Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14: One Day in Grand Central

Hamdi membuka matanya dengan perlahan. Di matanya, ia melihat pendar cahaya putih yang melewati matanya, memaksanya untuk terbangun dari tidurnya yang lelah. Sambil mengucek matanya, ia melihat ke sekelilingnya. Dan tersadar akan keanehan yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak dimana-mana. Bukan di Times Square atau bagian manapun dari kota New York. Ia kembali ke suatu ruang hampa yang pernah ia alami. Entahlah, itu hanya dugaannya.

Hamdi kembali melihat sekeliling. Ruang itu berwarna putih, dan nampak seperti stasiun Grand Central. Namun jauh lebih sepi dan tenang. Tanpa kereta, tanpa iklan, dan tanpa keramaian. Semilir angin berembus dengan aroma yang menenangkan. Anehnya, tak ada kereta disana. Hanya ada beberapa rel dan kursi taman. Ada satu pertanyaan yang ingin ia utarakan sekarang:

Apakah dia ada di surga sekarang?

Kalau jawabannya ya, baguslah, batin Hamdi sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar. Ini adalah tempat yang persis ia ingin. Sebuah tempat yang sepi dan tenang. Tempat ia bisa beristirahat, entah sambil membaca buku, menikmati hasil usaha perjuangannya setelah perang di New York.

Namun, sesuatu terasa janggal di benak Hamdi. Pikirannya terus melayang pada teman-temannya saat masih hidup. Ia memikirkan nasib Linda Paka dan adiknya, yang mungkin sedang menangis tersedu sekarang. Ia memikirkan Nelson dan yang lainnya, yang terluka berat ataupun syok akan kematiannya. Ia memikirkan nasib kota New York yang berada di ujung tanduk. Dan ia memikirkan Fikri Hulu, cemas jika ia masih hidup.

Intinya, ini bukan saat yang tepat untuk mati. Ada banyak masalah yang Hamdi tinggalkan dan masih belum di selesaikan. Semua orang membutuhkannya sekarang. Dan Hamdi mati seolah-olah kabur dari masalahnya seperti seorang pengecut. Itu benar-benar tidak adil. Ia ingin bisa kembali hidup sekarang, namun itu tak mungkin. Itu adalah paradoks. Itu merupakan suatu hal yang tidak dapat dipikirkan dengan akal sehat. Ia tak bisa memungkirinya lagi.

Dengan pikiran yang berkecamuk, Hamdi mengambil sebuah tempat duduk. Ditangannya, tiba-tiba ia menggenggam sebuah pedang. Entah pedang apa itu, dan kelihatannya seperti tanda kehormatan. Tapi, pedang itu terasa familiar di tangannya, dengan gagang berwarna hijau dan batu rubinya. Ia teringat sesuatu, bahwa pedang itu sebenarnya pedang yang digunakan Fikri Hulu untuk percobaan pembunuhannya. Aneh.

Sekejap, seorang wanita duduk beberapa senti disamping Hamdi. Hamdi terkejut akan keberadaan wanita yang misterius itu. Wanita itu memakai jas putih yang senada dengan celana panjangnya. Rambut coklatnya tergerai di punggung. Ia terlihat sangat tenang dan menerawang ke arah rel. Ia memandang ke arah Hamdi dengan tatapan mata biru tuanya yang indah, namun juga menusuk.

Karena keterkejutannya itu, Hamdi meloncat dari kursinya. Pedangnya menghilang dari tangan. Ia mengambil pistolnya dari jasnya (yang ia baru sadari bahwa ia telah memakai setelan jas abu-abu, bukan seragam NASA-nya) dan mengarahkannya ke arah tubuh wanita itu. Tangannya sedikit bergetar, menunjukkan ketakutan.

Who are you?” tanya Hamdi.

Wanita itu berdiri mendekati Hamdi. Hamdi berjalan mundur dengan perlahan. Namun perempuan itu memegang pistolnya, dan menurunkannya dari pandangan. “Tenanglah, aku tidak akan menganggumu. Mari kita duduk, akan kujelaskan semua yang kau ingin tanyakan.” katanya.

Hamdi, masih dengan setengah tidak percaya, memasukkan pistolnya kembali ke dalam saku jas. Ia melangkahkan kakinya dan mulai duduk di kursi taman yang tersedia. Begitu pula dengan wanita tersebut. Hanya saja, mereka berdua duduk agak berjauhan. Hamdi di sudut terkanan dan wanita itu di sudut sebaliknya.

Keheningan mulai terasa. Saat-saat itu terasa tak mengenakkan. Jadi Hamdi berinisiatif untuk memulai pembicaraan. Ia mendeham. “Jadi, siapa sebenarnya anda?” tanyanya.

Wanita itu menoleh ke arah Hamdi dan tersenyum tipis, “Menurutmu?”

Hamdi menatap lekat-lekat wanita itu. Sekejap, ia teringat akan sesuatu. Sesuatu yang benar-benar tak disangka. “Kau mengenal... Linda Paka?” tanyanya, seakan-akan memastikan sesuatu. Wanita itu hanya diam dan mengendikkan kepalanya. Hamdi memegangi dahinya, lalu mengutarakan pertanyaan selanjutnya,

“Apakah kau ibu dari Linda Paka dan Lina Pene?”

Wanita itu, yang sebelumnya menatap menerawang ke arah rel kereta, tiba-tiba sedikit tersentak. Ia memandang Hamdi dalam keterkejutannya, dan Hamdi bisa memahami itu, karena ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Wanita itu tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya. Ia mencondongkan dirinya pada Hamdi dengan perlahan.

“Kau cukup pintar rupanya. Darimana kau mengetahuinya?”

Hamdi mengedikkan kepalanya. Ia bisa mengetahui itu dari sorot mata birunya yang jenaka dan misterius, seperti Lina Pene. Lalu dari rambut hitam kecoklatannya seperti kedua kakak beradik itu. Juga, sifatnya yang tidak bisa diduga, mengingatkannya akan Linda Paka. Padahal ia hanya menebak, dan jackpot, kau bisa menebak itu, jenius! Batin Hamdi di dalam hatinya. Sementara itu, wanita yang berumur sekitar 30 tahunan itu mengulurkan tangannya sembari menyilangkan kakinya. Ia mengatupkan bibirnya dan tersenyum tipis.

“Rachel Brookman, SHIELD.”

Hamdi membulatkan bola matanya. Tunggu dulu, apa yang baru saja ia katakan? SHIELD? Teriak Hamdi di dalam pikirannya. Seharusnya, Phil mengetahui itu, karena ia adalah direktur SHIELD. Dan harusnya, Phil sudah mengenal Linda Paka dan Lina Pene sebelumnya, karena itu adalah anak dari salah satu agennya. Hamdi mengedipkan matanya dan bergeser sedikit, menjauhi Rachel.

Whoa, whoa, whoa! Wait a second, I still- not understand what is going in here.” kata Hamdi sambil menggelengkan kepalanya dan mengerutkan dahinya. Rachel tertawa lepas.

“Kau lucu sekali. Aku akan terus disini, dan aku akan menjawab seluruh pertanyaanmu. Tanyakan saja padaku.”

Hamdi menatap Rachel dengan sangsi. Ia memang sedikit tidak percaya. Namun itulah satu-satunya kesempatannya untuk mengetahui seluruh hal yang disembunyikan Linda Paka. Meskipun, ia masih belum mengerti ada dimana dia. Ia melihat sekelilingnya yang putih bersih, dan mulai berdiri. Ia memasukkan tangannya ke saku jas.

“Jadi... tempat apa ini?”

Rachel ikut berdiri di samping Hamdi. Ia berjalan maju, mengenalkan tempat berlapiskan warna putih yang misterius nan aneh itu.  Ia melambaikan tangannya. “Tempat ini, adalah stasiun.”

“Oke, aku tahu ini stastiun-“

“Tapi ini bukan stasiun biasa, Ikhlasul Hamdi,” potong Rachel dengan wajah serius. “Ini adalah stasiun antara kehidupan dan kematian. Dimana tempat inilah yang akan menentukan kisah hidupmmu yang selanjutnya.”

“Jadi, ini seperti stasiun di film Harry Potter yang terakhir itu?”

“Tepat sekali.”

Rachel mengangguk dengan mantap. Hamdi ikut mengangguk, seakan-akan ia sudah mengetahui sebagian hal yang ia belum ketahui. Stasiun di antara kehidupan dan kematian, itu menjelaskan beberapa hal lain, pikirnya. Termasuk satu hal yang agak mengherankan: sepertinya ia memang belum mati.

“Tapi, apa yang kau lakukan disini?” tanya Hamdi.

Rachel menatap dingin Hamdi. Hamdi sempat sedikit gelisah, agak merasa bersalah karena mengajukan pertanyaan yang mungkin cukup sensitif itu. Namun anehnya, Rachel justru tertawa kecil. “Aku menunggu seseorang. Sekaligus memperhatikan seseorang.”

“Siapa?”

“Anakku.” Rachel memandang atap gedung. Matanya terlihat sedikit berkaca-kaca dan sedih. Hamdi menduga itu adalah Linda Paka dan Lina Pene. Dan tebakannya tepat. “Anak-anakku itu, yang kau kawal ke New York. Aku dapat melihat keberanian mereka, dan aku berhutang budi padamu.” katanya sambil tersenyum.

Hamdi mengangguk. “Terima kasih, itu sudah tugasku.” Kemudian ia mendeham. “Ehm, kenapa kau berada di sini, Nyonya Brookm-“

“Tolong, panggil aku Rachel saja,” potong Rachel sambil tersenyum tipis. “Lagipula, itu bukan nama asliku.”

“Ah, oke, aku paham,” kata Hamdi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mengapa kau berada di sini? Maksudku, di antara kematian dan kehidupan? Apakah kau... tewas?”

Rachel hanya diam. Ia tersenyum kecil memandang Hamdi. Wajahnya terlihat menggelap dan murung, seolah tidak ingin membicarakan hal tersebut. Hamdi menelan ludahnya, takut bahwa ia membicarakan topik yang salah. Namun, tebakannya salah. Ia menceritakan alasannya mengapa ia berada di sana.

“Bertahun-tahun yang lalu, aku mendapat dari SHIELD untuk mengejar seorang buronan ke Boston. Aku berhasil mendapatkannya, dan aku mengira misi tersebut telah selesai. Namun aku salah. Seseorang menyekapku dari belakang, dan mendorongku dari gedung tinggi hingga tewas. Dan ia membebaskan temannya yang kutangkap. Buronan itu kabur, dan aku mati. Sementara aku masih mempunyai dua anak yang masih kecil,”

Tanpa Rachel sadari, air mata mengalir dari pipinya. Ia sedikit terisak, kemudian melanjutkan kembali ceritanya. “Oleh karena itulah, sebelum aku tewas, aku berpesan pada ayah Linda Paka untuk membawanya ke Planet Pulu. Di saat yang tepat, aku memintanya untuk mengirim Linda Paka dan adiknya kembali ke bumi. Hingga mereka berdua bertemu denganmu.”

Hamdi dan Rachel terdiam. Ada keheningan yang tidak mengenakkan di antara mereka. Hamdi menjadi merasa bersalah. “Maafkan aku, soal aku mengungkit-ungkit masa lalumu kembali. Aku tidak bermaksud seperti itu.” katanya sambil menunduk.

“Itu tidak apa. Lagipula, tidak ada gunanya menangisi masa lalu. Yang kita lakukan sekarang adalah menghadapi masa depan yang cerah.”

“Masa depan? Bukannya kita berdua sudah mati?”

Rachel tertawa. “Ini bukan masa depan kita. Tapi masa depan mereka, teman-teman kita. Kita adalah orang yang akan mengawasi dan menjaga mereka. Nantinya, kita akan bertemu kembali dengan mereka saat mati disini.”

Hamdi mengerutkan dahinya. “Tunggu dulu. Kalau kau mati, kenapa Direktur Coulson tidak mau memberitahu kematianmu padaku?”

Rachel juga mengerutkan dahinya. “Maaf, aku tak mau membicarakan soal itu.”

“Oh, maaf.”

Rachel menatap langit biru penuh bintang yang sekejap memayungi mereka berdua. “Aku sengaja tidak membicarakan itu, Hamdi. Belum tiba saatnya kau mengetahui hal itu. Kau akan mengetahuinya suatu saat nanti.”

Hamdi diam memandang Rachel yang masih memandang langit. Rachel Brookman, batin Hamdi. Seorang agen SHIELD yang juga ibu dari Linda Paka dan Lina Pene. Memang menarik rasanya ia bisa bertemu wanita itu. Namun Hamdi tahu, ada banyak rahasia yang disembunyikan oleh Rachel. Sama seperti yang Linda Paka lakukan padanya. Hamdi berjanji, suatu saat nanti, ia akan mengetahui seluruh rahasia yang disembunyikan oleh Rachel, juga Linda Paka.

Besides, there is something I must to tell you.” kata Rachel memecah keheningan.

“Something like what?” tanya Hamdi sambil mengangkat setengah alisnya.

Rachel menoleh ke arah Hamdi dengan serius. “Kau harus pergi dari sini.”

Hamdi membeku seketika. Pergi? Pergi dari sini? batinnya di dalam hati. Itu terkesan seperti mengusir. Maksudku, aku sudah hampir sampai ke surga, hingga seorang agen misterius mendatangiku dan berkata, “Hei kau, kapten kutu buku, pergilah dari sini! Kau tak boleh masuk surga sekarang!”, apa itu tidak aneh? Namun ia tetap diam dan memandang Rachel.

“Tapi mengapa?”

“Mereka masih membutuhkanmu. Nelson bersama rekan-rekan timmu, Lina Pene, dan... Linda Paka,” terdengar sedikit jeda saat Rachel menyebut nama Linda Paka. “Linda Paka benar-benar membutuhkanmu.”

“Oke, aku tahu itu. Tapi mengapa?”

Rachel menepuk dahinya. “Astaga, kau belum mengerti maksudnya. Linda Paka menyukaimu, Hamdi! Dia. Menyukaimu.” kata Rachel, menekankan kata-kata terakhirnya.

Hamdi mengerutkan dahinya dengan polos dan lugu. Seperti ekspresi yang dikeluarkan oleh Lina Pene. “Menyukaiku? Maksudmu sebagai teman?”

Rachel mengerang. “Astaga, lupakan saja kataku tadi.” katanya, seolah-olah secara tidak langsung sedang berkata “Seseorang jatuh cinta padamu, dan kau tak sadar akan itu!”. Ia berjalan bolak-balik dengan gusar, lalu berkata, “Mereka masih membutuhkanmu. Mereka tak bisa melewati masa-masa berat seperti ini tanpamu. Dan dengan kematianmu ini, kau seolah-olah berusaha berlari menghindar dari masalahmu. Seperti seorang pengecut!”

Hamdi diam memandang Rachel yang berwajah tegang. Apa yang dikatakan oleh Rachel benar. Ia seolah-olah berusaha berlari menghindar dari masalahnya. Meninggalkan teman-temannya yang terluka, baik dalam bentuk fisik maupun batin. Ia tahu, ia sudah selangkah lagi menuju surga. Ia bisa beristirahat dengan tenang tanpa masalah. Namun ia tak bisa melakukan itu. Ia memang harus kembali hidup dan menemani teman-temannya. Sama seperti yang ia lakukan seperti dulu.

Hamdi memejamkan matanya dan berjalan mendekat Rachel. Ia mengatupkan bibirnya dan  mengangguk dengan berat. “Sepertinya kau benar, aku harus kembali sekarang.”

“Itu adalah keputusan yang benar, Hamdi. Dan ingat, aku akan terus memperhatikanmu dan menjagamu dari jauh. Meskipun, aku bukan orangtuamu secara langsung.” kata Rachel sambil tersenyum hangat dan menepuk pundak Hamdi.

“Baiklah,” Hamdi mengambil nafasnya, dan menghembuskannya dengan pelan. “Oke, aku siap sekarang. Apa yang harus kulakukan sekarang?”

“Pejamkan matamu,” kata Rachel. “Sebelum melakukan itu, aku ingin kau berpesan pada Linda Paka, bahwa aku selalu memperhatikannya. Aku akan selalu menjaganya. Dan untukmu, aku ingin agar kau selalu menjaganya.”

Secara tidak sadar, Rachel meneteskan air matanya. Hamdi setengah terkejut melihat hal itu. Dan tiba-tiba, Rachel yang lebih pendek dan tua daripadanya, memeluknya dengan erat. Seperti anaknya sendiri. Hamdi yang merasa kasihan dengan agen itu, membalasnya dan tersenyum hangat. Ia melepas pelukannya dan mengangguk. Berjanji untuk melakukan hal itu untuk seorang Rachel Brookman, agen misterius yang tidak terduga. Dan Hamdi mulai memejamkan matanya.

Hingga sebuah sengatan listrik memburamkan seluruh pandangannya.

***

He’s not dead. He is on coma.

Hamdi membuka matanya kembali dengan perlahan. Sinar putih terang menyinari matanya. Ia melihat sekeliling dengan matanya yang masih belum fokus. Tetap putih, sama seperti sebelumnya. Namun itu bukan stasiun Grand Central. Itu sebuah ruangan, dengan selimut putih yang menyelimuti sebagian badannya. Juga satu hal: seluruh teman-temannya mengelilinginya.

Ia bisa melihat ada Nelson, Fikri, Nindi, Ratna, Amelia, juga yang lainnya. Alina, Nida, dan rekan tim dadakannya juga ada di sana. Dan sudah pasti, Lina Pene dan Linda Paka. Semuanya berada di sana. Sepertinya ia menunggu kedatangannya kembali ke dunia. Wajah mereka lesu dengan kantong mata mereka. Terlihat lelah seperti tidak tidur berhari-hari. Namun, mata mereka mulai terbelalak melihat tangan Hamdi yang sedikit bergerak dan kelopak matanya yang terbuka.

“Hamdi?” tanya Nelson yang berada di sampingnya.

Hamdi memegangi kepalanya. Kepalanya mulai terasa pening. “Nelson?” tanyanya dengan lirih.

Sebagian teman-temannya menutupi mulut mereka masing-masing, terkesiap dengan tidak percaya. Sebagian lagi hampir menangis terharu dan tertawa bahagia. Mereka semua bertepuk tangan, menyambut kembali kedatangan Hamdi kembali di dunia. Itu adalah salah satu hal yang membuat Hamdi bahagia seumur hidupnya.

“Jadi, bagaimana tidurmu, Hamdi?” sapa Ratna sambil mengangkat topinya.

“Ugh, ya... begitulah. Cukup menakjubkan,” jawab Hamdi sambil setengah menguap dan mengucek matanya. Membuat Lina Pene sedikit terkikik geli. “Ngomong-ngomong, sudah berapa lama aku tertidur?”

“Seminggu.” kata Alina dengan santainya.

“Seminggu?! Oh, kalian pasti bercanda.”

“Tidak, Hamdi. Kami serius,” kata Amelia dengan wajah tegang. Namun seketika wajahnya cerah dan tersenyum hangat. “Selamat datang kembali, Hamdi.”

“Ah, ngomong-ngomong, soal kematianmu. Itu cukup mengejutkan. Selama satu menit, kami mengiramu mati. Namun ajaibnya, jantungmu berdetak kembali, dan kami agak syok dan membawamu ke rumah sakit. Hingga, kau dinyatakan koma.” kata Novia, menggaruk kepalanya dengan kebingungan.

Kemudian, teman-temannya bercerita apa yang terjadi saat Hamdi koma. Hamdi terluka parah. Badannya penuh goresan dan beberapa proyektil pesawat dan bangunan menancap di tubuhnya. Atas izin Bill, yang tertua di antara semuanya, para dokter menjalankan operasi. Hamdi koma selama seminggu. Namun semua teman-temannya terus menantinya bangun.

Selama seminggu itu, banyak orang menjenguk Hamdi. Termasuk orangtuanya, Phil, Feni, dan beberapa teman-teman Hamdi yang jauh-jauh datang hanya untuk melihat keadaannya. Selain itu, semua anggota tim juga berusaha dengan keras untuk mengembalikan keadaan New York yang hancur seperti semula.

Teman-teman Hamdi melalukan usaha mereka untuk mengembalikan New York dengan kemampuan mereka masing-masing. Nindi, Nelson, dan Jimmy menyiarkan berita dan meminta bantuan dari rekan-rekannya di seluruh dunia. Bill mengirimkan beberapa mesin bantuan. Sementara Lina, Linda, Amelia, dan yang lainnya membantu para warga. Baik dalam mengobati korban yang terluka hingga mencari para warga yang hilang. Begitu pula Phil. Ia mengirim para agennya untuk membersihkan jalanan dari mayat alien dan barang-barang antariksa.

Di saat semua teman-temannya kembali bekerja untuk membereskan kekacauan bersama seluruh warga New York yang lainnya, Linda Paka dan Lina Pene senantiasa menunggunya. Hamdi mengangguk. Ia mengerti apa yang terjadi. Ia memang mati, namun ia dihidupkan kembali dan ditidurkan dalam kondisi koma. Ia memandangi seluruh wajah teman-temannya yang kembali cerah. Penuh dengan kebahagian dan mulai bercanda satu sama lain. Kini, matanya tertuju pada Linda Paka yang duduk di sampingnya.

Wajah Linda Paka bahagia, namun juga terlihat seperti menunggu-nunggu sesuatu. Ia mengetukkan jari jemarinya ke tiang infus. “Jadi, apa yang terjadi saat kau koma?” tanya Linda Paka sambil tersenyum. Hamdi tersenyum dengan gelisah. Ia harus mengatakan hal yang sebenarnya sekarang. Ia menghembuskan nafasnya dengan berat.

“Aku bertemu ibumu. Dan ia sangat merindukanmu.”

***

Heyya all! This is Chapter 14, not epilogue :P

Seperti biasanya, aku mau berterima kasih atas dukungan kalian pada cerita ini. I really appreciate it! Jangan lupa tinggalkan vote dan comment di chapter 14 kali ini. Okay? Okay :) Kali ini, aku mendedicate chapter 14 untuk Nialldosxx, karena paling pertama menebak chapter 14. Selamat!

Question of The Day: Film nominasi Oscar 2015 apa yang kalian tahu/suka? (Aku cuma iseng nanya ini :P)

Beritahu jawabannya di comment, dan yang beruntung akan didedicate untuk chapter selanjutnya! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro