° Four °
"Bagaimana, Tuan Dottore?"
Dottore menenggak anggur mahal yang sudah dipesankan oleh (Name). Gadis itu dengan sengaja memesan tempat eksekutif di restoran ternama di Snezhnaya, dengan fasilitas termewah yang mereka punya.
Keduanya berada di ruangan privat, ada jendela besar tepat di sebelah mereka. Cahaya bulan yang temaram itu sedikit-sedikit menembus ke dalam ruangan yang remang-remang itu. Sengaja dibuat remang, supaya suasana mereka lebih intens.
"Biasa saja." Dottore menjawab, meletakkan gelasnya di atas meja, sebelum menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Netra merahnya mendelik tajam ke arah gadis di hadapannya. "Sudah puas? Ayo kita pulang."
"Heh. Janjinya 'kan sampai kau merayakan tahun baru denganku. Tahanlah, sepuluh menit lagi." (Name) mengerucutkan bibir, ia memandang lekat-lekat sepasang netra merah milik Dottore. "Lagipula; sayang sekali kalau aku biarkan kamu pulang sekarang."
"Kenapa?"
"Kamu jauh lebih tampan ketika tidak memakai topeng seperti ini, Tuan Dottore."
Tentu saja, hal pertama yang dilakukan oleh (Name) sejak pertama kali ia bertemu dengan Dottore tanpa topeng adalah menggodanya habis-habisan. Namun, jangan harap ia akan melihat wajah Dottore yang merona; laki-laki itu mana peduli? Setidaknya, begitu pikir (Name).
"Berhenti bicara omong kosong. Aku sudah sepuluh kali mendengar perkataan bodoh itu," balas Dottore dengan nada sebal. "Mau pakai topeng atau tidak, toh wajahku tetap tampan."
"Narsis juga kamu ini. Apa kamu terlalu banyak bergaul dengan Tartaglia?" (Name) tertawa kecil, tetapi ia cukup senang ketika mendengar Dottore yang mulai meladeni pujiannya.
"Untuk apa aku bergaul dengan bocah ingusan itu?" Dottore mendelik tajam, tetapi setelahnya ia menyeringai. "Tapi, coba jawab. Bukankah aku tampan dengan ataupun tanpa topeng, ya 'kan?"
Sumpah. Dottore kenapa? (Name) jadi bertanya-tanya; seingatnya laki-laki itu tidak senarsis dan sevokal itu. Ia jadi curiga sendiri, apa benar orang ini adalah Dottore?
"Kamu ini Tuan Dottore yang asli, bukan sih? Jangan-jangan kamu hanya klon?"
Perempatan siku imajiner muncul di kepala Dottore, menyiratkan rasa kesalnya. Helaan napas berat ia berikan, seiring tangannya menarik kedua tangan (Name) untuk ia letakkan di kedua pipinya. "Pandang aku baik-baik, nona. Memangnya kau tidak bisa bedakan aku yang asli dengan aku yang klon?"
Wajah (Name) tentunya jadi merona kemerahan. Tangannya yang dibawa paksa oleh Dottore ke pipi pria itu ditahan kuat sekali, sehingga ia tidak bisa melepasnya. Beruntung, ia masih bisa menoleh ke arah lain guna menyembunyikan semburat merah samar di pipinya.
"Kenapa pipimu merona begitu, eh?" Dottore menyeringai sekali lagi, kemudian melepas tangan sang gadis dari pipinya. "Huh. Baru aku goda begitu saja sudah salah tingkah. Payah sekali kau."
"Padahal kemarin-kemarin; kau yang asyik sekali menggodaku begitu, nona."
"Aku tidak salah tingkah, hanya terkejut saja sebab tidak biasa bertingkah begitu, sayangku." Tak mau kalah, (Name) kembali menenangkan diri dan membalas tiap-tiap perkataan Dottore.
Keduanya melanjutkan perbincangan singkat, tetapi harus terhenti sebab kebisingan kembang api yang diledakkan di udara sudah semakin kencang, dan keduanya memutuskan untuk berdiri di dekat jendela, memandang langit hitam yang dihiaskan dengan bintang-bintang dan kembang api warna-warni.
"Kembang apinya cantik sekali," celetuk (Name) sembari terkekeh kecil. "Persis seperti kamu, Tuan Dottore."
"Aku bisa membuat kembang api yang jauh lebih indah daripada itu," balas Dottore tanpa mengindahkan sedikitpun gombalan yang dilontarkan oleh (Name). "Aku akan buatkan kembang api terindah untukmu. Kapan-kapan."
"Daripada membuatkan aku kembang api, bagaimana kalau kamu membakar pohon Irminsul untukku?"
Dottore menepuk keningnya dan memandang sang gadis dengan tatapan yang tak bisa diartikan. "Jangan tolol."
"Tapi itu menarik, dan indah. Tidakkah kamu suka hal-hal yang seperti itu, Tuan Dottore?"
"Aku sudah punya objek yang indah dan menarik." Dottore kemudian memandang sang gadis lekat-lekat, tangannya mengusap lembut pipi sang gadis. "Kau."
"Hah?"
Tanpa menjawab, Dottore mengulas senyuman di wajahnya yang rupawan. Senyuman tulus, yang bahkan belum pernah ia tunjukkan pada siapa-siapa.
Langit bertabur kembang api menjadi latar yang indah, semakin ramai dan meledak-ledak seiring tahun akan segera berganti. Ketika lonceng besar di dekat sama berdentang sebanyak dua belas kali, Dottore kemudian menempelkan bibirnya pada bibir sang gadis.
Bahkan sebelum sempat (Name) bereaksi. Keduanya menutup mata, dengan tangan (Name) yang memeluk leher Dottore dan prianya merengkuh pinggang sang gadis. Ciuman itu mereka perdalam, menyalurkan perasaan mereka.
Tahun sudah berganti, sorak sorai orang-orang di luar sana sudah menjadi saksi. Lalu Dottore dan (Name), masih asyik bermesraan diterpa paparan cahaya rembulan.
"Benar-benar seperti Mistletoe di tahun baru, ya." Sang gadis tersenyum tipis, memandang laki-laki di hadapannya dengan intens. "Melihat kamu yang mau mencium aku begitu, aku jadi bertanya-tanya; jangan-jangan selama ini kau sudah jatuh hati padaku?"
"Pikir saja sendiri. Harusnya dengan aku yang membiarkan kau hidup meski sudah menghancurkan laboratoriumku berkali-kali saja, kau sudah tahu jawabanku," jawab Dottore.
Sekali lagi keduanya bertatapan dengan intens. Kemudian, Dottore menarik gadis itu untuk ia bawa dalam sebuah pelukan erat.
Gadis itu membalas pelukannya, lalu mengucap, "Selamat tahun baru, Tuan Dottore. Aku mencintaimu."
"Aku mencintaimu juga. Tahun ini juga; tetaplah bersamaku."
End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro