Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Dalam Satu Waktu


Naina mengerjapkan mata ketika mendengar suara sang mama memanggil namanya. Rasa kantuk dan lelah menguasai sehingga membuatnya enggan untuk bangun. Semalaman dia harus berjaga untuk menemani Asih karena tak ada yang berjaga jika Naina pulang. Suami Kinara sibuk lembur pekerjaan, sedangkan Kinara sedang hamil, tak mungkin ikut berjaga menunggui Asih. Bram pun belum kembali ke Jakarta, sedangkan Farha sibuk urus anaknya. Hanya Naina yang bisa diandalkan untuk saat ini. Alhasil dia harus jaga 24 jam.

"Nai ... ini ada Nak Adit."

Adit?

Adit?

Mata Naina mengerjap ketika memori alam nyatanya berkumpul. Ia beranjak dari posisinya, menegakkan tubuh, lalu menatap sosok yang sedang berdiri di sisi kiri brangkar. Lebih tepatnya di depan Naina dan hanya terhalang tempat tidur. Adit terlihat rapi mengenakan kemeja warna hitam garis kotak putih dan bawahan celana levis warna abu.

"Mas Adit," sapanya dengan senyum kikuk.

"Maaf kalau kedatanganku ganggu tidur kamu." Adit membalas.

"Nggak apa-apa, Mas." Naina terlihat kikuk. "Aku ke kamar mandi dulu." Naina pamit.

Adit menggangguk. Naina bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci muka.

Kenapa Adit nggak WA dulu mau ke sini pagi ini? Kalau tau dia mau ke sini, aku nggak tidur lagi habis subuh. Kan aku jadi malu kayak gini dia lihat ekspresi aku bangun tidur. Ah, bikin aku salting. Naina ngedumel dalam hati.

Ya. Adit serius datang ke rumah sakit untuk menjenguk Asih setelah tahu dari postingan Naina di WhatsApp kemarin malam. Adit langsung konfirmasi pada Naina dan meminta izin padanya untuk menjenguk. Naina pun mengizinkan setelah mempertimbangkan.

Naina keluar dari kamar mandi setelah memastikan penampilannya tidak memalukan. Ia bergegas menghampiri Asih dan Adit.

"Mas Adit kok nggak bilang mau ke sini pagi ini?" tanya Naina ketika tiba di dekat Adit.

Adit moleh ke arah Naina. "Oh, iya. Khawatir kalau nanti nggak sempat karena ada janji dadakan sama teman nanti siang," balasnya.

"Kamu nggak sarapan dulu, Nai? Dari semalam kamu belum makan." Asih mengingatkan Naina.

"Nanti, Ma." Naina menatap sang mama.

"Jangan nanti, Nai. Mama nggak mau kamu kenapa-napa. Atau ajak Nak Adit sekalian." Asih mengerti kondisi putrinya, sekaligus mengerti akan kehadiran Adit di tempat itu.

"Tapi nanti Tante nggak ada yang jagain." Adit menyambar.

"Nggak apa-apa kalau saya sendirian di sini. Saya justru khawatir kalau Naina nggak makan." Asih menimpali.

Naina pun menuruti permintaan sang mama. Ia pamit pada Asih untuk menuju kantin. Adit pun pamit untuk ikut Naina ke kantin. Asih mengangguk. Ia menatap Naina dan Adit yang mulai meninggalkan ruang itu. Asih tak percaya jika laki-laki dalam aplikasi itu ganteng. Perasaan ragu yang awalnya sempat diseterukan dengan Farha pun mereda.

"Apa kamu cerita sama mamamu mengenai hubungan kita?" tanya Adit ketika mereka sedang berada di dalam lift. Hanya ada mereka berdua di dalam sana.

Mati aku! Kenapa Adit nanya gitu? Apa tadi Mama ngomong sama Adit kalau beliau tau tentang Adit yang kukenal dari aplikasi itu?

"Nai ..." Adit menatap Naina, menanti jawaban darinya.

Naina menggigit bibir bawahnya. "Iya," balasnya singkat tanpa menatap Adit. Kepalanya menunduk.

Adit menyungging senyum karena melihat Naina tak nyaman.

"Aku minta maaf kalau bikin Mas Adit nggak nyaman," ungkap Naina.

"Nggak, Nai. Aku nggak masalah kalau keluargamu tau. Itu justru lebih baik." Adit menimpali.

Naina menoleh ke arah Adit. Tanpa ia sadari, Adit pun menatapnya dengan senyum ramah. Naina mengalihkan pandangannya sambil tersenyum malu. Pintu lift pun terbuka. Mereka bergegas keluar dari dalam sana.

Adit masih belum tau jika pertemuannya dengan Naina adalah rencana keluarga Naina. Dia pun masih belum tahu jika Naina tak pernah mengirim pesan padanya melalui aplikasi itu. Naina sama sekali belum membuka aplikasi itu.

"Mas Adit mau makan apa?" tanya Naina ketika mereka tjba di kantin rumah sakit.

"Kamu saja. Aku sudah makan di rumah sebelum ke sini." Adit menolak.

Naina tersenyum getir. Dia harus makan sendiri di depan Adit. Kalau saja bukan permintaan Asih, mungkin Naina akan menunda acara sarapannya. Ia bergegas memesan makanan, sedangkan Adit menuju meja kosong di ujung ruangan. Naina menghampirinya ketika piring berisi makanan sudah ada di tangannya.

"Mas Adit yakin nggak mau sarapan lagi?" Naina memastikan sebelum menyantap makanannya.

"Enggak, Nai. Kamu makan saja," balasnya sambil meraih ponsel di atas meja.

Naina mengangguk, lalu memulai sarapan. Adit pun sengaja menatap layar ponselnya agar tidak membuat Naina risih. Wajah natural Naina membuatnya kagum. Wanita di depannya sangat berbeda dengan wanita-wanita yang sebelumnya dekat dengannya. Naina sederhana, terlihat dari penampilannya. Dari saat pertama bertemu dengan Naina, Adit merasa ada ketertarikan padanya.

Konsentrasi Naina teralih ketika deringan ponsel menggema. Suara itu bersumber dari pakaiannya. Naina bergegas meraih benda pipih itu dari saku, menjeda aktivitas makannya. Dahi Naina berkerut ketika melihat nama mantan atasannya di kantor menghubunginya. Ia bergegas menggeser ke warna hijau, lalu menempelkan benda itu pada telinga.

"Iya, Pak Ian," sapanya pada Ian di sebrang sana.

"Mama kamu dirawat di kamar mana? Ini aku sudah sampai di rumah sakit Antar Siaga." Ian membalas.

Naina terlihat bingung. Kenapa pada dadakan gini sih datangnya? Tadi Adit, sekarang Ian. Kenapa juga dalam satu waktu begini?

"Halo ... Nai ..."

"I-iya, Pak. Di ruang cendrawasih, lantai tiga, nomor lima." Naina membalas gugup.

"Oke. Aku ke sana."

Naina menjauhkan ponsel dari telinganya setelah sambungan telepon bersama Ian putus, lalu meletakkan benda pipih itu di atas meja. Selera makannya mendadak hilang.

"Ada tamu?" tanya Adit.

"Atasan di kantor mau nengok Mama," balas Naina.

"Mau balik ke kamar mama kamu sekarang?" Adit memastikan.

"Sebentar lagi. Aku mau makan dulu." Naina mengulur.

Adit mengangguk, sedangkan Naina melanjutkan santap sarapan. Setelah selesai sarapan, Naina dan Adit keluar dari kantin untuk menemui Ian di ruang rawat mamanya. Ian pasti menunggu Naina di sana.

"Apa aku boleh ke rumah kalau mama kamu sudah pulang?" tanya Adit sekaligus mengungkapkan keinginannya ketika sudah di dalam lift. Lagi, mereka hanya berdua di dalam sana.

Ke rumah?

"Oh, boleh. Nanti aku sampaikan ke Mama, boleh atau nggak Mas Adit ke rumah." Naina membalas sekenanya.

Duh, mau ngapain sih Adit minta main ke rumah segala? Gimana kalau dia tau bahwa yang chat sama dia bukan aku, tapi Kak Farha?

Deringan ponsel memecah suasana. Suara itu bersumber dari arah Adit. Naina melirik dengan ekor mata ke arah Adit. Adit meraih ponselnya, lalu menggeser ke warna hijau ketika seseorang menghubunginya. Pintu lift pun terbuka. Adit menginstruksi Naina agar duluan ke ruang rawat mamanya, nanti Adit menyusul karena harus berbicara dengan orang yang menghubunginya. Naina hanya mengangguk, meninggalkan Adit yang sedang menerima panggilan telepon entah dengan siapa.

Naina membuka pintu ruang rawat Asih. Pandangannya langsung tertuju pada Ian yang sudah terduduk di kursi yang sebelumnya Naina duduki. Senyum terpaksa Naina sungging untuk menghargai atasannya. Ralat. Mantan atasan. Naina sudah tak bekerja lagi di kantor itu.

"Pak Ian," sapa Naina ketika tiba di dekat brangkar.

"Kenapa nggak kasih tau kalau mama kamu dirawat? Kalau tau dari awal, mungkin aku sudah ke sini sejak kemarin." Ian membalas.

"Nggak sempat, Pak. Aku sibuk urus Mama." Naina menimpali.

"Adit mana, Nai?" tanya Asih.

Perhatian Naina teralih pada sang mama. "Masih terima telepon di luar. Nanti juga masuk," katanya pada sang mama.

Asih mengangguk. Pandangan Naina beralih pada Ian. Kali ini penampilan Ian berbeda dari hari biasanya. Jika di kantor dia trrlihat rapi, maka berbeda dengan saat ini. Ian terlihat santai hanya mengenakan kaus hitam berlapis jaket hitam, dan bawahan celana levis warna senada.

Perhatian mereka teralih ketika pintu ruangan itu terbuka. Adit masuk ke dalam menghampiri Naina, Ian, dan Asih. Ian menatap Adit meneliti.

Siapa dia? Apa dia teman Naina? Atau kekasihnya? Semoga saja cuma teman. Bisa jadi teman kakaknya atau adiknya. Ian membatin.

"Tante. Adit pamit karena ada urusan. Kalau ada waktu, nanti Adit jenguk lagi." Adit pamit.

"Oh, iya. Terima kasih sudah mau nengokin tante." Asih membalas ramah.

Adit mengangguk, lalu pandangannya beralih pada Naina. "Aku pamit, Nai," katanya pada Naina.

"Iya, Mas. Terima kasih sudah nengokin mama," balasnya.

Senyum tersungging pada raut Adit. Tak lupa menganggukkan kepala pada Ian. Ian pun melakukan hal yang sama untuk menghormati. Adit berlalu dari ruangan itu. Naina bernapas lega ketika Adit sudah tak ada di ruangan itu. Setidaknya dia tak canggung dihadapkan pada dua laki-laki sekaligus. Naina berjalan menuju sofa. Ian mengikutinya. Kedatangannya ke situ bukan hanya menjenguk, tapi juga ingin menemui Naina.

"Kamu sudah makan?" tanya Ian membuka obrolan.

"Sudah," balasnya Naina singkat setelah duduk di sofa.

"Tadi siapa?" Adit terdengar penasaran.

Sejenak Naina berpikir. Tak mungkin dia bilang kalau Adit adalah laki-laki kenalan dari aplikasi biro jodoh. Mau diletakkan mana muka Naina jika jujur?

"Temannya Kak Farha." Naina menutupi. Tapi ada kebenaran pada kalimatnya. Ia kenal Adit dari Farha.

Ian hanya mengangguk. Ada kebahagiaan yang menyergap ketika tahu bahwa Adit hanya teman kakaknya. Dugaannya benar. Dia tak tahu jika Adit adalah saingannya. Saingan untuk mendapatkan Naina.

Obrolan ringan pun tercipta untuk membunuh sepi. Ian memang tipe laki-laki banyak nanya dan penasaran. Dia bahkan kembali mengajak Naina untuk makan siang yang tertunda, tapi Naina segera menolak dengan alasan menjaga sang mama. Ian masih kukuh untuk mengajaknya makan setelah Asih keluar dari rumah sakit. Naina terpaksa menuruti agar Ian tak merengek padanya. Senyum miring tercetak jelas pada raut Ian.

Setelah keperluannya selesai, Ian pun pamit untuk pergi karena sudah tak betah dengan bau obat. Terpaksa bertahan karena ada Naina.

Belum lama Ian pergi, pintu ruangan itu kembali terbuka membuat perhatian Naina dan Asih teralih. Sosok laki-laki masuk ke dalam ruangan itu. Pakaiannya kali ini berbeda. Terlihat kasual, tapi modis. Naina tak mengedipkan mata ketika sosok laki-laki itu berjalan menghampiri brangkar mamanya.

"Pagi, Tante," sapanya pada Asih.

Asih menatap Naina. Laki-laki itu pun bingung. Ia menatap Naina. Naina memaksa senyum ketika menjadi perhatian laki-laki itu dan mamanya.

"Ah, Ma, ini anaknya Tante Frida. Namanya Mas Juna. Dia juga dokter di rumah sakit ini." Naina mengenalkan Juna pada mamanya.

Ya. Laki-laki yang datang adalah Juna. Ia datang atas permintaan Frida agar mengantarkan bingkisan untuk Asih.


"Oh, jadi ini anaknya Bu Frida yang kemarin diceritakan?" Asih tersenyum menatap Juna.

Mama cerita apa aja ke mamanya Naina sampai beliau tau tentang aku? Juna membatin.

"Iya, Ma." Naina membalas.

Juna terkesiap. "Benar, Tante," balas Juna sambil tersenyum ramah pada Asih. Biasa. Formalitas untuk menutupi jati dirinya yang beku.

"Tante senang bisa ketemu kamu," ungkap Asih.

Naina hanya bisa menghela napas. Bagaimana mungkin tiga laki-laki datang di waktu yang sama secara giliran seperti ini? Pertama Adit, lalu Ian, sekarang Juna. Sungguh rencana Tuhan tidak ada yang menyangka.

Juna duduk di kursi setelah meletakkan bingkisan di atas nakas. Nakas penuh dengan buah tangan. Buah tangan dari Adit, lalu dari Ian, dan kini dari Juna. Ralat. Bukan Juna, tapi dari mamanya.

Asih terlihat bahagia. Apa yang dia khawatirkan kini menghilang. Ia khawatir jika Naina akan terus melajang dan tak ada keinginan untuk menikah. Bahkan sempat menjadi perdebatan dengan Farha mengenai Naina. Tapi rasa takut itu perlahan hilang setelah melihat Adit, Ian dan Juna datang silih berganti untuk menjenguknya. Terlebih tiga laki-laki tampan itu dekat dengan Naina. Asih seperti kejatuhan durian runtuh.

♡♡♡

"Kamu dekat sama Juna?" tanya Asih pada Naina yang sedang sibuk pada layar ponsel.

"Lumayan, Ma." Naina membalas datar.

"Adit?" Asih kepo.

"Ya kayak gitu." Masih sibuk menatap ponsel.

"Kalau Ian?"

"Cuma sebatas rekan kerja waktu di kantor." Naina menatap Asih yang penasaran akan hubungan Naina dengan tiga laki-laki itu.

"Yakin?" Asih menggoda putrinya.

"Apaan sih, Ma. Hubungan Naina dan Mas Adit ya yang kayak Mama lihat. Ian juga. Mas Juna juga. Cuma kayak gitu." Naina membantah.

"Kamu suka yang mana?"

"Ya ampun, Mama. Mending Mama fokus sama kesehatan Mama biar besok bisa pulang. Emang Mama mau di sini terus?" Naina terlihat kesal karena Asih menggodanya.

"Ya nggak apa-apa kalau Adit, Ian, dan Juna nengokin Mama terus."

Naina menatap Asih marah. "Mama kok ngomongnya gitu?!"

Asih hanya tersenyum menatap putrinya yang marah. "Adit polisi, Ian manajer, Juna dokter. Ah, Mama galau kalau di posisi kamu," kata Asih kemudian. Lebih tepatnya kembali menggoda Naina.

Naina tak menggubris ucapan sang Mama. Ia memilih untuk sibuk mengecek email masuk barangkali ada panggilan kerjaan. Ia tak mau pusing memikirkan tiga laki-laki itu.

♡♡♡

Nah, kan, akhirnya pada datang grudukan. Hahaha ...
Jangankan emaknya, anaknya aja bingung mau milih.
Masih tetap Juna, Adit, atau Ian? 😂😂😂

Otornya lebih galon.
thank you for being loyal here. 😘

Follow me:
Instagram: ahliya_mujahidin
Facebook: Ahliya Mujahidin
WhatsApp: +6287889872112

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro