ingin bilang "Iya, iya. Aku tahu, kok." Tetapi tidak bisa karena tubuhnya benar-benar diguncang oleh Ratna. Dan guncangannya, jangan ditanya lagi. Seperti gempa. Kemudian, Ratna pun berlari menuju penulis kesukaannya itu.

"Rick! Rick! Rick! Rick! Rick!" Ratna meloncat kegirangan di depan penulis kesukaannya. Rick hanya menatapnya dengan sipit dan tajam.

"What?"

Ratna langsung merubah raut wajahnya dengan serius. Meskipun sebenarnya ia bersorak-sorai di dalam hatinya. Ratna menunjukkan lencana FBI-nya dan memperkenalkan dirinya dengan cara benar-benar formal dan kaku.

"Tidak apa-apa. Namaku Ratna Feraniza, senior field agent FBI, paruh waktu ilustrator. Dan saya memanggil anda sebagai pembela Hamdi, yang diduga melakukan perencanaan invasi alien dan perusakan fasilitas umum."

Rick hanya mengangguk-angguk dan tersenyum.

"Ah, begitukah? Salam kenal. Lagipula, aku tahu kau sedang menginginkan ini. Kau harus tahu, Percy memintaku untuk memberikan ini padamu."

Rick memberikan sebuah paket berlapiskan kertas coklat. Di atasnya paket itu, terdapat sebuah label pengiriman. Ratna memicingkan matanya ketika melihat label itu.

Ratna Feraniza

FBI Headquarters

935 Pennsylvania Avenue,

Washington, DC 20535

Salam Manis,

Percy Jackon.

Ratna paham label pengiriman itu. Ia pernah melihatnya di buku pertama Percy jackson. Tapi, bagaimana bisa? Kalau ini benar-benar paket dari Uncle Rick dan Percy, apa ini? Selidik Ratna dalam hati. Apakah ini sebuah buku? Atau pedang Riptide-nya Percy? Atau topi Yankee-nya Annabeth? Arrrghh!! Apapun itu, that must be awesome!

"Kau yakin ini bukan hal-hal yang aneh?" Ratna mengangkat setengah alisnya. Ia ingat kalau di buku Percy Jackson yang pernah ia baca, terakhir kali paket seperti itu berisi kepala Medusa. Jangan-jangan... Ratna langsung bergidik mengingatnya.

"Yah... paling-paling itu kepala Medusa." Kata Rick dengan santai.

Ratna meneguk ludahnya. Kalau ini memang kepala Medusa dan aku jadi batu, ikhlaskan, Kata Ratna dalam hati. Toh, itu juga hadiah dari Rick, tidak mungkin itu kepala Medusa. Ratna membuka paketnya.

Ternyata, Uncle Rick memberikan sebuah buku berukuran sedang pada Ratna. Ratna memegang buku itu baik-baik. Itu adalah novel yang sejak dulu diinginkannya! Lengkap dengan tanda tangan dan buku-buku lain juga merchandise-nya pula! Ratna langsung meloncat Nelson.

"Nelson, aku tak percaya hal ini terjadi. Tampar aku sekarang juga!" Kata Ratna.

Nelson mengangkat setengah alisnya, tanda ia bertanya pada Ratna ia serius atau tidak. Dengan segera, Nelson menampar wajah Ratna dengan pelan. Wajah Ratna langsung memerah.

"Aku kan, cuma bilang 'tampar aku"! Tapi kenapa kau menamparku beneran?"

"Lha, tadi kan minta ditampar. Kan, salahmu sendiri."

Nelson mengangkat pundak dan tangannya. Sementara itu, semuanya saling berbincang-bincang. Saat Nash berbincang-bincang dengan Linda dan Amelia, ia berbalik. Seperti sedang mencari barangnya yang hilang.

"Tunggu dulu, sepertinya ada teman kita yang tertinggal di belakang."

"Siapa?"

Nindi bersender di dinding tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun. Ia menyeruput kopinya, dengan sebelah tangan dimasukkan ke kantung celana dengan santai. Novia, Ratna, Rick, Bill, dan Fikri saling berpandangan satu sama lain. Mereka tahu akan ada sesuatu yang terjadi.

"Eeeh.. Oh ya! Jimmy!"

"Jimmy siapa?"

"Jimmy Fallon!"

Oh, okey then. Kata Nindi dalam hati sambil menyeruput kopinya lagi.

But wait. Jimmy.... Fallon?

Cuiiiih!!!

Nindi memuncratkan kembali kopinya. Ia terbatuk-batuk. Lina langsung memukul-mukul punggung Nindi sambil tertawa. Baru setelah nafasnya teratur kembali, Nindi meminum kopinya kembali dengan perasaan masih tidak percaya.

"Kalian serius? Jimmy Fallon, pembawa acara acara Tonight Show, juga komedian itu, kan?" Kata Nindi dengan mata terbelalak. Masih tidak percaya. Amelia menertawakan Nindi.

"Bah, tadi bilangnya nggak akan menjadi terlalu berlebihan. Tadi, sampai batuk-batuk, tuh."

Amelia meledek Nindi sambil melipat tangannya. Dengan refleks, Nindi langsung memukul lengan temannya. Amelia mengerang. Nindi hanya menjulurkan lidahnya. Meledek.

Tapi, betul juga kata Amelia. Nindi masih tidak percaya. Betulkah? Atau ia sedang di dalam mimpi? Atau berada di dalam mimpi yang juga didalam mimpi? Bertemu dengan komedian kesukaannya. Ia tidak akan berteriak. Tapi cuma tertawa. Nindi tertawa sendiri dalam lamunannya.

"Is anybody is searching me?"

Pecah lamunan Nindi. Ia pun menengok ke sampingnya. Dan... ia hanya bisa menganga. Yang disebelahnya sekarang memang Jimmy Fallon, komedian kesukaannya. Masih tetap dengan jas, dasi, dan wajahnya yang ramah. Lina dan Linda menertawakannya dan mulai memparodikan lagu.

"Oh my god," nyanyi Lina.

"... looked that host!" Linda menyambung lagu itu sambil tertawa berbarengan.

Plak, plak, plak! Tiga kali pukulan mendarat di lengan Lina dan Linda. Kemudian, pandangan Nindi kembali teralih pada Jimmy sambil tersenyum lebar.

"Oh my. Aku tidak percaya Nelson akan mengenalkanku padamu."

"Thank you. Ah, mungkin kau menginginkan ini, ya?" Jimmy pun memberikan sebuah kotak kardus kecil pada Nindi. Nindi menatap curiga kotak itu.

"Ini bukan bom, kan? Nindi melirik padanya dengan serius.

"Kalau itu bom, berarti itu pertanda baik." Jimmy menyeruput kopinya tanpa memperhatikannya.

Nindi mendecak. Lalu membuka kardus itu dan mengeluarkan isinya. Sebuah mug, dari Tonight Show! Masih mengkilap. Dengan tanda tangannya pula! Nindi hanya menatap dinding di depannya.

"Aku pasti mimpi." Dan Nindi tersenyum sendiri.

Sementara itu, Amelia memperhatikan sekelilingnya. Linda bertemu Nash, Fikri, Lina, dan Novia bertemu Bill, Ratna bertemu Rick, Nindi dan Nelson bertemu Jimmy. Lalu, kenapa aku nggak didatangi Matt Espinosa, si viners kesukaanku itu? Sakitnya tuh di sini, nih! Amelia berteriak sekeras-kerasnya di dalam hatinya. Kenapa cuma dia saja yang belum di datangi viners kesukaannya?

"Nelson.. Kenapa kamu nggak ngundang Matt?" Wajah Amelia terlihat seperti ngambek.

"A...aa..aaku..." Nelson tidak bisa menjawabnya. Sebenarnya, ia tidak terlalu kenal dengan Matt. Tapi, betul juga. Kenapa ia tidak mengundangnya juga? Justru Amelia yang nanti ngambek dengannya.

"Amelia nggak suka! Nelson jahat!"

Kemudian Amelia meninggalkan Nelson. Nelson hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Amelia pun kembali menyendiri, sambil memikirkan kembali soal Matt. Teringat kembali ketika Amelia mengaku pacarnya Matt ketika SMP, justru ia yang diledek seharian oleh Nindi dan Lina.

"Mikir apa, mel?" Novia memecah lamunannya.

"Aaa..a..aku..."

"Aku tahu kok, kau mau bertemu dengan Matt. Tapi dia tidak ada disini."

"Tapi, bagaimana kau..." Amelia terkejut mendengar ucapan Novia.

"Telepati." Tiba-tiba, Novia tersenyum misterius.

Di tengah keramaian itu, Ratna melihat jam tangannya. Pukul 18.42. Sudah terlalu malam untuk melakukan interogasi. Ini semua gara-gara karena mereka terlalu bergembira bertemu dengan tokoh kesukaan masing-masing. Sebenarnya, hari itu adalah hari yang hebat.

"Besok saja kita interogasi. Sudah terlalu malam. Kita berkumpul di sini besok pagi. Nelson, kau tidak ada jadwal tampil, kan? Kau temani Hamdi di sini. Kalau mau saling berkomunasi, pakai webcam saja." Perintah Ratna. Nelson mengangguk. Semuanya setuju.

"Betul katamu. Aku harus menyiapkan laporan dan mengetik malam ini. Untung aku cuti. Aku juga capek." Kata Nindi sambil mengambil jas dan ranselnya sambil melangkah pergi.

"Kami juga. Kami harus membuat laporan keuangan." Kata Linda dan Lina.

"Sama! Aku harus memberikan tugas ke para mahasiswaku." Fikri berteriak dari kejauhan di ujung lorong.

"Dan.. Aku harus mendesain baju lagi." Amelia menggaruk kepalanya.

"Aku.. Aku ngantuk." Novia tidak berkata panjang lebar.

"Aku juga harus melanjutkan ceritaku lagi." Kata Rick sambil meninggalkan lorong.

"Dan... aku harus menjadi host Saturday Night Live malam ini." Jimmy menggaruk kepalanya sambil melangkah pergi.

Hanya tinggal Bill, Nash, Ratna, dan Nelson di lorong itu. Bill dan Nash saling berpandangan. Mereka saling memicingkan mata satu sama lain.

"Apa yang kau lakukan disini?" Bill menatap Nash dengan aneh.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Ayo pulang." Nash menjawabnya sambil menepuk pundak Bill. Mereka berdua pulang bersama-sama.

Kini, hanya Ratna dan Nelson yang ada di lorong itu. Sepi. Ratna memanggul tasnya.

"Maaf aku harus meninggalkanmu sendiri. Kita ketemu di webcam tengah malam nanti."

Ratna melambaikan tangannya. Nelson membalasnya. Dia terdiam dalam kesendirian. Melamun. Ia langsung menepuk dahinya. Dasar konyol, kenapa aku harus melamun seperti ini? Tanya Nelson dalam hati. Ia penasaran apa yang terjadi dengan Hamdi. Ia membuka pintu ruang interogasi dengan pelan.

"Hamdi, aku..."

Nelson terdiam. Ia tidak mau berbicara lagi sekarang. Ia hanya mendapati Hamdi, yang tertidur lelap di lantai ruangan yang dingin. Nelson tersenyum kecil melihat tingkah kawannya. Ia meninggalkan ruangan, lalu mengambilkan selimut dan bantal dari ruang forensik untuk Hamdi. Ia menyelimuti Hamdi dengan pelan.

"Selamat malam, kawan."

Nelson melangkah menuju meja interogasi. Ia duduk dan mengeluarkan Diet Coke-nya. Ia menatap sebentar ke jendela yang berpemandangan malam Washington yang bertaburan cahaya. Ia tersenyum kecil sambil bersulang.

"Untuk Washington, FBI, Hamdi, dan alien-aliennya."

Nelson menghabiskan tetesan terakhir Diet Coke-nya sambil membaca buku. Menghabiskan malam Minggunya di ruang interogasi.

***

To Be Continued...

By the way, thanks for all vomments, everybody! Maaf jika ada kesamaan dan Hamdi tidak terlalu memiliki banyak peran dalam chapter ini. Tapi aku janji, chapter selanjutnya dia akan kembali :)

Special thanks for: Shelma, Adella, and @littlerose_ yang sudah membantuku mengenal lebih jauh soal Uncle Rick dan Nash. Sekali lagi, thanks :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro