Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1


Menurutmu, bagaimana rasanya mati?

Rose sama sekali tak tahu. Walaupun ia telah banyak menyaksikan kematian, Rose masih awam. Orang-orang yang dilihatnya kebanyakan memasang wajah horror. Iris gelap itu memancarkan kengerian. Mereka semua takut mati.

Namun, Rose berbeda. Ia penasaran. Rose ingin tahu ekspresi macam apa yang akan ditampilkannya sebelum mati. Rose ingin menikmati embusan terakhir napasnya sebelum segalanya berhenti. Jantung, otak, bahkan jiwanya.

Bertelanjang kaki, Rose menyusuri rumput liar yang membawanya ke sebuah pohon. Seutas tali berbahan manila alami bergelayutan diterpa angin sore. Ujungnya melingkar, membentuk tali algojo yang sempurna. Sedangkan ujung yang lainnya terikat kencang beberapa kali ke cabang utama pohon berdiameter hampir satu meter itu. Tangga berbentuk kerucut setinggi satu setengah meter tepat berada di bawahnya.

Rose menaiki tangga itu. Satu-persatu anak tangga dipijakinya. Ketika Rose berdiri tepat di anak tangga teratas, ia mencoba memasukkan kepalanya ke tali yang melilit membentuk lingkaran. Tekanan tali pada leher Rose terasa memabukkan. Tanpa sadar, Rose tersenyum kecil.

Wanita itu mendekatkan ponsel putih di genggaman tangan kirinya, memencet-mencet nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Ketika nada sambung terdengar, Rose tak perlu menunggu lama. Hanya tiga kali deringan, sambungan terhubung.

"Hei, Honey," Rose menyapa ringan. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas sementara tangan kirinya menyusuri setiap lekukan tali yang menempel di lehernya. "Apa kau menyukai kejutan yang kusiapkan?"

"Kau di mana?"

Rose tertawa kecil, "Shhh .... Calm down, Sweetheart. Suaramu aneh saat panik."

"Rose, Ini tidak lucu! Katakan kau ada di mana. Aku akan segera ke sana."

Wanita itu menggeleng yang tentu saja tak dapat dilihat oleh lawan bicaranya di seberang sana. "Honey, you love me right?" Sebelum sosok itu sempat menjawab, Rose melanjutkan, "Kumohon dengarkan aku. Kurang dari lima menit. Ini tak akan lama. Setelah itu kau bebas."

Rose menarik napas. Detik demi detik terlewati di layar ponsel Rose sementara sang lawan bicara membisu. "Maafkan aku," –Rose terpaku, menatap kosong ke ujung-ujung jari kakinya–"Harusnya kau tahu lebih awal. Aku sama sekali tidak ada maksud membohongimu atau menyembunyikan kenyataan. Terjadi begitu saja. Kumohon mengertilah."

"...."

Rose tertawa kecil, "Ah, aku salah. Permohonan yang tak masuk akal. Kau tidak akan mengerti, Honey. Tidak mungkin. Akal sehatmu akan mati-matian menolaknya, bukan? Tak apa, jangan salahkan dirimu. Kau sama sekali tak bersalah. Akulah penjahatnya di sini, sudah sepantasnya aku mati."

"Jangan berbicara seperti itu! Kau ... kau ... kau tidak bersalah. Ini bukan kesalahanmu. Tempat ini gila!" teriak suara itu nyaring.

Desahan meluncur dari bibir plum wanita itu, "Honey, dengar, jangan sampai kau kehilangan akal sehatmu." Rose menarik napas. "Membunuh itu salah." Perbuatan tercela. Tak sepantasnya dilakukan. Rose paham benar. "Semua pembunuh itu jahat. Kau tahu itu, kan?" kata Rose seolah-olah berbicara pada anak TK.

Sambungan di seberang tak menjawab. Hanya desahan napas yang terdengar, meyakinkan Rose kalau –setidaknya- sang lawan bicara masih di sana.

"Terlepas dari alasan di balik suatu pembunuhan, tak sepantasnya kau merenggut nyawa orang lain, Sayang. No excuse. No Merci. Begitulah pembunuh. Mereka pantas merasakan tiap inchi penderitaan sang korban hingga hati nurani mereka rasanya ingin meledak. Mereka pantas mati, Sweetheart."

"Aku tahu, aku tahu itu, sialan! Tapi kau berbeda, Rose."

"Jangan biarkan perasaanmu mencampuradukkan benar dan salah. Kau pria paling bijaksana yang pernah aku kenal. Kau tahu yang mana benar dan salah. Kau pria rasional yang setiap keputusanmu selalu murni tanpa melibatkan perasaan pribadi. Kau lebih dari ini. Jadi, jangan jadikan aku pengecualian oke?"

"Apa kau akan mati?"

Rose tertawa. "Jangan konyol, Honey. Kau, aku, semua orang akan mati. Tidak ada yang bisa menghindari maut."

"Bukan itu maksudku-"

"Sstt ... aku tahu."

"I love you, Rose."

Rose tercekat. Mulutnya tiba-tiba kering. Harusnya Rose sudah biasa dengan kalimat itu. Tetapi, sepertiya tidak. Saat itu juga, Rose sadar kalau ia telah terjatuh terlalu dalam. Semuanya harus dihentikan sekarang.

"Hello? Rose? Kau masih di sana?Jangan melakukan hal yang bodoh!"

"Yeah. Aku hanya sedikit terkejut," ungkap Rose jujur. Wanita itu tertawa kecil. "Dan, tenang saja. Aku baik-baik saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri, Honey." Rose mengeratkan cengkramannya pada tali yang mengelilingi lehernya. Entah kenapa pijakan kakinya pada tangga terasa lebih berat.

Lima menit yang Rose janjikan semakin menipis. Wanita itu menyadarinya. Tak ada waktu lagi. Percakapannya harus segera berakhir.

"Jake," panggil Rose dengan nada serius, "kau tahu kalau aku mencintaimu, kan?"

Rose tidak pernah menanyakan hal yang sama dua kali. "Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja? Rose?"

Serbuan nada panik bercampur takut memasuki gendang teling Rose. "Jake sayang, aku baik-baik saja. Kalau boleh kukatakan, rasanya bahkan lebih dari sekadar itu." Wanita itu memberi jeda, membiarkan kekalutan pria di seberang berlalu sehingga ia bisa mendengarkan Rose dengan baik. "Jake, semua orang menginginkan kematian. Aku, kau atau kita berdua sekaligus. Tak ada bedanya. Intinya mati. Di antara ketiga pilihan itu, kau tahu yang mana pilihan terbaik, kan?"

"No, no, no! Rose jangan lakukan itu!"

"Aku harap kita tidak akan bertemu lagi, Jake."

Tuuut ...

Sambungan terputus.

Rose menendang tangga yang menjadi pijakannya hingga mendarat lembut di rerumputan di bawahnya. Tangan kanan yang menggenggam tali di lehernya semakin erat, sebelum melemas dan jatuh tak berdaya di sisi tubuhnya. Gaya gravitasi menarik turun ponsel di tangan kirinya yang lemas. Ujung jari-jari kakinya membentuk cengkeraman. Kedua tungkai Rose menendang asal sebanyak tiga kali senelum bergelantungan tak berdaya.

Kepala dan leher Rose membentuk sudut yang aneh. Mungkin leher wanita itu patah. Lidah Rose sedikit menjulur ke luar. Gaya gravitasi perlahan menarik berat badan si wanita yang tak lebih dan tak kurang dari lima puluh kilo hingga membuat gaun tidur satin berwarna putih yang ia gunakan semakin melonggar. Kedua matanya melotot, membiarkan iris cokelat terang itu terbuka di saat-saat terakhirnya, walaupun tak ada sedikit pun cahaya yang masuk. Gelap.

Bukankah orang mati tidak dapat melihat dunia lagi? Bukankah orang yang telah mati tidak bisa mendengar maupun mencium aroma di sekelilingnya? Ah, orang mati kan tidak dapat merasakan apa pun.

Kurang dari satu menit. Kematian yang cepat dan kurang menyakitkan. Tidak adil memang, tapi bagi orang yang bisa memilih cara kematiannya, Rose cukup pintar kalau tak mau dibilang licik.

Bunuh diri memang tidak memperbaiki apa pun. Begitu juga dengan bertahan hidup.

...

Rose, Rose, Rose.

Ketika sambungan ponsel terputus, dengan kaki gemetar, Jake berlari. Pintu kamar yang bercat putih dibukanya dengan bantingan. Kosong. Tak ada siapa pun di sana. Lagi, ia memacu langkahnya, melewati ruang tengah, mengintip sekilas ke dapur, hingga berakhir berdiri di beranda depan.

Rose sudah dipastikan tak ada di rumah ini. Rumahnya juga rumah Rose. Perempuan itu berada di luar sana. 'Luar sana' yang ia maksud tentunya luas. Rose bisa berada di mana saja, di sudut café yang buka 24 jam, di tengah-tengah perkebunan kapas, di mana pun!

Keringat dingin mulai membanjiri pelipis Jake. Iris abunya bergerak liar, otaknya berpacu. Pria itu mengingat-ingat tempat yang sering dikunjungi Rose. Seseorang pasti tahu keberadaan Rose dan Jake tak ragu-ragu menelpon orang pertama yang ada di pikirannya.

"Hi, Jake. What's up?" Suara wanita menyapa indra pendengaran Jake. Wanita itu terdengar ceria atau setidaknya, ia memaksakannya. Jake bahkan lupa untuk membedakannya.

"Apa Rose datang ke tempatmu hari ini?" tanya Jake. Ia tak ada waktu untuk berbasa-basi atau sekadar bersikap sopan yang buang-buang waktu.

"Tidak. Sama sekali tidak." Jawabnya ringan.

Jake mengerutkan alis. Dia tak benar-benar memercayainya. "Kau," Jake menelan ludah gugup, "kau tidak seperti yang lainnya, kan?"

"Yang lainnya?" Jake yakin kalau wanita di seberang sana sedang menaikkan salah satu alisnya. Dari nada bertanyanya yang terdengar main-main di telinga Jake, dia mulai meragukan wanita itu. "Kalau 'yang lainnya' yang kau maksud adalah penduduk Neverville, well, bukankah kita semua memang penduduk desa kecil ini, Jake?"

Jake tanpa pikir panjang langsung memutuskan sambungan. Tidak ada yang bisa dipercaya. Semua orang di sini gila.

...

"Kurasa aku tahu orang itu," ujar seorang pria tua yang duduk di balik counter. Rambut abu-abunya yang acak-acakkan meninggalkan kesan tak tercukur selama beberapa bulan terakhir.

Wanita yang menjadi lawan bicaranya mengedikkan bahu, "Siapa lagi kalau bukan pria kesayangan desa ini." ucapnya. Dia mengelap gelas di tangan kirinya hingga kilatan cahaya memantulkan bayangannya yang tengah menyeringai. "Kupikir pria malang itu sudah terlambat."

Tawa sarkatis mengudara. Iris terang pria tua di depan counter itu menatap wanita yang telah bekerja di sini hampir satu dekade dengan pandangan terhibur. "Aku mau Vanilla smoothie lagi sebelum orang-orang mulai berdatangan dan berebut jatah."

Kekehan kecil terdengar dari si wanita. "Merayakannya dengan smoothie terdengar lembut sekali." Wanita itu menatap iris terang pelanggannya. Selama tiga detik, mereka terpaku, menatap mata satu sama lain dan tersenyum. "Mau bertaruh?"

"Berapa?"

"Lima puluh dollar kalau pria malang itu akan menemukannya dalam satu jam."

"Ah, taruhan membosankan. Aku tak tertarik."

"Benarkah?"

Pria tua itu mengangguk, "Setidaknya, kau harus mulai dengan seratus dollar." Dia mengangkat gelas yang berisi smoothie vanilla-nya yang tinggal seteguk lagi lalu meminumnya tanpa ampun. "Seratus dollar untuk pria malang itu berhasil dalam waktu tiga puluh menit. Setidaknya itu akan membuatnya terdengar kurang menyedihkan."

Mereka berdua tertawa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro