Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bonus Chapter: Photograph (1/2)

A/N: Sesuai dengan judulnya, ini adalah alternate version dari Chapter 14 dan 15. Karena menonton beberapa serial TV dan film juga membaca beberapa buku, aku berpikir apa yang terjadi jika Hamdi memutuskan untuk benar-benar mati. And this is the story. Here you go!

And yes, prepare to die, Hamdi.

***

Kota New York, Maret 2025, 07.00 pagi.

Nindi berdiri di depan jendelanya sembari memegang gelas kopinya. Dengan kemeja biru lautnya  dan celana panjang kainnya, ia memandangi keadaan lalu lintas di sekitar tempat tinggalnya yang legendaris, Fifth Avenue. Suram, dingin, dan sepi. Betul-betul pemandangan yang indah, namun juga membosankan. Entahlah, semua orang-orang yang dijalan itu saling menyapa, namun mereka tidak peduli satu sama lain. Mereka saling menyapa, namun dengan tatapan dingin, seolah sebenarnya tak  menyatakan sapaan itu.

Nindi berbalik ke arah meja kerjanya. Semuanya sudah siap. Ransel dan jaket hitam panjang nan tebalnya sudah disiapkan sedari tadi. Ia memandang arlojinya. Lima menit lagi, Nelson dan Jimmy akan menjemputnya. Ya, seperti biasa. Sebelumnya, Nindi di pecat dari FOX News dan mendapat pekerjaan baru di NBC Nightly News dalam waktu bersamaan. Sejak saat itu, setiap pagi mereka akan berangkat ke kantor bersama. Meskipun mereka akan berpisah, itu terasa menyenangkan.

Nindi tertawa kecil mengingat kedua temannya itu. Kemudian, matanya tertuju pada sebuah bingkai foto di meja kerjanya. Nindi mengaruk rambutnya yang kini telah dipotong pendek sebahu, lalu mengambil foto di mejanya. Itu foto seluruh teman-teman timnya yang luar biasa itu, B-Team.

Nindi ingat, saat itu enam bulan yang lalu di Helicarrier, markas rahasia SHIELD. Sebelum pergi kembali ke New York, Phil menawarkan dirinya untuk mengambil foto seluruh anggota tim. Semuanya menerima usulan itu. Mereka tertawa dan tersenyum bahagia. Dan di tengah mereka, temannya, Hamdi, juga tertawa bahagia. Uhm, ralat, batin Nindi. Maksudku, mendiang Hamdi.

Entahlah, terkadang Tuhan tidak adil. Sebentar, mungkin kalian tidak percaya akan cerita ini, atau berusaha untuk lari dari kenyataan ini. Tapi ini kebenarannya: Hamdi tewas dalam ledakan pesawat saat Invasi New York enam bulan yang lalu. Tewas dalam keadaan terhormat juga mengenaskan. Bersimbah dengan darah kepahlawanannya. Oke, jujur saja, aku bukan tipikal orang yang melankonis dan terhanyut dalam cerita tragis. Namun, di tempat kejadian, aku menangis. Menangis tidak percaya mengapa hal ini bisa terjadi.

Nindi, masih memegang foto itu, terhanyut kembali dalam ingatan masa lalunya. Tangannya bergetar, namun ia berusaha untuk melawannya. Kau tahu, Hamdi, semua orang menangis akan itu, kata Nindi dalam hatinya. Seolah bertelepati pada Hamdi. Oh ya, kau harus melihat teman-temanmu menangis, itu lucu sekali. Oh maaf, aku bukan bermaksud menyindir atas kematianmu itu.

Jujur, aku benar-benar merasa kasihan dengan Linda Paka. Sangat merasa kasihan. Ia menangis tersedu-sedu dan memelukmu. Seolah tidak bisa membiarkanmu untuk mati. Dan begitulah. Hingga akhirnya petugas koroner dari tim forensik FBI membawamu dan menjelaskan penyebab kematianmu. Benar-benar mengerikan. Aku bahkan berusaha melupakan seluruh penyebab kematianmu, dan ya, aku benar-benar lupa sekarang. Bagus, bukan?

Nindi kembali tersenyum kecil. Ia menyeruput sedikit kopinya, lalu melanjutkan kembali dengan percakapan monolognya soal Hamdi. Beberapa hari setelah kematianmu, Linda Paka dan Lina Pene memutuskan untuk kembali ke Planet Pulu. Mereka akan mengembalikan bola DZ201 pada NASA untuk diteliti dan memperbaiki planet mereka. Sebelum pergi, Linda Paka mengatakan sesuatu pada kami. Dia bilang, dia menyukaimu.

Oke Hamdi, jangan mencoba menghantuiku karena itu. Tapi itu kebenarannya. Tapi ia menyukaimu. Tentang tawamu,  keberanianmu, juga sifat keras kepalamu. Aku tak tahu apa maksudnya menyukaimu yang sebenarnya adalah mencintaimu. Oh maaf, Hamdi. Aku harus menarik perkataanku tadi. Aku tak ingin dihantui olehmu. Sekali lagi, maaf.

Begitulah. Pesawat antariksanya mengantarkan mereka berdua kembali ke Planet Pulu. Dan kami menjalani kehidupan kembali. Terkadang kami kembali bertemu, hanya untuk saling bercerita dan mengingatmu kembali. Agak berat rasanya menyadarimu bahwa kau telah tiada. Namun begitulah. Hidup ini harus dijalani kembali.

Aku serius, Hamdi. Aku membencimu. Benar-benar membencimu. Membencimu karena kau yang mati, bukan kami semua. Aku lebih ingin jika aku bertukar nyawa denganmu. Dan aku mati. Lebih bagus, bukan? Ooh, itu buruk. Aku tak bisa membayangkan teman-temanku menangis.

Tapi yang pasti, kami tak akan pernah melihatmu lagi.

Nindi memegang foto itu dan menyadari ada sebulir air di kaca bingkai itu. Itu air matanya. Ia mengucek matanya yang berkaca-kaca sambil menaruh kembali bingkai foto itu. Ia mengumpat dengan suara pelan sambil menyuruput kopinya kembali di depan jendela. "Okay, just calm down, Nindi," kata Nindi pada dirinya sendiri.

Nindi menyeruput kopinya dan menaruhnya di meja kerja. Ia memperbaiki jasnya, lalu berdiri dengan posisi tegap seperti seorang tentara. Ia mengangguk pada dirinya sendiri. Ia harus melupakan apa yang barusan terjadi pada dirinya.

"Okay, I'm ready. I'm ready."

Tok, tok, tok.

Nindi langsung berbalik dan berlari ke arah pintu. Ia membuka pintu flatnya dan menemukan kedua temannya sedang berdiri sambil tersenyum jenaka dan bersemangat. Itu Nelson dan Jimmy. Mereka terlihat serasi. Mereka telah menyisir rambut mereka dengan rapi dan sepatu mereka telah disemir. Nelson memakai kemeja abu-abu dan jas hitamnya. Sedangkan Jimmy dengan kemeja putih bergarisnya dan jas keabu-abuannya.

Mereka terlihat jauh lebih baik daripada beberapa hari yang lalu. Sebelumnya, Nindi menyuruh mereka memakai jas polkadot dan bergaris merah putih seperti permen lolipop. Dan begitulah, Nelson dan Jimmy harus menahan malu untuk hari itu. Mereka berharap untuk segera membantai Nindi hari itu juga. Tapi itu takkan pernah terjadi.

"Hey, buddy," kata Nelson setelah saling bersalaman sambil menepuk pundak Nindi dengan senyum bersemangatnya.  Ia mengendikkan kepalanya. "Ready for today?"

"Oh, yeah. Absolutely," Nindi mengangguk dengan berpura-pura bersemangat sambil memanggul tas ranselnya. Lalu mengunci pintu flatnya. "C'mon, let's go!"

Mereka bertiga berjalan meninggalkan flat tersebut dengan cepat. Mereka hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun dari flat hingga turun melalui lift. Hanya saling melirik. Tidak seperti biasanya. Bahkan Nindi yang berada di tengah mereka pun juga. Jimmy melirik ke arah Nindi dengan setengah cemas. Ia mengangkat alisnya, penasaran dengan apa yang terjadi.

"Kau baru saja menangis, ya?" katanya

"Oh, tidak! Tidak! Aku tidak menangis!" bantah Nindi sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat. Nindi mengucek matanya. Sialan, pikir Nindi. Tidak mungkin ada sisa air mata di mataku.

"Kau bohong, Nindi. Hidungmu merah. Matamu berkaca-kaca. Saat kita bersalaman di flat, tanganmu basah. Dua kemungkinan, menangis atau gelisah. Jelas kau baru saja menangis, bocah tengil," kata Nelson dengan sambil menyeringai. "Jangan coba-coba menipuku. Kau tahu sendiri, kan, aku mantan detektif."

"Aku bukan bocah tengil! Umur kita sama!" seru Nindi dengan kesal. "Dan aku tidak- Ugh, oke. Kau benar, aku baru saja menangis."

"Kopi ini membantu?" Jimmy menyodorkan segelas kopi cappuccino padanya.

Nindi memandang kopi tersebut dengan perasaan haus. Harumnya kopi cappuccino itu membuatnya ingin minum lagi. Ia sempat memberikan tatapan membunuh ke arah Nelson dan Jimmy yang menawarinya kop itu. Namun ia mengambil kopi itu dengan cepat sambil menghirup kembali wangi kopi itu.

"Trims," Nindi menyeruput kopinya dengan nikmat. "Kopi ketigaku untuk pagi ini. Semoga kadar darahku tidak mengalami overdosis kafein."

"Astaga, untuk ketiga kalinya?" Nelson membelalakkan matanya karena terkejut. "Kau pasti bercanda. Memangnya ada sesuatu yang buruk terjadi? Ceritakanlah pada kami. Apakah ini masalah pribadi?"

Nindi memandang sangsi kedua temannya itu. Ia memutar bola matanya. "Ayolah, aku tidak apa-apa."

"Apakah ini soal, ehem, laki-laki yang menyukaimu? Atau seseorang yang memotong nadimu dari belakang tadi malam?" Jimmy mengangkat setengah alisnya.

Nindi hanya memberikan tatapan kau-pasti-bercanda yang selalu ia lakukan setiap temannya itu mengucapkan hal yang tidak masuk akal. Lagipula, kalau seseorang memotong nadinya, kesimpulannya tiga: 1.) Tentu saja ia mati 2.) Ia sudah pasti tidak akan berjalan bersama Nelson dan Jimmy sekarang 3.) Oke bagus, ia sudah jadi hantu saat itu.

"Jimmy, kau sama sekali tidak membantu."

"Oke, terserahlah."

"Jujur saja, Nindi. Sebenarnya ada masalah apa?" kata Nelson dengan wajah cemas.

Nindi berjalan dalam diam. Ia terus memperhatikan sepatu pantofel coklat miliknya dan menendang kerikil yang ada di depannya. Nelson dan Jimmy hanya melirik ke arah Nindi, menunggu jawaban darinya. Setelah beberapa menit keheningan, Nindi menghembuskan nafas beratnya.

"Kau tahu, tadi pagi aku melihat foto bersama tim kita. Dan ada Hamdi disana. Aku... teringat padanya seketika dan-"

"Tunggu sebentar, kapan kita semua foto bersama?" sela Nelson, mengerutkan dahinya.

"Tentu saja saat kita di markas SHIELD, pikun," Jimmy memutar bola matanya. "Sebelum kita kembali ke New York. Aku masih ingat itu."

"Ah, ya. Hamdi..."

Nelson menganggukkan kepalanya sambil memandang ke langit kelabu New York. Pikirannya kembali melayang pada enam bulan yang lalu. Tepat di tengah Times Square. Puing-puing dan proyektil berjatuhan, seolah seperti hujan dari langit. Seorang perempuan menangis tersedu-sedu. Dan ia bisa melihat sahabatnya, terbujur kaku di tanah. Ia adalah Hamdi.

Nelson melihat ke dasinya. Bercak darah membekas disana. Ia tak bisa menangis ataupun berteriak. Ia hanya bisa diam sambil mengigit bagian bawah bibirnya dengan keras. Dipandangnya wajah Hamdi yang setengah berdarah. Matanya terpejam dengan tenang, seolah ini semua sudah berakhir. Namun kata-kata Hamdi membekas di telinganya: "Kita berhasil."

Nelson, beberapa menit itu, hanya bisa terduduk diam dengan Hamdi yang tergeletak di depannya. Ia tahu teman-temannya berlarian kesana kemari, mencari bantuan untuk menyelamatkan Hamdi. Namun sudah terlambat. Hamdi tak ada di sana. Ia sudah mati.

Bahkan saat jasad Hamdi di bawa ke FBI untuk diotopsi, Nelson terus mengiringi. Ia hanya duduk di depan ruang otopsi sambil memandang kosong dinding. Termenung tentang apa yang sedang terjadi. Dimana teman-temannya yang lain? Mereka memulihkan diri. Mereka mendapat banyak luka-luka dan bahkan beberapa harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.

Saat pemakaman pun, hanya Nelson yang tetap berada di sana hingga sore. Ketika seluruh keluarga dan teman-temannya pulang, bahkan petugas pemakaman telah membersihkan semuanya, ia tetap ada di sana. Saat itu, Nelson memakai kembali dasi biru tuanya yang masih tersisa bercak darahya Hamdi dan jas hitamnya yang dipakai saat perang.

Apa yang ia lakukan disana? Tidak ada. Ia hanya termenung memandang nisan Hamdi tersebut. Bahkan, ia masih benar-benar tidak percaya mengapa Hamdi yang harus mati. Mungkin lebih baik aku yang mati, batin Nelson dengan perasaan setengah sedih. Biarlah teman-temanku dan keluargaku menangis, asalkan Hamdi hidup. Dia sudah seperti saudaraku sendiri.

Gara-gara bingkai foto bersama itu, aku jadi teringat kembali dengannya. Sialan. Tapi, ada baiknya pula aku mengingat tentangnya kembali. Dia adalah pahlawan. Mungkin sebaiknya aku menghubungi Linda Paka nanti. Sekedar untuk berbicara dengannya dan bertanya tentang kabarnya. Atau mungkin bertanya apakah ia masih mengingat Hamdi mungkin? Oh tidak usah. Dia pasti akan marah padaku.

Astaga, Hamdi, kenapa kau harus mati sekarang, Hamdi? Kenapa?

Brak!!

"Nelson! Nelson! Kau tak apa-apa?"

Nelson kembali lagi sadar dari lamunannya. Namun ini jauh lebih buruk. Ia bisa merasakan tubuhnya terhempas dengan pelan ke lantai trotoar. Matanya mulai memburam seiring kedua temannya dan orang-orang lain mengelilingnya. Rasa perih mulai terasa di dahinya.  Ia bisa mendengar banyak teriakan-teriakan panik di sekitarnya. Namun ia tak bisa menggerakan badannya sama sekali. Seluruh pandangannya mulai memburam.

***

Ow, ow, ow, what happen to you, Nelson?

Sekedar catatan, extra chapter ini sengaja kubagi 2 bagian, supaya nanti bisa bikin penasaran dan updatenya lama #ngawur. But once again, this story is almost over, and thank you very much for your support to this story! I love ya all!

Oh yes, click the vote button and comment okay? :D

This chapter is dedicate to my awesome friend, syfaxo_!

QOTD: Sebenarnya apa yang terjadi dengan Nelson di akhir cerita hingga ia pingsan? (jawab di comment!)



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro