Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bonus Chapter: Photograph (2/2 End)

"Dia sadar."

Nelson mulai membuka matanya dengan perlahan. Ia mengucek matanya sambil berusaha memfokuskan pandangan di depannya. Putih, dengan lampu neon putih panjang diatasnya. Bau obat bius berseliweran di sekitarnya. Di pandangannya yang mulai memfokus, ia melihat ranjang-ranjang rumah sakit. Di samping kiri dan kanannya, ia bisa melihat Jimmy dan Nindi berdiri dengan wajah setengah cemas dan gembira.

"Hola mi querido amigo! (bahasa Spanyol: Halo, temanku!)" Nindi tersenyum usil sambil mengangkat topinya.

Nelson melihat ke sekelilingnya. Dia berada di rumah sakit. Atau lebih tepatnya, ruang gawat darurat. Ia ingin menggaruk kepalanya meskipun tak terasa gatal. Namun ia merasa sesuatu yang berbeda mengelilingi dahinya. Ia mulai merabanya dan sadar bahwa ada kain kasa d isekeliling dahinya sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi?

Nelson menggelengkan kepalanya sambil melongo. "Jimmy, Nindi, apa yang-"

"Apa yang terjadi dengan dirimu hingga kau ada di sini sekarang?" kata Jimmy dengan cepat dan datar. "Kau pingsan selama 5 jam."

"Pingsan? Tapi ba-"

"Bagaimana hal itu bisa terjadi? Tentu saja bisa," potong Jimmy. "Entah kenapa, mungkin kau melamun, kau menabrak tiang jalan dengan keras. Lalu jatuh pingsan. Dahimu banyak berdarah. Jadi kami membawamu ke rumah sakit."

Nindi memutar topinya. "Beberapa jam yang lalu aku menelepon Novia dan Ratna," katanya. "Namun Novia sedang di Massachusetts, mengurus tugasnya di Harvard. Sedangkan Ratna di California, mendatangi penerbitnya untuk peluncuran bukunya. Kutelpon Nash, ia masih di LA. Sedangkan Amelia dan sisanya tidak bisa ditelepon. Jadi begitulah, cuma aku dan Jimmy,"

Nelson masih tidak percaya apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia masih meraba-raba lukanya yang kembali terasa nyeri. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum jatuh pingsan. Ya, ia ingat bagaimana ia melamun tentang Hamdi dan berlarut-larut didalamnya. Lalu terdengar suara "bruk" dan semuanya gelap. Hingga ia berakhir di rumah sakit sekarang. Menyebalkan, batin Nelson.

"Tiga jahitan di dahi dan sedikit bagian hidung. Untung tidak sampai dagu. Kalau tidak, kau akan lebih terlihat seperti Paul Walker." canda Jimmy sambil membetulkan dasi birunya.

"Masih ingat kejadian Fauzi dulu? Ketika ia menabrak lemari kaca dan mendapat luka dari dahi hingga dagunya? Persis seperti Paul Walker. Nasibnya sama sepertinya Walker, jadi bintang Holywood." kenang Nindi sambil tersenyum kecil.

Nelson tertawa lepas. Namun ia kembali teringat dengan Hamdi, saat Hamdi tewas di tempat kejadian. Wajah Hamdi memiliki luka memanjang di pelipis kanannya. Nelson meraba kembali lukanya dengan tangan setengah bergetar. Hamdi, batin Nelson. Ia segera beranjak dari kasur rumah sakitnya dan membetulkan dasinya. Ia memasang jasnya dan berjalan menuju pintu keluar.

"Hei, hei! Whoa, mau kemana kau, Nelly Johnny?" panggil Jimmy dengan setengah panik.

"Kalian berdua harus menemaniku sekarang." kata Nelson.

"Tapi kemana?" tanya Nindi.

"Kalian akan tahu."

Jimmy dan Nindi saling berpandangan. Apa boleh buat. Mereka pun mengikuti Nelson keluar dari ruang gawat darurat, dengan dasinya yang masih memiliki bercak darah. Mereka bertiga berjalan cepat melewati Central Park, dan pikiran Jimmy teringat pada sesuatu tempat yang ia kenal. Jangan-jangan Nelson akan ke sana, pikirnya.

Kemudian, mereka bertiga berhenti di depan sebuah pintu gerbang. Pintu gerbang itu terlihat suram. Dengan pohon-pohon yang terlihat lesu. Juga suara orang menangis tersedu-sedu terdengar seperti gema. Nindi memegangi lehernya dengan tidak nyaman. Jimmy meneguk ludahnya. Mereka sadar, itu adalah sebuah pemakaman.

"Nelson, jangan bilang kau mau pergi ke sana, kan?"

Nelson hanya diam sambil memandang pintu gerbang itu dengan tatapan kosong. Ia mulai berjalan memasuki pintu gerbang tersebut dengan perlahan. Jimmy dan Nindi hanya mengikutinya dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Seolah-olah hal buruk akan menerkam mereka dari belakang dengan taring dan cakar yang panjang.

Nelson berhenti di depan sesuatu. Sebuah makam yang sepi. Dengan pohon maple yang merindangi makam tersebut. Suasana yang ada di sekitar makam itu tidak seperti sebelumnya. Suasanannya sangat sunyi, namun juga damai dan menentramkan. Di batu nisan berwarna hitam itu, tertulis: Ikhlasul Hamdi (2001-2024)

Nelson, berdiri di depan makam itu, dengan mata yang berkaca-kaca. Ia hanya mengepalkan kedua tangannya untuk menahan getaran kecil tubuhnya. Jimmy dan Nindi berdiri di belakangnya, hanya menunduk sambil saling berpandangan. Ikut merasa sedih. Tiba-tiba saja, seluruh kenangan tentang Hamdi kembali lagi, dan membuat perasaan mereka kembali terhentak.

Nindi memegangi ujung matanya, berusaha untuk menahan tangisannya. Jimmy hanya mengigit bibir bagian bawahnya. Lalu ia memandang ke arah ponselnya yang tiba-tiba berdering. Sebuah pesan. Ia langsung membuka pesan itu dan menyikut Nindi. Nindi hanya memandangnya dengan kesal.

"Apa?!" desis Nindi.

"Kita harus pergi sekarang," bisik Jimmy. "Rapat untuk acara promosi tahunan. Kita harus segera ke kantor sekarang."

"Bagaimana dengan," Nindi mengarahkan telunjuknya ke arah Nelson dengan jeda. "Dia?"

Jimmy menangkupkan wajahnya ke kedua tangannya. Lalu menepuk pundak Nelson. Nelson melirik sedikit ke belakang. "Kenapa?" tanyanya dengan singkat. Lalu berbalik ke arah Jimmy. "Nelson, kita harus pergi sekarang. Rapat promosi tahunan. Bos mengirim pesan padaku tadi."

Nelson hanya diam sambil memandang tanah. Dengan matanya yang masih berkaca-kaca, ia mengalihkan pandangannya pada Nindi dan Jimmy. Ia tersenyum lirih. "Kalian berangkat saja duluan," katanya. "Tinggalkan aku sendiri di sini."

"Ta-ta-tapi rapat tidak akan berjalan tanpamu! Kita akan terlambat!" seru Nindi.

"Lakukan apa yang kukatakan, Nindi! Aku bilang, tinggalkan. Aku. Sendiri!"

Mereka terdiam setelah Nelson berseru keras pada Nindi. Nelson berbalik kembali ke arah nisan tersebut sambil menggertakkan rahangnya. Nindi hanya tertunduk dengan sedikit sedih. Jimmy menghela nafasnya dan menepuk pundak Nindi. "Kita harus pergi sekarang," kata Jimmy. "Tinggalkan dia sendirian. Lakukan apa yang ia katakan."

Nindi menghela nafas panjang. Lalu berjalan keluar dari pemakaman tersebut dengan lesu bersama Jimmy. Di perjalanannya menuju kantor pun, ia masih memikirkan bagaimana Nelson benar-benar teringat kembali pada Hamdi. Pasti Nelson benar-benar merasa sedih sekarang, batin Nindi. Ia memandang langit biru sambil menghela nafas. Andai kau tak mati, Hamdi, dan aku tak melihat foto itu, kejadiannya tak akan seperti ini.

Sementara itu, Nelson masih berdiri di depan makam tersebut. Termenung sendirian memandangi makam temannya tersebut. Ia mulai berjongkok di depan makam tersebut sambil memegangi batu nisannya. Ia menghela nafas. "Kau tahu, Hamdi. Aku sudah lama tidak datang ke sini," katanya pada dirinya sendiri. Namun seolah-olah sedang berbicara dengan Hamdi.

"Ya, aku tahu, Hamdi. Kami jarang datang ke makammu. Namun biar kuberitahu sesuatu. Semuanya telah berubah disini. Kami mendapat pekerjaan yang lebih baik, membantu orang lain, mendapat penghargaan, dan beberapa ada yang mendapatkan pasangan. Namun, ada satu hal yang tak pernah berubah, Hamdi. Kau,"

"Kematianmu membuat kami tidak bisa tenang. Kau tahu, setelah pertempuran tersebut, aku menghentikan acaraku selama seminggu penuh. Kau tahu kenapa? Karena aku sedang dalam masa syok. Ya, aku selalu memikirkan tentang bagaimana kematianmu, dan membuatku menangis selama beberapa hari. Jujur, mungkin aku lebih cengeng daripada Lina Pene,"

"Andai aku tak mendapat cerita soal foto bersama itu dari Nindi, aku tak akan seperti ini. Seandainya kau tak mati, kehidupanku tidak akan berubah dengan cerita seperti ini. Seandainya-" Nelson menghentikan ucapannya. "Seandainya kau hidup, aku akan lebih bahagia seumur hidupku."

Nelson mengucek matanya yang berair. Memang tidak ada gunanya berandai-andai. Namun ia tetap saja mengatakannya pada batu nisan yang tidak bernyawa. Tidak ada gunanya pula selalu bersedih seperti ini, batin Nelson. Ini sudah enam bulan, dan aku harus berusaha untuk melupakannya. Sama seperti yang lainnya. Lupakan apa yang terjadi di masa lalu. Pikirkanlah apa yang terjadi ke depan.

Ayolah, Nelson. Kuatkan dirimu.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Tiga pesan sekaligus. Dari Jimmy, Nindi, dan atasannya sendiri. Dan ketiganya menyuruhnya untuk segera kembali ke kantor. Itu karena presentasi Nelson akan segera dimulai. Nelson membatin, ia harus pergi sekarang. Lalu ia beranjak dan memandang batu nisan Hamdi. Nelson menggaruk kepalanya yang masih terbebat kain kasa.

"Oke, Hamdi. Aku harus pergi sekarang. Terima kasih atas waktumu."

Tidak ada jawaban. Tentu saja. Batu nisan hanyalah benda mati. Nelson hanya mendesah panjang. Lalu menaruh tangan kanannya di batu nisan itu sambil menunduk dengan serius. Ia menggigit bibir bagian bawahnya.

"Jika kau bisa mendengarkanku sekarang, biar kuberitahu apa permintaanku dan kabulkanlah," kata Nelson. "Ini permintaanku: bisakah kau berhenti menjadi mati?"

Tidak ada jawaban. Sama seperti sebelumnya, nisan tersebut tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Namun, mungkin, di suatu tempat, Hamdi mendengar pertanyaan tersebut. Lalu mungkin akan mengatakan, "Aku tak mungkin kembali, Nelson. Aku sudah mati. Aku tak bisa kembali." Nelson hanya menganggukkan kepalanya sambil mengatupkan bibirnya.

Tiba-tiba, Nelson merasa air matanya mengalir. Ia menghapusnya air matanya supaya tidak ada orang yang melihatnya menangis sambil mengumpat. Sialan, jangan menangis! Jangan menangis! Batinnya sambil mengepalkan tangan. Kemudian, ia berjalan berbalik meninggalkan makam tersebut. Ia melirik ke arah makam itu sambil bergumam, "Selamat tinggal, kawan."

Nelson berjalan dengan sedih meninggalkan pemakaman tersebut dan berjalan menuju kantornya. Seketika, seorang laki-laki dengan topi menutupi wajahnya menyenggolnya hingga Nelson hampir terjatuh. Nelson langsung terkejut dan berbalik ke arah laki-laki itu untuk meminta maaf. "Astaga, ma-"

Belum selesai menyelesaikan kalimatnya, nafas Nelson tercekat. Ia melihat lelaki dengan rambut agak ikal berwarna coklat kehitaman. Dengan seragam petugas bawahan NASA. Pikirannya segera teralih kepada Hamdi. Orang yang menabraknya itu benar-benar mirip dengan Hamdi. Nelson, dengan terbata-bata, menunjuk ke arahnya.

"Apakah kau... Ikhlasul Hamdi?"

Lelaki itu mengernyitkan dahinya sambil tertawa kecil. "Hamdi? Huh, maaf. Tapi aku Charlie Fitton. Siapa itu Hamdi?"

Nelson sempat terkejut. Namun ia mendekati lelaki itu dengan perlahan sambil menyeringai. "Kau bohong," kata Nelson. "Kau memang Hamdi. Suaramu dibuat-buat, seragammu NASA, dan aku lihat kau mengecat rambutmu. Aku tahu itu kau, Hamdi. Itu memang kau. Kau belum mati."

Terjadi keheningan di antara mereka berdua. Lelaki itu hanya terkekeh dan membuka topinya. Membuat Nelson benar-benar terkejut dan setengah syok. Ia mengenali wajah orang itu. Orang itu adalah sahabatnya sendiri. Seorang pahlawan yang berusaha merendahkan dirinya. Seseorang yang sudah lama tiada sejak enam bulan yang lalu. Semua itu membuat pandangan Nelson memburam dan terhentak. Hingga ia kembali pingsan di tengah keramaian itu.

Hal terakhir yang ia lihat hanyalah seringaian lelaki itu padanya. Atau bisa dibilang, Hamdi.

***

Morning update!

Endingnya gaje ya? ._.

Jadi pada intinya seperti ini, Nelson sempat meratapi kematian Hamdi. Lalu berharap agar Hamdi bisa berhenti menjadi mati (maksudnya hidup lagi). Ternyata, di akhir cerita, Nelson ketemu orang yang mirip Hamdi dan berpikir sebenarnya itu Hamdi. Dan ternyata iya, orang itu sebenarnya Hamdi yang sudah lama dikira mati. Daan Nelson benar-benar shock sampai pingsan.

Ujung-ujungnya kok mirip dengan ceritanya serial Sherlock dan Forever ya? ._. (Oh, forget it)

Aaand this chapter is dedicated to ada-peri-rini-yang-siap-membantu-dan-cerewet: @Alfikrini! Congrats!

Please read my author notes next. Thank you!

QOTD: Ada yang nonton Trending Topic di MetroTV tadi malam? (tanggal 19 Mei). Just want to know because something hilarious happening there XD


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro