Chapter 12: Confess It All
Suasana hening. Hamdi masih menatap Linda Paka dengan perasaan tidak percaya. Linda Paka, salah satu orang yang dipercayai dan dilindunginya, ternyata mengkhianatinya. Seharusnya ia sudah tahu itu dari dulu. Linda Paka memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Di tangan Hamdi, bola itu masih berdenyar lemah.
Hanya karena ini para alien itu mengejarku? Pikir Hamdi di benaknya. Ia kembali memandang bola itu. Menyentuh permukaan bola itu dengan pelan dan memutarnya dengan perlahan. Badannya bergetar. Matanya kini tertuju pada Linda Paka, yang berusaha untuk menghindari kontak matanya. Linda Paka terus menatap sepatu birunya. Di dahinya, sebulir keringat mengalir dengan perlahan. Jatuh ke baju seragamnya
“Kau mengkhianatiku!”
“Hamdi, maafkan aku! Biar kujelaskan...”
“Aku tak perlu penjelasan apapun! Lebih baik aku menyerahkan bola tak berharga ini ke Fikri Hulu daripada aku bersama pengkhianat seperti kalian!”
Semuanya terdiam. Mereka memandang Hamdi dengan tidak percaya. Wajah Hamdi memerah karena kecewa dan marah. Tangannya mengepal melindungi bola itu. Ia merasa tidak percaya pada siapapun sekarang. Bahkan Linda Paka, orang yang ia berusaha lindungi sampai saat itu, ternyata mengkhianatinya. Lebih memilih Hamdi mati di tangan para alien itu.
Bagaimana dengan teman-temannya yang lainnya? Entahlah. Sepertinya Hamdi tidak sampai berpikir tentang mereka yang tak bersalah itu lagi. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh kemarahan dan kekecewaan. Semua orang akan disalahkannya. Ya, sepertinya ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya dalam kesendirian.
“Tunggu apa lagi? Keluarlah! Aku tak membutuhkan kalian lagi!” kata Hamdi dengan kesal.
Wajahnya memerah. Semua teman-temannya kembali memandang Hamdi dalam diam. Mereka tak bisa begerak dan mengucapkan sepatah kata pun. Mata Linda Paka berkaca-kaca memandang Hamdi. Badannya tergetar, berusaha untuk menahan tangisannya. Ia mengusap air matanya sambil berbalik mengambil tasnya. Mengepalkan tangan dan berjalan menuju pintu keluar Wal-mart itu. Teman-temannya berusaha untuk mencegatnya. Namun sudah terlanjur.
“Terserah kau kalau tak mau mendengarkanku, Hamdi. Aku hanya ingin mengatakan kebenarannya.” kata Linda Paka.
Linda Paka melangkahkan kakinya meninggalkan gerai itu. Berlari tanpa tahu kemana ia harus pergi. Ia menangis kecewa. Kecewa karena Hamdi tak mau mendengarkannya. Juga kecewa akan dirinya sendiri karena kenapa ia tak memberitahu hal yang sebenarnya sejak dulu. Hamdi membalikkan badannya memunggungi teman-temannya. Berusaha untuk tidak melihat kepergian Linda Paka.
Sebenarnya, Hamdi benar-benar merasa bersalah ketika melihat Linda Paka menangis. Ia merasa seluruh tubuhnya telah teriris-iris. Seharusnya aku mendengarkannya tadi! Tapi terlanjur, pikir Hamdi. Ia menghembuskan nafasnya, berbalik ke arah teman-temannya yang lain. Kali ini, hatinya benar-benar terasa hancur.
Tidak ada siapapun disana. Tidak ada teman-temannya. Mereka pergi meninggalkan Hamdi dengan kecewa sambil memanggul tas dan senjata mereka masing-masing. Tatapan mereka kosong dan tanpa harapan apapun. Pergi tanpa tahu arah dan tujuan seperti Linda Paka. Hanya seseorang yang berdiri di depannya sekarang.
Dia adalah Nelson. Berdiri di depan Hamdi sambil memanggul ransel birunya. Rambut hitamnya berantakan dan kusam setelah semua peperangan itu. Di tangannya, ia memegang pistolnya dengan erat. Seolah-olah akan mengarahkannya ke arah kepala Hamdi dan menembaknya di tempat. Namun tidak mungkin. Nelson menatap Hamdi dengan nafas yang tenang. Meskipun Hamdi bisa melihat kilatan kemarahan di mata temannya itu.
“Kau akan disini kan bersamaku?” Tanya Hamdi sambil sedikit mengeluarkan senyuman canggungnya.
Nelson hanya diam. Ia berbalik memunggungi Hamdi, berjalan menuju pintu. Nelson berhenti di depan pintu. Memandangi langit kelabu yang dipenuhi asap dengan sedih. Ia menoleh ke arah Hamdi sambil tersenyum kecut. Kini, Hamdi merasa benar-benar dibenci oleh teman-temannya ketika ia mendengar ucapan terakhir Nelson:
“Bukankah kau tidak memerlukan kami lagi, Hamdi?”
Nelson berjalan meninggalkan Wal-mart itu. Melintasi mobil-mobil yang jungkir balik dan membelah lautan manusia yang terus panik akan invasi tersebut. Perlahan, tubuh Nelson ditelan keramaian itu, dan menghilang.
Hamdi hanya memandangi kepergian teman-temannya dalam diam. Ia terkulai lemas di depan pintu itu sambil berusaha menahan tangisannya. Kini, tidak ada siapapun yang menolongnya. Tidak ada siapapun yang akan membantunya. Bahkan Lina Pene yang paling konyol dan paling lugu sekalipun, pergi meninggalkannya.
Hamdi berjalan menuju sudut tergelap ruangan itu. Meringkuk di antara kaleng-kaleng makanan dan tumpukan sereal bersama Quad Blaster, tasnya, dan bola “terkutuk” itu. Mata hitamnya memandangi pintu gerai itu. Menunggu kedatangan kembali teman-temannya. Sepertinya itu takkan terjadi. Ia berusaha untuk menangis. Namun air matanya tetap bertahan di pelupuk matanya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
***
Sebuah mobil pick-up putih yang penuh dengan lumpur dan pecahan kaca melintasi 7th Avenue yang kini telah kacau balau dengan sangat perlahan. Seolah-olah ikut menghayati suasana sekitarnya yang menyedihkan. Hydrant-hydrant rusak meletuskan pancuran air mereka. Menyirami beberapa orang yang berada di bagian kap pick-up itu.
Di bagian kemudi, Novia mengendarai mobil tersebut. Diapit oleh Jimmy, Ratna, dan Nindi yang berada di sampingnya. Tidak seperti sebelumnya ketika ia mengendarai mobil tersebut dengan gila-gilaan, kali ini ia menyetir dengan tatapan kosong. Novia menyeruput kaleng minumannya yang sudah kosong, melemparnya ke luar lewat jendela. Tatapan matanya lesu. Seperti tidak ada semangat lagi di dalam hidupnya.
“Mau kugantikan menyetir?” tawar Jimmy dengan raut wajah cemas.
Novia menoleh ke arah Jimmy yang berusaha tersenyum ke arahnya. Novia memandang Jimmy dengan matanya yang setengah menahan kantuk dan rambut pendeknya yang kacau. Ia berusaha untuk tersenyum kecil. Namun tidak bisa. Ia hanya merengut ke arah temannya yang terlihat pucat itu. Novia kembali mengalihkan pandangannya ke jalan raya.
“Tidak, biar aku saja.” jawab Novia dengan nada setengah ketus.
“Yang benar? Kita berjalan begitu lambat sekarang.”
“Tidak apa. Justru aku ingin menyetir dengan cara seperti ini sekarang.”
Semuanya kembali diam. Itu terasa aneh sekali. Mereka tak tahu apa yang harus mereka lakukan sekarang. Mereka hanya berputar-putar di sekitar jalan tersebut sambil termenung memikirkan perkataan Hamdi sebelumnya. Lagipula, kenapa harus memikirkan dia? Pikir Ratna. Bukankah dia sudah tidak membutuhkan kami semua? Anehnya, pikiran itu terus menerus mengelilingi otaknya.
“Hei, daripada seperti ini, lebih baik kita mencari Nelson dan Linda Paka. Mereka menghilang dan kita melupakan mereka.” kata Amelia dengan raut serius.
Novia langsung menginjak rem mendadak dan keras. Ia baru tersadar akan nasib kedua temannya itu. Semuanya terlonjak ke depan dan menabrak dinding mobil. Kecuali Nindi, Ratna, dan Jimmy. Yang membuat mereka menbrak kaca mobil dengan keras hingga pipi mereka menjadi merah. Wajah Novia tiba-tiba menjadi bersemangat.
“Kalau begitu, ayo cari mereka!”
Novia menginjak gas mobil tersebut. Memutar kuat setir mobil dengan cepat hingga semuanya kembali terjungkal. Ia menekan gasnya hingga kecepatan 80 kilometer per jam. Melaju kembali dengan cepat menuju Times Square tanpa peduli apakah dia sudah melindas orang ataupun kucing. Di belakang, Rick, Bill, dan Lina memegangi topi mereka masing-masing, takut diterbangkan angin.
“Lagi kemasukan roh apa sampai kau seperti itu, Nov?!” kata Nindi setengah berteriak.
“Diamlah Nin! Lebih baik kalian melihat sekeliling kalian, kalau saja ada Linda Paka atau Nelson!”
Mendengar Novia berkata seperti itu, Nindi kembali memandang kembali ke luar jendela sambil menggerutu. Novia melirik ke kaca spion dengan cepat. Ia bisa melihat semua teman-temannya di belakang terlihat babak belur dan seperti akan diterbangkan oleh angin. Ia menahan tawanya, lalu mulai menurunkan kecepatan mobil ke 40 kilometer per jam.
Tiba-tiba, Lina Pene menggedor-gedor kaca belakang mobil pick-up dengan keras sambil berteriak bahasa Pulu yang tidak jelas. Novia tetap tidak mengindahkannya dengan lelah sambil terus mengendarai mobil. Namun makin lama, Lina Pene makin menggedor kaca mobil itu dengan keras.
“Pulu!! Puluu!!!”
“Oke! Oke! Apa yang sebenarnya terjadi, hah?” kata Nash dengan setengah kesal.
“Pulu! Pulupulupulupu...”
“Sekarang diamlah! Aku tak mengerti apa yang kau maksud!”
Lina Pene menepuk dahinya. Lalu memegangi wajah Nash dengan kedua tangannya. Membuat Nash menoleh ke arah kirinya, ke suatu gang buntu yang gelap. Nash memicingkan matanya ke arah gang tersebut, hingga ia sadar akan sesuatu. Ia segera berteriak, “Novia, hentikan mobilnya sekarang!” dengan memekakan telinga.
Ciiiittt!!! Novia menginjak rem mobilnya dengan tiba-tiba. Membuat teman-temannya kembali terpental dan menabrak kaca mobil. Saat mereka berhenti, Linda melihat kembali apa yang baru dilihat oleh Nash: sebuah gang. Sebuah gang yang gelap, berlumut, dan penuh serakan sampah serta tempat penampungan sampah.
Lantas mengapa Nash menyuruh Novia untuk berhenti? Linda bersama Lina kembali mengamati gang tersebut. Mereka tersadar akan apa yang baru saja dilihat oleh mereka, dan itu sama seperti Nash. Itu seorang perempuan bersama seorang lelaki. Seorang perempuan berambut hitam kecoklatan yang memakai seragam NASA, memegangi lututnya sendiri dan mendekap tas hitam dan jaket coklat tuanya. Matanya memerah, seperti baru saja menangis.
Di sampingnya, seorang lelaki muda berambut hitam duduk disampingnya. Ia memakai jas hitam keabu-abuan dengan baju kemaja putih yang kumal dan dasi hitam. Wajanya terlihat sangat tenang dan datar seperti air yang tak tersentuh apapun. Berusaha untuk menenangkan perempuan yang berada disampingnya. Satu kalimat yang terlintas di pikiran semua yang berada di mobil pick-up tersebut: Linda Paka dan Nelson telah ditemukan.
Semuanya menuruni mobil pick-up tersebut. Berjalan melalui jalan kecil yang penuh kubangan lumpur dan berbau busuk. Menghampiri Nelson yang terus menerus menepuk punggung Linda Paka dengan pelan. Nelson mendongak ke arah teman-temannya. Tatapan matanya setengah berkaca-kaca, sedih dan kecewa. Ia mengacak rambut hitamnya dengan gusar.
“It’s over,” kata Nelson dengan suara yang serak. “Kita tak perlu membantu Hamdi lagi. Lagipula, apa gunanya kita membantunya, kalau dia sendiri malah mengusir kita?”
Bill mendekati Nelson dan berjongkok tepat didepannya. Ia memegang pundak Nelson dan memandang Nelson dengan baik-baik. “Jangan pikirkan apa yang dikatakan oleh Hamdi. Dia sedang emosi, jadi wajar saja, kan?” jelasnya sambil tersenyum.
“Itu tidak wajar,” kata Nelson, menggelengkan kepalanya. “Seumur hidupnya, ia tak pernah seperti itu padaku. Ini yang paling parah. Kurasa dia benar, kita memang tidak diperlukan.”
Bill hanya diam mendengarkan perkataan Nelson. Ia beranjak dan memandangi Linda Paka. Linda Paka memandangi dinding berlumut di depannya dengan pandangan kosong. Ya, ia masih merasa terasa tertekan akan apa yang baru saja dialaminya. Juga, kemarahan Hamdi pada Linda Paka yang menurut teman-temannya itu terlalu “berlebihan”.
“Sepertinya sekarang aku harus menceritakan apa yang terjadi. Sesuatu yang sebenarnya Hamdi ketahui tentang bola itu,” kata Linda Paka dengan sedih. Teman-temannya hanya saling berpandangan dan mengangguk mengerti. Linda Paka pun memulai ceritanya dengan perlahan-lahan dengan nada suara yang tegas.
"Dulu sekali, ketika aku masih berumur belasan tahun, ayahku pernah bercerita akan bola kekuatan itu. Bola itu adalah bola yang memiliki kekuatan yang hebat, dan ayahku yang memegang bola itu. Dia bilang, suatu hari ia akan memberikan bola itu pada Fikri Hulu, karena dia adalah anak sulungnya. Dan bola itu harus diberikan kepada orang yang tepat dan paling dapat dipercaya dalam hidupnya. Jika tidak, bola itu akan jatuh ke tangan orang yang salah, dan bola itu akan menghancurkan alam semesta,”
Linda Paka bercerita dengan mata setengah berkaca-kaca. Namun tempo nafasnya tetap tenang seperti biasanya. Ia mengambil nafas kembali, lalu melanjutkan ceritanya. “Hingga suatu hari, ayahku mengetahui rencana licik Fikri Hulu untuk mengambil alih kekuasaan ayahku dan menguasai alam semesta dengan cara yang kejam dan jahat. Di saat ayahku menerbangkanku pergi bersama Hamdi karena keadaan Planet Pulu darurat, ia menaruh bola kekuatan dalam genggamanku. Pesan terakhirnya adalah ‘berikan bola itu pada orang yang kau percayai dalam hidupmu, selamatkan alam semesta ini’. Begitulah ceritanya.”
Linda Paka mengakhiri ceritanya dengan wajah lesu, menyesal mengapa ia tak mengatakan semua itu sedari dulu. Semuanya memandang Linda Paka dengan serius dan kasihan. Lina Pene menepuk punggung kakaknya dengan pelan sambil tersenyum lirih. Fikri menggaruk kepalanya dan menggosok kacamatanya.
“Aku masih belum mengerti. Bagaimana kau bisa menaruh bola itu pada Hamdi? Dan mengapa kau memberikan bola itu pada Hamdi, bukannya Lina Pene?” tanyanya diikuti anggukan setuju Lina Pene.
“Ah, pertanyaan yang bagus, Fikri,” kata Linda Paka sambil mulai tersenyum kecil. “Ketika aku pertama kali bertemu dengan Hamdi, aku merasa dia adalah orang yang jujur, bersemangat, dan benar-benar sabar. Aku bisa melihat itu dari sorot matanya. Yah, meskipun terkadang ia menjadi sedikit temperamental dan tidak sabar sendiri. Namun entah mengapa, sesuatu di dalam diriku berkata, dialah orang yang tepat untuk menerima bola itu,”
Tiba-tiba, Linda Paka menunduk dengan pelan. Teman-temannya bisa melihat, kalau sebenarnya dia sedang tersenyum. Tunggu, atau dia tersipu malu? Entahlah. Di setiap kepala teman-temannya, tersimpan pikiran yang berbeda mengenai itu. Amelia berpikir kalau Linda Paka menyukai Hamdi dan itu membuatnya tertawa sendiri. Di pikiran Nash, jangan-jangan Linda Paka memiliki rencana untuk menjahili Hamdi dengan cara meledakkannya mengunakan bola itu. Sementara itu, Linda mulai berpikir kalau Linda Paka telah membeberkan rahasia terbesarnya.
Linda Paka melanjutkan kembali ceritanya, “Setelah aku tersadar akan hal itu, aku merakit jam buatanku sendiri secara diam-diam. Kebetulan, aku bisa melakukannya karena aku juga merupakan murid teknik mekanik di planetku. Pada saat hari ulang tahunnya, tepat di pesawat itu, aku memberi jam tersebut padanya. Sebagai ucapan terimakasihku karena telah menjaga aku dan Lina Pene, dan memberikan kepercayaanku padanya untuk menjaga bola itu.”
Linda Paka mengakhiri ceritanya dan menghembuskan nafas berat. Semuanya saling berpandangan. Rahasia besar itu akhirnya diungkapkan pada mereka. Semua ini sebenarnya hanya karena kesalahpahaman Hamdi yang sangat besar. Kini, yang mereka harus lakukan sekarang adalah kembali menemui Hamdi, menjelaskan apa yang terjadi, dan kembali bersatu untuk menghancurkan Fikri Hulu yang mencari bola tersebut.
Nelson, yang sudah terlihat lebih baik daripada sebelumnya, meronggoh saku celananya. Mengambil ponselnya dan matanya segera menelusuri seluruh kontak yang ia punya. Menekan nomor kontak Hamdi dan segera menelponnya. Dengan wajah serius, ia menunggu Hamdi mengangkat panggilannya. Namun yang ia dengar, hanyalah suara Hamdi dari voicemail-nya yang berbunyi, “Hai! Ini aku, Hamdi! Aku sedang tidak ada sekarang, jadi tinggalkan pesanmu setelah nada berikut! Beeeeeppp-“.
Wajah Nelson berubah menjadi putih dan pucat pasi. Tangannya masih menggengam ponselnya dengan erat. Hamdi tidak pernah seperti itu sebelumnya. Semarah apapun atau sesibuk apapun dirinya, ia pasti akan mengangkat panggilan dari teman-temannya. Meskipun ia hanya akan menjawab panggilannya satu kalimat saja. Nelson segera berbalik ke arah teman-temannya dengan dahi mengerut
“Sepertinya ada hal yang buruk terjadi pada Hamdi. Kita harus kembali. Sekarang.”
***
Di tempat dan waktu yang berbeda, Hamdi masih meringkuk di Wal-mart dengan bola itu, tasnya, dan Quad Blaster. Ia tak tahu apa yang ia harus lakukan. Ia memandang bola itu dengan baik-baik. Meraba permukaan bola yang kasar. Ia bisa membaca kodenya, DZ201. Yang terukir kecil di bagian bawah bola. Ia terus memandang bola tersebut.
Tiba-tiba, Hamdi beranjak dari duduknya. Raut wajahnya datar dan pandangan matanya kosong. Ia memanggul tasnya. Memasukkan bolanya dan menyambar Quad Blaster-nya. Berjalan menuju luar Wal-mart dengan pandangan matanya yang masih kosong.
Apakah kalian mengira kalau dia dihipnotis? Kalau kalian menjawab ya, kalian salah. Hamdi berpikir, lebih baik bola tersebut diberikan kepada Fikri Hulu. Toh, apa urusannya juga bola itu ditaruh kepadanya dan hanya digunakan untuk memancingnya? Jika ia sudah memberikan bola tersebut, masalahnya sudah beres. Ia tidak dikejar-kejar lagi dan tidak akan dibunuh. Ia akan kembali ke kehidupan nyatanya yang tenang.
Tunggu. Itukah rencana Hamdi? Itu rencana yang buruk! Namun, Hamdi tak memikirkan itu lagi. Ia sudah lupa akan teman-temannya. Ia sudah lupa akan tanggung jawab yang diberikan Phil untuk menyelesaikan masalah itu. Yang paling parah, ia sudah lupa seluruh nyawa warga kota New York. Yang ia inginkan sekarang hanyalah pergi jauh dari masalah itu, tanpa para alien dan bola itu lagi.
Hamdi berjalan menelusuri 46 Street sendirian. Ia bisa melihat dengan bola matanya sendiri, taksi-taksi dan mobil jungkir balik karena serangan itu. Gedung-gedung terbakar, membuat asap gelap membumbung tinggi dan membuat langit menjadi kelabu. Itu semua karena invasi itu. Namun Hamdi tak peduli.
Kini, Hamdi berhadapan dengan pesawat antariksa Fikri Hulu. Pesawat bercatkan abu-abu itu membuat sekelilingnya gelap. Angin dingin terasa menusuk kulitnya. Ia memandang ke atas, memperhatikan deretan kaca pesawat tersebut. Ada yang pecah. Pasti itu karena perkelahiannya dengan Fikri Hulu sebelumnya. Matanya menerawang jauh ke dalam. Tidak ada Fikri Hulu. Aneh.
“Kita bertemu lagi, Hamdi,”
Hamdi berbalik dengan cepat. Mengangkat Quad Blaster dengan tangan kirinya ke arah suara itu. Matanya berkilat-kilat marah. Ia bisa melihat Fikri Hulu di sana. Menyeringai lebar dengan jubah hitam gelapnya. Di kantong celananya, Hamdi bisa melihat ada benda kecil menyembul didalamnya, tajam. Pasti itu pisau. Fikri Hulu akan melemparkannya ke arah perut, kepala, dan dadanya. Dan Hamdi akan mati seketika. Namun bukan itu yang Hamdi inginkan.
“Aku menyerah, Fikri Hulu. Jadi ini,” Hamdi meronggoh kantong celananya. Mengeluarkan bola DZ201 dari kantongnya.
“Bola itu, kau memberikannya padaku?” Fikri Hulu melongo, menunjuk ke arah bola.
Hamdi mengangguk. “Ya, tapi ada satu syarat,” Hamdi memasukkan kembali bola itu ke dalam kantongnya. Tepat sebelum Fikri Hulu akan merebutnya.
“Apa?”
“Jangan gunakan bola itu dengan semena-mena, dan kau harus memperbaiki semua kekacauan di kota ini. Setuju?”
Fikri Hulu kembali terdiam. Ia melipat tangannya, dan tersenyum licik. “Oke, setuju,”
Hamdi mengambil kembali bola itu dan melemparkannya dengan santai ke arah Fikri Hulu. Fikri Hulu meloncat, menangkapnya dengan cepat. Ia memandang bola itu dengan berbinar-binar dan tersenyum kemenangan. Ia memasukan bola itu ke dalam sakunya dan menyeringai licik. Ia memasukkan ke tangannya ke saku celananya. Hamdi tetap memegang Quad Blasternya, curiga jika Fikri Hulu akan melemparkan pisau ke arahnya.
“Kau memang bodoh, Hamdi. Kau tahu, sudah pasti aku tidak akan menepati janjiku.”
Sett!! Sett! Sett!! Tepat dengan dugaan Hamdi sebelumnya, Fikri Hulu melemparkan pisau ke arahnya. Hamdi segera berlari menghindar, menerjang kaca toko perkakas yang berada di depannya. Hamdi mengerang kesakitan. Namun ia terus berlari bersembunyi sambil terus menembakkan laser dari Quad Blaster-nya.
Fikri Hulu menembakkan peluru dari pistolnya. Hamdi melihat sekeliling toko perkakas itu. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada pilihan lain. Ia berlari menghindar dari hujan tembakan, kembali menerjang keluar kaca tersebut. Hamdi jatuh tergeletak di trotoar. Ia bisa merasa ada darah kental mengalir pelan dari hidungnya.
Hamdi melihat ke arah pintu toko. Fikri Hulu terus mengejarnya dan mengarahkan tembakannya ke arah perut Hamdi. Dor! Hamdi mengerang dengan keras. Tembakan itu mengenai tubuhnya. Ternyata tidak, hanya meleset di kulitnya. Ia berusaha untuk lari. Tapi tak ada gunanya lagi. Pilihan yang tersisa sekarang hanya satu: menyerang Fikri Hulu dan merebut kembali bola itu.
Hupp!! Hamdi meloncat dengan tiba-tiba, menerjang Fikri Hulu hingga terjatuh. Mereka berdua saling baku hantam hingga tepat di tengah jalan. Hamdi menarik pistol dari tangan Fikri Hulu. Namun terlambat. Dor! Tembakan kedua meletus, dan mengenai lengan kiri Hamdi. Hamdi meringis kesakitan dan menembakkan Quad Blaster ke dada Fikri Hulu.
Dor! Fikri Hulu terhempas dan menabrak dinding dengan keras. Ia tidak pingsan. Melainkan kembali bangkit. Ia berlari menuju Hamdi dan memegang kerah baju Hamdi. Mengangkat Hamdi tinggi-tinggi dan membuat Hamdi menjadi sesak nafas. Entah mengapa hal itu bisa terjadi. Fikri Hulu menyeringai untuk terakhir kalinya, dan melempar Hamdi ke arah dinding.
Hamdi menghantam dinding bata dengan keras. Hantaman itu sangat kuat hingga membuat dinding itu hancur. Hamdi terjatuh dengan lemas. Bagian belakang kepalanya terasa benar-benar sakit. Begitu pula seluruh tubuhnya. Dengan tubuh setengah berlumur darah, pandangan Hamdi mengabur dan gelap seketika. Berharap ia tidak akan mati saat itu juga.
***
“Hamdi?”
Seorang perempuan menepuk-nepuk pipi kanan Hamdi dengan pelan. Membuat Hamdi membuka matanya dengan perlahan. Dalam pandangannya yang kabur dan bergoyang, ia bisa melihat seorang perempuan berambut panjang berada di depannya. Di belakangnya, ada beberapa perempuan lain yang sibuk di depan laptop mereka.
Hamdi merenggangkan badannya dan berusaha bangkit dari posisinya. Tiba-tiba, rasa nyeri menyerang pundak kiri dan dadanya. Membuatnya kembali terhempas ke karpet dengan pelan sambil memegangi pundaknya yang terasa sakit. Ia memerhatikan sekelilingnya. Ia berada di Wal-mart lagi. Bukannya tadi dia berada jalanan Times Square?
Ia memejamkan mata sambil memijit kepalanya. Ini aneh. Ia membuka matanya sedikit, melirik ke arah perempuan yang berada di sampingnya yang sedang memperhatikannya. Perempuan berambut panjang itu memakai kemeja biru bertanda NASA, tempat Hamdi (dan sepertinya perempuan itu) bekerja, lengkap dengan jas laboratoriumnya. Hamdi merasa ia pernah melihat perempuan itu di masa lalu. Tapi dimana?
“Hamdi, kau masih mengingatku? Aku Alina, teman SMP-mu dulu. Kita tidak sekelas, namun dulu kita pernah sekelompok di klub robotik, ingat? Sekarang aku menjadi peneliti astronomi di sini, di dekat Broadway,” jelas perempuan bernama Alina itu dengan sekilas.
Hamdi memandang perempuan yang matanya membesar itu dengan mata berkerut. Alina? Tidak sekelas? Entahlah. Ia sudah lupa beberapa temannya yang berasal dari kelas lain di program akselerasi SMP-nya. Namun dengan perlahan ia ingat siapa dia. Alina adalah temannya yang berasal dari kelas lain di program akselerasi. Ia memang tidak terlalu dekat dengan Hamdi. Tapi setidaknya, mereka pernah satu tim dalam klub robotik.
“Y-y-ya. Aku ingat,” kata Hamdi dengan lemah. Ia berusaha untuk tetap diam karena kepalanya terasa pening sekali. Rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh jarum akupuntur. Mungkin karena ia baru saja dilempar oleh Fikri Hulu dan menabrak dinding berbata padat hingga ia pingsan. “Maaf kalau aku tak banyak bicara, aku pusing sekali,”
“Tidak apa. Kami menemukanmu di jalanan Times Square saat kau tak sadarkan diri. Perutmu tertembak, lenganmu juga. Kami telah mengeluarkan pelurunya. Bagian dadamu memar, sepertinya menghantam sesuatu. Juga ada beberapa goresan luka,”
“Tunggu. Kami?”
“Ya. Kau bisa melihat, itu Gita, dokter kami disini. Lalu itu Nida, dia juga peneliti yang sekantor denganku, dan itu Yani. Itu teman sekelasmu dulu, dia seorang agen perjalanan. Kami tak sengaja bertemu dengannya tadi,” kata Alina sambil menunjuk beberapa perempuan di dekatnya.
Hamdi memegangi pelipisnya. “Tunggu, tidak ada laki-laki disini?”
“Itu Tarna! Kebetulan dia sedang ada disini untuk membawa timnya bertanding. Tapi kacau semua karena invasi itu!” sahut Yani disambung oleh tawa lepas Gita. Seorang laki-laki berambut cepak yang berjaket merah tebal melambaikan tangannya pada Hamdi. Ia berteriak kegirangan. Yani, yang berambut kecoklatan pendek dan memakai kemejanya, memutar bola matanya. “Dan ya, dia masih berkulit hitam seperti biasanya.”
Hamdi tertawa kecil mendengar lelucon lama itu dan tersenyum sendiri melihat Tarna yang mendengus sendiri. Tatapannya kembali mengawasi luar dengan pistolnya (yang entah darimana ia mendapatkannya). Hamdi bisa mendengar Tarna bergumam “Dasar rasis,” kepada Yani dan Gita. Namun, Hamdi masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Hamdi melihat sekujur tubuhnya. Perutnya dibebat oleh kasa putih. Ia bisa melihat segumpal darah merah membekas di kasa tersebut. Pergelangan lengan kirinya juga dibebat. Ia memperbaiki bajunya yang dibebat oleh kain kasa itu. Lalu kembali melirik ke arah Tarna, Yani, Gita, Nida, dan Alina yang berada di sampingnya. Memandangnya dengan cemas.
“Hamdi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Gita sambil memperbaiki kacamata lensa minusnya. Ia memakai kaus dilapisi jaket dokternya.
“Justru itu yang sebenarnya ingin kutanyakan!” Hamdi tertawa kecil. Namun ia kembali mengerutkan dahinya dan berusaha untuk duduk. Meskipun itu terasa sedikit menyakitkan. “Entahlah, aku tak tahu sebenarnya terjadi,”
“Kau ingat sesuatu?” tanya Tarna dengan pelan. Ia tersenyum lebar sambil memperbaiki kemeja biru dan jaket kulit merahnya.
Wajahnya terlihat gundah, “Sedikit. Aku ingat dihempaskan oleh Fikri Hulu, dan- astaga!” Hamdi segera bangun dari posisi duduknya. Ia merasa sedikit nyeri, namun ia terus berjalan menuju meja Nida. Dimana jam tangan tuanya itu tergeletak. Hamdi menyambar jam tangan tersebut, memutarnya dengan kode yang ditunjukkan oleh Linda Paka sebelumnya. Jam tangan itu membuka tempat penyimpanannya. Kosong.
“Dimana bola itu?!” Hamdi setengah berteriak. Teman-temannya memandangnya dengan kebingungan.
“Bola apa?” tanya Yani dan Tarna dengan serentak.
Hamdi menepuk dahinya dengan pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak. Ia baru saja sadar, bola itu telah hilang dirampas oleh Fikri Hulu. Mungkin saja, hilang untuk selama-lamanya. Kini, kota New York akan musnah karena bola itu, juga keteledorannya itu. Nida dan Alina menepuk pundaknya dengan pelan.
“Aku tahu. Kau pasti mencari bola itu. Dengan itulah kami menemukanmu. Aku menemukan adanya bola itu di pendeteksi sinyal komputer itu. Kami melacak sinyal dari bola itu, dan begitulah. Tapi jujur, aku tak tahu dimana bola itu sekarang. Sinyalnya mati. Maaf.” kata Nida.
“Kau harus menemukan bola itu, Hamdi. Bola itu memiliki tingkat radiasi radioaktif dan nuklir yang tinggi. Itu cukup untuk menghancurkan kota New York. Yah, mungkin juga Brooklyn dan sekitarnya. Kau harus menemukan bola itu secepat mungkin.” lanjut Alina.
Tepat pada saat itu juga, sebuah mobil pick-up putih berhenti di depan Wal-mart. Mengerem dengan keras hingga semua penumpangnya terjungkal dan kembali menabrak kaca mobil itu. Dari mobil, turunlah sekelompok orang, dipimpin seorang lelaki berjas dan seorang perempuan berseragam NASA. Nelson dan Linda Paka. Mereka berempatbelas berdiri didepan Hamdi. Hamdi menghembuskan nafasnya dengan berat.
“Maafkan aku, seharusnya aku...” belum selesai Hamdi berbicara, Linda Paka menaruh jarinya di bibir Hamdi.
“Ssstt... diamlah. Ini bukan salahmu. Ini adalah salah kita semua. Yang terpenting saat ini adalah, kita harus mengambil kembali bola itu, membawanya pulang ke Planet Pulu, dan mengalahkan Fikri Hulu,” kata Linda Paka sambil tersenyum lebar.
Senyuman tersungging dibibir Hamdi. “Terima kasih dan... darimana kau tahu aku kehilangan bola itu?” wajahnya langsung berubah seketika.
Ratna dan Nindi maju selangkah. Wajah mereka benar-benar datar dan serius. “Tepat saat kami menuju ke sini, kami melihat Fikri Hulu masuk ke dalam pesawatnya bersama bola itu. Apa yang harus kita lakukan sekarang?” kata mereka.
Hamdi memandang semua teman-temannya yang telah menolongnya. Baik Linda Paka dan lainnya, juga Alina dan lainnya. Ia sadar, ia masih memerlukan mereka semua. Ia memasang senyuman kerennya sambil mengambil Quad Blaster-nya. Ia memutarnya dan memasang kacamata hitamnya. Ia diam dan tersenyum kecut.
“Let’s finish this problem now.”
***
Akhirnya, selesai chapter 12, yeah!
Aku minta maaf sekali, soalnya sepertinya aku sdh nggak update selama 3 minggu lebih. Karena aku harus fokus ke UN dan Try-Out, jadi aku akan slow update dan doakan aku ya supaya nilai UNku bagus :)
Chapter ini sengaja kudedikasikan untuk semua teman-temanku, karena pengennya mendedicate semua user, tapi nggak bisa dan didedicate terutama untuk: @MikhAbdi13, @emashelma, @RischaCho, @littlerose_, @adellaadl_, @syfaxo_, @faishal01, @kleader00, @ZakiahSiti, @Legendary27, @PinkLovers_, dan @Alfikrini. Dedikasi ini karena merekalah yang menyemangatiku (dengan kata lain juga menyuruhku cepat update :p)
And yes, thank you so much for 7.2k readers ,975 votes (hampir 1k!), and 1# in Advanture! I appreciate it! Keep reading and vomments too! Love ya all! :D
Question of the day: fictional character yang baru2 ini disukai? Mine is Dr. John Watson and... Otto Malpense (dari serial buku HIVE, he's genius guy!) ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro