Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4


"Bibi?" tanya gadis kecil itu takut-takut. Wanita yang dipanggilnya bibi tidak menoleh. Matanya terpaku ke layar tv yang tengah menyiarkan drama tengah malam.

Tok ... tok ... tok ....

Gadis kecil itu mengetuk-ngetukkan kepalan jarinya ke kursi kayu yang diduduki sang bibi. Terlalu takut untuk menyentuh wanita itu, tetapi frustasi akan perhatiannya.

"Bibi, Bibi, Rose lapar sekali," suara si gadis kecil tersamarkan tangis dari tokoh drama di dalam tv. Mereka meraung-raung di tengah hujan. Tetapi, kedua penonton yang menyaksikan tayangan itu sama sekali tak terpengaruh.

Sang bibi bergeming. Tatapan matanya kosong, sama sekali tak menaruh minat pada kotak persegi yang berkelap-kelip di depannya.

"Bibi, Rose lapar." Tidak ada sahutan. "Lapar, lapar, lapar sekali." ujar si gadis kecil untuk kesekian kali. Ketukannya pada lantai mulai kehilangan irama. "Rasanya ada yang menggigit perut Rose. Sakit." Gadis kecil itu memegangi perutnya. Ia menahan rasa lapar yang seolah-olah menggerogoti dinding perutnya hingga berlubang.

Sang bibi tak pernah menjawab.


...


Saat itu, Rose berusia sepuluh tahun. Rose tak pernah ingat dengan orang tuanya. Selain sang bibi dan paman yang samar-samar diingatnya, Rose tidak tahu siapa pun. Dia sendirian.

Semakin hari, bibinya terus berubah. Rose tidak menyukai perubahannya. Tapi, apa daya, ia tidak mampu melakukan apa pun.

Seperti hari ini, bibinya sama sekali tidak menyiapkan makanan untuk Rose. Dapur kosong. Di kulkas hanya ada sebotol air dingin yang Rose minum dan berkaleng-kaleng bir.

Bir adalah minuman favorit bibinya. Rose tak berani meminum minuman itu. Rasanya benar-benar buruk. Rose sampai heran alasan sang bibi menyukai minumam itu.

Rose tak tahu seberapa lama ia telah terduduk sambil menunduk di dekat kursi kayu bibinya dalam kelaparan. Buku-buku tangan kanan Rose lecet karena hantamannya pada lantai.Ketika Rose sadar, ia telah meringkuk dengan sinar matahari yang mengintip di balik gorden putih kusam yang selalu menutupi jendela.

Bibinya sudah menghilang.

Rose berusaha bangun. Untuk sesaat, ia tak dapat merasakan kakinya. Tenggorokannya kering. Gadis itu bangkit terhuyung, berjalan menuju dapur dan meminum air dari keran dengan rakus.Saat gadis itu berbalik, ia melihat dua lusin bir baru dan sekantong biskuit serta kripik. Sepertinya bibi Rose baru saja berbelanja.

Tanpa basa-basi, gadis kecil itu langsung menyambar sekotak biskuit dan mengambil dua kantong kripik kentang, menyisakan setengah lebih untuk sang bibi.

Rose tak ingin bibinya tak mendapat apa pun lalu berteriak marah ke arahnya.

Rose berjalan kembali ke kamarnya. Sebuah ruangan kecil yang berada di atas plafon, di antara rangka kayu yang menopang atap rumah. Ruangan itu dihubungkan dengan tangga kayu vertikal yang mulai reot.

Rose mendorong tutup ruangan yang berfungsi sebagai pintu itu ke samping, memperlihatkan sebuah sofa kecil dan selimutnya yang berantakan. Ketika Rose telah berada di dalam kamarnya, gadis kecil itu berjongkok, menutup pintu dengan menggesernya ke samping.

Rose melahap biskuitnya dengan cepat, setelah menyimpan beberapa untuk dimakan ketika ia lapar. Gadis itu terduduk, menatap sinar matahari yang masuk melalui ventilasi. Makanan yang ia dapat begitu cepat habis. Sebenarnya, perutnya masih lapar, tapi Rose tak bisa memakan semua biskuit dan kripik itu sekaligus.

Ia harus menyimpannya, karena mood sang bibi yang berubah-ubah membuat Rose tak yakin jika nanti malam atau esok bibinya akan kembali dengan makanan.

Pandangan Rose beralih ke sudut ruangan kecilnya. Tumpukan kaleng bir kosong yang membentuk kerucut. Rose kecil berjalan mendekat, memerhatikan karyanya sebelum lengan kirinya terangkat lalu berayun cepat menghantam kaleng-kaleng itu.

Dentingan logam ringan yang beradu masuk ke indra pendengaran Rose. Gadis kecil itu menatapnya kosong. Salah satu kalengnya menggelinding di lantai, mendekati pintu geser yang menempel di sana.

Rose mengambil kaleng itu. Tetapi, tatapannya tak tertuju pada kaleng yang ada di tangannya. Rose menatap pintu geser itu. Sejenak, ia menimbang-nimbang untuk keluar.

Bagaimana rasanya berada di luar? Terkena sinar matahari dan berlarian tanpa dibatasi tembok?

Rose menelan ludah. Gadis kecil itu mengangguk mantap lalu menggeser pintu. Kaki-kaki mungilnya dengan lincah menuruni tangga. Ia mengendap-endap, khawatir jika bibinya melihat. Sang bibi tak suka kalau Rose keluar rumah. Entah apa alasannya, Rose tidak tahu.

Rose kecil memutar kenop pintu di samping dapur yang tidak pernah terkunci. Bibinya tak pernah memerhatikan pintu yang menghadap ke belakang rumah itu.

Hamparan rumput liar yang tak terurus menyapa Rose. Gadis itu melangkah, menyusup di antara rerumputan sambil tersenyum konyol. Ia tak ingat kapan terakhir kali ia dapat mencium aroma daun segar sebelum hari ini.

Rose kecil berlari. Ia terkikik geli ketika merasakan ujung-ujung rumput yang menggelitik telapak kakinya yang telanjang. Kedua lengannya ia rentangkan, seolah-olah terbang. Saat itu, Rose pikir ia benar-benar bahagia.

Hingga matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Rose baru menyadari kalau ia pergi cukup lama, hingga melupakan bibinya yang mungkin saja sudah kembali. Ingatan mengenai bibinya mengguyur Rose bagai air dingin. Gadis kecil itu langsung berlari pulang.

Ketika ia memasuki rumah, matahari telah menghilang sempurna di barat, meninggalkan Rose dalam kegelapan. Rose berjalan ke ruang tengah, tempat bibinya biasa menonton tv ditemani bir atau kalau perasaannya tidak baik, mungkin sebotol bourbon. Tetapi, petang itu sang bibi tidak ada di sana.

Tv tidak menyala. Rose meraba-raba tembok dan menyalakan lampu. Ketika semuanya lebih terang, Rose mendapati sang bibi tengah berdiri di sudut ruangan sambil menatap nyalang ke arahnya.

"Dasar setan kecil! Kau keluar rumah hari ini, huh?" teriak sang bibi.

Rose berjengit kaget. Bahunya menegang dan iris cokelat terangnya membelalak. Ini buruk. Bibinya marah. Kalau ada hal yang paling Rose takuti di dunia ini, itu adalah ketika menghadapi kemarahan sang bibi karena ia tak segan-segan memukul Rose dan menguncinya seharian di kamar tidurnya.

"Ma- maaf ... maafkan aku, Bibi." Bibir Rose bergetar hebat.

"Tidak ada kata maaf untukmu, you, little rascal!" Perlahan, bibi Rose mulai mengikis jarak di antara mereka. Tangan kanannya terangkat ke atas, bersiap memukul gadis kecil yang malang itu.

"Tidak, tidak, jangan, Bibi!" Rose menggeleng. Tangan sang bibi mendarat di wajahnya, gadis itu berbalik, bersiap berlari menuju satu-satunya tempat yang ia punya di sini. Ruangannya.

Kedua kaki kecil Rose berlari secepat ia bisa. Bibinya mengejar sempoyongan. Aroma alkohol yang menguar dari wanita itu sudah terlalu biasa Rose cium, hingga ia tak tahu lagi saat bibinya benar-benar minum atau tidak sama sekali.

Rose menggeser pintu ruangannya dengan cepat, lalu kaki gemetarnya dipaksa untuk menopang tubuh agar masuk ke dalam. Sang bibi telah menaiki tangga. Wanita tua itu berjalan denagn mata merah dan alis tertekuk tajam.

Rose takut. Ia tidak ingin dipukul. Rose tidak mau merasakan sakit. Gadis kecil itu panik. Hingga sebuah ide terlintas di otaknya.

Bibi Rose tak boleh masuk ke dalam sini.

Ketika kepala bibinya hendak menyembul ke lubang yang menjadi pintu pembatas ruangannya, Rose segera menggeser pintu pembatas yang terbuat dari kayu itu. Rose mengerahkan seluruh tenaga yang ia punya.

Suara debamam kepala yang menghantam kayu terdengar jelas di telinga Rose. Seperti suara benda tumpul yang beradu dengan benda tumpul. Setelah itu, Rose mendengar suara gemerisik sebelum debaman keras lalu hening.

Rose memeluk lututnya. Gadis itu membenamkan kepalanya pada lutut yang terlipat. Suara bibinya tidak terdengar lagi. Mungkin bibinya telah pergi. Mungkin juga tidak.


...


"Keesokan paginya, ketika aku turun, ada genangan merah kental di dekat kepala bibiku, Jake. Badan wanita itu kaku. Matanya membeliak dengan leher yang berputar ke sudut yang aneh. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku sadar kalau bibiku tak akan bangun dalam waktu dekat." ujar Rose yang terdengar melalui putaran pita-pita di dalam kaset.

Jake masih setia duduk di tempat duduknya, tetapi entah kenapa, pria itu merasa telah kembali ke masa tiga belas tahun yang lalu bersama cerita Rose tadi. Rasanya begitu nyata dan penuh emosi.

"Kau dan aku memikirkan hal yang sama, Honey."

Jake dengan cepat menggeleng. Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Jake sebenarnya tidak ingin berpikir seperti itu. Hanya saja, gaya Rose bercerita membuat prasangka Jake semakin menjadi-jadi.

"Aku membunuh bibiku sendiri, Jake." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro