Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 23

New Story

###

Part 23

###

Manisnya ga usah banyak-banyak, ya. Ntar diabetes.

Selamat membaca ...

###

"Kau mungkin bisa memaksa kita menjadi pasangan, Saga. Tapi kautahu kita tak akan bisa menjadi orang tua." Sesil memecah keheningan ketika mobil yang mereka tumpangi mulai keluar dari halaman rumah sakit dan membelah lalu lintas yang padat. Setelah mereka bangun jam delapan pagi, Sesil bersikeras meminta pulang. Ia merasa dirinya sudah kembali bugar setelah tertidur dan tak mendapatkan keluhan apa pun. Ia beralasan merasa pusing mencium bau rumah sakit. Beruntung alasan tak masuk akalnya diterima oleh Saga tanpa perdebatan sekecil apa pun.

"Kita sudah menikah." Saga menjawab dengan enggan masih dengan kepala menghadap ke depan. Entah apa yang dipikirkan pria itu ketika mengurut-urut dagunya yang tak gatal sejak masuk ke mobil. Bahkan pria itu tak banyak mengeluh dan terkesan menutup mulut dengan permintaan atau penolakan Sesil yang biasanya akan menjadi masalah besar.

"Ini bukan pernikahan ..."

Saga menoleh. "Terima saja apa yang kuberikan padamu, Sesil. Status, kemewahan, dan ..." Saga melirik jemari tangan Sesil. Mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Sesil. Membawa tangan itu ke bibir dan mengecup tempat cincin pernikahan mereka tersemat di jari manis Sesil. " ... cincin ini. Terutama kesabaranku. Banyak-banyaklah berterima kasih agar kau tak terkesan seperti wanita yang tak tahu diri dan tak tahu cara berterima kasih."

Sesil tercenung dengan kata-kata Saga. Menarik tangannya cepat-cepat dari genggaman Saga dan menyembunyikannya di perut. Merasakan panas di pipi yang menyalurkan gelenyar aneh ke pusat dadanya. Ini gila!

Saga menyeringai menangkap rona di kedua pipi Sesil sesaat sebelum wanita itu memalingkan muka darinya. Wanita itu jadi lebih sensitif dari sebelumnya. Apakah karena pengaruh kehamilan? Sebelum berhasil menghamili Sesil, ia memang kerap kali membaca artikel tentang wanita hamil. Emosi, gairah, maupun perubahan bentuk tubuh. Semuanya mengarah ke hal yang baik kecuali gangguan-gangguan kecil semacam mual, pusing, kestabilan emosi yang tak terkendali. Namun, jika dibayar dengan keberhasilannya menakhlukkan kekeraskepalaan Sesil, ia merasa semua baik-baik saja.

"Bagaimana jika aku menolak hamil?" tanya Sesil lagi tak menyerah. Meskipun pertanyaan terdengar tak masuk akal dengan kondisinya yang sekarang. Saga memang lihai berbohong, ia lebih menyukai fakta itu saat pria itu mengatakan kehamilannya. Namun, kejujuran pria itu kali ini menghancurkan dunianya.

"Kau benar-benar tak ingin menyerah, ya?" ejek Saga sambil memutar tubuh menghadap Sesil. Mengunci perhatian Sesil tetap untuknya sebelum melanjutkan. "Bagaimana jika kau memikirkan kata-kataku ini dengan sangat baik. Alih-alih merencanakan penolakanmu atas janin yang sudah bertumbuh di perutmu, pikirkanlah kesehatan dan ketenangan emosi anakku, Sesil. Karena nyawa dan keselamatanmu tergantung pada kondisinya. Selama dia baik-baik saja, aku berjanji kau juga berada dalam kondisi sangat baik. Akan melimpahimu dengan kasih sayangku. Dan melindungimu dari hal-hal yang buruk yang mengancam."

Sesil menelan ludahnya. Kalimat yang seharusnya bernada lembut itu membuat bulu kuduk Sesil merinding. Ancaman yang melumuri janji Saga memaksanya menyegel perjanjian dengan bayaran nyawanya. Melindungi pria itu bilang? Sedangkan pria itulah satu-satunya hal paling berbahaya di hidupnya.

"Aku membencimu, Saga," desis Sesil menepis ketakutan yang bercokol di dadanya. Memangnya apa yang akan pria itu lakukan pada wanita yang sedang mengandung anak yang sangat diinginkan Saga. Mau tak mau, Saga akan melindungi dirinya untuk melindungi anak pria itu sendiri. "Aku juga membenci anak ini."

Saga mendengkus sinis. Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya itu ada dan nampak jelas di manik Sesil. Wanita itu hanya terlalu gengsi untuk mengakuinya. "Maka bertahanlah hingga anak itu lahir, setelah kau memberikannya padaku, kau bisa pergi meninggalkan kami. Apa sekarang kau merasa lebih baik?" ujar Saga. Tentu saja membiarkan Sesil pergi dan menceraikan wanita itu adalah dua hal yang berbeda. Hingga detik ini, ia masih belum memikirkan untuk merasa bosan atau berhenti memiliki Sesil. Menceraikan wanita itu? Tidak akan pernah!

Sesil merasa hatinya di babat habis-habisan sebelum dicabut keluar dari dalam dadanya. Membuatnya merasakan kesakitan yang mendadak seakan mengakar dan bertumbuh subur di hatinya dalam waktu singkat. Tangan Sesil terangkat menyentuh dadanya, meredam rasa nyeri itu. Kebencian, kemarahan, dan kesengsaraan kini bercampur aduk membelah hatinya ketika bayangan bayi yang akan menggantungkan hidup di perutnya selama sembilan bulan, tiba-tiba dirampas. Jika sekarang saja ia tak bisa mengabaikan keberadaan janin itu, bagaimana nanti saat bayi itu sudah berbentuk sempurna. Memiliki tubuh dan wajah yang bisa ia sentuh. Entah akan mirip dirinya atau Saga, bayi itu tetaplah akan menjadi anaknya. Sebesar apa pun kebencian yang ia lemparkan kepada ayah dari anaknya.

Sesil menarik napas dalam-dalam memasuki dadanya yang terhimpit batu besar. Tak lupa melempar kebencian sangat besar kepada Saga sebelum kembali memutar tubuh membelakangi pria itu dan tenggelam dalam dilemanya.

***

"Minum susumu." Saga mendekatkan gelas susu ibu hamil yang sejak tadi diabaikan keberadaannya oleh Sesil. Sejak masuk ke ruang makan untuk makan siang dan pengurus rumah tangga menyiapkan susu ibu hamil yang ia instruksikan untuk Sesil. Wanita itu sengaja menghindari tatapan ke gelas susu itu selama menghabiskan makannya. Seakan dengan begitu Sesil bisa melupakan kehamilannya. Ck, pemikiran yang gegabah.

"Aku ... aku merasa mual dan sedikit pusing." Sesil beralasan. Membuang muka dari gelas berisi cairan susu yang ada di depannya. Ia masih belum menerima dirinya yang hamil, dan keberadaan susu itu membuat suasana hatinya semakin buruk. Meskipun hanya sedetik, tangannya sempat terangkat dan hendak menyentuh gelas itu. Pikiran gila yang langsung ia buang jauh-jauh.

"Kau butuh tambahan gizi agar janinmu tumbuh dengan sehat," jelas Saga. Merasa dirinya tolol harus membujuk wanita pembuat onar meminum susunya seperti anak kecil. Yang ia tahu, memiliki anak akan meneruskan garis keturunannya. Mengajari anaknya cara menembak dan membunuh. Tak pernah membayangkan harus melakukan hal sememalukan ini untuk janin yang bahkan masih berupa butiran beras di perut Sesil.

Sesil mengusap bibirnya dengan lap dan membantingnya ke lantai. Berdiri sambil menghentakkan kaki dan berseru, "Aku akan kembali ke kamar dan beristirahat! Mungkin itu yang lebih dibutuhkan anakmu!"

"Sesil!" geram Saga setengah berteriak.

Sesil tak menghiraukan panggilan Saga yang mulai berlumur kefrustrasian. Melangkah lebih cepat keluar dari ruang makan menuju anak tangga.

"Sialan!" umpat Saga. Hendak berdiri membawa pantat wanita itu kembali ke tempat duduknya ketika salah satu pengurus rumah tangga mendatanginya dengan sebuah ponsel di tangan.

"Tuan Alec mengatakan ada hal yang penting. Beberapa kali menghubungi nomor Anda yang tidak aktif."

Saga melirik ponsel itu. Ya, ponselnya kehabisan daya ketika di rumah sakit. Dan ia meninggalkan ponsel itu begitu saja di kamar saat baru datang dari rumah sakit, membersihkan diri dan turun untuk makan siang.

"Ada apa, Alec?" Saga menempelkan ponsel itu di telinga sambil melangkah ke pintu ganda yang menyambungkannya ke kolam renang di halaman belakang.

Sesil tak tahu apa yang membuatnya berhenti menaiki anak tangga. Mendesah keras sambil menundukkan kepala menatap perutnya yang masih rata. Bagaimana sesuatu serapuh itu bisa memengaruhi pemikiran dan perasaannya sedalam ini? Kakinya berputar tanpa ijinnya, kembali menuruni anak tangga dan melangkah ke ruang makan.

Sesil menatap gelas susu itu cukup lama. Bergelut dengan pikirannya dalam kebekuannya. Matanya terpejam

"Aku tahu ini gila, aku memang sudah gila," gerutu Sesil dalam gumaman berentet. "Ini benar-benar sudah gila. Saga berengsek!" Sesil menyentuh gelas itu. Mengangkat dan meneguknya dalam sekali tegukan yang panjang. Terheran bahkan dia sama sekali tak tersedak dengan kecepatan sekilat ini.

"Baiklah, aku akan membalas dendam pada Saga setelah anak ini lahir," putus Sesil sambil melangkah meninggalkan ruang makan. Mulai memikirkan cara yang tepat untuk melakukan niat terbarunya.

"Lakukan apa yang dia inginkan. Aku sudah memikirkannya."

"Istrimu sedang hamil, wanita lain yang bersikeras mengejarmu dan tinggal dalam satu atap adalah masalah besar yang lain, Saga."

"Suruh Arga berkemas dan kembali ke rumah."

"Kau akan membahayakan bayimu."

"Tidak, jika tidak ada siapa pun yang mengetahui pernikahan atau kehamilan Sesil."

"Cassie?"

"Kurasa dia sudah meninggalkan rumah ini tadi pagi."

Desahan Alec berlumur kekhawatiran meskipun ia tak mampu membantah keputusan Saga. "Apa kau akan membiarkannya masuk ke dalam rumahmu seperti orang tolol?"

"Itu bukan urusanku, Alec. Orang keras kepala memang cenderung tolol mengambil keputusan jika tidak bisa mengukur kekuatannya dengan benar."

"Hanya perasaanku saja atau kau memang ingin memanfaatkan Reynara untuk menguji Sesil?"

Saga terkekeh. "Lakukan apa yang kuperintahkan, Alec. Tujuanku bukan termasuk tugasmu." Saga memutus sambungan dan kembali masuk ke ruang makan.

Saga berhenti di dekat meja makan ketika ia melihat sekelebatan tubuh mungil yang menghilang di pintu ruang makan. Lalu matanya menangkap gelas kosong yang seharusnya berisi cairan susu ibu hamil yang akan ia bawa ke atas. Seringai tipis tersungging dibibirnya. Satu pekerjaan memalukannya untuk merayu Sesil menghabiskan susu itu sudah selesai. Naluri keibuan yang ia rencanakan berjalan seperti yang ia harapkan. Hmm, bermain dengan emosi wanita memang lebih efisien. Dan hasil yang lebih memuaskan.

***

"Apa kauingin sesuatu?"

"Jangan bertanya jika kau memang tak akan mengabulkannya." Sesil menggumam lirih sambil membalik buku yang ada di pangkuannya tanpa menggerakkan kepalanya sedikit pun untuk pria itu.

"Biasanya wanita hamil menyukai berdekatan dengan ayah si bayi, kurasa aku tak keberatan jika kau tiba-tiba begitu bernafsu padaku."

"Jangan bermimpi dengan mata terbuka, Saga." Sesil mengangkat wajahnya dan menatap dengan sinis ke arah Saga. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk di pinggang. Titik-titik air masih membasahi dada bidang pria itu yang terekspos bebas. Aura kejantanan yang begitu kuat dan keras sesaat mengirimkan sinyal gelenyar aneh ke pikiran Sesil yang sedikit konslet. Lalu, gelenyar itu menyebar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh tubuhnya melemah. Dan semakin tak terkendali saat pria itu mulai mendekat dan duduk di sofa tunggal di sampingnya. Ia tak akan bisa berkonsentrasi membaca dengan keberadaan Saga di dekatnya. Pria itu tak akan membiarkannya dengan tenang melihat kilas kelicikan yang nampak jelas di manik Saga.

Sesil memutar kepala melirik jam dinding yang sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Amat sangat lebih bijak jika dia yang menghindar. "Aku mengantuk." Sesil berpura-pura menguap, menutup majalah di pangkuannya, dan meletakkannya di meja sebelum bangkit berdiri.

Tepat ketika Sesil berdiri di hadapannya, Saga menarik pergelangan tangan Sesil dan membawa wanita itu duduk di pangkuannya.

Sesil terperanjat, dalam sedetik pekikannya tenggelam di bibir Saga. Saga melahap bibirnya serakus biasanya. Bahkan pria itu meraup udara yang hendak masuk ke hidungnya dan membiarkannya kewalahan untuk bernapas.

"Saa ... ga." Sesil berusaha bersuara di antara ciuman mereka. "Aku ... aku merasa badanku sedikit le ..." Mendorong dada Saga menjauh. Ia benci reaksi tubuhnya yang memanas saat Saga menyentuhnya dengan cara lembut seperti ini. Membuatnya seperti wanita murahan yang dikalahkan nafsu dengan tanpa rasa malu.

"Apa kauingin menguji diriku menggunakan anak ini, Sesil?" gumam Saga dengan bibir masih tertempel di bibir Sesil. Satu tangannya sudah menyelinap di balik dress Sesil dan menyentuh kulit telanjang perut wanita itu. Mengusapnya dengan sentuhan lembut dan memabukkan seperti yang biasa ia lakukan. Hanya pada wanita itu. Ya, ia memang terbiasa mengasari atau pun menyakiti Sesil saat ia kehilangan kesabaran karena ulah wanita itu. Namun, ego sebagai seorang prianya tentu akan lecet jika ia meniduri wanita dengan paksaan. Ia tak pernah ditolak wanita mana pun. Mereka para wanita selalu jatuh di kakinya. Memuja dan menjadikan dirinya sebagai obyek fantasi terliar mereka.

Pengalamannya dengan wanita-wanita lain membuatnya dengan mudah memahami bagaimana cara kerja tubuh wanita. Bagian-bagian tubuh mana saja yang membuat mereka terlena dan tak mampu menolak sentuhannya.

Sesil menelan ludahnya. Hembusan napas Saga, sentuhan pria itu di perut, dan bibir pria itu yang bermain-main di sudut bibirnya. Semua itu serangan fisik yang melemahkan jantung dan tubuhnya dengan cara paling licik yang pernah dia ketahui. Tubuhnya memanas, bereaksi berlebihan dan sarafnya bekerja lebih aktif dari biasanya. Apakah wanita hamil memang selemah ini?

"Aku ..."

Saga membawa tubuh Sesil dalam gendongannya. Membaringkan tubuhnya di ranjang dan menindihnya sambil menempelkan wajah mereka kembali. Melumat habis-habisan bibir Sesil. Ya, inilah yang terjadi saat ia menyentuh Sesil. Gairahnya tersulut dan tak akan berhenti hanya dengan sentuhan ringan. Ia harus berkeringat bersama wanita, membuat sprei ranjang berantakan, lalu tertidur dengan kepuasan yang tak terkira dengan tubuh Sesil dalam pelukannya.

Sekali lagi pekikan Sesil teredam ciuman Saga. tangannya memukul lengan atas Saga meminta pria itu berhenti agar ia bisa mengambil napas sejenak.

"Kau tahu aku tak akan berhenti, Sesil." Gairah Saga yang menggebu menerpa wajah Sesil. Ia sudah setengah menelanjangi wanita itu, dan entah apa lagi rencana yang dipikirkan kepala Sesil untuk mengusik dirinya.

"Apa ... apa kau bersungguh-sungguh dengan pertanyaanmu tadi?" Sesil bertanya di antara napasnya yang tersengal. Kalimatnya keluar dengan cepat sebelum Saga tenggelam dalam gairah, ia ingin mencoba menghitung keberuntungannya. Menggantung pria itu diantara kebutuhan yang mendesak dan mencoba memanfaatkan demi keuntungannya.

"Apa?!" Saga bertanya dengan tak sabaran. Matanya sudah berkabut dan menatap wajah Sesil yang merona dan memanas di bawahnya benar-benar menguji kesabarannya.

"Tentang apa yang kuinginkan."

Saga mengangguk sekali. "Kita akan membicarakannya setelah ini selesai." Saga kembali menjatuhkan wajahnya. Kali ini di leher Sesil dan bermain-main di sana. Meninggalkan jejak-jejak basah dan merah di sana.

"Aku ingin ponsel."

"Hmm, aku akan memberimu mobil." Gumaman Saga masih teredam kesibukannya memberi tanda di kulit leher Sesil.

Mata Sesil terpejam. Sedetik ia kehilangan pikirannya karena kesibukan Saga dilehernya yang membuat wajah dan tubuhnya memanas. Ia segera menyadarkan diri, melawan sekuat tenaga kesensitifan kulitnya dengan rasa jengkelnya pada jawaban Saga. Saga benar-benar orang yang teliti. Membaca dengan baik maksud tersembunyi di sudut pikirannya meskipun mata pria itu berkabut gairah. Sialan. "Aku ingin kamarku sendiri!" Permintaan itu muncul begitu saja. Mungkin tidur terpisah dengan Saga adalah satu-satunya jalan baginya untuk kewarasan pikiran dan kenormalan suhu tubuhnya.

"Aku akan membelikanmu rumah."

Sesil berpikir sejenak, lalu matanya terbuka dan mengangguk dengan cepat menyetujui. "Baiklah, aku akan tinggal di rumahku."

Saga berhenti. Mengangkat wajahnya dan menggeleng. "Lupakan, aku akan memberimu salah satu kasinoku. Sebagai hadiah atau kompensasi atas ketersediaanmu mengandung anakku. Kurasa itu cukup bagimu untuk bermewah-mewah seumur hidup."

Sesil memukul lengan atas saga dengan kesal. "Terserah kau!" semburnya. "Untuk apa kau menanyakan keinginanku jika kau sama sekali tak berniat mengabulkannya!"

"Aku memberimu sesuatu yang lebih baik."

"Aku butuh ponsel."

"Untuk menghubungi kekasihmu?"

Tatapan Sesil terdongak ke sudut kiri atas. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Tetapi, ia membutuhkan ponsel itu juga untuk menghubungi keluarga pamannya. "Aku hanya ingin menghubungi pamanku dan mengatakan aku baik-baik saja."

"Beruntung kau memiliki suami yang begitu pengertian. Aku sudah melakukan tugas itu dengan sangat baik. Pamanmu dan keluarganya menjalani hidup dengan baik. Jadi sekarang, lakukan tugasmu sebagai istri ..."

Sesil menutup mulut menahan rasa mualnya. Berusaha menyingkirkan Saga dari atasnya.

Saga mengerutkan kening terheran. Menarik tubuhnya berpindah ke samping Sesil dan membantu wanita itu duduk. "Ada apa?"

"Aku merasa mual." Sesil bergerak menuruni ranjang dan segera berlari ke kamar mandi. Mengunci pintu dari dalam dan meninggalkan Saga duduk terbengong di ranjang dengan setengah telanjang. Menahan gairah yang sudah mendidih di ubun-ubun.

Di kamar mandi, Sesil menurunkan tangannya dari mulut. Melirik sinis ke arah pintu dengan kepuasan tak terbendung. Ia sedikit khawatir aktingnya akan tertangkap oleh Saga, tapi dengan reaksi Saga yang seperti orang tolol, pria itu pasti termakan bualannya. Kau pikir bisa mempermainkanku dengan mudah! Dengkusnya dalam hati.

Jika Saga mempermainkan emosinya yang semakin ke sini semakin tak terkendali karena kehamilannya, sepertinya ia bisa mempermainkan gairah pria itu. Entah apa yang dilihat Saga dari tubuhnya. Apa pun itu, Sesil akan sedikit memanfaatkan ketertarikan pria itu untuk membalaskan dendamnya.

***

Apakah balas dendam Sesil akan semudah itu?

Jangan lupa vote dan commentnya, ya. 

Follow my ig luisanazaffyafarick

Wednesday, 8 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro