Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5


"Maaf. Maafkan aku," suara Rose terdengar nyaring. "Aku pembunuh, Jake."

Jake menarik napas dalam. Setelah mendengar pengakuan Rose, otaknya seakan-akan kebas. Tidak bisa berpikir jernih. Rose, wanita muda paling baik yang pernah ditemuinya ternyata pernah membunuh. Bahkan, orang yang ia bunuh adalah bibinya sendiri.

"Oh, Roseku yang malang," gumam Jake pelan, nyaris tak terdengar. Pria itu membayangkan ketakutan Rose akan sang bibi. Penderitaan gadis kecil itu ketika ia memohon-mohon demi makanan. Dan kebebasannya yang dibatasi hingga berjalan keluar rumah saja rasanya mewah.

Jake sama sekali tidak menyalahkan Rose. Jake tahu. Rose membunuh sang bibi secara tak sengaja. Rose kecil pasti tidak tahu kalau menutup pintu geser saat itu akan menyebabkan bibinya terjatuh dari tangga hingga berdarah dan tewas. Rose bahkan tak tahu kalau perbuatannya dapat menghilangkan nyawa seseorang.

Ya, ini semua ketidaksengajaan.

Walau pun Rose kesal dengan sang bibi yang selalu mabuk-mabukan; Takut pada wanita tua yang memukulnya jika keluar rumah; hingga mengendap-endap demi makanan, Rose masih terlalu kecil untuk memiliki perasaan semacam 'sang bibi juga harus merasakan penderitaanku'. Perasaan dendam yang harus dilunasi oleh sang bibi.

Jake tahu, Rose tidak pernah merencanakan pembunuhan. Rose sama sekali tak ada niat untuk membunuh. Bibinya hanya sedang tidak beruntung hari itu. Lagipula, bukankah semua orang akan mati?

Rose tidak bersalah.

Jake meyakinkan dirinya kalau Rose benar-benar tak bersalah. Pembunuhan tak sengaja yang pernah membunuh bibinya sama sekali bukan hal besar bagi Jake. Pria itu tetap mencintai Rose. Apapun yang terjadi. Karena Jake tahu, Rose bukanlah orang yang buruk.

...

Jake menimang-nimang kaset kedua setelah rekaman pertama tadi berakhir dengan kejutan. Sesuatu yang tak pernah Jake duga sama sekali. Sekarang, di tangan kanannya, sebuah benda persegi yang berisi tulisan angka dua tengah menanti.

Kejutan apa lagi yang akan disiapkan Rose?

Jake sama sekali tak tahu.

Berbekal rasa penasaran, Jake mulai mendengarkan kaset kedua. Pria dengan surai auburn acak-acakan itu tanpa sadar menahan napas sejenak, menantikan suara Rose denagn ceritanya yang sama sekali tak bisa dipercaya.

"Halo Jake." sapa Rose ringan. Entah ke mana perginya atmosfer tegang sebelumnya. Jake sama sekali tak tahu. Pengakuan pembunuhan Rose di akhir rekaman terdengar seperti mimpi, hingga Jake tanpa sadar mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya dan berharap bangun.

Sayangnya, semua ini nyata.

"Aku ingin mengakui semuanya, Honey. Aku tidak pernah mengatakan ini pada siapa pun. Tetapi, kau berbeda Jake. Aku benar-benar percaya padamu." Jake menelan ludah. Mengetahui Rose yang begitu memercayainya membuat Jake mau tersentuh.

"Ceritanya akan sedikit kupercepat, Jake. Setelah kematian bibiku, orang dari dinas sosial datang mengujungiku bersama sheriff. Aku tak tahu pasti apa saja yang mereka lakukan, tapi yang paling jelas adalah mereka memindahkan jasad bibiku. Kuharap ia mendapat pemakaman yang layak.

Selanjutnya, mereka menawariku untuk tinggal di panti asuhan yang tentu saja berada di luar Neverville. Mereka memberiku pilihan Jake. Harusnya, kuterima saja." Kekehan Rose membuat alis Jake mengernyit. "Tetapi aku menolaknya Jake. Tidak mau berada di tempat penuh anak-anak yang membuatku merasa kalau aku tidak pernah punya keluarga, begitu pikirku. Aku bilang kalau aku ingin tinggal di Neverville. Setelah seminggu, aku kembali ke rumah bibiku dan melupakan semuanya."

Jake mengernyit. Ia memang tak begitu mengerti dengan sistem dinas sosial, hanya saja, tak mungkin rasanya meninggalkan anak sepuluh tahun seorang diri. Tak mungkin rasanya Rose sama sekali tak merasakan apa pun.

Ada yang aneh.

"Hidupku tidak baik-baik saja setelah itu, Jake. Mencari makan bagi anak sepuluh tahun tidak pernah mudah. Bekerja di sana-sini bukan lagi pilihan. Memang, beberapa penduduk desa membantuku, tapi tak ada yang benar-benar seperti keluarga."

Jake sama sekali tidak mengerti. Ada sesuatu yang janggal dari cerita Rose, tapi Jake tak tahu harus bilang apa.

"Kukira semuanya tak bisa lebih buruk lagi, tapi aku salah, Jake. Semakin buruk ketika umurku tujuh belas tahun."

...

Rose ketika berusia tujuh belas tahun adalah gadis remaja yang cantik. Ia bekerja sebagai pelayan paruh waktu di Momo Feast. Pemiliknya dengan baik hati membiarkan Rose bekerja di sana walaupun sebenarnya ia tak memerlukan pegawai tambahan lagi.

Malam itu, ketika Rose baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap pulang, sosok pria asing berkulit gelap yang tak pernah ditemuinya tiba-tiba masuk. Sepertinya ia tak mengerti tanda 'closed' yang ditaruh di depan pintu.

"Maaf, kami telah tutup," ujar Rose berusaha ramah. Pria itu menatapnya dari atas ke bawah. Lalu, ketika mata mereka bertemu, pria itu menyeringai. Sebuah seringaian yang mampu membuat bulu kuduk Rose meremang.

Rose berusaha mengabaikannya. Remaja itu segera pergi dari Momo Feast menuju rumahnya.

...

Hari berikutnya, ketika Rose hendak pulang setelah pekerjaannya selesai, Rose mendapati pria itu memasuki Momo Feast dan duduk di sudut café. Awalnya, Rose tak begitu memerhatikan, tetapi ketika ia beberapa kali harus berbalik karena tatapan intens yang tertuju kepadanya, Rose jengah.

Gadis itu berjalan menghampiri pria berkulit gelap dengan smoothie yang sama sekali tak tersentuh. Rose tersenyum ramah, "Ada yang bisa kubantu, Pak?"

Pria itu tersenyum, menggeleng sekilas dengan iris obsidian yang tak henti-hentinya mengamati tubuh Rose dari atas hingga bawah seperti scanner. Rose tiba-tiba menyesali keputusannya untuk menghampiri si pria tua.

"Baiklah, selamat menikmati smoothie-mu. Semoga harimu menyenangkan." Rose berbalik, berjalan tenang menuju ke belakang café sambil menahan perasaan tak nyamannya.

Keesokan harinya, pria itu datang lagi.

Begitu juga dua hari kemudian.

Tiga hari.

Empat hari.

Hingga, di hari kelima, Rose benar-benar tidak tahan. Rose yakin kalau pria itu bukanlah penduduk desa Neverville karena dari dua ratus populasi Neverville, Rose tak pernah melihat pria kulit hitam dengan seringaian yang membuatnya merasa waspada. Rose terang-terangan membalas balik tatapan tajam pria itu yang mengarah kepadanya.

Selama beberapa detik, mereka terdiam seperti itu. Detik berikutnya, pria itu mengangguk, tersenyum yang lebih seperti menahan tawa sebelum mengalihkan tatapannya. Rose mengernyitkan alis. Apanya yang lucu?

Rose berusaha mengenyahkan pemikiran mengenai pria tua aneh itu. Tetapi, bayangan pria itu menyeringai dan menahan tawa membuat Rose bergidik. Langkah kakinya ia percepat menuju rumah. Tiba-tiba saja, langkah kaki lain terdengar.

Rose berhenti. Ah, mungkin perasaannya saja, karena ia terlalu curiga beberapa hari ini. Rose mengedikkan bahu, melanjutkan perjalannya yang terhenti. Baru saja ia melangkah sejauh lima meter, lagi-lagi gadis remaja itu merasa ada seseorang yang berjalan di belakangnya.

Di bawah lampu jalan yang remang-remang, Rose memberanikan diri berbalik. Tak ada siapa. Hanya jalanan aspal kosong dan dirinya sendiri. Tak ada orang lain. Rose mengernyit. Ia benar-benar yakin kalau tadi ada suara langkah kaki lain.

Rose membalikkan badannya ke depan dengan tatapan yang berusaha melihat jalanan kosong di belakangnya. Ketika Rose telah menghadap depan seluruhnya, gadis itu menarik napas, meyakinkan diri kalau semua ini palingan hanya perasannya saja.

Ya, tak ada apa-apa.

Rose melanjutkan perjalanannya pulang. Ketika ia sampai, Rose segera mengunci pintu dan menghela napas yang ia tak pernah sadar telah ia tahan sebelumnya. Dada Rose naik turun dengan cepat. Gadis itu menyandar pada pintu, mengatur napas lalu pergi ke kamarnya.

Mungkin hanya perasaannya saja.

...

"Hei, Rose." sapa seorang rekan kerjanya yang merupakan wanita muda berusia pertengahan dua puluhan yang terlihat manis. Wanita itu menghampiri Rose sambil tersenyum. "Kau pernah memberi nomor ponselku ke orang asing?" Langsung ke inti pembicaraan. Rose mengernyitkan alis.

"Tidak."

"Kau yakin?"

Rose mengangguk. Seingatnya Rose tak pernah memberitahu nomor ponsel wanita itu pada siapa pun. Rose bahkan ragu kalau ia menghafal nomor wanita itu.

Wanita itu mengangkat bahu. "Ya sudah kalau begitu. Mungkin hanya orang iseng." Wanita itu berbalik, meninggalkan sebuah rasa penasaran yang tak tertahankan bagi Rose hingga gadis itu nekat mencekal pergelangan tangan wanita yang tak begitu akrab dengannya.

"What do you mean?"

Wanita itu menatap Rose dengan alis terangkat. "Entahlah. Tengah malam kemarin, ada sms aneh yang masuk ke ponselku," –wanita itu memperlihatkan ponselnya di depan Rose–"sms itu menyebut namamu, Rose. Jadi, kupikir mungkin kenalanmu?"

Rose menatap layar ponsel wanita itu. Ia mengeryit karena tak pernah mendengar atau berkenalan dengan seseorang bernama Marvin Wood. "Aku tidak mengenal orang ini." ujar Rose yakin.

"Sudahlah. Makanya, kubilang orang iseng. Mungkin seseorang yang mencoba mengisengiku dan tahu namamu. Aku tak peduli." Wanita itu berjalan, meninggalkan Rose dengan perasaan tak tenang.

Rose kembali ke rumahnya. Perihal sms itu masih terngiang-ngiang di otak gadis itu. Nama Marvin Wood benar-benar asing di telinga Rose. Bahkan, ia tak yakin kalau ada orang dari Neverville bernama Marvin Wood.

Saat Rose akan tidur, gadis itu membuka lemarinya, meraih piyamanya yang berupa singlet dan celana pendek. Tetapi, sebelum ia menutup lemari pakaian, Rose menyadari ada sesuatu yang aneh di lemarinya. Seharusnya di samping dress putih miliknya, ada dress lain dengan motif floral tropis. Nyatanya, di samping dress putihnya, tak ada apa pun.

Rose tak memiliki baju yang banyak seperti kebanyakan remaja karena uangnya yang benar-benar terbatas. Rose hafal mati dengan baju-baju yang ia miliki serta di mana saja ia meletakknya. Tak mungkin lupa. Tak mungkin salah taruh, karena tadi pagi, sebelum bekerja, Rose yakin kalau dress itu masih ada.

Keringat dingin mulai mengalir dari pelipis gadis itu. Dengan gugup, Rose berbalik, menatap seluruh ruangan yang dulunya digunakan sang bibi sebelum pandangannya jatuh ke kasur yang akan ia tiduri. Rose menelan ludah. Pandangannya bergerak turun, ke tempat gelap di bawah kasurnya.

Di sana, rentetan gigi putih berbaris rapi, membentuk seringaian yang telah Rose jumpai beberapa hari ini. Rose mengepalkan tangannya. Ia memastikan kerongkongannya baik-baik saja sebelum membuka mulut, "Marvin Wood?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro