9 • decision
Satu cup americano kian menyusut, menyisakan butiran air dingin di sekeliling wadah. Tiga buah es batu hanya diaduk asal hingga mencair dan rasa pahit yang tertinggal pun makin hambar. Lyn mendengkus, berkali-kali menengok jam tangan yang terasa amat lambat dalam bergerak. Sudah tiga puluh menit ia mematung sendiri di tengah kafe. Memang sial, seharusnya ia mengambil tempat duduk di pojok ruangan saja.
Lyn kembali mengirimkan pesan pada Becca yang entah tersangkut di mana. Sejak tadi gadis itu hilang tanpa kabar, padahal ia sudah berjanji akan tepat waktu. Beginilah kalau lelaki mulai berdiri di tengah mereka. Ia tahu, sebelum kemari, sahabatnya itu izin hangout dengan 'calon' pacarnya di mal dekat sini. Namun, Lyn tidak menyangka akan se-mengenaskan ini sekarang. Ia benar-benar risi saat sepasang muda-mudi menatapnya aneh karena sedari tadi hanya menyesap kopi, bersenandung lirih, dan membaca komik yang posisinya sempat terbalik.
Ia pun iseng mengecek akun Instagram-nya. Beberapa menit lalu, akibat kurang kerjaan, Lyn mengambil fotonya sendiri dan mengunggahnya tanpa caption. Outfit-nya kali ini tidaklah buruk. Tidak ada salahnya untuk berbagi. Ia mengenakan crop top hitam polos yang dilapisi blazer bergaris. Celana jeans-nya tidak ada yang spesial. Ia hanya memotongnya hingga sedikit di atas betis.
@ethanlee
Tripod-nya digeser dulu boleh, lho.
@shim_sean
Such a nice side profile 💕
@mr.hans
Butuh teman buat fotoin?
Lyn memutar bola matanya malas. Ia lekas mengarsipkan postingan-nya lalu mematikan layar ponsel. Dibanding repot-repot menghapus komentar anggota The IV, lebih baik potretnya saja yang disembunyikan. Sebelumnya ia cukup aktif memamerkan gaya pakaian yang dinilai unik, atau minuman racikan hasil eksperimen di rumah maupun kafe, atau lagi tempat yang baru ia kunjungi. Segala hal yang dirasa estetik akan memenuhi feed Instagram-nya. Namun, sejak akun-akun meresahkan itu mengikutinya, ia jadi resah sendiri. Ingin ia memblokir mereka satu per satu, tetapi ia belum menemukan inti permasalahannya. Menghakimi orang lain tanpa alasan yang jelas tentu tidak baik.
"Lyn!"
Lamunan sang empunya nama itu langsung buyar saat suara familier muncul dari pintu masuk. Lyn semula ingin berkacak pinggang dan memarahi Becca ini-itu karena menelantarkannya seorang diri di sini. Sayang, kawannya itu dibuntuti oleh ayang terfavorit yang cengar-cengir saat merangkulnya dari belakang. Hasrat ingin muntah pun seketika naik level hingga Lyn memalingkan wajahnya.
"Kalau gitu Kakak tinggal, ya. Have fun!"
Becca mengangguk dan tersenyum manis. "Hati-hati, ya."
Lyn menelan ludah. Ia refleks mengusap wajah plus menatap lantai saat seniornya mencium pipi Becca, lalu membisikkan sesuatu yang tidak Lyn ketahui. Tidak tahan, ia pun beranjak memesan dua greentea latte dan kentang goreng. Saat mendapati lelaki itu benar-benar meninggalkan tempat duduk mereka, Lyn baru kembali dan bersiap menceramahi kawannya.
"Sori, gue telat banget. Sori, sori, sori."
Belum sampai membuka mulut. Becca sudah menyiapkan pembelaan. Lyn pun berdecak dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Tatapan tajamnya sudah cukup membuat Becca ketar-ketir. Ia diam, tidak ingin memotong apa pun, meski sebenarnya sangat muak mendengarkan itu semua.
"Udah?" tanya Lyn ketika Becca menutup mulutnya.
Gadis itu mengangguk. "Maafin gue, ya."
"Iya."
Becca lekas berdiri dan bertepuk tangan. Ia menghampiri Lyn lalu mencubit kedua pipi gadis itu, gemas. "Cantik banget emang princess kita satu ini."
"Stop it, Ca."
"Oke, oke," Becca tertawa kecil, "jadi gimana? Ada cerita apa?"
Lyn mengunyah camilan yang baru datang sambil berpikir. Ia bingung harus cerita dari mana. Ia juga lupa bagian mana saja yang belum Becca ketahui. Dari pertemuannya dengan Dev di Kafe Engene? Atau dengan Hans di UKM Teater? Atau dengan Sean di perpustakaan? Atau lagi dengan … Lyn sontak berhenti sejenak. Pertemuannya dengan Ethan tidaklah kebetulan seperti yang lain. Ia sendiri yang merencanakannya. Ia yang meminta laki-laki itu untuk membantunya.
Sial, kenapa justru ia yang terlihat maju lebih dulu?
Gadis itu pun menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir tanpa ditutup-tutupi. Becca yang notabene merupakan salah satu fans The IV lantas semangat 45 saat mendengarnya. Terlebih ketika Lyn mengungkapkan kekaguman sesaat pada seseorang yang ia pribadi juga belum mengetahui alasan bisa demikian.
"Terus sekarang mau gimana? Lo jangan jadi sasimo gini, Lyn. Bagi-bagi."
"Ck, gue nggak bilang kalau mau sama mereka kali, Ca."
"Tapi lo nyaman, kan?"
Lyn menelan ludah. "Kayaknya. Entah, lah. Ada yang iya, ada yang enggak."
"Iya-nya sama siapa?" Mata Becca berbinar-binar saat menanyakannya.
Lyn lekas mendorong dahi Becca agar gadis itu cukup jauh dari hadapannya. "Belum yakin, nggak usah kepo."
"Kan, gue penasaran."
Sambil menggeleng, Lyn menyeringai. "Menurut lo gimana? Gue yakin banget mereka jadiin gue taruhan karena nggak mungkin tiba-tiba deketin gitu aja. Mana cara mereka, tuh, mencurigakan, Ca."
"Mencurigakan gimana?"
"Gimana, ya." Lyn menatap langit-langit, berharap mendapatkan jawaban. Namun, sedalam apa ia menatap, ia tak mendapatkan apa-apa. "Duh, gue juga bingung. Firasat gue gitu pokoknya."
"Jadi, lanjut nggak, nih?"
"Gue males."
"Ck, seorang Lyn nyerah gitu aja?"
"Nggak ada gunanya juga, kan, gue tau kenapa mereka kayak gini. Urusan masing-masing."
"Banyak gunanya kali, Lyn." Becca mendekat dan berbisik pada kawannya. "Lo bisa manfaatin mereka. Lumayan, kan. Kak Ethan, contohnya."
"Jadi cewek jangan murahan amat, lah, Ca."
Becca mengerucutkan bibir. "Nggak gitu. Maksud gue, nggak ada salahnya kalau lo mau ngikutin arusnya aja. Kalau ternyata hal ini ada untungnya, ya, bonus."
Lyn mengusap kepalanya lalu melepas ikat rambut yang terasa menyiksa. Ia termenung dan berpikir jauh. Ia bisa saja menghindar, menutup segala akses yang mempertemukannya dengan anggota The IV. Namun, dengan wilayah sekecil fakultas--pun jurusan, perpustakaan, Kafe Engene, dan UKM teater, bukankah takdir tetap bergerak mendekatkan mereka?
"Oke, gue ikuti permainan mereka. Sekalian liat juga, sejauh mana taruhan ini berjalan."
"Nah, ini baru temen gue."
Becca mengangkat gelasnya dan mengajak Lyn bersulang. Agak lebay memang, tetapi Lyn tetap menurutinya. Ia lekas menghabiskan minumannya yang mulai terasa hambar karena es yang mencair.
"Permainan apa?"
Lyn hampir tersedak saat tiba-tiba suara lelaki menginterupsi perayaannya dengan Becca. Ia lekas mendongak, menoleh ke sumber suara yang kini tersenyum tipis ke arahnya. Kalimat lelaki itu tetaplah datar seperti biasa. Ekspresinya juga sama. Bedanya, apa yang ia kenakan kini jauh lebih nyentrik dan unik dipandang. Hanya perpaduan kemeja kotak-kotak yang tak dikancing, beanie hat dan masker hitam polos--yang sudah dilepas, serta celana pendek di atas lutut.
"Kak Dev?"
Becca buru-buru meraih tasnya dan berdiri. "Gue ke kamar mandi dulu, ya."
Lyn mengangguk. Ia tak kaget lagi kalau kawannya kembali kabur sendirian. Gadis itu lebih memilih memandangi Dev yang masih berdiri di sampingnya dan menatap lekat.
"Kakak ngapain ke sini?"
"Beli bakso."
"Please, ini kafe."
"Itu tau." Dev segera duduk di kursi sebelah Lyn--di sisi yang berbeda. "Gue mau ngopi."
"Terus mana kopinya?"
Belum sampai mengatupkan bibir, seorang pelayan mengantar caramel macchiato pesanan Dev. "Ini kopinya."
"Oke."
Lyn kembali menghadap depan. Semula ia memiringkan duduknya agar bisa leluasa berbicara dengan Dev. Sekarang, tidak ada gunanya lagi. Ia harus berpikir positif. Tidak selamanya lelaki itu--dan juga anggota The IV yang lain--sengaja menemuinya, apalagi Dev tidak pernah menghubunginya pula. Benar-benar sama sekali. Tidak ada pesan dan panggilan masuk, bahkan komentar pada unggahannya pun tidak. Ia sungguh misterius karena terkesan lebih senang menghampirinya dibanding basa-basi di dunia maya.
"Jadi, permainan apa yang lo maksud?"
Lyn sedikit melirik. "Bukan urusan Kakak."
"Masak?" Dev mengangkat sudut kiri bibirnya. "Gue denger lo nyebut The IV tadi."
Sebisa mungkin Lyn menenangkan diri agar tidak panik. Ia menarik napas panjang sebelum menatap lelaki yang meniup kopinya santai.
"Kalau udah denger ya udah. Kenapa nanya lagi?"
"Santai aja." Dev menyilangkan kakinya dan menghadap ke Lyn. "Gue dengernya samar-samar doang, makanya konfirmasi langsung ke yang ngomong. Biar nggak ada kesalahpahaman."
Lyn tersenyum manis, mengelabui lawan bicaranya. "Bukan apa-apa, kok. Kakak mungkin salah dengar. Lagian, saya mau main apa dengan The IV? Siapa saya sampai berani ngelakuin itu?"
Dev menarik kursinya hingga menimbulkan suara gaduh. Sontak tatapan pengunjung kafe yang lain beralih pada mereka. Lyn pun refleks memundurkan badan dan celingak-celinguk, memperhatikan orang-orang yang tampak membicarakannya.
Dev lekas memegang dagu Lyn lembut, lalu mengarahkan wajah gadis itu padanya. Mata mereka pun bertemu. Jarak keduanya sungguh dekat hingga udara hangat dari embusan napas Dev sanggup menggelitik tengkuk Lyn. Aroma parfum yang cukup kuat dan menusuk nyatanya tak mengalihkan fokus mereka.
Hening, Dev tersenyum tipis. Ia kemudian mengusap pipi tembam Lyn yang tak seberapa, tetapi menggemaskan. Ia juga merapikan rambut gadis yang tergerai berantakan itu.
"Lo boleh mikir apa pun tentang kita. Lo ngira kita main-main juga nggak masalah."
Lyn menatap datar. "Bener, kan, berarti?"
Dev menggeleng. Ia tersenyum. "Sayang kalau cewek kayak lo cuma dijadiin mainan. Lo jangan merasa semurah itu, oke? Gue nggak suka. Lo nggak pantas jadi taruhan dan itu berlaku buat cewek mana pun juga."
Lyn tertawa remeh. "Kakak nggak berhak ngatur perasaan saya mau gimana. Terserah Kakak juga mau ngapain. Saya bodo amat."
Dev mengiakan. Ia setuju dengan kalimat Lyn yang pertama. "Syukurlah kalau lo nggak keberatan. Kalau gitu mau jalan bareng, nggak? Kayaknya temen lo udah pulang."
Lyn menepuk jidat karena baru menyadari sesuatu. Temannya hilang dan belum kembali. Ia lekas mengecek ponsel dan benar saja, Becca melenggang pergi dengan alasan ingin memberi ruang lebih untuk mereka (ia dan Dev). Lyn pun mendengkus dan refleks menggebrak meja.
Masalahnya, ia yang membayar pesanan tadi dan ongkos pulangnya jadi terpotong.
"Gimana? Kebetulan gue mau ke toko buku sebelah. Lo suka baca, kan?"
"Nggak perlu, Kak. Saya pulang sendiri aja."
"Mau gue antar?" Dev ikut beranjak saat Lyn berdiri. "Gue nggak liat motor lo di depan."
"Saya bisa pesen ojek online."
"Gue pesenin kalau gitu, ya?"
Lyn mengentak kakinya lalu berbalik, menatap Dev yang sungguh dingin jika dilihat saja. "Nggak usah. Saya permisi!"
Dev tak memaksa lagi. Ia cukup mengikuti Lyn dan turut menunggu ojek yang dipesan. Setelah tiba, ia berbisik pada lelaki yang mengendarai motor bebek itu untuk hati-hati di jalan. Tak lupa ia juga menepuk-nepuk kepala Lyn lalu melambaikan tangan menjauh.
Sarap! Lyn menggerutu kesal.
DAY 9
9 April 2022
Ngopi dulu biar tahes 🧘🏼♀️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro