Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2: Hamdi?

Gelap.

Seberkas cahaya yang menyilaukan menyinari mata Hamdi. Hamdi langsung terbangun. Dia masih di pesawatnya, Spaceship One. Ia langsung mengucek matanya dan merapikan rambutnya. Wajahnya hitam legam, seperti barusan menjadi korban ledakan bom atom. Ia terkena debu dan abu dari luar. Mimpikah aku? Barusan saja pesawat ini seperti jatuh dari langit, pikir Hamdi dalam hati. Sepertinya, Linda Paka dan Lina Pene bisa menjelaskan apa yang terjadi.

Hamdi membalikkan badannya dan berdiri. Tidak ada mereka di sana. Hamdi mendecak, ah, kemana lagi mereka? Ia kembali ke meja kendalinya, dan menatap apa yang ada di depannya. Dinding. Ya, hanya dinding.

“Berarti, aku di sudah bumi. Lalu dimana aku?” Tanya Hamdi pada dirinya sendiri.

Hamdi membuka pintu pesawatnya yang mengeluarkan asap bercampur kabut. Ia melihat pesawatnya dari luar. Benar-benar kacau. Pesawatnya telah tertabrak sebuah dinding bangunan. Dan mesin pesawatnya mengeluarkan asap hitam pekat. Satu pertanyaan aneh yang harus dilontarkan: Mengapa orang-orang di sini tidak sadar bahwa ada pesawat antargalaksi yang sudah menghancurkan sebuah sisi dinding gedung?

Hamdi menatap ke atas. Gedung dan apartemen menjulang tinggi. Langit biru terang. Layar-layar televisi dan poster bertebaran dimana-mana. Taksi dan bus berlalu-lalang dan silih berganti melintasi jalan raya. Ia menatap sekeliling, lalu menengok jamnya.

Pukul 08.13 pagi. Berarti, sudah semalaman ia sampai di bumi. Hamdi sadar, ia ada di tengah kesibukan kota New York, Times Square. Hamdi mengambil ransel dan topi kaptennya, lalu berjalan keluar sambil berusaha mencari taksi. Meninggalkan pesawatnya yang rusak berat.

“Houston 2 jam dari sini. Pertama aku harus ke New York Penn Station, mengambil kereta ke Houston, dan menceritakan apa barusan terjadi kepada NASA.” Hamdi membeberkan rencana pada dirinya sendiri. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Hamdi berbalik dengan cepat.

“Hamdi? Are you Ikhlasul Hamdi? Do you still remember us?” Seorang perempuan dengan rambutnya yang diikat belakang menanyainya. Hamdi mengerutkan dahinya. Ia yakin pernah melihat perempuan itu. Sepertinya ia berasal dari masa lalunya.  Tiba-tiba ia tersadar sesuatu.

“Nindi? Kau pasti Nindi, kan? Yang sering memotret teman-teman denganku?”

“Nah, gitu dong! Kok baru ingat sekarang sih!”

Hamdi dan Nindi saling bersalaman. Nindi langsung memukul lengan Hamdi, kebiasaan yang selalu dilakukannya ketika masih SMP. Hamdi tertawa. Ia gembira bisa bertemu kawan lamanya. Yang juga menjadi partner fotografernya ketika SMP. Disamping Nindi, seorang perempuan yang lebih tinggi menatapnya tajam.

“Kau pasti melupakanku, kan?” Tanya perempuan itu.

“Ya iyalah nggak! Pasti kamu Veronica, kan?”

Perempuan itu bukan tersenyum. Justru wajahnya lebih mengerut lagi. Nindi menahan tawanya. Ia sengaja tidak memberitahu siapa perempuan itu pada Hamdi.

“Arrrghhh!” Perempuan itu menepuk dahinya dengan keras.

“Oh ya, pasti kamu Ratna, kan?”

Perubahan 360 derajat. Perempuan itu langsung tertawa dan memukul lengan Hamdi. Ya, dia memang Ratna.

Hamdi melihat tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi pada teman-temannya. Nindi, yang dulu sering disebut Lina dan Hamdi “Seseorang yang hidup terlalu formal”, kini menjadi seorang wartawan. Ia memakai jas coklat, dengan dasi bergaris hitam dan name tag wartawannya di FOX News. Juga dengan topi National Geographic-nya yang menutupi rambutnya dan kamera yang menggantung di lehernya.

Ratna, masih dengan rambut berponinya yang tergerai dengan rapi. Sama-sama memakai jas yang sama dengan Nindi, sambil memanggul tas ranselnya. Juga dengan buku sketsa dan pensil di telinganya. Di name tag-nya, tercatat “Head Illustrator in Marvel Comics Co.”, menandakan Ratna adalah seorang ilustrator komik.

Hamdi meminta maaf padanya, karena salah memanggilnya Veronica, si wakil ketua kelas di SMP. Nindi menyodorkan kopi pada Hamdi, sambil berbagi cerita dengannya.

“Jadi, kerja dimana kamu sekarang?” Tanya Hamdi setelah menceritakan pekerjaannya di NASA. Nindi dan Ratna saling melirik dengan misterius sampil terkekeh. Lalu mereka menunjukkan lencana mereka yang mengkilap. Hamdi menelitinya dengan baik. Federal Bureau Agent. FBI. Astaga.

“Kalian kerja di sana? Unbelieveable!

“Paruh waktu.” Tambah Ratna dengan tersenyum sambil menyeruput tehnya.

“Ada kabar dari yang lainnya? Feni barangkali.” Tanya Hamdi.

“Aha! Kenapa kau tanya dia duluan? Sudah kuduga.” Nindi langsung tertawa kecil sambil menatapnya dengan tajam.

“Tapi, nggak ada salahnya kan aku tanya dia duluan?!”

Ratna pun menceritakan semuanya. Feni, yang sebelumnya selalu menjambak rambut Tarna, saingannya, kini menjadi seorang ilmuwan nuklir dan radioaktif di Rusia. Pernah suatu hari dia mengundang Ratna dan Nindi pergi ke Moscow. Dan mereka memenuhinya. Itu adalah salah satu liburan yang menyenangkan.

“Ah ya, ini dia! Aku baru ingat aku mempunyai fotonya!”

Nindi menunjukkan sebuah foto di ponselnya. Hamdi memandang foto itu. Di sana, Feni, Nindi, dan Ratna berfoto di depan gedung Kremlin, Moscow. Mereka memakai mantel yang benar-benar tebal dan topi musim dingin yang menutupi telinga mereka.

“Ha, dia terlihat keren disitu!” Siul Hamdi. Nindi langsung mematikan ponselnya dan menarik dasi Hamdi.

What are you talking about, Ikhlasul Hamdi? Huh?” Nindi menatap matanya dengan tajam dan nada suara yang berat. Hamdi hanya tertawa kecil dengan nada yang tidak enak didengar. Sebulir keringat dingin mengalir di dahinya.

“Maksudku, keren karena pekerjaannya! Bukan penampilan!”

“Tenang, aku cuma bercanda.”

Nindi melepaskan pegangannya dari dasi Hamdi sambil tersenyum. Itu memang joke lamanya. Hamdi cepat-cepat merapikan dasinya.

Ratna dan Nindi pun bergiliran mengisahkan tentang apa yang terjadi dengan teman-temannya. Fikri dan Fiona, dua orang yang paling alim di kelas, kini menjadi seorang ahli agama terkenal. Tetapi, di dua universitas yang berbeda. Fikri di Harvard, dan Fiona di Oxford. Meskipun seperti itu, mereka berdua masih sering berhubungan melalui telepon dan email.

Fauzi, orang yang jaketnya dicuci setahun sekali, kini menjadi aktor terkenal di Hollywood. Tarna, teman dekat Fauzi, menjadi seorang pelatih klub sepakbola di Australia. Lina dan Linda, duo usil di kelas yang sering pergi bersama, kini mempunyai perusahaan mebel yang besar. Amelia, kini menjadi desainer baju terkenal di Paris.

Novia, teman dekat Ratna, menjadi ahli dokter anak di Jepang. Ardi, yang terkadang menjadi pengganti Nindi menjadi reporter di kelas, kini benar-benar menjadi repoter di BBC cabang Inggris. Ada masih banyak lagi orang-orang yang diceritakan oleh mereka berdua. Hamdi menggaruk kepalanya.

“Tunggu dulu, sepertinya kalian melupakan seseorang.” Kemudian Hamdi memandang kedua temannya yang tersenyum kecil. Hamdi berusaha mengingat orang terakhir. Siapa, siapa, siapa? Hamdi berpikir dengan keras. Tiba-tiba, sebuah lampu menyala di dalam otaknya.

“Ah ya! Nelson! Nelson Jonathan, kawan kita itu. Yang biasanya jadi kameramen ketika kita pura-pura mempunyai acara televisi itu. Dimana dia sekarang?”

“Dimana? Dimana katamu?” Ratna mengangkat alisnya.

“Ya iyalah! Kan aku bilang seperti itu tadi!”

“Kau tidak sadar? Bahkan dia ada di belakangmu sekarang!”

Tawa Nindi pecah seketika. Begitu pula dengan Ratna. Hamdi mengerutkan dahinya. Apa maksudnya? Tidak ada yang lucu, kok, Pikir Hamdi. Tapi ia juga penasaran apa yang ada di belakangnya. Ia pun membalikkan badannya, dan mendongak ke atas.

“Astaga!”

Hamdi berkali-kali mengumpat. Ia tidak habis pikir apa yang barusan dilihatnya. Kau tahu apa yang barusan dilihatnya? Sebuah papan iklan. Ya, itu saja. Tapi papan iklan itu memuat iklan yang mengejutkan: Late Night Show with Nelson Jonathan. Weeknights 8 p.m. On NBC Tonight. Dengan foto Nelson yang sedang tertawa ketika ia melipat tangannya sambil bersender di sebuah dinding. Itu saja.

Tak bisa dipercaya, Nelson yang dulu berlagak menjadi seorang detektif, paling anti dengan namannya sorotan kamera, kini menjadi seorang komedian dan pembawa acara televisi terkenal. Temannya yang berada di jajaran pembawa acara terkenal di dunia, membuat Hamdi kaget bukan main dan juga bangga akan temannya itu.

“Apa-apaan ini! Don’t you know about it? Is it real?” Hamdi berulang kali menanyakan itu pada kedua temannya.

Yep, that’s real. Don’t you believe it?” Kata Ratna sambil menyeruput tehnya.

“Dan jujur saja, aku bangga punya teman yang berpekerjaan seperti itu. Yah, kau tahu. Seperti Jimmy Fallon, Seth Meyers, Conan O’ Brien, Jay Leno, Stephen Colbert, Rachel Maddow, Ellen DeGeneres, Oprah Winfrey, Jon Stewart, dan...” Nindi menjelaskan panjang soal para pembawa acara terkenal di dunia. Ratna membekap mulutnya.

“Kau harus tahu, kau kembali seperti dulu.”

“Tapi aku kan, cuma mau bilang, kita harus berbangga hati punya teman seperti itu. Apalagi, pembawa acara Late Night Show, acara terkenal itu. Kau tahu, sebelum Nelson menjadi pembawa acara disitu, pembawa acaranya adalah...”

Ratna kembali membekap mulut Nindi. Ratna sudah tahu Nindi bercerita tentang itu lagi. Sejak SMP, ia selalu mendengarkan Nindi bercerita tentang para wartawan dan pembawa acara terkenal di dunia. Dan sekali lagi, ia melanjutkan cerita itu.

“Kau tahu, aku harus bertemu dengannya sekarang!” Kata Hamdi dengan girang.

Nindi dan Ratna berpandangan dengan sejenak. Seperti tahu pikiran orang lain tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Lalu mereka memandang Hamdi sambil tersenyum. Nindi tertawa kecil.

“Kau tahu, bahkan dia sudah dibelakangmu sekarang.” Kata Nindi.

Hamdi ingin membantah, namun ia segera berbalik. Kali ini ia mendapati sahabat lamanya. Dan dia bukan papan iklan. Tapi manusia!

Hey, guys! Did you miss my show last night?” Tanya orang itu yang sudah pasti adalah Nelson Jonathan, kawan lama Hamdi dan seorang pembawa acara.

Oho, absolutely not! We watch you, and you’re invite some great guests last night! Especially, Imagine Dragon and Andy Samberg!” Ratna menjawab pertanyaan Nelson sambil menunjuknya. Sementara Hamdi masih terus melongo.

“Dan pasti kau Hamdi, kan?” Tanya Nelson. Hamdi hanya mengangguk sambil terus melongo. Mereka pun saling tertawa dan bersalaman. Ya, dulu mereka adalah sahabat. Mungkin sampai sekarang pun masih.

Nelson, sama seperti yang lainnya, tidak mengalami banyak perubahan. Badannya tinggi, dengan rambutnya yang dipotong pendek dan rapi. Wajahnya bersih dan selalu berseri-seri. Hanya jas, dasi hitam, juga sepatunya yang mengkilaplah yang membuatnya menjadi lebih terlihat seperti “pembawa acara dan komedian” terkenal.

“Kau tahu, aku benar-benar tidak menyangka kau menjadi seorang pembawa acara!” Kata Hamdi sambil menepuk punggung temannya.

“Dan aku juga tak menyangka, temanku yang dulu suka pura-pura linglung dan biasanya menggaruk kepalanya ketika bingung menjawab soal matematika, kini menjadi seorang kapten pesawat antargalaksi!” Balas Nelson sambil tertawa.

“Kau tahu, sampai sekarang pun, aku masih seperti itu.” Hamdi tertawa kecil dengan malu sambil kembali menggaruk kepalanya.

Mereka berempat saling bercengkrama di tengah keramaian kota New York. Ketika Nelson dan Hamdi saling sibuk bercerita, Nindi melihat sesuatu yang aneh. Tepat di dekat sebuah dinding gedung yang hancur. Sebuah pesawat antariksa yang seukuran dengan tiga gerobak penjual hot dog.

“Rat..” Nindi menepuk pundak Ratna yang sedang menggambar sketsa Hamdi dan Nelson.

Ratna berbalik. Lalu Nindi menunjuk pesawat antargalaksi Hamdi. Ratna mengerti apa maksudnya. Keduanya pun berjalan dengan hati-hati, memasuki pesawat tersebut. Gelap. Ratna menyalakan senternya. Mereka mulai menyelidiki pesawat itu.

Nindi menginjak sesuatu yang berlendir di bawah. Ia pun menunduk sambil memakai sarung tangannya. Disentuhnya lendir itu. Hijau. Tidak berbau. Inguskah ini? Pikir Nindi. Tapi itu nggak masuk akal.

“Rat, coba lihat ini.” Panggil Nindi. Ratna segera menghampirinya. Nindi menunjukkan cairan itu.

“Ewww..” Ratna langsung menutup hidungnya dengan tatapan jijik.

“Tenang. Ini nggak bau kok. Kau mau memasukkannya ke dalam tabung?”

“Nggak! Nggak! Tanganku harus tetap steril! Kuulangi, tetap steril!”

Ratna mengangkat tangannya seraya melangkah mundur menjauhi Nindi. Nindi langsung menepuk dahinya. Dasar, pikir Nindi. Ia sudah tahu Ratna tidak akan mau melakukan pekerjaan itu. Itu sudah kebiasaannya sejak SMP. Kalau ada temannya yang memegang jaket Fauzi atau menyentuh pasir, ia pasti akan berteriak, “Cuci tanganmu! Pakai sabun! Jangan lupa pakai hand-sanitizer! Keep away from me!

Nindi tertawa sendiri mengenang kisah-kisah SMP-nya. Namun ia teringat masih ada pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia mengambil tabung bukti FBI-nya dari dalam tas, lalu menuangkan cairan itu ke dalam tabung. Ia akan mengusut cairan tersebut di laboratorium forensik FBI.

“Nin, coba lihat ini!” Panggil Ratna. Nindi pun segera menyusulnya ke meja kendali.

“Apa?” Tanya Nindi. Ratna menunjukkan sebuah peta. Nindi langsung menyambar dan membacanya. Tapi, itu bukan alfabet. Juga bukan tulisan Cina, Arab, ataupun Yunani. Itu bukan bahasa apapun. Malah lebih terlihat seperti bahasa alien. Ratna berbalik. Lalu Nindi menunjuk pesawat antargalaksi Hamdi. Ratna mengerti apa maksudnya. Keduanya pun berjalan dengan hati-hati, memasuki pesawat tersebut. Gelap. Ratna menyalakan senternya. Mereka mulai menyelidiki pesawat itu.

Nindi menginjak sesuatu yang berlendir di bawah. Ia pun menunduk sambil memakai sarung tangannya. Disentuhnya lendir itu. Hijau. Tidak berbau. Inguskah ini? Pikir Nindi. Tapi itu nggak masuk akal.

"Rat, coba lihat ini." Panggil Nindi. Ratna segera menghampirinya. Nindi menunjukkan cairan itu.

"Ewww.." Ratna langsung menutup hidungnya dengan tatapan jijik.

"Tenang. Ini nggak bau kok. Kau mau memasukkannya ke dalam tabung?"

"Nggak! Nggak! Tanganku harus tetap steril! Kuulangi, tetap steril!"

Ratna mengangkat tangannya seraya melangkah mundur menjauhi Nindi. Nindi langsung menepuk dahinya. Dasar, pikir Nindi. Ia sudah tahu Ratna tidak akan mau melakukan pekerjaan itu. Itu sudah kebiasaannya sejak SMP. Kalau ada temannya yang memegang jaket Fauzi atau menyentuh pasir, ia pasti akan berteriak, "Cuci tanganmu! Pakai sabun! Jangan lupa pakai hand-sanitizer! Keep away from me!"

Nindi tertawa sendiri mengenang kisah-kisah SMP-nya. Namun ia teringat masih ada pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia mengambil tabung bukti FBI-nya dari dalam tas, lalu menuangkan cairan itu ke dalam tabung. Ia akan mengusut cairan tersebut di laboratorium forensik FBI.

"Nin, coba lihat ini!" Panggil Ratna. Nindi pun segera menyusulnya ke meja kendali.

"Apa?" Tanya Nindi. Ratna menunjukkan sebuah peta. Nindi langsung menyambar dan membacanya. Tapi, itu bukan alfabet. Juga bukan tulisan Cina, Arab, ataupun Yunani. Itu bukan bahasa apapun. Malah lebih terlihat seperti bahasa alien.

Nindi berpikir dengan keras. Sepertinya ada sesuatu yang aneh. Ia pun langsung sadar akan sesuatu. Lalu membisikkan apa yang terjadi pada Ratna. Ratna pun terkejut. Mereka pun keluar dari pesawat itu. Mereka masih melihat Nelson dan Hamdi saling bercanda.

"Hamdi..." Ratna menepuk pundak Hamdi.

"Ya?" Hamdi berbalik.

"Apa kau berhubungan dengan semua itu?" Ratna melipat tangannya sambil menunjuk ke arah Spaceship One. Hamdi menarik kerah bajunya dengan wajah pucat pasi. Ia tertawa pendek dengan perasaan tidak enak.

"Eh.. Biar kujelaskan, sebenarnya..."

Nindi langsung mendorong Hamdi ke dinding gedung. Hamdi mengerang dengan pelan. Punggungnya terasa sakit karena dibanting Nindi. Nindi menarik dasi Hamdi dengan keras. Raut mukanya serius. Hamdi tertawa dengan terpaksa dan terbata-bata.

"Kau bercanda, kan?" Tanyanya dengan lirih.

"No, Hamdi. I'm serious." Jawab Nindi dengan suara berat. Kali ini, ia tidak bercanda. Hamdi langsung meneguk air liurnya dengan keras.

Sementara itu, Nelson hanya melihat kejadian itu dengan wajah pucat pasi. Ia merasa sedikit tidak percaya, karena temannya telah dibanting oleh temannya sendiri. Ia ingin pergi dari tempat itu. Dengan pelan, Nelson mengendap-endap meninggalkan tempat itu. Ajaibnya, Nindi mengetahui Nelson pergi, meskipun ia tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Hamdi.

"Diam di tempat, Nelson. Kau tidak boleh pergi." Ucap Nindi dengan dingin.

"Tapi, kau tahu sendiri kan pekerjaanku! Sehabis ini, aku ada a..."

"Jangan bohong. Hari ini Sabtu. Kau tidak tampil hari ini."

"Tapi..."

"Nelson Jonathan, kau harus tetap di tempat. Ini perintah FBI. Kau tidak diperbolehkan pergi setelah kami mengizinkanmu pergi."

Nelson menepuk dahinya. Sudah kuduga aku akan mengalami hal aneh hari ini, pikir Nelson dalam hati. Lagipula, tidak apa-apa juga ia tidak boleh pergi. Mungkin ia akan mendapat ide joke baru yang akan didapatkannya dari pengalaman itu untuk ditampilkan di acaranya. Sementara itu, Ratna menghampiri Hamdi dan mengulangi pertanyaannya yang sebelumnya.

"Hamdi, apakah kau ada hubungannya dengan hal itu? Kalau kau tidak..."

Belum selesai menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Ratna melihat pintu pesawat terbuka dengan sendirinya. Mengeluarkan asap yang dingin dan tak berbau. Seperti kabut. Nindi melepaskan pegangannya pada Hamdi. Ia dan Ratna mengeluarkan pistol dari jas mereka masing-masing. Bersiap-siap menembak sesuatu yang mencurigakan.

Plak, plak, plak! Suara langkah terdengar keluar dari pesawat itu. Sosok itu tidak terlihat. Hanya seperti dua orang manusia saja. Ratna dan Nindi menurunkan senjata mereka dan mulai mendekati pesawat itu.

Tiba-tiba, bbuuk! Dua makhluk aneh yang badan dan kepalanya manusia sedangkan kakinya adalah berlendir, terjun dari pintu pesawat itu. Ratna hanya terkesiap. Nindi membelalakkan matanya. Dengan cepat, mereka menyergap kedua alien itu.

"FBI! You're under arrest!" Teriak Ratna dengan keras. Ia dan Nindi sudah lupa, bahwa Hamdi sudah tidak dijaga siapapun. Kedua alien itu tampak ketakutan.

"Puluu..." Lina Pene gemetar. Linda Paka berusaha melindungi Lina Pene dengan berani.

"Dengarkan kami!" Linda Paka berusaha berbicara dengan Nindi menggunakan bahasa manusia, Justru karena itu, Nindi menegang.

"Kau punya hak untuk diam, makhluk berlendir!" Bentak Nindi dengan keras.

Hamdi langsung berlari dengan cepat, melindungi kedua alien itu dari arahan pistol kedua temannya itu. Ratna menurunkan pistolnya. Dari jauh, Nelson memperhatikan kejadian itu. Ia mau membantu Hamdi, tapi ia takut ikut campur dalam kasus itu.

"Kau berpihak di mana, di? Pada temanmu, atau alien itu?" Tanya Ratna dengan pelan.

Hamdi melirik pada kedua teman aliennya. Lalu ia melirik juga pada teman-teman SMP-nya. Ia tidak tahu harus berpihak pada yang mana. Ia menyayangi mereka semua. Tiba-tiba, kedua alien itu berteriak dan lari. Nindi langsung menerjang Hamdi hingga jatuh.

"Nin, apa yang kau lakukan?" Hamdi mengerang.

"Kau harus ikut, Hamdi. Kau ditahan, atas kasus perencanaan invasi alien ke bumi dan perusakan fasilitas umum. Aku terpaksa melakukan ini, di." Nindi merasa bersalah. Tapi nada bicaranya terdengar seperti geram akan Hamdi. Nindi langsung memborgol Hamdi dan berjalan menuju Nelson dan Ratna.

"Rat, kau dapat dua alien itu?" Tanya Nindi pada Ratna.

"Dapat, sudah kutahan di mobil Nelson."

"Aku akan mengantarkan Hamdi ke markas FBI. Pesawat itu akan diangkut FBI nanti. Kau, antarkan alien itu ke Area 51. Kau sudah tahu, kan?"

"Oke. Aku sudah tahu itu. Tapi, siapa yang harus menemaniku mengantarkan dua alien itu ke sana?" Tanya Ratna. Nindi hanya tersenyum lebar sambil melirik Nelson. Nelson yang sedang meminum Diet Coke-nya, hanya membalas tatapan itu dengan tertawa.

"What?" Tanya Nelson sambil berhenti minum Diet Coke-nya. Nindi mengalihkan pandangannya ke Ratna sambil mengangkat setengah alisnya. Ratna paham apa maksudnya. Ia membalasnya dengan tawanya.

"Kau sudah tahu, kan? Kita bertemu di markas."

Nindi menyalami Nelson, yang setengah kebingungan, juga Ratna yang terlihat sangat percaya diri. Nelson dan Ratna pun masuk ke dalam mobil. Mengangkut Linda Paka dan Lina Pene di belakang yang berteriak ketakutan. Hamdi melihat mereka dengan sedih. Mobil itu mulai membelah jalanan New York yang padat.

"Ayo, kita pergi ke markas FBI sekarang." Nindi memecahkan lamunannya.

"Tapi naik apa? Taksi?" Tanya Hamdi kebingungan.

"Nggak. Jalan."

"Jalan?"

"Ya, 226 kilometer dari sini."

"What? Are you insane?! You just make a joke! "

"No, Hamdi. I'm serious. This is not a joke."

Hamdi berteriak. Dan teriakannya semakin tak terdengar ketika ia mulai menjauhi Times Square bersama Nindi. Puing pesawatnya masih tergeletak di tengah Times Square. Satu pertanyaan yang masih belum dijawab orang lain: Apakah semua orang tidak sadar kalau baru saja ada alien di sini?

***

***

To Be Continued...

Btw, thanks ya bagi yang sudah menbaca cerita ini dan memvote sampai sini. Maklumi kalau cerita ini mempunyai kesamaan dengan hal tertentu :p

Ditunggu vommentsnya, ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro