Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Edited, Bagian 20B : Into His World

Bagian 20B : Into His World


AUTHOR

Apa yang bagus dengan situasi ini, lima cowok di depan Ambar menatapnya dengan tatapan 'ini serius?', ia risih ditatap begitu.

Tapi orang yang membuat mereka ada di situasi ini tidak berpikiran sama. Bara senang senang saja berada di samping Ambar dan menggenggam tangannya masuk ke lapangan basket indoor sekolah mereka. Hiruk-pikuk penonton yang mulai duduk di bangku tribun menambah rasa gugup Ambar apalagi para pemandu sorak yang seperti ingin mengulitinya.

"Whats up! Gue enggak nyangka bakal serame ini!" Santai pembawaannya, Bara berhigh five bersama rekan-rekannya.

"Udah ya, aku keluar aja," ucap Ambar lirih, yang dijawab dengan gelengan oleh Bara.

"Kenalin...." kata kerja yang tidak ingin Ambar dengar, karena ada sepasang mata menatap tepat ke arah genggaman tangan mereka.

"Ini Ambar, pacar gue!"
Nasi sudah jadi bubur, lagipula Ambar sudah berjanji untuk menyerahkan hatinya kepada Bara, sepenuhnya.

Kenyatannya, menyerahkan hatimu tidaklah gampang, kan?

"Oh!" tanggap Adit, Miko, Ali dan Diki berbarengan.

Seorang cowok bangkit dari bangku cadangan, memakai seragam yang sama dengan mereka. Orang yang pertama kali mengulurkan tangan adalah dia, padahal mereka sudah saling mengenal.

Jerry tersenyum tanpa bisa diartikan.

Giliran empat manusia itu berebut menyalami Ambar karena banyak pertanyaan yang berkecamuk di otak mereka.

"Gue Adit!" Kaptennya menyalami Ambar, "Pantesan Bara selalu pengen cepetan selesai latihan. Ada yang nungguin toh!"

Bara tersipu malu, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dan Ambar malah jadi geli melihat tingkah Bara.

"Ambar," balasnya ramah.

"Gue! Gue! Gue Ali!" serobot Ali menyalami Ambar, "Elo, lo anak mana? Sekolah di mana?"

Ambar mendelik mendengar pertanyaan cowok itu.

Ali jadi dihadiahi tabokan bertubi-tubi di pundaknya.

"Dia anak SINI! Dia sekolah DI SINI! Elo BOLOR ya?!" kata Adit menekankan beberapa kata.

Ali menyengir kuda, melihat Ambar memakai seragam untuk siswi sekolah mereka. "Ah," ia kemudian menatap Bara yang gemas ingin menaboknya pula, "Duh ... sori, gue kira...."

Daripada terjadi hal yang tak diinginkan, Miko menyambar tangan kosong Ambar. "Gue Miko! Orang yang paling waras di tim basket!"

Pernyataan Miko tidak disetujui oleh teman-temannya, sontak Adit juga menggaplok pundak Miko. "Dia yang paling enggak waras malah!"

Ambar terkekeh-kekeh, hari ini dia mengenal kawan-kawan Bara yang juga relasi Jerry. Beberapa minggu yang lalu, ia hanya mampu melihat mereka dari kejauhan. Sekarang, ada di dalam jangkauan anak populer membuatnya merasa roda kehidupan tengah berputar.

"Gue Diki!" ucap Diki datar, "Gue harap lo cepet khilaf karena pacaran sama manusia macam dia."

Tambah satu lagi orang yang ingin Bara tabok hari ini. Ia melirik Ambar yang menanggapi ucapan Diki dengan tawa.

"Bara!" Pelatih mereka, Pak Lukas memanggil dari bangku Panitia. Ia menggerakkan tangannya agar Bara mendekat ke posisinya.

"Gue dipanggil si lutung lagi," keluh Bara yang mengangguk terpaksa melihat Pak Lukas sedang memegang lembaran kertas.

"Ya udah samperin gih! Cewek lo aman sama gue. Tenang aja!" kata Adit sungguh-sungguh.

"Gue percaya sama lo pada, tapi bukan sama di-"

Ambar segera membuka mulutnya, ia tahu apa yang akan Bara ucapkan. Ia mengikuti arah pandang Bara yang menatap tidak suka kepada Jerry.

"Aku juga mau keluar, nyari Deka."

Bara mengangguk paham, ia melepas gandengannya dan berlari mendekati pelatihnya.

Ia juga sempat berbalik untuk berteriak, "Itu cewek gue! Yang berani pegang bakal gue gundulin!"

Empat cowok itu tertawa mendengar ocehan Bara, kecuali Jerry yang tidak terpengaruh. Padahal orang yang dimaksud Bara adalah dirinya.

"Kalo begitu, saya duluan, Kak," kata Ambar lagi dengan sopan.

Miko mengangguk. "Ya! Tapi ntar lo balik, kan? Kayaknya Bara ngarep banget lo nonton dia tanding."

Ambar hanya tersenyun tipis dan perlahan menyingkir dari hadapan mereka.

"Ceweknya Bara gak cantik, tapi manis," ucap Ali yang menunggu sampai Ambar benar-bebar menghilang.

"Kayaknya lo deh yang pasti digundulin sama Bara," ledek Diki melepas jaket merah yang berlogo sekolah mereka.

Saatnya Adit menyenggol Jerry yang masih menyilangkan tangan di dada.
"Keliatannya lo enggak kaget."

"Lo udah tau jawabannya," jawab Jerry kembali duduk di bangku cadangan.

"Jangan bilang lo sama Bara itu·"

Jerry tersenyum sinis. "Ya, kita memandang langit yang sama."


~°°~

DEKA


Ponselku terus berdering, menampilkan nama Ambar.

"Maaf adik ipar, kakakmu ini sedang dalam misi penting!" kataku sedaga menggeser bulatan merah, menolak menjawab panggilannya.

Bukannya aku norak, aku juga sudah beberapa kali. Tapi bukan aku yang bayar, biasanya Bosku yang membuka dompetnya atau jika ada acara khusus keluarga. Pakaianku terlalu kasual untuk duduk di restoran semewah ini, interior Eropa jadi modal utama kenapa aura tempat ini berbeda. Lantunan musik klasik malah membuatku merinding. Tadi juga pelayannya agak tidak mempercayaiku, untung kuucapkan nama orang yang menyuruhku datang ke sini. Kuhubungi nomor telepon yang ada di kartu nama ada di tas selempang mahal itu. Aku bilang aku menemukan kartu tanda pengenalnya dan orang itu harus datang sendiri padaku kalau dia tidak mau kartu kreditnya aku gunakan untuk hal yang macam-macam.

Masa bodoh dengan resiko yang harus kutanggung nanti karena telah berani mengancamnya.

Kenapa orang kaya selalu suka datang terlambat? Oh, atau aku yang datang terlalu cepat?

Restoran ini baru dibuka pukul setengah sepuluh, dan pantas saja baru aku yang duduk di sini.

"Maaf, telah membuat Anda menunggu." Seseorang menarik kursi di depanku, tapi bukan orang ini yang ingin kutemui.

"Anda siapa?" Di depanku bukan pria blasteran yang pernah aku lihat menampar anaknya sendiri di pesta perusahaan.

Orang yang tersenyum ramah kepadaku adalah orang berkacamata dengan frame hitam. Kemeja marun yang dipadu jas abu-abu, dia meletakan tasnya dan beberapa map.

"Saya orang yang berbicara dengan Nona ditelepon."

Kubuang napasku, kuteguk air putih yang kurasa gratis karena pasti takan merugikan restoran ini. Harga minuman selain segelas air bening ini saja harganya puluhan ribu, harga makanannya juga ratusan ribu.

"Saya ingin bertemu Bos Anda, bukan Anda!"

Lelaki itu terkejut mendengar nada suaraku yang meninggi.

Jangan main-main dengan Alicia Deka!

"Saya yakin Nona akan berpikir lebih baik bertemu dengan saya daripada dengan beliau."

Aku mendelik mendengarnya.

"Nona ini sangat lucu, pantas saja Tuan Bara menyukai Nona."

Mataku membulat lagi seperti ekspresi pada umumnya kalau terkejut, barusan dia menyebutkan nama Bara?

"Anda mengenal saya?"

"Tentu saja, saya sering mendengar tentang Nona dari mulut Tuan Bara sendiri. Apa yang Tuan saya bicarakan ternyata benar. Nona sangat apa adanya."

Pria keriput itu mengulurkan tangannya, "Saya Viktor, sekretaris sekaligus pengacara keluarga Pradipta. Senang bertemu dengan Anda, Nona Alicia Deka."

Aku menjabat tangannya, sekarang aku jadi ngeblank. Pertanyaan yang sudah kusiapkan dari rumah, mencuat entah ke mana.

Batinku kesal.

"Apa yang bisa saya bantu, Nona Alicia?"

"Um ... panggil saya Deka saja." Aku lebih suka orang memanggilku Deka, lebih nyaman di telingaku.

"Tadinya saya ingin bertanya banyak hal dengan Om Andika atau pemilik tas itu, tapi sekarang ... enggak jadi deh," ucapku kecewa.

"Tidak jadi? Kenapa? Memang apa yang ingin Nona tanyakan? Jika bukan pertanyaan yang personal, kurasa saya bisa menjawabnya."

Kujentikan jariku. "Nah itu! Masalahnya pertanyaan saya pribadi semua! Contohnya ya, kenapa Bara tinggal sendirian di apartemen? Kenapa Bara jadi ugal-ugalan? Kenapa selalu terlihat sedih? Dan kenapa dia memutuskan saya-"

Kucerna lagi pertanyaanku barusan, duh. Kalimat terakhir apaan itu?

"Eh, yang terakhir itu masalah pribadi kami."

Viktor melepas kacamatanya. "Saya sudah mengikut keluarga Pradipta dari kecil, saya besar bersama Tuan Andika dan ikut melihat perkembangan Tuan Bara."

Apa dia akan menceritakan masalah pribadi yang seharusnya dia simpan sampai mati?

Mendengar ucapannya, ia pasti punya hutang budi dan tahu semua hal yang terjadi di dalam keluarga itu.

"Saya hanya bisa menjawab pertanyaan yang pertama dan terakhir, dia bukan memutuskan Nona tapi menguji Nona. Menguji siapa yang benar-benar memerlukan kehadiriannya. Siapa yang mau turut serta untuk menopang kesedihannya."

Apa waktu dulu, dia menyesal putus denganku?

Astaga! Deka! Apa yang barusan kamu ucapkan?! Kamu sudah ada Kalvian sekarang!

"Dia memang tidak benar-benar jatuh cinta dengan Nona, tapi saat itu adalah saat yang bisa membuatnya takkan melepaskan Nona."

"Lalu, yang pertama?"

"Tuan Bara kehilangan Nyonya Anneke, dan dia pergi dari rumah untuk menyendiri."

Puzzle yang dulu sulit kusambungkan kini mulai menyatu, pertanyaan yang belum Viktor jawab. Aku sudah tahu jawabannya.

Kutanyakan satu pertanyaan lagi untuk menyatukan semua potongan itu.
"Jadi, apakah rumor itu benar?"

Viktor melirik bungkusan yang ada di atas meja. "Pemilik tas itu beruntung, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya. Walaupun takkan semudah membalikan telapak tangan."

Rumornya ternyata benar, tentang alasan Bara kehilangan ibunya. Tante Anneke meninggal dalam kecelakaan mobil.

Lagipula, matahari tidak bisa memiliki dua bulan di sisinya, kan?


Aku pulang dengan tangan kosong, tapi dengan beban yang bertambah. Kubuka pagar rumah, sepi seperti biasanya. Papa dan Mama pastinya ada di kantor, aku mau balik ke sekolah tapi malas sekali. Belum yakin, mampu bertemu Bara setelah tahu kalau dulu, cinta kita memang benar-benar cinta monyet saja.

Cintaku ternyata bertepuk sebelah tangan saja, tapi aku tidak bisa menyalahkan Bara.

"Surprise!" reriak seseorang yang mengangetkanku.

Aku belum rabun kan? Aku kucek kedua mataku, ini benar-benar?!

Kalvian menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Ada apa? Kamu enggak seneng aku ke sini?"

Antara sedih karena ucapan Viktor dan senang bertemu Kalvian, aku masih mematung menatap kedua mata yang berhasil menenangkanku.

Aku memang masih anak baru gede, jadilah kemeja keren Kalvian terkena air mata dan ingusku. Dia tidak menanyakan apa-apa, dia memelukku dan mengelus rambutku.

Yes, I'm already move on.

Kalvian adalah matahariku.

~°°~

AMBAR

Aku telepon Deka dan tidak dijawab-jawab, jangan bilang dia bolos?

Memang sih jam pelajaran tidak ekfektif tapi bukan berarti libur!

Aku bersandar di tembok dekat pintu masuk dan tetap mengulangi hal yang sama-menelepon Deka.

"Biarin aja! Dosanya gue tanggung sendiri!"

Segerombolan pemandu sorak yang bukan dari sekolahku berjalan melewatiku. Mereka cantik-cantik, beda sekali dengan aku. Mereka selevel dengan Deka, kayaknya dari tim lawan.

"Bukannya lo udah ada Reza ya? Gila lo masih ngecengin temennya!"

Mereka cekikikan, apa ini yang disebut dengan bergosip?

"Dua itu lebih bagus daripada satu! Ya, enggak?" ucap seorang gadis yang paling tinggi dan langsing di antara mereka.

Dia berhenti tepat di pintu masuk, membuatku menyingkir agak jauh. Biar tidak kelihatan down banget daripada mereka.

Miris sekali kamu Ambar!

"Emang setampan apa sih orangnya sampe bikin lo klepek-klepek? Padahal menurut gue, Reza itu cakepnya udah pake banget!"

"Mending kalian lihat sendiri deh, dia ada sekolah ini! Namanya ... namanya! Bara!"

Gadis yang dipanggil 'ris' itu menunjuk ke lapangan, telunjuknya berhenti di cowok yang kurasa aku kenal.

Tapi siapa ya?

Spontan aku mendelik sampai mataku seperti hendak sakit.

Dia! Dia menunjuk ke arah Baraku!

"Gue yakin dia enggak bakal nolak gue hari ini!"

Mereka adalah segerombolan ikan asin yang memakai seragam cheerleaders!

Tanpa pikir panjang kulempar kepala cewek yang tadi bilang kalau Bara tidak akan menolak dia, menggunakan sepatu pantofelku.

Rasakan! Dasar ikan asin jamuran!

Kulepas kacamataku dan kusimpan di dalam saku rokku.

Saatnya kabur saat dia mulai berteriak mengaduh.

Sebenarnya belum puas, tapi kan aku tidak punya gerombolan seperti dia. Aku masih sayang sama nyawaku.

Aku berlari tanpa merasa aku telah melakukan kesalahan. Cuma melempar sepatu yang beratnya tidak sampai setengah kilo dan paling benjol sedikit saja. Aku tertawa tapi bukan tertawa meraih kepuasan. Aku harus menjaga Bara karena ucapan Deka sudah menjadi kenyataan.

Aku percaya sama Bara, tapi namanya kucing? Diberi ikan asin yang notabene makanannya, mana mungkin dia menolak?

Sekilas aku ingat lagi wajah cewek tadi, kupelankan acara jogging dadakan ini. Aku membungkuk dengan kedua tangan bertumpu di lututku. Aku masih tertawa, masih, aku masih mencoba tertawa.

Tapi, tapi, tapi aku takut.

Iam afraid that I could not fit in his world.

Akibat ketololanku, aku harus menanggung malu dengan berjalan tanpa alas kaki.

Hanya tinggal sepatu sebelah kiri, yang kanan?

Semoga tidak sampai dibuang ke tong sampah. Minimal ya ada di halaman aja, biar aku tidak perlu mengais-ngais sampah seperti pemulung. Biasanya kan kalau di novel begitu.

Tapi bukan sepatuku yang kutemukan, malahan cewek tadi keluar dengan wajah berseri-seru dari ruang olahraga. Wajahnya semakin cantik kalau tersenyum, nah aku?
Wajahku semakin jelek saat kesal, gimana tidak jadi kesal setengah mampus?!

Ada orang yang menggandeng erat cewek itu dan orangnya bernama Bara Pradipta.

Bertitelkan 'pacar pertama' dari Ambar Magdalena Wulandari. Sekarang dia bergandengan tangan dengan cewek cantik itu.

Antara kesal, takut, dan sedih.

Cowok yang dibicarakan oleh mereka, benar-benar Bara yang kukenal!

Ya Tuhan, kuatkanlah hamba-Mu ini.

Apa ini rasanya diselingkuhi?!

Kepengen banget mengejar mereka, dan menguping obrolan mereka, tapi seseorang memanggil namaku. Bian dan Mama sudah datang dengan senyum semringah.

Aku hanya bisa meringis, itupun terpaksa. Aku kembali melihat ke arah koridor yang mereka lewati. Jejak mereka hilang dan tak mungkin aku mengejar mereka. Lebih tidak mungkin kalau aku ceritakan soal kelakuan Bara sama Mama dan Bian. Mereka sangat menyayangi Bara.

Aku berjalan gontai mendekati mereka.

~to be continue~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro