Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17

New Story

### 

Part 17

###

3161 words, part terpanjang yang pernah dipublish. Semoga menuntaskan rasa kangen kalian pada Saga dan Sesil untuk minggu ini.

Selamat membaca ....

###

"Kemarilah, Sesil. Kau tak ingin mantan tunanganmu terluka, bukan?" Saga menepuk pahanya sekali lalu terangkat menyambut Sesil meskipun tahu Sesil tak akan mendatanginya dengan sukarela. Atau tidak semudah itu.

Wajah Dirga mengeras, menarik lengan Sesil dan menyembunyikan wanita itu di belakang tubuhnya. Dagunya terdongak menantang ke arah Saga. "Aku tak tahu di balik kekuatan dan kekuasaanmu yang begitu besar, ternyata kau hanyalah pria picik yang memanfaatkan wanita lemah untuk kemenanganmu, Saga."

"Aku hanya sedikit serius dengan keluargaku. Permainan kita? Kau yang memulainya, aku hanya sedikit menyelesaikannya dengan lebih cepat dan cara yang paling efisien."

Dirga terpaku selama beberapa detik, memang dirinyalah yang mengusik bisnis Saga lebih dulu. Mengacaukan kartel bisnis Saga hingga merugi puluhan milyar –meskipun nilai itu hanya remahan-. Tetapi, laporan-laporan yang ia lemparkan kepada pihak berwajib lebih mengusik pria itu. Beberapa pengikut Saga termasuk Alec berhasil dijebolkan ke penjara meskipun hanya untuk satu hari saja. Saga Ganuo memang lebih menghargai makhluk bernapas daripada lembaran-lembaran dan deretan angka di rekening banknya. Itulah sebabnya, pengikut maupun bawahan Saga sangat sulit dipecah belah. Kesetiaan mereka tiada tandingannya. Itu jugalah yang membuat Sesil masuk dalam permainan kotor mereka. Pria itu sudah lama mencari kelemahannya dan ia pikir sudah menyembunyikan Sesil dari pria itu dengan sangat baik. Banyak desas-desus tentang Sesil di kalangan rekan-rekan bisnisnya yang berusaha ia abaikan, ternyata tak membuat fakta bahwa ia dan Sesil adalah pasangan di mabuk asmara tak sampai di telinga Saga.

Akan tetapi, bukan hal itu yang mengusik benaknya. Kalimat pertama Saga 'Aku hanya sedikit serius dengan keluargaku,' lah, yang berputar-putar di kepalanya meminta penjelasan lebih dalam. "Keluarga?" Dirga mengulang kata itu dengan pikiran-pikiran yang mulai menggerogoti akan sehatnya. Lalu, dengan gerakan kaku, ia menatap Sesil yang sama terpaku seperti dirinya, mencoba meminta penjelasan pada wanita itu. "Apa maksudnya, Sesil?"

"Dia istriku, Dirga. Maaf, sedikit terlambat mengabarimu." Tak ada segurat pun penyesalan di raut muka Saga. Ia tak tahu bagaimana cara memasang wajah penuh penyesalan di saat hatinya bersorak penuh kemenangan untuk detik-detik penuh kebahagiaan yang sudah ia tunggu-tunggu sekian lama. Akan lebih baik jika hasil USG menyatakan bahwa Sesil hamil anaknya. Sialan, ia bahkan tak sempat membaca hasil tes darah yang diberikan Alec karena terlalu sibuk dengan masalah-masalah di kasinonya dan kabar kaburnya Sesil yang membuatnya murka. Jika hasil tes darah itu postif, ia tak bisa membayangkan bagaimana sengsaranya ekspresi Dirga. Mungkin ia akan berusaha keras untuk melipat wajah demi sedikit kepeduliannya atas kehilangan pria itu.

Dirga tercengang. Cukup lama mencerna keterkejutannya lalu kembali menatap Sesil meminta penjelasan. "Apa benar yang dikatakannya?"

Sesil kebingungan menatap Dirga dan Saga bergantian. Wajahnya yang pucat semakin pucat menyadari gerakan resah Dirga yang mulai mendesak jawaban darinya. "Aa ... aku tak tahu. Sungguh aku tak tahu, Dirga." Sesil menggelengkan kepala dengan gemetar di seluruh tubuh.

Dirga kini membalikkan badan. Mengerahkan seluruh perhatiannya pada wanita itu. Kunci dari semua fakta yang diungkapkan oleh Saga meskipun sudut hati terdalamnya menyatakan kebenaran atas setiap patah kata yang keluar dari bibir Saga. Pria itu memang bajingan licik, tapi ia tak cukup bodoh mengenali mana kebohongan atau bukan. "Jelaskan apa yang terjadi setelah kau tiba-tiba menghilang hari itu?"

"Aku ...." Rentetan kejadian setelah pertengakaran mereka terputar di ingatan Sesil. Sejalan dengan cerita yang mengalir dari mulutnya. "... malam itu aku melihatmu menungguku di depan cafe. Aku terlalu marah, sedih, dan masih terpukul sehingga memilih menghindarimu dan pulang lewat pintu belakang. Aku naik taxi, hujan deras, dan tiba-tiba mobil itu terbalik. Sebagian ingatanku hilang karena kecelakaan itu. Dan dia ..." tangan Sesil teracung menunjuk Saga. " ... dia menipuku dengan mengatakan bahwa aku tunangannya. Lalu ... lalu ..."

"Lalu?" Dirga mulai tak sabar meskipun tahu apa yang akan dikatakan Sesil. Sialan, kedua tangannya terangkat dan menggenggam lengan atas Sesil dengan cengkeraman yang keras. "Apa kau menikah dengannya?"

Sesil membuka mulut tapi jawaban ya tak mampu melewati bibirnya melihat kehancuran di wajah Dirga. Apa ia melukai pria itu terlalu dalam.

"Katakan!!" geram Dirga sambil menggoyangkan tubuh Sesil lebih keras. Seolah menyadarkan wanita itu dari kebekuaannya.

"Yy ... ya. Tapi itu hanya pernikahan rekayasa, Dirga. Aku yakin pernikahan kami tak memiliki kekuatan apa pun."

Genggaman tangan Dirga melemah, kehancuran memenuhi raut muka dan ia terhuyung ke belakang. Mataya memerah dan sudut matanya mulai basah. Amarah dan kehancuran bersatu membentuk emosi yang membakar. Ia mengempaskan kedua lengan Sesil seakan merasa jijik dengan kenyataan menyakitkan itu. "Kau tahu aku sangat mencintaimu, bukan? Kenapa kau lakukan ini padaku?"

Kali ini Sesil yang berusaha mendekat dan menahan Dirga. Meraih kedua tangan Dirga dan memohon dengan tulus. "Percayalah padaku, Dirga. Semua yang terjadi adalah rekayasa Saga. Dan aku yakin Saga juga terlibat dengan kecelakaanku."

Saga terbahak. Tawa pria itu memenuhi ruangan yang hening menyesakkan bagi Sesil dan Dirga. "Tuduhanmu cukup serius, Sesil. Tapi sayang sekali tuduhan yang tak memiliki dasar lebih seperti ... omong kosong."

Sesil mendongak. Wajahnya memerah oleh amarah. "Aku akan menuntutmu atas penipuan, penculikan, dan pemerkosaan."

"Apa kau ingin membuktikan kekuatan hukum yang kumiliki atasmu sebagai seorang suami, Sesil?"

"Aku menandatangani berkas pernikahan itu tanpa kesadaran diriku!" sergah Sesil frustasi.

"Sayang sekali kau sama sekali tak punya bukti terlampir atas amnesia yang kauderita. Ah, bahkan tidak ada yang tahu kau mengalami amnesia. Aku ragu dokter-dokter yang menanganimu akan membenarkan pernyataanmu."

Kaki Sesil melemah dan tubuhnya terhuyung satu langkah ke belakang. Rumah sakit yang menanganinya adalah wilayah kekuasaan Saga. Ia pun tak bisa mendapatkan bukti apa pun di dalam rumah Saga, apalagi di luar.

"Dan pemerkosaan? Aku cukup yakin kita saling menikmati," ejek Saga dengan senyum terlalu lebar dan tatapan tak lepas dari ekspresi terpuruk Dirga.

"Kurang ajar!!!" Dirga berlari menghambur ke arah Saga, tapi langkah pria itu terhenti oleh dua pengawal yang kini menghadang dan mencekal kedua lengannya. "Brengsek sialan! Aku akan membunuhmu."

"Lepaskan dia!" teriak Sesil mencoba membantu Dirga melepaskan diri, tapi dua pengawal Saga yang lain menariknya menjauh.

"Bagaimana jika kita bertarung satu lawan satu?" tawar Saga di antara teriakan penuh frustasi Dirga. "Kau harus mencoba mengambil kembali milikmu meskipun akan berakhir sia-sia, bukan? Setidaknya sedikit perjuangan untuk tahun-tahun bahagia yang telah kalian lewatkan."

"Lepaskan aku!" bentak Dirga pada kedua pengawal Saga dan menyentakkan tangannya dengan keras. Kedua pengawal itu mundur setelah mendapatkan persetujuan melalui isyarat mata Saga.

Sesil semakin panik. Menggeleng dengan keras dan pemberontakannya terhadap dua pria yang menahannya semakin menjadi.

"Hentikan, Saga!" Sesil berteriak hingga tenggorokannya sakit ketika Saga mulai berdiri dan hendak menggulung lengan kemejanya. Berharap melerai pertarungan yang bahkan belum dimulai. Dirga tak pandai bertarung dengan tangan kosong. Keberhasilan pria itu menyelamatkannya dari dua pria yang mencoba memperkosanya adalah suatu keberuntungan. Tetapi, lolos dari pembantaian Saga membutuhkan lebih dari sekedar keberuntungan. Saga saja cukup mematikan, apalagi dengan puluhan pengawal yang tak mungkin berdiam diri melihat kulit tuannya tergores. Ditambah kelicikan Saga. Tidak ada lagi celah bagi Dirga untuk memenangkan pertarungan ini. Kemungkinan terburuk, nyawa Dirgalah yang akan melayang. Tidak!!!

Saga melirik sekilas Sesil, maju satu langkah mendekat ke arah Dirga yang sudah siap dengan kuda-kudanya.

"Lepaskan aku!!" Entah keberanian dari mana yang mendorong Sesil untuk mengangkat kaki kanannya dan menginjak salah satu kaki pengawal Saga lalu kepalanya tertunduk menggigit lengan yang menahan gerakannya. Hanya sedetik kesempatannya untuk lolos dari kedua pria yang mencekalnya, tapi detik itu berlalu sangat cepat dan kedua pengawal itu kembali memenjaranya sebelum ia sempat mengambil langkah pertamanya.

Perhatian Saga teralih sesaat atas keributan yang disebabkan oleh Sesil. Saat ia menoleh, Dirga sudah menerjangnya dengan satu tinju yang hampir mengenai wajahnya, tapi Dirga malah tersungkur di lantai. Saga menyeringai, memberi kesempatan bagi Dirga untuk berdiri dan melemparkan satu tinju lagi yang berakhir sia-sia. Ketiga dan keempat, usaha Dirga untuk menyentuh Saga sama sekali tak membuahkan hasil. Ia memang lebih suka bermain senjata api daripada berlatih fisik yang membuatnya berkeringat. Dan pistolnya sudah dilucuti begitu ia masuk ke dalam klub ini. Sungguh sial!

"Apa hanya itu yang kaumiliki, Dirga? Sayang sekali, memecah kepalamu dengan pistol ini hanya akan melukai harga diriku sebagai seorang pria." Saga mengelus sarung pistolnya yang tersembunyi di pinggang.

Sesil menatap ngeri ke arah Saga. Napasnya seketika terhenti dan kepanikannya meruncing tanpa batas menusuk ulu hatinya. "Tidak."

Lengan Dirga bertumpu pada kursi, kepalanya tertunduk berusaha menormalkan pernapasannya. Lalu, ide itu muncul dan tak menunda untuk melaksanakannya. Dirga bangkit, mengangkat kursi itu dan menghambur ke arah Saga. Kaki kursi itu mengenai kepala Saga hingga terjatuh ke lantai, belum sempat Saga menyadari luka yang menggores di dahi, selanjutnya tubuh Dirga menghujaninya dengan pukulan bertubi yang mendapatkan perlawanan seimbang dari Saga.

Tubuh keduanya bergulung di lantai tiga kali, terakhir Saga duduk di perut Dirga dan melayangkan puluhan tinjunya ke muka Dirga.

"Hentikan, Saga!!!" teriakan Sesil yang nyaring memecah bunyi hantama kepalan tangan Saga yang beradu dengan tulang-tulang di wajah Dirga. Pria itu seperti kesetanan dan Dirga tak berdaya selain hanya memukul-mukulkan kedua tangannya dengan gerakan tak beraturan ke mana pun asalkan itu ke arah Saga.

"Aku akan ikut denganmu!" Tangis Sesil. "Aku mohon hentikan, Saga." tubuh yang merosot lemah ditahan oleh kedua pengawal itu.

Tangan Saga berhenti di udara di pukulan terakhir yang hendak ia daratkan. Wajah Dirga sudah berlumuran darah dan pukulan di lemparkan pria itu bahkan tak mampu menyentuh tubuhnya. Saga berdiri, menjauh dari tubuh Dirga yang berbaring di lantai dengan menggenaskan.

Kedua pengawal yang menahan Sesil melepaskan cekalan mereka begitu mendapatkan isyarat tangan dari Saga. Sesil menghambur ke arah Dirga, membantu pria itu bangkit terduduk. "Maafkan aku, Dirga."

"Apa kau sudah gila?!" maki Dirga di antara darah yang membasahi bibirnya. Kali ini mencoba bangkit berdiri dengan satu tangan karena tangannya yang lain memegang tulang rusuk yang sepertinya sudah patah dengan sedikit bantuan Sesil.

"Bisakah aku mendengar penawaranmu sekali lagi, Sesil?" Saga menggaruk bawah telinganya yang tak gatal. "Mungkin aku akan tertarik."

Sesil melepas pegangannya pada Dirga dan membalikkan tubuhnya menghadapi kearogansian Saga. "Aku akan ikut denganmu dengan syarat kau membebaskan Dirga." Sesil memperjelas pernyataannya. Kedua tangannya terangkat menghalangi jika sewaktu-waktu Saga berniat menerjang Dirga meskipun tindakannya terlihat begitu tolol. Kekuatannya sama sekali bukan tandingan Saga.

"Apa aku mendengar permohonan dalam suaramu, Sesil?" Saga menyentuh daun telinganya dengan jari telunjuk. "Dan kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu setelah kau mencoba kabur dariku?"

"Lalu apa yang kauinginkan dari kami berdua?!" teriak Sesil frustasi. Napasnya terengah.

Saga terbahak. Menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di hadapan Sesil dengan senyum mengejek. "Bukan seperti itu sikap yang baik untuk memohon pada seseorang, Sesil."

"Jangan membuang waktumu untuk memohon pada pria busuk dan sombong sepertinya, Sesil." Dirga mendesis di belakang kepala Sesil. "Pria itu tak pernah menghargai permohonan."

"Kalau begitu habisi kami berdua!" tantang Sesil dengan tatapan kerasnya. Melirik ke arah sarung pistol di pinggang Saga. "Apa nyawa kami cukup untuk melunasi dendammu pada Dirga?"

Saga cukup terkejut dengan tantangan Sesil. Apa wanita itu rela mati untuk Dirga? Seketika dadanya bergemuruh oleh rasa panas yang membanjir tanpa sebab tanpa aba-aba dan tanpa persiapan bagi Saga untuk tahu bagaimana gemuruh itu bisa datang.

Suasana tiba-tiba menjadi hening dan menegangkan dengan raut Saga yang mengeras meskipun hanya sesaat. Kesabarannya habis tapi ia tetap tenang. Namun, udara yang menguarkan amarah di sekitar pria itu tak bia berbohong. Kedua pengawal yang berada paling dekat dengan Dirga, bergegas memisahkan kedua manusia itu. Menjauhkan Dirga dan mendekatkan Sesil ke arah Saga.

Sesil tak berniat melawan meskipun ia ingin. Ia tahu Saga menerima penawarannya, tapi tidak dengan Dirga. Pria itu memberontak dengan tubuhnya yang babak belur dan sisa-sisa tenaga yang sudah terkuras habis.

"Lepaskan! Lepaskan aku!!"

Saga menarik pinggang Sesil menempel di tubuhnya. Menatap Dirga, butuh satu menit lebih menunggu pria itu lelah melawan dan memilih pasrah ketika salah pengawalnya mengambil kain untuk membungkam rontaan keras kepala Dirga.

"Setelah melihat hubungan kalian berdua hancur dan bahkan aku telah menodaimu kekasihmu yang sangat berharga dan rapuh itu. Apakah ini cukup sebagai peringatan untukmu ke depannya, Dirga?"

"Aku akan menganggap pertemuan kalian di sini sebagai suatu kebetulan. Tapi kedua kalinya, kalian tak akan bisa mengelak dan membuatku salah paham." Saga mengabaikan geraman Dirga yang tertahan kain yang menyumpal mulut dan tubuh yang tak bisa bergerak bebas karena kedua pengawal di kedua sisi. Saga membawa Sesil berbalik dan melangkah keluar. Meninggalkan Dirga yang menatapnya terbakar dendam.

Saga berhenti ketika mobil dibuka untuk mereka. "Lepaskan kain sialan itu!" geramnya dengan tangan meraih kerah jaket Dirga yang dikenakan Sesil. Mendadak rasa marah menyadarkan dirinya dan memberi perhatian penuh pada benda sialan itu.

Sesil menarik tubuhnya menjauh dan menahan tangan Saga. matanya mengawasi beberapa pengawal Saga yang berjaga di sekitar mobil. "Aa ... aku akan melepasnya di dalam mobil."

Sekilas Saga memperhatikan dress Sesil yang robek dan kulit telanjang wanita itu mengintip di celah robekannya yang berpangkal di perut. Lalu, tatapannya beralih ke arah bekas memerah di leher. Geraham Saga bergemeletuk membayangkan apa yang dilakukan pria-pria sialan itu hingga meninggalkan bekas semacam itu di sana. Kedua tangannya terkepal dengan keras ketika matanya mengisyaratkan pada salah satu pengawal untuk mendekat. Pengawal itu memberikan telinganya pada Saga, mendengarkan dengan saksama, dan menjauh setelah mendapatkan perintah. Siapa saja yang berani meletakkan tangannya di kulit Sesil akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Amat sangat setimpal.

"Masuk!" Saga mendorong Sesil masuk ke mobil hingga pantat wanita itu terbanting di jok mobil yang empuk.

"Jadi, sejauh apa pria-pria itu menyentuhmu, Sesil?" Saga menarik jaket Dirga lepas dan melemparnya dari jendela mobil yang terbuka tepat sebelum mobil melaju meninggalkan halaman klub malam yang masih sunyi itu.

Sesil membuang wajah menghindari pembahasannya yang sangat sensitif itu. Pertanyaan Saga membuatnya mengingat kengerian itu melintasi ingatannya yang belum kering. Ia benci mengakui bahwa sentuhan Saga jauh lebih baik dari kedua pria mesum dan tak bermoral itu.

"Apakah Dirga berhasil menjaga dirimu pria-pria buruk Cassie seperti dia berhasil menjaga kesucianmu dari dirinya sendiri?"

Sesil memutar kepala menatap wajah Saga. "Apa kau akan membebaskan Dirga jika aku menuruti semua permintaanmu?"

Saga menyeringai, "Mencoba mengalihkan pembicaraan, huh?"

"Setidaknya aku harus tahu bayaran atas pengorbananku, bukan?"

"Ya, aku akan melepaskannya jika ia bertingkah baik."

"Kuharap kau menepati janjimu, Saga."

Saga mengangkat bahunya sekali. "Atau sejauh apa dia berhasil menyelamatkanmu dari tangan-tangan kotor yang menyentuh tubuhmu?"

Wajah Sesil memerah. Marah dan malu. "Kenapa? Apa kau tak akan menyentuhku lagi dan membuangku karena aku tubuh kotorku?" Ada rasa sesak yang muncul jika Saga benar-benar tak ingin lagi menyentuhnya dan membuangnya seperti barang rongsokan. Membuatnya berpikir bahwa dirinya benar-benar sudah kotor dan ternoda. Tetapi, ada juga perasaan lega karena ia tak perlu lagi membiarkan tubuhnya menjadi pelampiasan nafsu Saga.

Sejak tadi, persediaan kesabaran Saga sudah dilibas habis oleh pertaruhan nyawa yang dilakukan Sesil untuk Dirga. Tetapi, sepertinya ia punya cadangan stok kesabaran berlebih atas tantangan yang diajukan Sesil dengan wajah polos seakan tanpa dosa itu. Menuntut jawaban yang membuat Saga makin mendidih.

"Kau sungguh beruntung rencana Cassie sedikit meleset dari perkiraan. Ini pertama kalinya seseorang berhasil menggagalkan rencananya. Mungkin, dia sedikit kurang waspada memperhitungkan jumlah cinta Dirga yang ternyata lebih besar dari yang wanita itu perkirakan."

"Lalu, apa kau berharap aku berterima kasih pada perhitungan Cassie yang meleset atau cinta Dirga yang ternyata lebih besar dari yang kalian hitung?"

Saga menggeleng. "Tidak keduanya. Tapi pada keberuntunganmu sendiri, Sesil. Karena sekarang, keberuntunganmu ada di ..." Saga mengangkat tangan kanannya dan menunjukkan pada Sesil. Kemudian, jari jemari Saga menutup dengan gerakan yang perlahan hingga membentuk kepalan yang keras, " ... genggaman tanganku."

Sesil menelan ludahnya, berjuang agar ketakutannya tak sampai muncul di permukaan. Saga memang semengerikan, semenakutkan, dan sekejam itu. Ke depannya, ia hanya berharap tak lagi mengusik ego pria itu. Mekipun kekeraskepalaannya tak bisa menjaminkan hal tersebut.

***

"Pakai ini!" Saga melempar jas yang baru saja ia lepaskan ke pangkuan Sesil sebelum pintu mobil terbuka dan ia menurunkan kakinya.

Sesil berniat menolak perintah sekaligus bantuan Saga, tapi robekan lebar yang membelah bagian depan dress menampilkan sebagian besar dadanya. Juga tali bra yang ia kenakan pun menggantung menyedihkan karena perlakuan beringas kedua pria yang hampir memperkosanya. Lebih baik mengenakan jas tersebut atau dadanya akan menjadi tontonan tak semena-mena pengawal-pengawal Saga.

Sesil menatap jas biru gelap itu sesaat lalu mengenakannya sambil mengamati langkah Saga yang menjauhi mobil, si sopir yang menunggu dengan memalingkan wajah memberi kesempatan Sesil berpakaian dengan benar, dan satu pengawal yang menunggu membukakan pintu untuknya.

Bergegas ia turun dari mobil setelah memastikan jas Saga menutupi semua koyakan dress yang ia kenakan, sekilas menggenggamkan gundukan samar di saku jas tersebut dengan gerakan sambil lalu, dan berjalan memasuki pintu ganda rumah yang terbuka. Ada satu mobil asing berwarna merah yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Ya, kebiasaannya yang mengawasi dari balkon, mau tidak mau membuatnya menghafal semua jenis dan warna mobil yang keluar masuk di rumah ini. Mengabaikan tamu yang bukan urusannya, Sesil masuk lebih dalam. Melihat Saga berdiri menghadap tiga sosok yang duduk mengeliling kursi tamu dan menyambut kedatangannya dengan tatapan berbeda-beda. Ada Alec, satu pria asing yang mungkin pemilik SUV merah, dan Cassie???

"Kau!" geram Sesil dengan bibir menipis marah sambil menunjuk ke arah Cassie yang menatapknya dengan remeh seperti biasa. Seketika amarahnya naik ke ubun-ubun dan entah dari mana keberanian itu datang mendorong Sesil berlari menyeberangi ruangan. Menerjang ke arah sofa panjang tempat Cassie duduk bersandar. Meraih rambut Cassie dan menariknya kuat-kuat dengan kasar.

"Aakhhh, sialan!" Cassie yang tak memperkirakan serangan brutal Sesil sedikit kewalahan. Kepalanya tertunduk karena tarikan kuat Seisl pada rambut bagian atasnya. Ia bersumpah akan membunuh wanita sialan itu jika rambutnya ada yang rontok. Tangannya sudah meraih ke arah wajah Sesil hendak menggoreskan kukunya yang panjang di sana. Tetapi, tiba-tiba tubuh Sesil menjauh, ditarik mundur dengan paksa. Antara lega dan tak puas karena ia tak berhasil menghancurkan wajah wanita tak tahu malu itu.

"Bawa dia ke kamarku, Arga!" Suara Saga menyela di antara teriakan tak terima Sesil karena dilerai dari pertengkaran yang akhirnya menjadi seimbang ini.

"Lepaskan aku!" Tubuh Sesil diangkat, dan dipanggul di pundak seseorang seperti karung beras. Kedua tangannya memukul-mukul punggung keras yang tak bergeming, menjauhi ruang tamu menuju anak tangga naik ke lantai dua.

"Aku tak tahu berapa banyak kesabaran yang dimiliki kakakku untuk menghadapi wanita pembangkang dan tak tahu diri sepertimu." Pria itu menjatuhkan Sesil tepat di depan pintu kamar. Mengusap-usap sepanjang lengannya seakan membersihkannya dari debu kotoran. "Jika itu aku, kupastikan tidak ada seorang pun yang bisa menggagalkan rencana Cassie."

Sesil berusaha berdiri dengan tegak setelah tubuhnya didaratkan dengan cara kasar tersebut dan kepalanya mendongak. Menatap marah wajah di depannya. Kakak? Sesil sempat mendengar pria itu menyebut Saga dengan panggilan kakak di antara gerutuan yang dikeluarkan pria itu. Apa pria ini adalah adik Saga? Pria asing ini memang memiliki hampir delapan puluh persen wajah Saga, tapi dengan pembawaan yang lebih kalem. Kecuali kata-katanya yang cukup beracun.

"Kau benar-benar di luar dugaanku." Pria itu mengamati tubuh Sesil dari atas sampai bawah dengan tatapan tak senonoh. "Jauh di luar nalar dan ekspetasi dari reputasi selera kakakku yang tak pernah mengecewakan."

"Apa?" Sesil tak memahami maksud ucapan pria itu, tapi entah kenapa ia merasa tersinggung.

"Masuklah dan bersihkan dirimu seperti yang kakakku perintahkan. Aku tak bisa menjamin hukuman apa lagi yang akan diberikan kakakku jika penampilanmu masih seberantakan ini saat dia kembali ke kamarnya. Setidaknya kau harus meredam amarahnya dengan tubuhmu, bukan?" Pria itu berbalik dan menghilang ketika menuruni tangga.

Sesil memutar kepala menatap ke sekelilingnya. Tidak ada pengawal dan sepanjang matanya mengawasi seluruh ruangan di lantai dua ini tak ada siapa pun, bergegas Sesil masuk ke kamar. Bersandar pada pintu, Sesil memegang dadanya yang berdebar kencang saat satu tangannya merogoh saku jas Saga. Mengeluarkan benda pipih berwarna biru gelap dan mengkilat itu. Ia berhasil menyelundupkan ponsel Dirga yang tertinggal di jaket pria itu ke dalam saku jas Saga. Ia tak tahu apa yang akan ia lakukan dengan ponsel tersebut, tapi ia tahu benda itu akan bermanfaat nantinya. Segera ia mematikan ponsel tersebut dan melangkah cepat-cepat ke kamar mandi. Mencari tempat untuk menyembunyikan ponsel tersebut.


***


Thursday, 19 March 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro