Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 • espresso

Sebenarnya Lyn bisa libur sehari atau dua hari lagi, mengingat tubuhnya terkadang masih panas-dingin dan auranya belum seterang biasanya. Namun, ia tidak ingin melewatkan jam masuk dosen ter-killer seantero FISIP ini. Kata kakak tingkat, sekali saja absen akan membuatnya ditandai hingga akhir semester. Ia tidak mau mengambil risiko, meski tak yakin akan mendapat nilai bagus juga. Lagi pula, gadis yang kini memakai oversize shirt dengan inner abu-abu itu ingin bertemu ponselnya lagi. Sebelum berangkat, ia sudah mengirim pesan pada Hans melalui ponsel mamanya.

Hingga di sinilah ia sekarang, kantin dekat Student Center. Lelaki itu pasti masih sibuk mengurusi printilan pasca-diklat. Lyn tak peduli sama sekali. Kalaupun setelah ini ia tidak memiliki kesempatan mengikuti kegiatan UKM, ia akan mencoba tahun depan di organisasi yang berbeda. Lebih baik demikian daripada harus dijadikan bahan lawakan kedua kali.

"Udah nunggu lama?"

Lyn mendongak sekilas, lalu mengangguk. Meski tengah mengenakan full make up yang on point, gadis itu bersembunyi di balik masker hitam yang menutupi hampir sebagian mukanya. Ia hanya mengulurkan telapak tangan tanpa mau menatap Hans. Berbicara pun tidak.

"Gue boleh ngomong dulu, nggak?"

Cara bicara Hans lebih lembut dari biasanya. Raut wajah lelaki itu juga tampak berantakan. Rambutnya tak karuan, kantung matanya menghitam, bibirnya kering, embusan napasnya pun terdengar lelah dan memprihatinkan. Lyn tidak ingin menaruh simpati. Namun, binar aneh yang tampak seperti serpihan kaca itu menghipnotisnya untuk memberi kesempatan.

Baiklah, toh Lyn tidak berniat meng-cosplay karakter antagonis yang mudah dibenci dan mengundang untuk dicekik mati-matian. Ia lekas mengiakan dan lelaki itu pun mendekatkan tempat duduknya.

"Gue minta maaf soal kemarin."

"Nggak perlu, Kak. Kakak nggak salah. Saya aja yang berlebihan."

Hans menggeleng cepat. "Lo berhak marah, kok. Lo boleh berpendapat apa pun. Gue nggak ngelarang dan nggak bakal mempermasalahkan itu."

"Makasih."

"Maafin gue, ya." Perlahan, Hans ingin menggenggam tangan Lyn. Namun, gadis itu menepisnya dan memalingkan wajah. "Lyn?"

"Saya juga minta maaf karena kemarin bikin kegaduhan. Nggak seharusnya lepas kontrol dan ngomong kayak gitu, tanpa lihat posisi kakak-kakak panitia dulu. Kalau boleh, sampaikan maaf saya ini ke mereka."

Hans menghela napas. Lyn belum mau menatapnya. Ia lantas beranjak dan duduk berjongkok di hadapan gadis itu agar bisa melihatnya. Sontak Lyn terkejut dan hendak berbalik. Namun, Hans menahan tangannya dan mereka pun saling menyelami tatapan masing-masing.

"Mau tukeran sudut pandang, nggak?"

Lyn bergeming. Ia merasa tidak akan bisa menerimanya. Namun, Hans terus tersenyum manis, seolah-olah memastikan pilihannya tidak akan salah. Walau ragu, ia pun mengangguk.

Hans segera kembali ke tempat duduknya karena menekuk kaki bermenit-menit sangatlah menyiksa. "Mau dari siapa dulu?"

"Kakak."

"Oke." Hans membuka tutup botol air mineral kemasan yang ia bawa dan menyodorkannya pada Lyn, sebelum membuka untuk dirinya sendiri. "Bener kata lo, kok. Ini udah jadi tradisi di teater. Gue sendiri nggak tau siapa pencetusnya. Cuma, setiap diklat, jerit malamnya pasti begitu. Tentang orang tua atau keluarga, baru ke sisi-sisi lain."

"Kenapa selalu dan harus begitu?"

"Alasan pastinya hanya mereka yang tau, tapi menurut gue karena orang tua itu sisi sensitif seorang anak. Jadi, mudah buat meng-trigger lewat hal ini."

"Tujuannya buat apa?" Lyn masih tak habis pikir.

"Beragam, bisa agar sadar susahnya banting tulang, atau--"

"Iya, kalau mereka emang punya dan dibesarkan demikian. Buat yang yatim piatu, gimana?"

"Batin mereka bakal lebih terketuk karena mendambakan kasih sayang itu."

Lyn mendengkus, lalu menarik napas dalam-dalam guna menenangkan diri. "Jadi emang begini, ya, prosesnya?"

"Lyn," Hans kini benar-benar meraih tangan Lyn dan mau seberapa keras gadis itu menangkal, ia tetap dengan erat menggenggamnya, "lo bener kalau ini cuma salah satu metode dari seribu metode lain. Tapi, bukan berarti cara lainnya bisa bersih dari risiko. Semua punya plus minus masing-masing. Dalam pendalaman karakter, untuk memanggil rasa sedih, ya, dipancing dengan kesedihan. Sama halnya buat yang happy, dipanggilnya lewat momen-momen manis atau ngakak. Simpelnya, lo bayangin A buat ngerasa A. Itu latihannya."

Deru napas Lyn telah teratur semenjak Hans mengusap-usap punggung tangannya menggunakan ibu jari. Ia juga jauh lebih fokus saat beradu pandang dan menyimak setiap kata dari lelaki itu. Pikiran kosongnya seperti dihampiri semilir angin. Detik berikutnya, ia merasa hujan tengah membasahi ego yang mengering.

"Gue minta maaf banget kalau lo ada trauma atau apa pun itu gara-gara kemarin. Ini di luar kehendak kami, Lyn. Gue bener-bener ngerasa bersalah."

"Kenapa, Kak?" Lyn bertanya lirih.

"Hem?"

"Kenapa Kakak harus ngerasa bersalah? Kan Kakak sendiri yang bilang, ini di luar kendali kalian."

Tangan kanan Hans yang kosong segera dipakai untuk merapikan rambut Lyn. Ia menata poni gadis itu ke belakang telinga, lalu mengelus pipinya yang tertutup masker.

"Karena gue udah nyakitin cewek yang gue suka."

Sejenak dada Lyn berdegup kencang. Namun, ia bisa segera menetralkannya kembali saat melepas skinship apa pun dari lelaki itu. Ia lantas mengambil ponselnya yang teronggok di samping botol air mineral, lalu berdiri. Seketika Hans mendongak dan menatapnya bingung.

"Kakak saya maafin, kok. Makasih hapenya. Saya harus berangkat kerja."

"Lyn!" Hans menarik sling bag gadis di depannya tanpa beranjak sedikit pun. "Lo tetep mau di UKM, kan?"

Hening, Lyn hanya menjawab pertanyaan itu dengan anggukan tipis. Ia segera berjalan cepat menuju tempat parkir dan bergegas ke Kafe Engene. Jadwal sifnya sebenarnya masih lama, kira-kira tiga sampai empat lagi. Namun, ia tidak memiliki tujuan lain. Lebih baik ia mendinginkan kepala di bawah AC, yang ditemani aroma kopi yang menghanyutkan.

Gadis itu menyapa semua karyawan yang terlihat. Hampir semua dari mereka menanyakan alasan ia datang lebih awal dan jawaban Lyn tetaplah sama, 'mager balik ke rumah'. Ia lekas menyimpan tasnya di loker kasir, lalu duduk di salah satu bangku kosong, dekat jendela. Hari ini tidak terlalu ramai, jadi ia diizinkan menikmati lagu favoritnya di pojok ruangan sambil membaca buku.

"Hai!"

Lyn menoleh ke sumber suara. "Hai juga, Kak."

Dev, bukan hal asing kalau lelaki itu berkeliaran di kafe ini. Satu-satunya yang mencurigakan adalah mengapa mereka selalu kebetulan bisa di sana di waktu yang sama? Dari 24 jam yang ada, mengapa Dev harus datang saat ia bahkan belum waktunya bekerja? Lyn geleng-geleng saja memikirkannya.

"Boleh duduk sama lo?"

"I-iya, boleh, Kak."

"Kalau bikinin lo minuman, boleh juga, nggak?"

Lyn mengerutkan kening. "Emang Kakak bisa?"

"Dikit-dikit."

"Oke."

Dev tersenyum tipis kemudian berdiri lagi. Ia berjalan menuju meja barista dan meracik apalah itu yang tidak Lyn tahu-menahu, berhubung jarak dengan tempat duduknya cukup jauh. Tak menunggu waktu lama, lelaki itu datang bersama satu cangkir demitasse berukuran 29ml berisi espresso dan segelas air putih.

"Saya pikir bakal ada minuman warna-warni di sini," ucap Lyn lalu menyeringai.

"Gue suka lo ingat cocktail pertama gue buat lo."

Gadis itu sontak berdeham dan menelan ludah. "Kakak ngapain ngasih espresso buat saya?"

"Lo suka pahit, kan?"

"Iya, tapi nggak sepahit ini juga."

"Coba aja. Espresso cocok buat orang yang banyak pikiran. Bisa ngurangin stres."

"Saya nggak stres."

"Gue nggak nyebut nama lo," Dev menyeringai, "gue cuma ngomongin fakta espresso doang."

Lagi-lagi Lyn berdecak. Ia lantas memajukan duduknya dan bertopang dagu--tangannya bertumpu pada meja. "Gue belum pernah berani minum espresso sebelumnya. Americano udah paling strong."

"Gue ajarin."

Ketika Dev tersenyum, Lyn lekas mengangguk setuju. Tidak ada salahnya, bukan? Lelaki itu sontak berubah antusias. Ia menjelaskan setiap hal-hal kecil, mulai dari kegunaan air putih yang dibawa untuk menetralkan indra perasa Lyn, sedangkan Lyn sendiri hanya mengucap 'hm' dan menyimak penuh fokus. Apa pun tentang kopi akan ia telan baik-baik.

"Lo tau, krema yang tebal gini tandanya kualitas espresso-nya bagus. Tapi, buat nikmatin sensasi cita rasa espresso yang sebenarnya, gue saranin lo buang itu." Dev memberikan sendok kecil yang juga ia bawa.

Lyn pun mengikuti saran Dev dengan menyingkirkan krema dari dalam cangkirnya. Ia kemudian mengaduknya untuk mendapatkan rasa dan tekstur yang seimbang. Dev makin senang melihatnya. Meski senyumnya amat tipis dan sulit dilihat, ia cukup puas dengan rona muka Lyn yang mulai bercahaya kembali.

"Terus?"

Dev memegang tangan Lyn, lalu mengangkat cangkir yang dipegangnya ke depan mulut gadis itu. "Nikmati pelan-pelan. Lo hirup aromanya dulu sampai puas, terus cicip satu-dua sip, jangan sekaligus dihabisin."

"Oke."

Mata Lyn masih menatap Dev saat ia hendak mencium aroma espresso yang begitu kuat dan menyegarkan di sisi lain. Ia kemudian refleks memejamkan mata dan tenggelam dalam ketenangan itu. Perlahan, ia mencicipi sensasi pahit yang menggetarkan lidah dan mengerutkan kening. Belum sampai tenggorokan, rasa itu lenyap dan berganti dengan aliran hangat yang seolah-olah memeluknya.

"Gimana?"

Lyn belum menjawab. Baterai kehidupannya seakan-akan terisi hingga ia bisa tersenyum lagi. Berat pikiran dan sesak di dadanya juga memudar. Bahkan, tangannya yang melemas bisa menguat dan ia tampak luar biasa. Sungguh after taste yang tidak kaleng-kaleng.

"Bisa gitu, ya," ucapnya setelah hening sekian menit.

"Gue nggak berdoa lo sering banyak pikiran, tapi kalau lo bener-bener sumpek, ini bisa jadi alternatif. Ya, barangkali lo bosen sama pacar gepeng lo itu dan butuh pelarian lain."

"Kakak tau dari mana saya suka begituan?"

Dev ikut meminum cappucino yang sedari tak kunjung habis. "Bukannya wajar kalau kita tau hal-hal kecil dari orang yang kita suka?"

Tutur Dev memang datar, tetapi degup jantung Lyn bergelombang. Gadis itu spontan meminum air putih yang masih separuh gelas, lalu menatap apa pun selain wajah lelaki di depannya ini.

"Kalau lo nggak keberatan, bakal ada espresso part dua setelah ini."

"Maksudnya?" Lyn menautkan alisnya.

"Nanti lo tau sendiri." Dev tersenyum tipis lalu berdiri. "Jangan sedih lagi, ya."

Lyn terpaku sekian detik saat puncak kepalanya diusap lembut oleh Dev. Tanpa merasa bersalah--sebab meninggalkan jejak yang membuatnya kalang kabut--Dev pergi menuju kasir dan membayar pesanannya.

"Hih!"

Gadis yang masih ternganga itu refleks mengangkat kaki dan memeluk lututnya. Ia kemudian menenggelamkan wajahnya dan berteriak tanpa suara. Gila, memang. Sudah tak terbendung lagi. Ia baru mau mengangkat wajah saat lagu indie langganan kafenya diganti dengan pop rock favoritnya.

Detik sebelumnya Lyn tidak menyadari hal itu. Namun, setelah sosok yang menatapnya dari kejauhan mulai tampak, ia lekas bersembunyi di bawah meja. Konyol sekali.

"Lo nggak perlu ngumpet dari gue, Lyn."

"Please," Lyn menutup wajahnya, "Kakak jangan bahas apa-apa masalah kemarin."

"Kenapa, nggak? Gue mau minta pertanggungjawaban lo."

Lyn pun mendongak dan menatap Ethan yang tersenyum padanya. "Apa?"

DAY 14
14 Juli 2022

Tiup dulu buat ayangs 🤸🏼‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro