Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13: Finale

Beberapa saat kemudian di salah satu gerai Wal-Mart di New York, sebuah tim berpencar. Mereka mulai melakukan tugas mereka masing-masing untuk menyelamatkan New York dari serangan alien, Fikri Hulu. Sebagian memburu informasi akan keadaan New York terkini dan keberadaan Fikri Hulu melalui laptop mereka. Sebagian memperbaiki dan mempersiapkan senjata-senjata dan mengisi amunisi. Dari semua itu, hanya seseorang yang tak melakukan apapun.

Hamdi. Duduk termenung di sebuah kursi di depan pintu gerbang Wal-Mart. Matanya menerawang keluar. Memandangi keadaan sekelilingnya yang buruk. Seperti sedang melamun, atau merencanakan sesuatu. Di dalam pikirannya, ia memikirkan bagaimana dia dan teman-temannya masuk ke dalam pesawat antariksa milik Fikri Hulu, melewati dan menupas barisan penjaganya, dan mendapatkan kembali suatu benda yang terus diperebutkan, DZ201. Sebuah bola yang memiliki kekuatan yang sangat besar, dan dapat menghancurkan atau menyelamatkan kota New York.

Di depan Hamdi, Nindi berdiri dengan jaketnya yang setengah robek. Melirik pada Hamdi sejenak dengan wajah datarnya seperti biasa. Lalu mengalihkan pandangannya kembali ke dalam notebook-nya. Menggambar di tengah catatan-catatan rencananya, seperti biasanya. Di sampingnya, Lina Pene duduk, menepuk-nepuk tangannya dengan kegirangan. Seolah-olah ada sesuatu yang lucu baginya. Barangkali karena kucing mati yang berada di sampingnya.

Tiba-tiba, dari arah gudang, dua orang berlari ke arah Hamdi. Jimmy dan Amelia, dengan wajah tegang mereka berhenti tepat di depan Hamdi, Nindi, dan Lina Pene. Mereka berdua hampir terpeleset. Kerennya, mereka mengerem kecepatan mereka seperti sedang bermain ice skating dengan sepatu mereka yang beralas tipis. Nindi memandang mereka berdua setengah kagum.

“Oh. Cara mengerem yang bagus.” Kata Nindi seraya memperhatikan alas sepatunya sendiri.

Jimmy terlihat bangga mendengar itu dan membetulkan jas abu-abunya. “Trims. Aku sudah...”

“Diamlah, idiot,” potong Amelia dengan cepat. Jimmy langsung memelototinya dengan kesal. Namun Amelia tak memperdulikannya karena hubungan mereka berdua selalu seperti itu. Selalu dipenuhi oleh ejekan dan cercaan yang aneh. Ia memiringkan kepalanya pada Hamdi. “Hamdi, mungkin ada sesuatu yang harus kau lihat sekarang.”

Hamdi dan Nindi saling berpandangan dengan kebingungan. Jika dilihat dari raut wajah kusut Amelia saat ini, ini tidak seperti biasanya. Ada masalah. Masalah yang benar-benar serius. Hamdi, Nindi, dan Lina Pene segera beranjak dari tempat berdiri mereka. Berjalan cepat mengikuti Jimmy dan Amelia menuju ruang tengah Wal-mart yang telah disulap menjadi markas B-Team, untuk sementara.        

Tiba-tiba, mata Hamdi terkunci pada Nelson, yang kini memakai kacamata berbingkai tipis. Masih dengan jas hitamnya dan rambut hitamnya yang dipotong agak pendek. Membuatnya terlihat seperti Jason Grace di Heroes of Olympus (Itu pendapat Ratna). Ia melambaikan tangannya pada Hamdi. Wajahnya tersenyum hangat, seolah-olah ia telah lupa akan pertengkarannya dengan Hamdi.

“Hei, Hamdi. Mungkin kau harus melihat yang satu ini.” katanya.

Hamdi berjalan cepat ke arah Nelson. Di sampingnya, Alina dan Nida duduk di depan laptop mereka masing-masing. Meneliti laporan yang mereka pegang. Hamdi menunduk di tengah-tengah Alina dan Nelson.

So, what’s the problem?” tanya Hamdi. Alina mengarahkan kursor laptopnya ke arah sebuah radar.

“Kami baru saja mendapatkan sinyal radiasi yang kuat di 6th Avenue. Entahlah, aku curiga kalau itu adalah Fikri Hulu.” jawab Alina. Nida mendekatkan laptopnya ke arah ketiga temannya. “Ini adalah kondisi di Times Square setelah invasi tersebut. Baru saja terjadi. Sekitar pukul 17.15.” kata Nida. Semuanya mengerubungi Nida, membuat Nida tidak bisa melihat layar laptopnya lagi.

Hamdi meneliti semua itu. Semua orang berlari dengan ketakutan tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan. Para alien menghancurkan dan menjarah toko-toko, mengambil semua perhiasan dan barang berharga yang ada. Nash, yang sekejap berada di sebelahnya, langsung menyela Nida dan Nelson.

"Tunggu sebentar,” katanya sambil menunjuk sesuatu di layar. “Coba perbesar yang satu ini.”

Nelson mengambil alih sementara laptop milik Nida dan mulai mengetik kode-kode komputer sesuai dengan kemampuannya. Ia memperbesar bagian yang ditunjuk oleh Nash: salah satu layar raksasa di Times Square. Tepat pada saat itu juga, seluruh mata yang memandang layar laptop tersebut melotot. Semua itu karena yang berada di dalam layar itu adalah seseorang yang mereka benci: Fikri Hulu.

"Miss me?” tanya Fikri Hulu dalam suara kekanakannya yang dibuat-buat, mengutip perkataan Moriarty seperti di serial Sherlock Holmes. Ia menyeringai jahat, membuat Hamdi mengepalkan tangannya. Berusaha untuk menahan kemarahannya. Ratna memasukkan tangannya ke dalam sakunya. Tentu saja tidak, Fikri Hulu! Kau bahkan lebih buruk daripada Moriarty! Seru Ratna di dalam hatinya. Entah seperti merespon dari perkataan Ratna, Fikri Hulu tertawa kecil.

“Ya, memang! Aku memang lebih buruk daripada Moriarty! Aku tidak ingin membuang waktu kalian, saudara-saudara. Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu ‘mahakaryaku’,” Ia berjalan menuju sebuah benda yang diselubungi oleh tirai hitam. Sret! Ia menarik tirai hitam tersebut lebar-lebar, dan membuat semuanya terkesiap.

Sebuah senapan raksasa bercat hitam mengkilap berada di belakangnya sekarang. Fikri Hulu mengeluarkan bola DZ201 dari kantong celananya. Memasukkannya ke dalam sebuah tabung di dalam senapan itu dan mengetik sesuatu di bagian panelnya. Tiba-tiba, tampilah sebuah hitungan mundur di senapan itu. Waktu yang tersisa 1 jam 10 menit. Semuanya berusaha untuk menahan teriakan mereka.

"Senapan inilah yang akan menghancurkan kalian semua! Kecuali jika kalian semua tidak menaruh seluruh uang dan harta kalian di Times Square, BOOM!” katanya sambil menekankan kata “boom” dan ia berbalik ke kamera lainnya. Ia mengedipkan matanya dan mengucapkan kalimat terakhirnya, “Semoga kalian berhasil, B-Team.”

OKAY, THAT’S IT!” teriak Hamdi sambil menggebrak meja. Ia berbalik dengan cepat meninggalkan mereka. Memakai jaket perangnya dan menarik Quad Blaster-nya yang sudah diisi ulang dengan kesal. Dibelakangnya, Rick dan Lina mengikutinya.

“Hamdi, tenanglah,” Kata Rick sambil menepuk-nepuk pundaknya.

 Hamdi naik ke atas meja. “But I can’t!” katanya dengan keras. Membuat Rick sedikit tersentak dan Linda terjungkal dari kursinya. Hamdi mengencangkan jaketnya dan menghentakkan kakinya. Ia sudah benar-benar kesal akan Fikri Hulu. Karena hentakan kakinya, seluruh perhatian tertuju padanya.

“Dengar, aku punya rencana. Kita akan masuk ke dalam pesawat Fikri Hulu, menggagalkan rencananya, dan membawa bola itu dengan selamat. Sebelumnya, ada pertanyaan?” tanya Hamdi.

Novia mengangkat tangannya. “Menurutmu, apakah misi kali ini akan berakhir sama seperti sebelumnya? Gagal, dan justru menimbulkan perpecahan?” ucapan itu diikuti oleh gumaman setuju teman-temannya.

Hamdi tersenyum simpul. “Kurasa tidak. Karena itulah, aku sudah memiliki ide yang lebih baik. Jadi, aku akan membagi kalian dalam tugas yang berbeda.” Hamdi turun dari meja, mengambil kertas kartonnya yang berisi rencananya yang selanjutnya. Semuanya mengerubunginya, sementara Hamdi mulai menjelaskan dengan serius.

“Begini, Yani, Nida, Alina, Bill, tetap disini. Pantau terus pergerakan para pasukan alien, sehingga kami semua bisa mengetahui kondisi terkini. Novia, Gita, Tarna, siapkan seluruh peralatan medis. Aku yakin sekali ada yang terluka parah sehabis ini. Linda, Lina, kalian berdua akan kutempatkan di bagian atap Gedung Rochester. Bidik para alien penjaga di depan, sehingga aku bisa mengawal tim masuk ke dalam,”

“Rick, Nindi, Ratna, kalian berada di bagian belakang barisan. Halangi para alien jika akan menyerang kami. Sisanya, kalian ikut aku. Aku sudah paham jalur pesawat Fikri Hulu. Jadi, pertama kita akan menyerang bagian kokpit, lalu mencari keberadaan Fikri Hulu. Kita akan berpencar, sehingga kita akan segera menangkapnya. Paham?”

Semuanya mengangguk dengan mantap.

"Bagus. Yang terpenting sekarang hanyalah satu: Kita harus menyelamatkan New York. Hidup atau mati. Sekarang, bergeraklah. Move! Move!”

Semuanya berlari berpencar meninggalkan Hamdi. Mereka masuk ke dalam tugas mereka masing-masing. Yani, Nida, Alina, dan Bill memasang headphone mereka. Mulai memantau keadaan sekeliling. Sementara itu, Novia dan Gita saling menyiapkan perawatan medis, diikuti Tarna (yang tak mengerti apa yang harus mereka lakukan). Linda dan Lina berlari keluar, membawa panahan mereka di punggung menuju ke Gedung Rochester. Salah satu gedung di Times Square yang tepat berada di samping pesawat Fikri Hulu.

Hamdi memasang helm pelindungnya. Tangannya menggengam erat Quad Blaster. Ia melihat sisa timnya: Linda Paka, Lina Pene, Nindi, Ratna, Nelson, Fikri, Amelia, Jimmy, Nash, dan Rick. Mereka semua dengan senjata dan helm pelindung mereka masing-masing. Hamdi mengangguk, memberikan sinyal bahwa mereka siap berperang sekarang. Ia berjalan keluar, mengintip dari balik pintu masuk Wal-mart. Ia mengeluarkan walkie-talkie-nya.

“Hamdi kepada Linda dan Lina. Kalian siap?” bisik Hamdi.

Hawkeye and Falcon. We are ready.” kata Linda dengan setengah bercanda. Memberi kode bahwa ia adalah Hawkeye dan Lina adalah Falcon. Hamdi memutar bola matanya. Dalam keadaan seperti ini pun mereka masih bercanda.

Okay, copy that.”

Di atas Gedung Rochester, Linda dan Lina memakai kacamata binokular jarak jauh   mereka. Mereka memandang dengan teliti pintu masuk pesawat Fikri Hulu. Pintu itu terbuka, dengan beberapa penjaga aliennya. Linda mengambil anak panahnya, membidiknya ke arah salah satu penjaga alien. Ia tersenyum sinis dan berkata, “It’s time.”

Syutt!! Hujan panah muluncur dari Gedung Rochester dengan kecepatan tinggi. Menancap di setiap tubuh alien. Membuat mereka tumbang satu per satu, bergelimpangan di pintu masuk. Lina melihat sekeliling sambil terus membidik. Aman. Ia langsung mengambil walkie­-talkie-nya. “Kondisi aman, kalian sudah bisa masuk sekarang.” katanya pada Hamdi.

Hamdi berbalik ke anggota timnya. Ia mengendikkan kepalanya, tanda kondisi dengan aman. Dengan cepat, tim berderap maju menuju pesawat. Sesuai dengan rencana, Rick, Nindi, dan Ratna mengawal dari belakang bersama pedang dan pistol mereka. Linda dan Lina memperhatikan teman-teman mereka masuk ke dalam, lalu saling kompak atas kesuksesan mereka.

Di saat-saat kemenangan itu, tiba-tiba seseorang menyergap Linda dari belakang dengan pisaunya. Membuat Linda tersentak dan berteriak histeris. Refleks, Lina melepaskan panahnya, mengambil pistol dari kantongnya. Mengarahkannya ke arah seseorang yang berusaha mencekik temannya itu. Itu adalah salah satu alien penjaga pintu. Dengan rakusnya ia menaruh ujung pisaunya di leher Linda, mengiris kulit temannya itu dengan perlahan.

“Lina! Lakukan sesuatu!” teriak Linda sambil meronta.

Dor! Satu tembakan bersarang di kepala alien tersebut, membuat lendir hijau bersemburat dan mendorong Linda ke ujung gedung. Linda kehilangan keseimbangan. Kakinya terpeleset karena lendir, dan membuatnya jatuh dari gedung tersebut. Lina segera berlari menuju tempat Linda jatuh. Tidak, tidak! Jangan buat dia mati sekarang! Pekiknya di dalam hati.

Lina, dengan badan setengah bergetar, menengok ke bawah. Berharap ia tak akan melihat mayat temannya yang terjatuh dari gedung tinggi. Nyatanya tidak. Ia melihat Linda. Terengah-engah memegangi bagian bata di dekat salah satu jendela dengan satu tangan. Wajahnya terlihat setengah lelah, namun ia tertawa kecil.

“Aku tidak mati, kawan.”

***

Di dalam, Hamdi dan timnya berjalan menyusuri lorong. Memegang senjata mereka masing-masing sambil memandang sekeliling dengan curiga. Berusaha untuk mencari ruangan kokpit pesawat. Tiba-tiba, Ratna yang berada di bagian belakang, berbalik dengan cepat. Mendengar derapan kaki dari ujung lorong.

“Ssstt!! Kalian dengar itu?” tanya Ratna.

Semuanya menghentikan langkah masing-masing. Berusaha untuk menajamkan pendengaran mereka. Derapan-derapan kaki itu semakin lama semakin mendekat, membuat suasana semakin mencekam apabila mereka akan ditangkap oleh para alien. Yang benar saja, pasukan alien itu mengepung mereka, dari depan dan belakang.

Para alien itu membawa senapan laras panjang dan pedang mereka yang telah diasah dengan sangat tajam. Mereka mengarahkannya ke arah Hamdi dan timnya. Hamdi semakin tersudut, hingga ia memutuskan untuk melakukan sesuatu: berusaha untuk melawannya.

“Serang!”

Mendengar teriakan Hamdi, semuanya langsung beraksi. Ratna mengarahkan pedangnyake tubuh para alien, menupas mereka dengan keras. Begitu pula dengan Rick dan pedangnya. Hamdi terus menembak para alien dengan Quad Blasternya. Sementara yang lainnya terus menembak pula dengan pistol mereka.

Di bagian belakang, Nindi berusaha melawan salah satu alien dengan lightsabernya. Srakk!! Ia menusuk tubuh alien tersebut. Anehnya, tak terjadi apapun. Justru alien tersebut menyeringai. Srret! Alien tersebut menggores perut Nindi dengan pedangnya, dan menendangnya ke dekat Rick dan Ratna.

“Nindi!” teriak mereka berdua.

Tepat saat itu juga, alien tersebut mengarahkan ujung pedangnya ke kepala Rick. Dor! Sebuah tembakan mengenai kepala alien itu. Itu tembakan dari Nelson. Mereka bertiga mendekati Nindi dengan cepat. Nindi meringis berusaha untuk menahan sakitnya. Ia memegangi perutnya. Lukanya tak terlalu parah. Namun darah masih mengucur dengan perlahan. Dan ya, sudah pasti itu sangat sakit. Nelson segera berbalik ke arah Hamdi yang masih terus menembak.

“Hamdi, kurasa aku punya ide lain. Sebaiknya kau dan Linda Paka mencari Fikri Hulu sekarang. Kita hanya menghabiskan waktu sekarang.” kata Nelson.

Hamdi terdiam. Ia memandang sekelilingnya. Memang benar. Ia terlalu banyak menghabiskan waktu untuk melawan para alien itu. Bukannya untuk mencari bola itu. Hamdi mengangguk dengan mantap dan menoleh ke arah Linda Paka.

“Kita harus mencari Fikri Hulu sekarang.” kata Hamdi. Linda Paka sempat kebingungan, namun ia paham apa yang harus ia lakukan.

Di tengah tembakan-tembakan dan tebasan-tebasan pedang, Hamdi dan Linda Paka menyelinap dengan pelan bersama Quad Blaster dan riffle milik Linda Paka. Tak ada yang mengetahui kalau mereka sedang menyelinap di bawah mereka. Melewati pasukan-pasukan alien dan segera berlari menuju ruangan kokpit.

Tepat di depan ruang kokpit, Hamdi dan Linda Paka berhenti. Mereka mengarahkan senjata ke arah pintu dan saling mengangguk. Hamdi mengambil ancang-ancang, dan brakk!! Ia menendang pintu kokpit dan mengarahkan Quad Blaster ke sekelilingnya. Tak ada siapapun kecuali senapan berisi bola yang dicarinya. Aneh. Kecuali, Fikri Hulu berusaha menjebaknya.

Grep! Tiba-tiba, seseorang dari belakang berusaha mencekik Hamdi dengan lengannya yang keras. Hamdi berusaha meronta dan menendang. Namun ia tidak bisa, seakan tenaganya tersedot dan menjadi lemas. Linda Paka mengarahkan rifflenya ke belakang dan berusaha untuk menahan keterkejutannya. Karena kini, ia berhadapan dengannya, Fikri Hulu.

“Turunkan rifflemu, adikku,” kata Fikri Hulu dengan tenang. “Aku tak akan membunuhnya.”

Linda Paka tetap memegang erat rifflenya dan mengarahkannya ke Fikri Hulu dengan tegang. Ia menggelengkan kepalanya dengan perlahan.“Aku tak percaya padamu.” Katanya dengan gigi mengatup.

“Lepaskan senjatamu, atau dia yang mati.”

Fikri Hulu mengeluarkan pistol dari saku celana. Mendekatkan ujungnya ke pelipis kepala Hamdi. Hamdi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menggumamkan kata “jangan” dari mulutnya. Lebih baik ia mati daripada Fikri Hulu menghancurkan New York. Dengan tangan bergetar, Linda Paka menurunkan rifflenya dan terengah-engah.

“Anak pintar,” kata Fikri Hulu. Ia mengendorkan cekikannya pada Hamdi. “Sebelumnya, aku akan...”

Brakk! Sebelum Fikri Hulu menyelesaikan kalimatnya, Hamdi mendorongnya ke dinding dengan keras. Fikri Hulu berusaha untuk melepaskan pelatuk pistolnya ke dada Hamdi. Namun, keadaan berubah 360 derajat. Hamdi mengambil Quad Blasternya, dan dor! Sebuah tembakan dilepaskan ke arah dada Fikri Hulu. Membuatnya terhempas jauh sekali.

Fikri Hulu, dengan mulut yang meneteskan darah, terbatuk-batuk dan tubuhnya terasa baru saja disengat oleh listrik bertegangan tinggi. Dengan kesal, Hamdi menghampirinya dan mencengkram erat kerah baju Fikri Hulu. Hamdi ingin sekali membunuhnya saat itu juga. Namun panggilan dari Linda Paka menahan niat jahatnya itu. Linda Paka terlihat pucat pasi,

“Hamdi, kita tak bisa melakukan apapun lagi.” katanya.

“Oh ya? Memangnya ada apa?” tanya Hamdi tanpa melepaskan pandangannya dari Fikri Hulu.

Linda Paka meneguk ludahnya. “Senapan berbola DZ201 ini... tak bisa dihentikan. Kita tak punya cukup waktu. Apa yang harus kita lakukan sekarang.”

Hamdi terdiam. Sebulir keringat dingin mengalir dari dahinya sekarang. Matilah aku, batin Hamdi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Di tengah pikirannya yang berkecamuk itu, ia mendapat ide yang gila (lagi). Ia berbalik ke arah Linda Paka dan tersenyum usil meskipun wajahnya terlihat lelah.

“Ambil ponselku di jaket sekarang,” katanya. “Aku harus menghubungi teman lamaku.”

***

Di belahan lain dunia, seorang perempuan berambut pendek duduk di depan laptopnya. Kacamatanya yang berbingkai lebar tergantung di lehernya. Sesekali, ia melihat pemandangan di luar flatnya yang selalu bersalju. Ya, perempuan itu berada di Moscow. Dia sendirian, hanya bersama berkas-berkas proyek misilnya. Juga bosan, tak tahu apa yang harus ia lakukan di tengah kebingungannya menghadapi proyeknya itu.

Kriing!! Ponselnya yang berada tepat disampingnya berdering. Perempuan itu kebingungan melihat nama kontak peneleponnya itu. Sudah lama orang yang meneleponnya itu tak pernah bertemu dengannya. Dan ini benar-benar aneh. Dengan kebingungan, ia menekan tombol hijau di ponselnya.

Halo Fen-“

“Halo, Ikhlasul Hamdi! Apa yang kau lakukan menelponku sepagi ini, huh?!” teriak perempuan itu pada peneleponnya itu.

Tentu saja karena aku minta pertolonganmu, Feni! Alien menyerang New York! Dan kau harus menolongku dengan benda-misil-yang-aneh-dan-unik itu!” Balas penelepon itu, teman lamanya, Hamdi.

Perempuan itu, Feni, memutar bola matanya. Halusinasi lagi dia, batin Feni. Ia ingat, peneleponnya, Hamdi, adalah orang yang benar-benar “unik”. Mereka berdua memang saling bersaing dalam matematika dan fisika saat masih SMP. Namun, Feni selalu ingat kebiasaan Hamdi untuk memotret teman-temannya, lalu pura-pura menjadi seorang jedi memakai helm temannya dan tongkat serok kelasnya yang rusak. Ha-ha, idiot.

“Hamdi, kau tak halusinasi lagi, kan?” tanya Feni sambil mengangkat setengah alisnya.

Feni, aku serius. Alien menyerang New York, dan ada sebuah senapan yang dapat meledakkan kota ini. Aku butuh bantuan misilmu sekarang juga,” Ada jeda dalam ucapannya itu, seakan sedang menarik nafas. “Tolonglah.”

Feni menarik nafasnya. Sulit bagi dirinya untuk mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh temannya itu. Namun ia memperbaiki kacamatanya dan mengetik kode-kode di komputernya lagi. Terdapat jeda sekian lama, hingga Hamdi memecah keheningan.

Feni?”

“Ya, ya, aku tahu apa yang kau maksud, Hamdi,” kata Feni dengan sangat cepat sambil memutar bola matanya. “Misil 2K11 dari Moscow, Russia, telah dikirim menuju New York City, Times Square, beberapa detik lalu. Misil akan tiba dalam waktu sepuluh menit lagi di New York. So, bye, Ikhlasul Hamdi.”

But-

Feni telah mematikan panggilan teleponnya pada Hamdi. Dan kebenarannya, ia telah mengirim misil tersebut ke pesawat Fikri Hulu melalui koordinatnya. Dasar konyol, batin Feni. Ia tak akan tahu, bahwa Hamdi dan teman-temannya masih terjebak dalam pesawat tersebut. Kemungkinan terbesar yang akan terjadi hanya satu: Mereka semua akan mati.

***

Hamdi memandangi panggilan ponselnya yang telah diputuskan secara paksa oleh Feni. Ugh, sialan! Umpatnya dalam hati. Ia merutuk-rutuk sekarang. Di saat-saat gawat seperti ini, temannya justru menjebaknya dengan misil dari Rusia yang super cepat itu. Oh, bagus sekali. Hamdi, dengan tangan masih menggenggam kerah Fikri Hulu, berbalik memandang Linda Paka yang masih berkutat dengan senapan penghancur New York itu.

“Linda Paka, kita harus pergi. Tinggalkan senapan itu. Sebuah misil mengarah ke arah pesawat ini dalam waktu 10 menit dari sekarang!”

“Aku tak akan pergi tanpa bola ini, Hamdi!”

“Lalu apa gunanya bola itu, hah?!”

“Aku harus memberikannya pada NASA, Hamdi!”

Hamdi terdiam. Tunggu, apa maksudnya “NASA”? Bukannya aku sendiri berasal dari NASA? batinnya. Linda Paka terus berbicara Hamdi sambil berusaha membuka penutup kaca dengan obengnya. Berusaha memecahkan kaca tersebut.

“Hamdi, jika aku meninggalkan bola ini dan pesawat ini meledak, seluruh New York akan musnah!” kata Linda Paka dengan pelan. “Aku harus memberikannya pada NASA, sehingga mereka bisa menjaganya dan memanfaatkannya dengan baik.

Hamdi memikirkan hal itu dalam diam. Sekarang, tidak penting baginya untuk balas dendam pada Fikri Hulu. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan kota New York. Dengan lambat, Hamdi melepaskan pegangan pada kerah baju Fikri Hulu. Fikri Hulu terduduk dengan lemas, kehabisan nafas. Sementara Hamdi berlari ke arah Linda Paka. “Awas, aku akan mencoba untuk memecahkannya!” katanya.

Dengan lengannya, Hamdi berusaha untuk memecahkan kaca tersebut. Brak! Sekali, tidak ada retakan apapun. Ia berusaha untuk membuatnya lebih kuat lagi. Brak! Krak! Retakan sudah mulai muncul di kaca yang benar-benar kuat itu. Sedikit lagi. Brak! KRAK! PRANG! Dengan kekuatan terakhirnya, ia memecahkan kaca tersebut dan mengerang kesakitan dengan keras.

Hamdi melihat ke arah lengannya. Darah mengucur dengan pelan. Linda Paka terlihat pucat pasi, namun Hamdi hanya nyengir. Berusaha untuk menahan perih sakitnya. Kini, bola tersebut sudah dapat diambil. Hamdi menyentuh bola dengan perlahan. Tangannya bergetar. Ia menggenggam bola tersebut dan menaruhnya pada genggaman tangan Linda Paka.

“Kau berhak untuk mendapatkan bola ini kembali.”

Hamdi tersenyum hangat pada Linda Paka. Linda Paka terdiam dan mengangguk. Ia memasukkan kembali bola itu dalam kantungnya. Tiba-tiba, Hamdi sadar ia lupa akan satu hal: Dia dan teman-temannya masih berada di dalam pesawat yang akan meledak.

“Astaga, aku harus mengeluarkan kalian semua dari sini, atau kita semua akan mati!” Pekik Hamdi. Hamdi dan Linda Paka berlari meninggalkan ruang kokpit. Sebelum mereka pergi, langkah kaki Linda Paka terhenti. Ia memandang kakaknya, Fikri Hulu. Hamdi, dengan sedikit sangsi, memandang Linda Paka.

“Ayo, kita harus pergi sekarang.”

Linda Paka masih tak bergerak memandang kakaknya yang babak belur.

“Apa kita perlu membawa kakakmu?” tanya Hamdi.

Linda Paka, dengan wajah datarnya menggeleng. “Tidak. Ayo kita pergi sekarang.”

***

Nelson Jonathan berdiri di tengah-tengah mayat-mayat para alien dengan kedua pistol di genggamannya. Ia terengah-engah dengan kelelahan. Pistolnya mengeluarkan asap. Ia memandangi teman-temannya yang juga terlihat kelelahan namun penuh kemenangan. Mereka telah berhasil mengalahkan seluruh alien yang telah mengepung mereka. Meskipun ada beberapa orang yang mendapat luka-luka.

“Ada kabar dari Hamdi?” Tanya Nash sambil memanggul shotgun-nya. Wajahnya tercoreng dengan sebuah luka gores sekarang.

Nelson menghembuskan nafasnya dengan berat sambil melirik ke ponselnya. “Kurasa tidak-“

Krrringg!! Belum selesai ia berbicara, sebuah panggilan masuk. Dan itu berasal dari Hamdi. Dengan cepat, Hamdi segera mengangkat panggilan tersebut. “Hamdi! Dimana kau?” tanyanya dengan setengah berteriak. Mendengar kata “Hamdi”, semuanya segera berbalik memandang Nelson. Nelson menekan tombol loudspeaker di ponselnya.

“Nelson, kalian semua harus keluar dari sini sekarang!” Teriak Hamdi. “Pesawat ini akan meledak! Semuanya langsung terkesiap mendengar hal itu.

“Larilah melalui kaca pesawat! Lari!” perintah Nelson.

Sebuah misil kiriman Feni dari Rusia, yang telah menjelajah langit begitu jauh dan lamanya, terlihat dari kejauhan. Misil itu merentangkan sayapnya dengan kecepatan tinggi, membidik pesawat antariksa Fikri Hulu dari kejauhan. Nelson dan yang lainya melompat keluar dari pesawat melalui kaca jendela yang terbuka lebar. Mereka berguling, jatuh tepat di atap salah satu gedung. Fikri melihat sekelilingnya dengan panik.

“Tunggu, dimana Linda Paka dan Hamdi?!” katanya.

Tiba-tiba, Lina, yang muncul secara tiba-tiba dari Gedung Rochester, menepuk punggung Fikri dengan keras. Ia menunjuk ke arah dalam pesawat. “Itu mereka!” teriaknya.

Di lorong pesawat, Hamdi dengan Linda Paka berlari dengan cepat. Beberapa puluh detik lagi, misil itu akan meledakkan pesawat Fikri Hulu. Meninggalkan Fikri Hulu yang terkapar lemas di dalam ruangannya. Mereka berdua berpacu melawan waktu, sebelum mereka akan mati meledak di dalam pesawat.

Jantung Hamdi berdegup dengan kencang. Bulir demi bulir keringat jatuh dari dahinya. Dengan kemampuan larinya yang cepat, ia tiba lebih awal di jendela pesawat. Ia menengok keluar. Misil itu benar-benar dekat. Hanya satu dari mereka yang akan bertahan. Ia melihat Linda Paka dari kejauhan. Ia segera mengejarnya dan mendorong Linda Paka dari belakang.

“Hamdi, apa yang kau lakukan?” kata Linda Paka di sela-sela larinya.

Hamdi memandangnya dengan serius dari belakang. “Linda Paka, yang harus kau lakukan sekarang adalah terus berlari. Aku akan mendorongmu dari belakang, dan loncatlah. Tidak ada waktu lagi,”

“Tapi bagaimana dengan dirimu?”

Hamdi terdiam. “Hal yang paling penting sekarang adalah, kau harus selamat.” Ia terus mendorong hingga berada di tepian pintu darurat. “Loncat, Linda Paka! Loncat!” Mendengar Hamdi berkata seperti itu, Linda Paka melangkahkan kakinya sepanjang mungkin. Hupp!! Ia terguling-guling, mendarat di gedung di antara teman-temannya.

“Linda Paka!” Seluruh teman-temannya menghampiri Linda Paka dengan cepat.

                “Dimana Hamdi?” tanya Amelia.

Di dalam, Hamdi bersiap untuk berlari. Namun, krek! Seseorang kembali mencekiknya, menjatuhkannya ke bawah dengan cepat. Hamdi berteriak, punggungnya terasa sakit sekarang. Ia bisa melihat siapa yang telah mencekiknya: Fikri Hulu. Pisaunya mendekati ujung nadinya sekarang. Hamdi melihat ke jam tangan dan jendela pesawat. Misil itu sudah lima senti dari pesawat. Ia memejamkan matanya. Waktunya telah tiba.

BOOM!!!

Pesawat Fikri Hulu hancur berkeping-keping terkena misil tersebut. Angin berhembus dengan kencang, menerbangkan proyektil-proyektil dan debu. Semuanya menutup mata mereka, berusaha untuk melindungi diri masing-masing. Dan mereka semua tak bisa melihat apapun lagi. Kecuali puing-puing dan api.

Linda Paka dan teman-temannya berlari mendekati puing tersebut. Bill dan yang lainnya yang berada di dalam Wal-Mart, keluar dari tempat persembunyian mereka. Mereka membawa peralatan medis mereka. Hanya seseorang yang mereka cari, yaitu Hamdi. Hingga mereka menemukan Hamdi di antara puing. Ia masih bernafas, namun badannya berlumur darah dan luka. Linda Paka berusaha untuk menahan tangisnya, sementara yang lainnya berusaha untuk menolongnya.

“Hamdi, aku akan memanggilkan bantuan dari SHIELD, dan aku...” Bill mengambil ponselnya dengan panik dari kantong celananya. Namun tangan berlumur darah Hamdi menggenggam pergelangan tangannya dengan kuat, menahannya untuk mengambil ponselnya. Hamdi tersenyum dengan lemah.

“Tidak perlu,” kata Hamdi dengan pelan. “Yang harus kalian lakukan sekarang adalah tetap disini. Waktunya sudah tiba. Dan ya, Nelson...” Hamdi menoleh dengan perlahan ke arah Nelson yang berada di sisi kirinya. Yang terus memandangnya dengan mata setengah berair. “Kita berhasil.”

Nelson tersentak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kembali teringat pada mimpinya beberapa hari yang lalu. Kini, hal itu terjadi. Matanya memerah dan berair. “Tidak, tidak, Hamdi. Jangan buat mimpi itu terjadi.” katanya dengan suara serak.

“Kau tak boleh menangis, ini sudah takdirku.”

Dengan perlahan, Hamdi menghembuskan nafasnya dan menutup matanya. Ia diam dan tak bergerak. Seluruh teman-temannya menundukkan kepala dan melepaskan topi mereka. Terdengar sesenggukan dari seseorang. Hujan mulai membasahi kulit mereka, seolah ikut bersedih.

Hamdi, sang pilot dan pemimpin tim, tewas di tempat kejadian.

***

Yeah, Chapter 13 finally posted!

So, what do you think about this chapter? I hope you like it! Sebelumnya, sama seperti sebelumnya, aku meminta maaf atas keterlambatanku untuk post chapter baru (yang ternyata sampai 1 bulan, wow.)

Kali ini, aku cukup senang akan akhir dari chapter ini, yaitu Hamdi mati. Aku sengaja melakukannya, soalnya senang melihat pembaca agak nge-feel karena ini, tega kan? (rasain tuh, akhir ceritanya, ho-ho-ho! #plak) Nggak kok, just kidding :D

Sekali lagi, thank you so much! Don't forget to leave vote and comment!

Question Of The Day: Menurutmu, apakah chapter selanjutnya adalah chapter 14 atau epilog? Apa alasannya?

Beritahu jawabannya di comment. Pembaca yang benar menebak akan didedikasi untuk chapter selanjutnya! Good luck! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro