Chapter 10: Back to Times Square
“Apa?!”
Semuanya berteriak dengan tidak percaya. Ya, bagaimana tidak. Sebelumnya, Hamdi berkata pada teman-temannya bahwa mereka tidak mendapat izin dari SHIELD untuk berperang melawan Fikri Hulu. Dan kini, ia malah mengajak teman-temannya untuk berperang secara diam-diam. Bukankah itu gila? Teriak semuanya di dalam hati.
“Tapi bagaima...”
“Just follow me. And please, don’t say anything.”
Hamdi menyambar peta yang dibebernya di meja. Lalu melangkah keluar dengan santai sambil meneguk tetesan terakhir Frappucinnonya. Teman-temannya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil mengikuti Hamdi. Yah, apa boleh buat. Terkadang, dia punya ide yang benar-benar gila. Tapi bisa dibilang selalu berhasil.
Hamdi berjalan dengan cepat dan tegap. Melintasi para agen-agen yang melihatnya dengan kebingungan. Teman-temannya terus mengikutinya, hingga mereka sadar tempat tujuan Hamdi sekarang saat melihat keadaan tempat sekeliling mereka yang berbau bensin dan mesin. Tempat tujuan mereka selanjutnya: hangar pesawat.
Hamdi berjalan masuk hangar dengan perlahan, menyalakan stopkontak lampu yang berada di dekatnya. Satu per satu lampu berkedip-kedip dengan redup, menyala dan menerangi mereka semua. Cat abu-abu hangar tua itu mulai mengelupas. Bau bensin dan oli bercampur aduk menjadi satu, menghasilkan sebuah bau yang menusuk hidung. Kubangan oli dan perkakas bertebaran seluruh ruangan. Untuk ukuran sebuah hangar tua, keadaan itu benar-benar mereka. Tidak ada pesawat apapun disana, kecuali satu. Dan itu bukan pesawat biasa.
Pesawat Boeing C-17 Globemaster III atau The Bus. Salah satu pesawat SHIELD yang paling canggih. Cat hitamnya yang halus dengan logo SHIELD memantulkan sinar matahari. Sayap lebarnya yang membentang luas di hangar. Begitupula peralatannya yang menggunakan teknologi tercanggih. Semuanya terkesima melihat pesawat itu.
Hamdi melangkah masuk ke dalam pesawat itu. Menyeret Linda dan Lina dibelakangnya ke ruang kokpit. Lalu mendudukkan mereka berdua di kursi kopilot dan radio. Hamdi kembali keluar dari ruang kokpit. Menemui teman-temannya di luar pesawat yang masih kebingungan sambil mendorong pintu hangar lebar-lebar.
Ia mendorong teman-temannya masuk ke dalam pesawat. Lalu segera menutup pintu pesawat rapat-rapat dan mendudukkan teman-temannya di kursi penumpang. Ia kembali ke kokpit dan duduk di kursi pilot. Wajah Linda berkerut-merut ketika melihat temannya yang juga kapten itu menyalakan mesin pesawat dan oksigen pesawat.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Hamdi tersenyum kecil. “Terbang.” Katanya dengan nada jenaka.
Ia mendorong gas pesawat ke depan. Pesawat maju dengan perlahan-lahan meninggalkan hangar. Berjalan dengan cepat menuju landasan pacu, siap untuk terbang. Tiba-tiba, Lina mendapat laporan radio dari menara ATC (Air Traffic Controller). Wajah menjadi Lina pucat pasi ketika mendengar laporan itu. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
“Globemaster III, apa yang kalian lakukan disana?”
“Globemaster III kepada ATC, kami meminta izin terbang ke New York.”
“Kalian tidak mendapat izin terbang. Segera keluar dari landasan. Kuulangi, segera keluar dari landasan!”
Lina berusaha memperingatkan Hamdi tentang itu. Namun, Hamdi tidak mengindahkannya. Ia menengok ke belakang dari jendela. Para agen berlari-lari mengejar mereka. Berusaha menembaki pesawat dengan gila-gilaan dan berteriak-teriak meminta mereka untuk berhenti. Peluru-peluru yang mereka tembakkan hanya memantul saja mengenai badan pesawat itu.
“Berhenti!” Teriak Agen Lancaster sambil berlari mengejar mereka.
“Sekarang!” Teriak Hamdi.
Dor-dor-dor-dor-dor! Tang! Di belakang, Agen Lancaster beserta anak buahnya berlari mengejar Hamdi. Ia menembaki sayap pesawat dengan sekuat tenaga. Namun tidak ada gunanya. Pesawat terus melaju untuk terbang. Hingga ada salah satu anak buahnnya yang membawa bazooka. Boom! Ia menembaknya ke sayap kanan kecil pesawat. Membuat sayap kanan itu terbakar api yang berkobar.
Tiiit! Tiiit! Tiiit! Alarm meraung-raung di seluruh ruangan pesawat. Amelia melepas sabuk pengamannya. Berlari menuju ruang kokpit pesawat. Dan... Ia menemukan Hamdi masih terlihat santai memajukan gasnya sambil menyeruput kopinya yang ketiga untuk hari itu. Amelia menepuk dahinya.
“Di, sayap kita tertembak!”
“Begitu? Kalau seperti itu, lebih baik aku lepaskan sayap kecilnya sekarang!”
Amelia langsung tersedak. Sudah gila dia rupanya! Pikir Amelia dengan kesal sambil melangkah keluar dari kokpit. Hamdi tertawa kecil. Sebenarnya sih, dia bercanda. Ia menekan sebuah tombol di panel pesawat. Menyiram api di sayap itu hingga padam.
Kini, pesawat telah melayang jauh meninggalkan markas SHIELD. Juga meninggalkan Agen Lancaster yang terlihat sangat murka. Ia membanting pistolnya ke landasan dan menendangnya jauh-jauh. Wajahnya merah padam karena kesal. Jauh dari sana, Phil Coulson mengintip dari balik pintu hangar lain. Ia melihat semuanya dengan bola matanya sendiri.
“Siapa yang memberinya akses ke pesawat itu, hah? Bawa dia ke sini sekarang!” Teriak Agen Lancaster dengan kesal.
Dan Phil tersenyum misterius.
***
Di ketinggian 20.00 kaki, Globemaster III melayang di langit biru bersih. Tidak ada angin ataupun awan menghalangi mereka. Hamdi memantau segalanya melalui radar kokpit pesawat. Sejauh ini, tidak ada musuh dan apapun. Kali ini, mereka bisa beristirahat dengan nyaman. Ya, bisa dibilang, hanya untuk saat ini.
“Ehem!”
Hamdi berbalik. Ia menemukan sahabat karibnya Nelson, berdiri di pintu kokpit sambil melipat tangannya. Wajahnya terlihat kesal dan memandangi Hamdi dengan serius. Pasti ia minta penjelasan tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Hamdi hanya membalas dehaman itu dengan mengangguk mengerti.
Hamdi menekan tombol auto-pilot pesawat. Lalu meninggalkan kursi pilotnya. Menyusul semua teman-temannya yang telah berkumpul di ruang pertemuan pesawat. Di tangannya, ia memegang peta New York City dengan spidolnya. Ia berdiri di depan seluruh temannya dan tersenyum misterius seperti biasanya.
“Kalian pasti bingung, kan, mengapa aku bisa mendapatkan pesawat ini?”
Semuanya hanya mengangguk dengan ragu. Lalu Hamdi menceritakan pada teman-temannya. Sebelumnya, saat Hamdi keluar dari ruangan direktur, Phil berlari mengejarnya. Ia meminta maaf tentang kelakuan Agen Aaron Lancaster yang menyebalkan. Atau bisa dibilang, mencurigakan. Lalu ia menawarkan bantuan apapun pada Hamdi.
Begitulah. Setelah berpikir beberapa lama dengan Frappucinnonya, ia memutuskan untuk melakukan suatu misi: Menghentikan invasi Fikri Hulu dan menanyakan apa yang sebenarnya ia inginkan. Maka ia meminjam pesawat milik SHIELD, dan segera terbang menuju New York. Hamdi menempelkan sebuah peta New York di papan tulis ruang pertemuan itu. Lalu melingkari sebuah gambar kedai McDonald.
“Seperti yang kita ketahui, tadi pagi kita berada di sini.”
Kemudian Hamdi menggambarkan sebuah pesawat tempur, menandakan Globemaster III. Dan sebuah pesawat antariksa, yang menandakan pesawat Fikri Hulu. Lalu ia menggambarkan garis merah dari pesawat tempur itu ke pesawat antariksa. Semuanya hanya mengangkat alis mereka, masih tidak mengerti.
“Kalian tahu apa artinya? Artinya, kita langsung mencari Fikri Hulu, langsung ke pesawatnya!” Kata Hamdi dengan bersemangat.
Cuiiihhh!! Semua orang (tentu saja, kecuali Hamdi) langsung menyemprotkan kopi mereka masing-masing. Merasa benar-benar tidak percaya. Memang sudah miring otaknya Hamdi sekarang! Teriak mereka di dalam hati. Hamdi tertawa geli melihat ulah teman-temannya itu. Ia mengeluarkan secarik robekan kertas dan melambaikannya pada teman-temannya.
Kertas itu adalah daftar orang yang tetap tinggal di pesawat selama misi itu berlangsung. Semuanya diam, berharap nama mereka adalah salah satu yang tercantum dalam daftar tersebut. Hamdi mulai membaca daftar tersebut dan memerintahkan perintah yang berbeda pada teman-temannya.
“Linda dan Lina, kalian yang mengendalikan pesawat selama aku pergi.”
“Aye aye, captain!”
Linda dan Lina langsung memberikan hormat pada Hamdi, tersenyum kemenangan. Mereka segera berlari secepat kilat menuju ruang kokpit. Meninggalkan teman-temannya yang mengerang karena tidak termasuk dalam daftar itu.
“Fikri dan Bill, terus pantau pergerakan Fikri Hulu dan pasukannya. Dan beritahu kami apabila ada sesuatu yang terjadi, oke?”
Fikri dan Bill mengangguk. Lalu segera high five ria dengan satu sama lain sambil tertawa-tawa. Semuanya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa malah jadi mereka yang tidak ikut misi ini? Pikir Ratna dalam hati dengan bingung.
“Dan sisanya, ikut aku dalam misi ini.”
Cuiiihhh!!! Kembali, semuanya (kecuali Hamdi, Linda, Lina, Fikri, dan Bill) menyemprotkan kopi mereka masing-masing. Lebih keras daripada sebelumnya. Kini, mereka yang ikut dalam misi itu merasa benar-benar syok. Mengapa bisa sampai seperti ini ceritanya?
“Memangnya kita tidak bisa tidak ikut misi ini, hah?” Tanya Jimmy dan Nash setengah kesal.
Boooomm!!!
“Well, sepertinya tidak bisa!”
Hamdi mengendikan kepalanya dan berlari ke ruang kokpit. Yang benar saja. Pesawat itu telah menabrak ke sebuah gedung yang sudah pasti berada di New York. Dari jauh, pesawat itu terlihat seperti sebuah paku kecil yang menancap di dinding yang besar. Benar-benar tidak lucu. Hamdi segera mengambil Quad Blaster miliknya dan mengencangkan jaketnya.
“Guys! Kita keluar di sini!” Teriak Hamdi.
“Tunggu! Biar kuarahkan pesawatnya ke arah pesawatnya Fikri Hulu!” Panggil Linda.
Linda menarik gasnya dengan kuat. Pesawat mundur dengan perlahan, meninggalkan sebuah lubang besar di dinding gedung itu. Ia menerbangkan pesawat menuju pesawat antariksa raksasa Fikri Hulu. Semuanya masuk ke dalam ruang kokpit untuk melihat itu. Mereka meneguk ludah ketika melihat apa yang ada di hadapan mereka.
Pesawat antariksa Fikri Hulu. Pesawat itu benar-benar besar. Ukurannya dua kali lapangan sepakbola tebesar di dunia. Warna catnya yang hitam dan gelap gulita, menutupi langit cerah New York. Keadaan kota menjadi suram karena kedatangan pesawat tersebut. Dengan perlahan namun pasti, Globemaster III mendekati pesawat itu tepat di dekat pintu daruratnya.
Hamdi dan timnya melangkah keluar dari pesawat itu dengan perlahan dan hati-hati. Tiba-tiba, duaarr!!! Sebuah ledakan terjadi tepat di belakang Globemaster III. Hamdi berbalik dengan cepat. Para alien telah mengejar mereka semua dengan senjata di tangan mereka. Dor-dor-dor-dor-dor! Rentetan peluru laser ditembakkan pada mereka.
“Hamdi! Lari! Kami akan menjemput kalian!” Teriak Lina dibalik radio.
Hamdi mengangguk mengerti. Ia dan timnya segera berlari masuk ke dalam pesawat melalui pintu darurat. Sementara Globemaster III melaju dengan kencang. Menghilang di balik gedung-gedung tinggi itu dengan para alien mengikuti mereka di belakang. Hamdi memandang sekeliling. Lorong pesawat Fikri Hulu begitu sunyi senyap. Tidak ada orang disana. Di depan mereka, terdapat dua jalan. Hamdi terdiam. Kemana mereka harus pergi?
“Kita berpisah jalan disini untuk mencari Fikri Hulu. Aku akan ke kanan, kalian ke kiri. ” Kata Hamdi sambil menurunkan senjatanya. Semuanya hanya menanggapinya dengan diam. Lalu Rick membuka mulutnya.
“Tapi siapa yang harus memimpin jalan kami?”
“Dia.”
Hamdi menunjuk ke arah Linda Paka. Linda Paka tersentak. Bola matanya membesar ketika ia melihat Hamdi menunjuknya. Ia belum pernah ditunjuk sebagai pemimpin tim sebelumnya. Namun, bagaimana caranya ia bisa memimpin tim itu tanpa Hamdi? Ia berbicara pada Hamdi dengan terbata-bata.
“A..a..aku?” Tanyanya.
Plak! Plak! Plak! Plak! Plak! Hentakan kaki terdengar di belakang mereka. Tepat di ujung lorong. Jantung Hamdi kembali berdegup dengan kencang mendengar hentakan-hentakan itu. Sialan, pasukan alien itu lagi! Pikirnya di dalam hati. Ia mengencangkan pegangannya pada Quad Blaster miliknya dan memandang teman-temannya.
“Kita harus berpisah sekarang. Carilah dia dan hubungi aku apabila kalian mendapatkannya. Berhati-hatilah kalian di sana.”
Linda Paka dan teman-temannya mengangguk dengan mantap. Mereka bergegas memasuki lorong kiri itu dengan bersemangat. Entah kenapa, Hamdi tiba-tiba tersenyum sendiri melihat mereka. Sebelum ia memasuki lorong kanan, Linda Paka menahan bahunya. Raut mukanya berkerut dengan serius.
“Hamdi, kenapa kau memilihku untuk memimpin mereka?” Tanyanya.
Hamdi hanya mengangkat pundaknya.
“Entahlah. Ada seseorang yang mengatakan itu di pikiranku.”
***
Linda Paka bersama teman-temannya melewati lorong itu dengan perlahan. Ia melihat papan di atasnya. Sektor 13. Pasti itu nama untuk lorong yang mereka sedang lewati. Semoga tidak terjadi hal-hal sial dan aneh disini. Firasatku buruk ketika aku masuk lorong ini, pikir Linda Paka di dalam hati. Tiba-tiba, Nindi memecahkan lamunannya.
“Linda Paka, ada laporan radio dari Bill dan Fikri.”
Nindi memberikan headphone radio birunya pada Linda Paka. Linda Paka menerimanya dengan cemas. Semoga saja tidak ada berita buruk. Tiba-tiba, terdengar suara Bill dan Fikri dari sana. Kedengarannya mereka benar-benar panik.
“Linda Paka! Segera pergi dari sana!” Teriak Fikri dan Bill dengan memekakan telinga.
“Memangnya kenapa?” Tanya Linda Paka. Ia langsung menghentikan teman-temannya berjalan.
“Kalian salah masuk sektor! Sektor yang kalian masuki adalah sektor...”
Belum selesai berbicara, Linda Paka sudah mematikan radio tersebut. Karena di hadapannya, puluhan pasukan alien telah menghadang mereka. Mungkin bukan puluhan, tapi ratusan. Mereka ada di setiap sisi Linda Paka dan timnya. Para alien itu menyeringaikan gigi tajamnya dengan kilatan mata jahatnya. Menodongkan pedang dan pistol laser mereka ke arah Linda Paka dan teman-temannya.
Kini, mereka tersudut di Sektor 13. Linda Paka sadar apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Fikri dan Bill: Sektor itu adalah pusat sektor alien. Dasar sektor dengan angka sial, pikir Linda Paka dengan kesal. Hamdi, kenapa kau menaruhku di sektor ini? Bagaimana kami bisa lolos dari para alien ini?
***
Hamdi menyusuri lorong dengan hati-hati. Matanya terus memandang keadaan sekitarnya dengan curiga. Seakan-akan ada seorang alien mengikutinya dengan badan yang kasat mata. Namun ia terus hingga berjalan hingga ia sadar akan sesuatu: jalan itu buntu. Tidak ada apa-apa di lorong itu. Kecuali, sebuah pintu berkode QZ1850.
Ia berjalan dengan perlahan menuju pintu itu. Tangannya memegang gagang pintu dengan bergetar. Ia ragu. Apa jangan-jangan pintu itu merupakan jebakan? Bagaimana jika ia tidak bisa keluar lagi setelah ia masuk ke dalam sana? Pikirannya terus berkecamuk, hingga ia ponselnya bergetar di saku jaketnya.
Hamdi mengambil ponselnya dan melihat nama kontaknya. Fikri. Fikri sedang meneleponnya. Ada sesuatu yang terjadi. Ia segera mengangkat panggilan dari Fikri. Berharap tidak ada hal yang buruk pada teman-temannya.
“Fikri, apakah kalian semua tidak apa-apa?” Tanya Hamdi.
Tidak ada balasan apapun dari Fikri. Terdengar suara hembusan nafas dari Bill.
“Hamdi, teman-temanmu... terkepung oleh alien di Sektor 13.” Kata Bill dengan lesu.
Hamdi terdiam. Tapi bagaimana bisa? Tanya Hamdi pada dirinya sendiri. Ia memejamkan matanya. Wajahnya memerah. Badannya yang mulai bergetar karena marah, kesal, dan kecewa akan kedua rekan timnya itu. Ia bisa menyalahkan Fikri dan Bill karena terkepung oleh para alien menyebalkan itu.
“Kenapa kalian tidak memperingatkannya?”
“Kami sudah memperingatkannya. Tapi...”
“Tapi kenapa, Fik?” Nada suara Hamdi mulai meninggi.
“Tapi mereka tidak mendengarkan kami! Mereka langsung memutuskan panggilan kami!” Kata Fikri dengan sama kesalnya dengan Hamdi. Fikri terdiam dan menghembuskan. Hamdi sadar. Itu bukan sepenuhnya salah Fikri dan Hamdi. Lalu Bill dan Fikri kembali berbicara setelah beberapa detik keheningan.
“Dengar, Hamdi. Kini, kau harus ke ruang QZ1850. Disitulah ruangan Fikri Hulu. Pergilah, dan berhati-hatilah.” Kata Fikri dan Bill secara bergiliran.
Senyum Hamdi mengembang di bibirnya. Ia mematikan panggilan itu. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang ada di sampingnya. Pintu ruangan QZ1850. Ruangan Fikri Hulu. Sekarang, ia yakin untuk membuka pintu itu.
Hamdi mengenggam Quad Blasternya dengan erat. Brakk!! Ia mendobrak pintu dan mengarahkan Quad Blaster-nya ke sekeliling ruangan kosong itu. Tidak ada siapapun. Dan tidak ada apapun. Yang ada hanyalah sebuah ruangan kosong bercat putih dengan sebuah jendela yang memperlihatkan seluruh Times Square. Juga, beberapa lembar kertas yang disusun melingkar di ruangan itu.
Hamdi berjalan dengan perlahan mendekati kertas itu. Lalu mengambil secarik kertas yang merupakan guntingan dari sebuah buku itu. Ia menelitinya dengan baik-baik. Itu gambar sebuah bola. Sebuah bola besi berwarna merah yang memendarkan cahayanya. Ia mengambil kertas yang lain. Sama. Kertas demi kertas yang Hamdi lihat, adalah gambar bola itu. Bola, bola, bola. Memangnya apa istimewanya bola itu? Pikir Hamdi di dalam hati.
Namun Hamdi juga mendapatkan foto lain: foto dirinya sendiri dengan seragam NASA. Dan dibawah foto itu, tertera tulisan DEAD. Hamdi langsung meneguk ludahnya. Apa Fikri Hulu berniat untuk... membunuhnya?
“Apa yang kau cari disitu, Ikhlasul Hamdi?”
Hamdi segera berbalik dengan cepat dan mengarahkan Quad Blaster-nya ke sumber suara tersebut. Fikri Hulu, berdiri di depan pintu dengan pedang perunggunya. Menyeringai jahat pada Hamdi. Ia segera menyergap Hamdi, menjatuhkannya ke lantai.
Hamdi mengerang kesakitan. Namun ia tahu apa yang harus dia lakukan: Menendang Fikri Hulu. Maka dengan sekuat tenaga, Hamdi menendang perut Fikri Hulu. Bukkk!! Fikri Hulu tertendang ke belakang, menabrak mengenai dinding. Dengan marah, ia menarik kedua kaki Hamdi. Dan seketika, ia melempar Hamdi melalui jendela pesawat itu!
Pranggg!! Hamdi terlempar jauh dari pesawat. Brukk!! Ia terhempas ke tanah dengan keras. Kepalanya terasa berat sekali. Pandangannya bergoyang-goyang. Ia kembali mengerang kesakitan. Tapi masih berusaha untuk bangkit. Ia berjalan dengan tertatih-tatih dan kembali terjatuh. Ia melihat lawan terberatnya di depan matanya. Wajah lawannya itu tersenyum licik, dengan rambut pirangnya yang terbang tertiup angin dan pedang panjangnya.
“Fikri Hulu.”
“Hamdi, kita bertemu lagi. Dan kau telah tiba dengan ajalmu.”
Fikri Hulu menarik pedang dari sarungnya. Ia berteriak dengan keras seraya menghempaskan ujung pedangnya ke arah badan Hamdi. Trang! Nyaris ujung pedang itu menusuk tubuhnya. Untunglah dia segera meloncat kabur. Bukk! Hamdi melayangkan pukulan ke perut Fikri Hulu. Wajah Fikri Hulu segera berubah menjadi merah padam.
Dengan kesal, Fikri Hulu melayangkan tendangan ke arah Hamdi. Tepat. Buukk!! Hamdi terlempar dan terhempas ke tanah. Darah hangat mengalir di mulutnya. Matanya berkedip. Beberapa senti di sampingnya, sebuah senjata tergeletak. Itu senjatanya, Quad Blaster. Jika ia bisa mengambil senjata itu dan menembakkannya ke Fikri Hulu, ia selamat.
Hamdi merangkak dengan pelan menuju Quad Blaster-nya. Sedikit lagi, aku hampir sampai, pikir Hamdi dalam hatinya. Ia menengok ke belakang. Fikri Hulu berlari dengan cepat mengejarnya. Beberapa langkah lagi, dan Fikri Hulu akan mengenyahkannya. Hamdi mempercepat kecepatan merangkaknya. Nafasnya memburu. Sedetik, ia berhasil menggapai senjata itu. Dapat!
Namun ketika Hamdi berbalik ke belakang, ia mendapati Fikri Hulu sudah melayang menerjangnya. Brukk!! Fikri Hulu jatuh tepat di badan Hamdi. Hamdi segera menendangnya ke sampingnya dan berusaha mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, Fikri Hulu mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Itu sebuah alat suntik. Sebuah cairan kuning di dalamnya terlihat menggumpal. Dan semakin lama cairan itu semakin melipat gandakan jumlahnya.
“Enyahlah kau!”
Fikri Hulu berteriak seraya mendekatkan alat suntiknya ke lengan Hamdi. Hamdi berusaha menahan tangan Fikri Hulu dengan sekuat tenaga. Namun ia ingat sesuatu: Quad Blaster-nya. Ia segera melepaskan tangannya dan menggapai senjatanya dengan cepat. Ia pun menarik pelatuk pistolnya itu. Dorr! Sebuah sinar laser yang menyilaukan menghantam tubuh Fikri Hulu dengan keras. Menghempaskan Fikri Hulu jauh sekali. Kali ini, Hamdi selamat.
Hamdi tertawa kecil. Namun ia tersadar, bahwa pandangannya mulai memburam dan mengabur. Ia melihat ke lengannya. Sial, sebuah alat suntik telah tertancap di tangannya. Mengalirkan cairannya dengan perlahan menuju seluruh tubuhnya. Hamdi berusaha menarik jarum suntik itu. Tapi tangannya kanan menjadi kram seketika. Apa-apaan ini? Tanyanya pada diri sendiri sambil berusaha menarik alat suntik itu dengan tangan kirinya.
Ia segera melempar alat suntik itu ke tanah. Nafasnya menjadi sesak. Ia menggapai-gapai langit, berusaha mencari pegangan. Tidak! Hamdi berteriak di dalam hatinya. Tidak ada siapapun di sana. Ia tidak bisa meminta bantuan. Detik berikutnya, hal yang buruk telah terjadi.
Ia terkulai dengan lemas di tengah jalanan Times Square.
***
Sementara itu, di atas pesawat antariksa Fikri Hulu, Linda Paka dan teman-temannya tersudut di dekat jendela. Para pasukan alien itu menodongkan pedang dan pistol mereka ke arah Linda Paka dan teman-temannya. Linda Paka melihat sekelilingnya. Tidak ada jalan keluar. Ia mengetuk-ketuk kaca jendela itu. Itulah satu-satunya jalan keluar. Linda Paka segera berbalik dan berseru pada teman-temannya,
“Semuanya, dobrak kaca ini! Ini satu-satunya jalan keluar!”
“Apa!?”
Semuanya langsung berteriak kaget. Namun itu memang satu-satunya jalan keluar.
“Lina Pene, Amelia, Nash, Jimmy, ikut aku! Ratna, Rick, Nindi, Nelson, Novia, lindungi kami!” Perintah Linda Paka dengan cepat.
Semua mengangguk mengerti. Ratna mengeluarkan pedang dari sepatunya dan segera menebas alien yang mengarahkan pistol padanya. Nindi mengeluarkan pedang lightsaber-nya dan memutarnya dengan cepat, menumbangkan para alien satu per satu. Novia memanah para alien itu. Sementara Nelson dan Rick mengeluarkan pistol mereka dan menembak para alien dengan sekuat tenaga.
Di belakang mereka, Linda Paka dan yang lainnya mencoba untuk memecahkan kaca tersebut. Jimmy dan Nash mecoba untuk mendobrak kaca tersebut. Tidak bisa. Kaca itu terlalu tebal. Tiba-tiba, Lina Pene mendapat ide. Ia segera mengeluarkan bazookanya dari tas.
“Kaboom!” Katanya dengan riang.
Semuanya menepuk dahi dengan kesal. Namun Lina Pene tetap mengarahkan bazookanya ke arah kaca. Booom!!! Praaanggg!! Bazzoka terlempar dari kaca itu, memecahkan seluruh kaca di sektor tersebut. Linda Paka berbalik ke arah Ratna yang menahan para alien itu dengan pedangnya.
“Cepatlah! Aku sudah tak bisa menahannya lagi!” Teriak Ratna.
“Semuanya! Terjun!”
Ratna dan yang lainnya berlari meninggalkan para alien itu. Meloncat dari pesawat yang berketinggian 80 meter dari tanah itu. Semuanya berteriak ketakutan. Brukkk!!! Semuanya mendarat ke tanah dengan hentakan yang keras. Linda Paka mengerang kesakitan. Dan ia melihat Hamdi di sampingnya. Tergeletak tak berdaya.
“Hamdi!”
Semuanya berlari mendekati Hamdi. Novia memeriksanya dan memandangnya dengan baik. Nafas berhembus pelan dari hidungnya. Ia masih bernafas. Ia masih hidup. Namun, apa yang terjadi dengan Hamdi. Tiba-tiba, Novia tersentak. Ia tahu apa yang terjadi pada Hamdi.
“Apa Hamdi baik-baik saja?” Tanya Amelia dengan cemas. Novia menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Ia tidur. Dan mungkin ia tak akan pernah bangun lagi.”
***
Huahahahaha, akhirnya selesai juga part 10 ini :D
Bagaimana part 10 ini? Semoga kalian semua suka. Thanks bagi semua yang sudah mengikuti cerita ini sampai sini. Dan maafkan aku atas keterlambatan postnya yang sangat lambat karena: 1.) Aku sakit cacar 2.) UTS 3.) Sibuk.
Btw, di multimedia itu foto castnya NYWHP, tapi yang laki-lakinya dulu. Sekali lagi maaf dan ditunggu vote dan commentnya :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro