Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Fighting

Harap Tap bintang dulu sebelum baca.
Tak sarankan tahan emosi, ya.
Jangan tahan kentut, bahaya. Hahaha
Terima kasih.

♡♡♡

"Welcome to new day. Keep spirit!"

Sudah beberapa hari Naina bekerja di kantor itu, dan selalu ada semangat baru setiap hari untuk menjalani pekerjaan barunya. Memang tak mudah baginya karena ia merasa cukup dengan posisi jabatannya ditambah belum ada pengalaman dalam bidang itu. Tapi Naina yakin dan sanggup menjalani karena Frida menuntunnya. Bukan hanya Frida saja, tapi staf dan karyawan lain pun ikut membantunya.

Perhatian Naina teralih ketika seseorang berdiri di depan mejanya. Ia menatap sosok yang ada di depannya. "Pak Juna." Naina beranjak dari kursinya.

"Apa Mama ada di dalam?" tanyanya.

"Ada. Tapi ada Pak Firman di dalam sedang diskusi dengan Ibu." Naina menyampaikan.

Juna mengangguk, lalu beranjak menuju kursi tunggu yang ada di sisi pintu ruangan Frida. Naina meraih gagang telepon untuk menghubungi atasannya.

"Iya, Nai," sapa Frida.

"Bu, ada Mas Juna mau bertemu sama Ibu." Naina menyampaikan.

"Iya," balas Frida singkat.

Sambungan telepon mati. Naina menatap gagang telepon di tangannya, lalu bergegas meletakkan benda itu ke tempatnya. Tak biasanya Juna datang ke kantor di jam kerja seperti ini. Seperti ada hal penting yang terjadi antara Frida dan Juna.

Pintu ruangan Frida terbuka. Sosok Firman keluar dari sana. Juna beranjak dari tempat duduknya.

"Pak Juna," sapa Firman pada Juna.

Juna hanya mengangguk sambil tersenyum memaksa. Ia bergegas masuk ke dalam ruangan sang mama untuk mengutarakan maksudnya datang ke kantor itu.

Telepon di atas meja kerja Naina kembali berdering. Naina bergegas meraih gagang telepon itu karena bersumber dari atasannya.

"Bawa semua berkas yang ada di mejamu sekarang ke ruangan saya." Frida menginstruksi.

"Tapi masih ada yang belum saya koreksi, Bu." Naina menyampaikan.

"Bawa saja Nai."

Sambungan telepon terputus. Naina bergegas meraih tumpukan map di atas meja kerjanya, lalu membawa ke ruangan Frida. Suasana di ruangan itu tak seperti biasanya. Raut Frida pun menambah ketegangan karena tak ada ekspresi ramah seperti biasanya. Naina meletakkan tumpukan map di atas meja kerja Frida.

"Terima kasih, Nai," ucap Frida pada Naina.

Naina mengangguk, bergegas meninggalkan ruangan itu. Ia bernapas lega karena atasannya itu masih menunjukkan sifat ramahnya. Sudah beberapa hari ekspresi Frida tak seperti sebelumnya saat dia diterima di kantor itu. Tak mau beradumsi jauh, Naina kembali fokus pada tugasnya.

Konsentrasi Naina teralih ketika ponselnya yang tergeletak di atas meja mendapat notifikasi pesan masuk. Naina meraih benda pipih itu. Pesan dari Ian terlihat di layar utama. Fokusnya dialihkan pada jam di pojok layar ponselnya. Sudah hampir masuk jam makan siang. Naina membuka pesan dari Ian.

From: Pak Ian
Mau makan siang bareng nggak?
Kalau mau, aku langsung ke sana.

Naina berpikir sejenak. Kalau aku terima, aku takut Tante Frida ajak makan siang bareng.

To: Pak Ian
Kayaknya nggak bisa. Takut atasan ngajak makan siang bareng.

From: Pak Ian
Cowok?

Sebuah map diletakkan di atas meja kerja Naina. "Perbaiki semua berkas ini dan bawa ke ruangan direktur."

Naina terkesiap, pandangan ia alihkan pada sumber suara. Juna berdiri di depan meja kerjanya. Ponsel segera ia letakkan di atas meja. "Iya, Pak." Naina mengangguk.

Juna sudah berjalan meninggalkannya menuju ruang direktur. Naina hanya menatap punggung Juna yang semakin jauh dan hilang di ruang direktur. Pandangannya beralih pada tumpukan berkas di hadapannya. Perhatiannya teralih ketika telepon di atas meja kerjanya berdering. Ia bergegas meraih gagang telepon dan ditempelkan ke telinga.

"Iya, Bu," sapanya pasa Frida.

"Ke ruangan saya sekarang."

Naina meletakkan gagang telepon lada tempatnya, meraih ponsel dan memasukkannya ke dalam saku pakaian, lalu beranjak menuju ruangan Frida. Suasana kembali normal seperti biasa. Tak ada kesan menyeramkan seperti saat ada Juna di sana. Naina menghampiri Frida yang sedang memasukan benda penting ke dalam tas.

"Kamu sudah siap?" tanya Frida ketika mendapati Naina berdiri di sisi meja kerjanya.

Naina mengangguk. Frida mengulurkan berkas pada Naina. Naina menerima berkas itu. Ia hampir saja lupa jika siang ini ada pertemuan penting dengan kolega. Untung saja Naina menolak tawaran makan siang bersama Ian. Mereka meninggalkan ruangan itu untuk menuju tempat pertemuan.

***

Rasa lelah mendera tubuh Naina. Ia menyandarkan tubuh pada kursi kerjanya. Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Berkas di atas mejanya semakin menumpuk. Naina menghela napas. Perhatiannya teralih ketika mendengar deringan ponsel. Ia meraih benda pipih itu di dalam tas. Dahinya berkerut. Layar ia geser ke warna hijau.

"Iya, Pak," sapanya pada seseorang yang menghubunginya.

"Nai, aku sudah bilang, jangan panggil aku seperti itu. Sekarang kita sudah nggak satu kantor dan aku bukan atasanmu lagi." Dia protes. Ya. Ian yang menghubungi Naina.

Naina tersenyum lebar. "Iya," balasnya singkat.

"Kamu sudah pulang?" tanya Ian.

"Belum. Ini mau pulang bentar lagi." Naina merapikan berkas di atas meja untuk dimasukan ke dalam laci.

"Aku sudah di depan kantormu."

"Tau aku kerja di sini dari mana?" tanya Naina bingung. Ia tak pernah bicara pada Ian jika bekerja di kantor itu saat ini.

"Dari Devi."

"Aku keluar sekarang." Naina beranjak dari kursi setelah memastikan tak ada barang pribadinya yang tertinggal.

"Aku tunggu di parkiran."

"Berkas untuk rapat besok harus sudah siap sebelum rapat dimulai."

Naina terkesiap, hampir saja ponselnya jatuh ke lantai. Syukurnya Juna lebih dulu meraih ponsel miliknya sebelum menyentuh lantai. Juna memberikan benda pipih itu pada Naina. Tangan kiri Naina masih menyentuh dada, sedangkan tangan kanannya menerima ponsel. Naina menghela napas. Ia masih belum tahu jika Juna saat ini menjabat sebagai direktur di kantor itu. Frida belum meresmikan. Juna masih berstatus training di kantor itu sampai dia benar-benar siap untuk menjabat sebagai direktur karena masih berat meninggalkan tugasnya sebagai dokter.

"Ingat pesanku." Juna mengingatkan, berlalu dari hadapan Naina.

Naina hanya menatap kepergian Juna. Napas kembali ia hela, lalu melangkah untuk keluar dari kantor. Ian sudah menunggunya di parkiran. Pandangan Naina mengitari parkiran ketika tiba di tempat janjian. Mobil Ian tak ada di sana.

"Nai!" seru Ian.

Pandangan Naina menuju sumber suara. Ia bergegas menghampiri Ian. Tatapannya langsung ke arah mobil di samping tubuh Ian.

"Ah, kamu pasti bingung. Lebih baik masuk dulu, nanti aku jelaskan di dalam." Ian membuka pintu untuk Naina.

Naina mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Ian pun menyusul masuk, dan bergegas meninggalkan area parkiran kantor.

"Aku baru saja ambil mobil baru, Nai. Yang lama sudah aku jual karena jadi masalah dengan dia." Ian menjelaskan setelah beberapa menit hening. Lebih tepatnya karena sudah janji mau menjelaskan.

"Oh," balas Naina datar.

"Cuma mau memulai semuanya dari awal lagi." Ian curhat.

"Ya, bagus." Naina menanggapi.

"Nai. Kamu mau-"

"Kita mau ke mana?" tanya Naina memotong.

"Kamu maunya ke mana?" tanya Ian balik.

"Ini yang ngajak jalan siapa?" Naina tersenyum paksa.

"Aku mau bikin kamu seneng." Ian menatap Naina sekilas.

"Ke mana saja, deh."

Naina memang sedang butuh hiburan untuk menjernihkan pikirannya yang keruh. Keruh karena dipenuhi dengan pekerjaan.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Pasti melelahkan." Ian mengalihkan topik.

"Banget. Agak pusing karena masih baru, jadi masih harus adaptasi."

Ian tersenyum. "Kamu pasti bisa," katanya menguatkan.

Naina tak membalas, lebih memilih untuk menikmati perjalanan sebelum sampai ke tempat yang diinginkan Ian. Akhirnya mobil itu tiba di halaman sebuah kafe. Naina bergegas turun ketika Ian membuka pintu mobil. Pandangannya menilai kafe itu. Mereka bergegas masuk ke dalam bersamaan. Ian tak pernah salah memilih kafe. Naina suka dengan dengan kafe itu. Bukan kafe sebelumnya. Kafe itu cukup ramai dan luas. Terlebih ada ruangan terbuka, jadi bisa langsung menatap ke arah langit. Ditambah dengan hiasan tanaman, membuat tempat itu terlihat cukup nyaman.

"Gimana tempatnya?" tanya Ian ketika mereka sudah duduk di sofa, lalu memberikan buku menu pada Naina.

"Aku suka," balas Naina sambil menerima buku menu dari Ian.

Ian melambaikan tangan pada pelayan kafe. Seorang pelayan menghampiri mereka dan menanyakan pesanan. Ian pun melakukan pemesanan, lalu diikuti Naina. Makanan di kafe itu pun cukup beragam.

"Kamu betah kerja di sana?" tanya Ian, kembali membuka obrolan.

"Iya. Di sana cukup nyaman dan atasanku sangat baik," balas Naina.

"Cowok?" Ian memastikan.

Naina menggeleng sambil tersenyum. "Cewek."

Ian tersenyum malu. Malu karena sudah menduga yang bukan-bukan. Lebih tepatnya khawatir. Khawatir jika Naina menyukai atasannya.

Obrolan terputus karena pelayan datang membawa pesanan mereka. Naina dan Ian fokus pada makanan yang tersaji. Naina mulai menyantap makanan pesannya karena merasa lapar. Suasana cukup berbaur karena diselingi obrolan ringan tentang pekerjaan masing-masing.

Seorang wanita berjalan menghampiri Naina dan Ian sambil membawa gelas berisi air lalu menyiramkannya pada Naina. Naina terkejut ketika seseorang yang tak ia kenal menyiram tubuhnya. Ia beranjak dari sofa lalu mengibas pakaiannya. Pandangan ia alihkan pada wanita yang menyiramnya. Ian menatap wanita itu.

"Sisi!!!" bentak Ian.

Sisi kembali menyiram Naina dengan lemon tea milik Ian. "Dasar pelakor!!!" bentak Sisi pada Naina.

Mata Naina memanas. Ia tak sanggup menahan. Baru kali ini mendapat perlakuan buruk dari orang lain. Sisi adalah mantan istri Ian. Dia mengira jika Ian menceraikannya karena Naina.

"Nai, kamu nggak apa-apa?" Ian menghampiri Naina.

Naina mengusap wajah lalu meraih tasnya. Ia berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Ia akan beranjak dari tempat itu, tapi Ian mencekal lengannya.

"Aku nggak mau cerai sama kamu, Ian. Kamu lupa sama janji-"

"CUKUP!!" Ian kembali membentak. "Perceraian kita nggak ada hubungannya dengan Naina! Dan aku tegaskan lagi, Naina bukan pelakor!"

Naina melepas cekalan Ian. Ia meninggalkan tempat itu karena sudah tidak tahan. Tak tahan dengan rasa malu yang menyergap. Tak tahan dengan kondisinya yang basah. Tak tahan karena dirinya menjadi kambing hitam.

"Nai!!!" seru Ian sambil mengejarnya.

Tak ada balasan. Naina memilih untuk pulang. Ia menjadi pusat perhatian pengunjung kafe. Air mata tak bisa ditepis, mengalir deras di pipi Naina. Berulang kali diusap, tapi masih terus mengalir tanpa ingin berhenti. Sesak di dada pun terasa.

"Nai, Tunggu!" Ian mencekal lengan Naina.

Naina terpaksa berhenti, menepis tangan Ian dari lengannya. Ian melepas cekalannya.

"Aku minta maaf, Nai. Ini nggak seperti yang kamu kira," kata Ian sendu.

"Mulai sekarang jauhi aku." Naina beranjak pergi setelah mengatakan hal itu.

Ian menatap kepergian Naina. Tugasnya di dalam belum selesai. Setelah Naina mendapat taksi, Ian baru masuk ke dalam. Wajah Ian menunjukan kemaran. Marah pada Sisi karrna telah menuduh Naina. Sisi memang tahu jika Naina bawahan Ian di kantor. Sisi pun tahu jika Ian menyukai Naina. Apa alasan ini yang membuatnya menuduh Naina?

♡♡♡

Piye Gaes?
Ojo emosi, yo.
Secara tidak langsung, Ian masuk blacklist.
Yeeeyyyy ...

Setuju?
👇 koment!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro