Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7

Rose berdiri di depan pria berkulit hitam yang menatapnya dari atas ke bawah. Rose menelan ludah gugup. Jujur saja, gadis remaja itu tengah ketakutan setengah mati.

'Tahan Rose, tahan. Kau bisa melewati ini.' Batin Rose.

"Kau cantik," puji Wood setelah menatap Rose beberapa detik. Sang objek pujian hanya tersenyum meringis, terlihat tak nyaman sekaligus gugup.

Rose ingin melarikan diri sekarang juga. Tetapi, melihat tubuh Wood yang lebih besar darinya, serta tenaga Wood yang pastinya melebihinya, Rose mengurungkan niatnya. Kaki Rose rasanya terpaku ke lantai. Gadis itu terlalu takut.

"Kau tidak suka pujian?" tanya Wood, ketika ia tak mendapat jawaban. Pria itu berjalan pelan, mengelilingi Rose dengan alis tertekuk. "Kau tahu, jangan coba-coba menguji kesabaranku, karena aku tak segan-segan mencengkram lehermu hingga napasmu tersedat habis."

Tubuh Rose seketika kaku. Gadis itu tanpa sadar menahan napasnya. Sentuhan seringan kupu-kupu yang terus bergerak turun pada lengan kirinya terasa membakar.

'Berpikir Rose!' Rose memerintah dirinya sendiri. Di tengah kekalutannya, otak gadis itu tak mau bekerja sama. Ia tak bisa memikirkan apa pun.

"Nah, nona Rose yang cantik, pertama kali aku melihatmu, aku langsung tertarik dengan surai hitam ini." Pria itu mengelus-elus pucuk kepala Rose.

Ketika telapak tangan itu turun, menyentuh dan memutar-mutar ujung rambut Rose, gadis itu lagi-lagi menelan ludah gugup. Kedua bola matanya berusaha menangkap siluet pria yang berdiri di belakangnya.

"Sto-stop it. Please." Suara Rose pecah. Ketakutan menguar jelas dari sana. Gadis itu menoleh ke belakang patah-patah.

Di sana, tepat selangkah di belakang Rose, pria tua bernama Marvin Wood itu tengah berdiri, menyeringai bengis dengan kilatan mengerikan di iris gelapnya. "Nona Rose yang malang. Aku menyukaimu. Benar-benar menyukaimu."

"O ... okay."

"Kurasa kita akan bermain cukup lama. Perlahan, tapi pasti Nona Rose."

"Permainan macam apa?"

Pertanyaan salah. Seringaian pria itu semakin lebar hingga memunculkan kerutan di kedua ujung matanya. Gigi-gigi putih berderet rapi terlihat jelas.

"Aku suka semangatmu, kau tahu." Pria itu mengeliminasi jarak selangkah antara mereka. "Kau gadis pemberani, Nona. Cukup jarang aku menemui gadis sepertimu."

Keringat dingin mengalir dari tengkuk Rose ketika sapuan tangan hangat menyentuh pipinya. Rose melirik takut-takut ke arah tangan itu. "Marvin?"

Mendengar suara lirih Rose, pria tua itu tak segan-segan menempelkan bibirnya ke bibir ranum milik gadis itu. Tangan kirinya mencengkram pinggang Rose kuat.

Mata Rose terbelalak. Tekstur keras dan kaku bibir pria itu dapat dirasakannya. Tidak. Tidak. Dia tidak mau dicium pria aneh yang tak dikenalnya.

Rose menggeleng. Meronta-ronta dengan kedua tangan yang menggapai dan memukul bahu maupun dada pria itu. Rose panik. Napasnya memburu, jantungnya berdetak cepat hingga rasanya ingin melompat melalui kerongkongannya.

Namun, perlawanan Rose terpatahkan. Tak ada tanggapan terhadap pukulan Rose. Pria itu seolah-olah tak terpengaruh.Rose yakin kalau cengkraman tangan pria itu akan menghasilkan memar pada pinggangnya.

Pria itu memperdalam ciumannya. Tangan yang tadinya mengelus pipi Rose lembut kini meraup dan menekan pipinya. Pria kulit hitam itu menjilat bibir bawah Rose, sebelum mengisapnya kasar.

Mata Rose membeliak. Ia tak pernah merasa dilecehkan sedemikan rupa sebelumnya.

Dan, seolah tak mau berhenti di situ, pria itu menggigit bibir Rose, membuat gadis itu terkejut hingga tanpa sadar membuka bibirnya dan memberikan akses lidah pria itu memasuki rongga mulutnya dan menjilat langit-langit Rose.

Menjijikkan. Lambung Rose bergejolak, tiba-tiba makanan di perutnya merangsek naik. Rasanya benar-benar menjijikkan.

Rose memejamkan mata. Lelehan air mata mengalir menganak sungai. Sederas hujan di musim gugur. Paru-paru Rose rasanya terbakar akibat kekurangan oksigen.

Pukulan di dada pria itu mulai melemas. Tangan Rose terkulai lemas di pinggir tubuh gadis itu. Rose mengerahkan sisa tenaganya untuk fokus pada gigi-giginya. Sekuat tenaga, gadis itu menggigit lidah pria bejat yang berani-beraninya menyentuh Rose.

"Ouch ... Jalang sialan!" Pria itu mengambil langkah mundur, mengusap sisa-sisa saliva di ujung bibirnya sambil menahan rasa sakit sisa gigitan Rose pada lidahnya.

Tubuh Rose bergetar. Bahunya yang tegang pun ikut bergetar. Air mata mengalir tak henti-hentinya. "Hiks ... hiks ... hiks ...."

Marvin Wood menatap gadis itu dengan alis berkerut. Hidungnya kembang kempis tak suka. "Apa-apaan ini? Hanya ciuman saja membuatmu menangis, ketakutan setengah mati? Dasar lemah."

Rose tak menjawab. Ia sibuk mengusap air mata yang tak kunjung habis.

"Jalang murahan sepertimu benar-benar buruk. Kupastikan pacarmu kabur karena kau benar-benar payah dalam berciuman. Cih, membuatku kesal saja!" Pria itu membuang ludah sembarangan, membuat Rose berjengit dalam tangisnya.

Sekadar informasi, itu ciuman pertama gadis itu. Ia tak pernah punya pacar.

...

Setelah kejadian itu, Marvin Wood meninggalkannya seorang diri. Entah ke mana perginya pria itu, Rose tak tahu.

Keesokan harinya, Rose berusaha melupakan kejadian semalam dan kembali bekerja seperti biasa. Namun, semuanya tak sama. Berkali-kali, selama beberapa detik, Rose akan menatap sekelilingnya curiga, iris gelapnya bergerak liar, mencari sosok yang mungkin berbahaya untuknya.

Rose tidak mau melapor ke sheriff. Tidak, terutama karena Marvin Wood adalah penduduk luar desa.

Setelah seharian bekerja, Rose pulang ke rumahnya tepat pukul sembilan malam. Gadis itu benar-benar lelah. Walaupun begitu, ia tetap waspada. Bisa saja Wood muncul dari sudut ruangan lalu membekapnya hingga tewas.

Rose tidak mau itu terjadi.

Rose mengecek dapur. Kosong. Tidak ada tanda-tanda seseorang di sana. Rose kembali ke ruang tamu, memerhatikan sudut-sudut yang tak mungkin dimasuki tubuh besar Marvin Wood.

Terakhir, gadis itu berjalan ke arah kamar bibinya yang sekarang ia tempati. Rose membuka pintu kamarnya perlahan. Gadis itu disambut kegelapan. Setelah menyalakan lampu, ia mengamati sekitar. Kosong. Tidak ada siapa pun.

Gadis itu melangkah masuk, membiarkan pintu kamarnya terbuka. Ia berjalan ke sisi tempat tidur lalu menunduk, memerhatikan di bawah tempat tidur, tempat pertama ia menemukan Marvin Wood.

Kriet ...

Bersamaan dengan suara pintu yang tertutup perlahan, Rose meluruskan tubuhnya lalu melompat ke belakang, terkejut.

Di sana, di balik pintu, sosok yang sam dengan kemarin malam berdiri, menyeringai sinis ke arah Rose.

"Selamat malam, nona Rose." ujarnya.

Rose mulai gemetaran, tapi gadis itu bertekat untuk mengakhiri ini semua malam ini. Tidak, ia tak mau kalau setiap malam pria itu muncul dan mennerrornya.

Maka, ketika Wood menciumnya untuk kedua kalinya, Rose sama sekali tak gentar. Gadis itu setengah mati menyembunyikan ketakutannya.

"Bagus, lebih baik dari kemarin." ujar Marvin Wood melepas ciuman mereka. Tangan Wood memegang erar dagu Rose, memaksa gadis itu menatap iris gelap si pria tua dengan rambut keriting yang belum beruban.

Apa pun. Ia harus menemukan satu alasan agar bisa keluar dari sini. Di tengah kekalutan otak Rose yang masih kacau karena panik dan trauma dengan ciuman tadi, apa pun yang melintas di otaknya langsung ia gunakan.

"Aku haus, bisakah kita minum sebentar?" Rose memberanikan diri bertanya. Sedetik kemudian, ia menyesali keputusannya untuk bertanya.

Kedengarannya bodoh sekali.

Marvin Wood menaikkan satu alisnya. Perilakunya tiba-tiba berubah. Wood jadi semakin penasaran dengan gadis ini.

Pria itu mengedikkan bahu. Ia sama sekali tak menaruh curiga terhadap gadis yang gemetaran hingga nyaris tersandung kakinya sendiri.

"Kau tahu kan akibatnya kalau macam-macam?" Marvin Wood menyeringai, mengurut lehernya sekilas sambil menatap Rose, mengancam. "Jangan pernah berani selangkah pun melarikan diri dari rumahmu, Rose, karena aku tak segan-segan membunuhmu."

Rose mengangguk lemah. Gadis itu berjalan keluar ruangan, menuju dapur lalu menyiapkan dua buah mug. Marvin Wood duduk di meja makan, mengamati desain dapur sederhana Rose.

Gadis itu mengambil kopi dari rak atas, lalu menuangkannya ke mesin kopi bersama air panas.

Tetes demi tetes kopi mulai berkumpul. Rose memaksa otaknya untuk berpikir cepat. Ia harus melarikan diri dari pria yang duduk di belakang punggungnya.

"Mau gula?" Tanya Rose tak berbalik.

"Satu sendok teh," ujar Marvin Wood santai.

Rose mengangguk, mulai membuka satu-persatu rak atas untuk mencari gula, hingga suatu objek menarik perhatiannya.

Satu botol putih ukuran kecil dengan kertas cokelat dan tulisan strychnine di sudut kanan bawahnya. Ah, racun tikus yang ia dapatkan entah dari mana. Rose bahkan tak memiliki waktu untuk mengenang kejadian ketika ia mendapatkan racun itu, ketika tangannya bergerak cepat menyambar botol itu dan menyembunyikannya di balik toples gula.

Rose berusaha bersikap setenang dan tidak mencurigakan. Tetes demi tetes kopi pada mesin kopi membuat gadis itu semakin yakin dengan pilihannya.

Kalau Rose tidak mau dilecehkan lalu dibunuh mengenaskan, pria di belakangnya harus mati.

Maka, ketika Rose menuangkan satu sendok teh gula, dengan cepat gadis itu menuangkan seluruh isi racun itu ke dalam mug. Kristal-kristal bening itu bercampur dengan gula. Rose berusaha sebaik mungkin menggunakan punggungnya untuk menutupi kegiatan menuangkan racunnya hingga Marvin Wood sama sekali tak melihatnya.

Setelah kosong, Rose segera kembali menaruh botol kosong racun tikus itu di belakang toples gula dan menaruhnya kembali ke dalam rak. Kopi dari mesin dituangkannya dengan tenang.

Rose menaruh dua mug kopi di atas meja makan. Ia segera menyeruput kopinya, bersikap seolah-olah tak ada yang terjadi.

Marvin Wood menatapnya meminum kopi, sebelum pria itu mengamati kopi miliknya. Rose berharap agar pria itu cepat-cepat meminumnya hingga habis.

Mereka menyesap kopi sambil diam. Rose meminum kopinya dengan cepat, sementara Wood masih menyisakan setengah gelas.

Rose mulai panik.

"Kurasa aku akan menunggumu meminum kopi buatanku hingga habis, sebelum kita mulai bermain, bukan begitu Wood?" Gadis itu berusaha memprovokasinya.

Wood mengedikkan bahu. "Tinggalkan saja sisanya."

Rose pura-pura cemberut. Oh, ia bahkan terkejut dengan bakat acting-nya yang tiba-tiba muncul. "Kau menyakiti perasaanku, kau tahu." Rose melipat tangan di depan dada, ia sengaja mencondongkan tubuhnya ke depan, "Setidaknya, hargailah sesuatu yang aku buat."

Wood mengernyit. Perubahan Rose selalu tak bisa ditebak. Pria itu cepat-cepat menyesap kopinya hingga habis karena ia penasaran dengan perubahan gadis ini.

Apa yang akan ia tampilkan berikutnya? Pertanyaan itu menghantui Wood hingga nyaris gila.

Ketika mug kosong, Rose segera menarunya di wastafel, berharap agar racunnya segera bereaksi.

Tetapi, sepertinya racun yang Rose berikan bukan jenis racun yanf bekerja spontan, karena Wood telah berdiri di belakangnya, menahan Rose di antara wastafel dan tubuh besarnya.

"Marvin ...," desis Rose lemah.

Tangan pria itu memeluk erat pinggang Rose. Bibirnya menjelajahi perpotonga  bahu dan leher gadis itu. Ketika ia berhenti, pria itu bergumam, "Aku bahkan lupa kapan seseorang pernah memanggilku dengan nama 'Marvin' sebelum hari ini."

Bulu kuduk Rose bangun. Gadis itu memejamkan mata, berharap agar racun itu bekerja sesegera mungkin.

'Kumohon bekerjalah.'

Ketika pria itu hendak menyusupkan tangannya ke dalam baju kaos Rose, ia tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menegang kaku dan mata membulat.

Marvin Wood melangkah mundur. "Apa yang kau berikan padaku, bedebah!"

Pria itu mulai memegangi kepalanya. Pusing. Lambungnya seakan-akan dipaksa untuk mengeluarkan isi pencernaannya, hingga tanpa sadar pria itu membuka mulut dan memaksa makanan keluar.

Rose berjengit. Gadis itu segera berlari dan berdiri sejauh mungkin dari pria yang kini mulai kejang-kejang.

Hal terakhir yang didengar Rose adalah teriakan namanya sendiri oleh pria yang napasnya berhenti hampir satu setengah jam berikutnya.

...

"Begitulah Jake. Untuk kedua kalinya, aku membunuh orang." Rekaman Rose masih berputar.

Jake meninju meja. Tanpa sadar, ia tengah menahan marah sedari tadi hingga raut mukanya memerah.

"Keesokan harinya, aku mengambil libur untuk menyeret tubuh pria tua menjijikan itu keluar rumah. Membuangnya asal di semak-semak belakang rumahku karena aku yakin tak ada seorang pun yang akan ke sana, kecuali orang itu melewati rumah bibiku dan tentunya pasti akan kuketahui.

Aku masih terlalu bodoh saat itu, Jake. Aku sama sekali tidak tahu caranya membereskan mayat atau benar-benar menghapus jejak karena aku tidak merencanakan pembunuhan ini. Karena aku tak pernah bermaksud untuk membunuh, Jake."

Jake benar-benar kesal. Terutama pada dirinya sendiri karena Rose harus melalui itu semua seorang diri. Andai saja ia tiba di desa ini lebih cepat. "Oh, Roseku yang malang ...."

"Maafkan aku. Maafkan aku, Jake. Aku membunuh seseorang untuk kedua kalinya."

Jake terdiam. Ia sama sekali tidak menyalahkan Rose. Pria tua itu yang brengsek. Pria itu pantas mati.

"Kau akan baik-baik saja, Rose. Selama ada aku, takkan kubiarka  siapa pun menyakitimu. Takkan kubiarkan kau mengotori tanganmu demi membunuh orang lagi, Sweetheart."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro